Share

Papa Baru untuk Anakku
Papa Baru untuk Anakku
Penulis: A mum to be

1. Dia Tidak Akan Datang

“Aku cuma mau papa," gumam anaknya.

Lily hanya tersenyum getir usai mendengar kalimat barusan. Permintaan sederhana yang ternyata sangat sulit untuk dia wujudkan. Wanita bersurai panjang itu terdiam cukup lama sembari memandangi buah hatinya yang tengah sibuk menyantap makan siang.

“Mau tambah lagi, hemm? Tempe goreng atau ikannya?” tanyanya dengan wajah yang terlihat kembali ceria.

“Enggak. Aku sudah kenyang,” tolak Farel pelan. “Mama denger tidak yang aku katakan tadi? Aku mau papa datang di pesta ulang tahunku.”

“I-iya. Akan mama usahakan ya, Sayang,” jawab Lily yang sebenarnya juga tak begitu yakin.

“Atau aku yang telepon papa saja ya? Aku sudah kangen.” Gelengan Lily membuat bocah yang usianya hampir mencapai empat tahun tersebut seketika cemberut. “Kenapa sih? Papa sudah tidak sayang aku?”

“Eh? Siapa bilang begitu? Papa lagi sibuk bekerja. Kamu sabar ya. Nanti mama yang hubungi papa kamu. Sekarang cepat selesaikan makannya, terus tidur siang. Oke?”

Anggukan Farel membuat Lily bernapas lega. Di dalam hati sungguh dia sangat merutuki sang mantan suami yang sudah lama tak memberi kabar. Ada rasa berkecamuk detik itu juga mengingat janji yang pernah diucapkan oleh pria tersebut. Sayangnya semua hanya ucapan belaka. Hampir setahun lamanya buah cinta mereka tidak mendapatkan kabar atau nafkah layak sebagaimana kesepakatan yang telah dibuat.

Usai memastikan kalau anaknya sudah masuk ke kamar, barulah Lily memberanikan diri menyambar ponselnya. Lantas melihat riwayat pesan yang sekitar dua bulan lalu tidak kunjung mendapatkan balasan hingga detik ini. Luka yang telah lama dia tutupi kini kembali terbuka.

Suara balasan dari layanan jaringan telepon membuatnya berdecak pelan. Sesuai dugaannya kalau nomor sang mantan suami akan sulit dihubungi. Tidak ada pilihan selain mencoba jalur yang terakhir. Jadilah Lily berbuat nekad.

“Ha-halo!” sapanya ketika mendengar panggilan tadi langsung tersambung.

[“Halo. Ini Nyonya Li-ly ya?”]

Senyum Lily langsung terulas tipis meskipun hatinya sedang dilanda sedikit kecemasan. “Iya, Mbok. Iya, aku Lily. Hemm ... Mas Adrian ada?”

Sayangnya harapan tadi langsung pupus ketika dia mendengar suara lantang dari seberang sana. Siapa lagi kalau bukan sang mantan ibu mertua yang merebut paksa telepon dari asisten rumah tangga tersebut.

[“Hei, kamu!! Masih berani telepon kemari, hah??”]

“Mami??” Napas Lily seketika tercekat usai mendengar suara hardikan barusan. Demi permintaan Farel dia kembali menjatuhkan harga dirinya lagi.

[“Kenapa? Kamu berharap kalau Adrian yang akan terima telepon ini? Jangan mimpi kamu! Mau apa? Kamu kekurangan uang? Iya? Enggak sanggup ngurusin anak kamu sendiri? Makanya jangan sok mampu kamu! Dengan yakinnya waktu itu ngomong kalau bisa besarin Farel. Butuh uang berapa kamu? Saya transfer sekarang!"]

Air mata Lily jatuh saat itu juga. Dia terisak karena lagi-lagi harus menerima perkataan kasar dari wanita yang menjadi penyebab hancur rumah tangganya barusan. “Mi, aku telepon bukan untuk minta uang.”

[“Terus apa coba? Kamu kerjanya cuma nyusahin anak saya saja. Beda sama calon mantu saya si Bella yang sekarang. Sudah cantik, baik, mandiri, dan pastinya berasal dari keturunan yang sederajat sama kami.”]

“Cukup, Mi. Aku hubungin ke nomor rumah karena hape-nya Mas Adrian enggak aktif udah sejak lama,” sergah Lily sembari menghapus kasar jejak air matanya. “Farel pengen jumpa papanya. Dua hari lagi dia ulang tahun. Dia cuma mau kehadiran Mas Adrian.”

Alih-alih mendengar keluh kesah Lily, ibu mertuanya itu hanya terkekeh. [“Kamu antar saja dia ke depan rumah kami. Setelahnya kamu pergi. Mampir ke mana kek. Ke hotel atau apa. Yang jelas saya enggak mau lihat muka kamu lagi. Oh ya. Saya bakalan kirim tiket PP kalian Medan-Jakarta. Gampang ‘kan? Hemm, tapi sepertinya Adrian enggak akan hadir ke acara ulang tahun anak kalian. Dia lagi sibuk nyiapin pesta pernikahannya. Gimana dong?”]

“Mas Adrian me-ni-kah lagi?” tanya Lily dengan terbata-bata.

Hatinya jelas merasakan sakit mendengar ucapan tadi. Pantas saja sejak dia kembali ke kampung halamannya di Medan pria itu semakin sukit untuk dihubungi. Ternyata benar gosip yang pernah dia dengar bahwa mantan suaminya akan menikah lagi.

[“Iya. Dia akhirnya sadar kalau Bella lebih baik daripada kamu. Berkali-kali lipat bahkan.”]

“Baiklah. Kalau gitu aku jadi tahu bahwa enggak perlu lagi berharap pada orang yang salah.”

[“Baguslah kalau kamu sadar diri. Kirimkan nomor rekening kamu. Saya masih berbaik hati loh.”]

“Enggak perlu, Mi. Aku masih bisa hidupin anak aku sendiri. Titip salam buat Mas Adrian aja. Tolong sampaikan kalau anaknya ingin bertemu. Itu saja.”

Setelahnya Lily memutus pembicaraan via udara itu dengan tangan yang bergetar. Jujur saja dia memang masih mencintai mantan suaminya. Namun, perasaan tadi jelas takkan bisa memperbaiki hubungan mereka yang sudah kandas sejak tahun lalu.

Waktu sudah menunjukkan pukul dini hari. Lily menyeka peluh yang membasahi area wajahnya yang kelelahan akibat bekerja. Dia hanya mengulum bibir saat melihat tubuhnya yang tampak kurusan dari hari ke hari. Semua dilakukan demi mengidupi dirinya dan Farel semata. Tak masalah dengan shift kerja yang sering menguras jam istirahat tidur. Yang penting buah hatinya tersebut tidak merasakan kekurangan.

“Ma.”

“Sayang? Kenapa, hemm?” gumam Lily ketika melihat wajah putranya yang masih terjaga.

“Papa bilang apa tadi? Kapan datangnya?” tanya Farel dengan wajah yang berbinar cerah. Sungguh dia tak sabar ingin menunjukkan sosok sang papa di hadapan teman-temannya nanti.

“Oh itu ya.” Lily mendesah pelan lalu meletakkan kedua tangannya di masing-masing pundak Farel. “Papa kamu itu, dia ... tidak akan datang. Mulai sekarang kita hidup berdua saja ya.”

“Maksud mama?” tanya Farel dengan wajah yang tampak bingung. “Aku ‘kan sudah bilang kalau aku maunya papa. Cuma papa!!”

Lily pun berdecak pelan. “Lihat mama, Rel!! Selama ini yang berjuang buat kamu itu mama. Kenapa sih kamu tetap inginkan papa? Dia itu tidak bertanggung jawab. Dia—“

“Mama jahat!!” sentak Farel dengan suara yang meninggi. “Mama yang udah bawa aku pergi dari rumah.”

“Bukan begitu. Kamu saja yang belum mengerti. Hubungan mama dan papa memang sudah ...,” Lily menggantung ucapannya. Dia merasa bersalah lantaran terbawa emosi. Karena kelelahan dan tekanan dari dunia kerja, pikirannya pun kacau balau. Mirisnya Farel sudah kadung mencerna perkataan barusan. Bocah itu berbalik badan lalu meninggalkannya dengan wajah sembab. “...., Maaf. Mama yang salah.” Tangis Lily pecah seketika. Dia butuh waktu untuk menyendiri sebelum kembali mengajak putranya berbicara lagi.

Setelah membersihkan diri, dia berniat untuk melihat keadaan anaknya. Berharap malam ini bisa memeluk tubuh mungil penyemangat hidupnya itu. Tepat saat membuka pintu kamar, dia dikejutkan dengan pemandangan yang menyesakkan dada.

"Farel, kamu kenapa??"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status