Share

2. Papa Ke Mana Saja?

Napasnya terasa sesak ketika melihat tubuh Farel yang menggigil di bawah selimut.

“Pa-pa!”

“Sayang, bangun. Ini mama,” ucap Lily dengan suara seraknya yang tertahan. Dirinya panik bukan main ketika merasakan sekitaran badan putranya yang panas.

Farel masih dalam keadaan mata terpejam dengan racauannya yang tadi. Dengan cepat Lily menyibak selimut kemudian mengggendong tubuh sang putra dalam hitungan detik. Saat itu juga dia merasakan adanya guncangan yang hebat.

“Bibi! Paman! Tolong!!” pekik Lily yang sudah berada di ambang pintu.

Tak butuh waktu lama hingga seorang wanita paruh baya muncul dari kamar yang lain. “Eh? Kenapa sama Farel?”

“Farel demam lagi, Bi. Dia barusan kejang-kejang! Kita harus ke rumah sakit sekarang.”

“Iya iya. Bibi bangunin paman kamu dulu ya.”

Kini kendaraan roda tiga yang biasanya dijadikan sang paman untuk mencari nafkah sehari-hari sedang melaju kencang membawa Lily, Farel dan bibinya menuju rumah sakit terdekat. Beruntung jarak fasilitas kesehatan itu dari rumah mereka hanya memakan waktu lima menit saja.

“Tolong, Sus,” isak Lily ketika mereka tiba di depan ruangan IGD. Matanya menatap nanar dua orang tenaga medis yang tampak sigap menangani Farel di atas brankar.

“Suhunya 39 derajat, Dok!” lapor salah seorang dari mereka.

Pria berjas putih dengan stetoskop yang sudah berada di telinga mengangguk cepat. “Siapin pemasangan infus segera ya.”

Lily kehilangan kata-kata saat dokter yang menangangi putranya menjelaskan secara singkat apa yang barusan terjadi. Dia hanya mengangguk sembari melihat mata Farel yang masih terpejam.

“Makasih ya, Dok,” ucap bibinya ketika dokter tadi mengakhiri kalimatnya.

“Sama-sama, Bu. Pasien kita observasi sampai satu jam ke depan ya. Setelahnya kami akan pindahkan ke ruang rawatan inap.”

Lagi-lagi Lily mengangguk dalam diamnya sebagai respon. Sementara kini sang bibi segera mengajaknya untuk duduk di samping brankar tempat Farel berbaring.

“Farel sudah ditangani. Kamu jangan cemas ya,” kata bibi berusaha menenangkan dirinya. “Paman tadi langsung pulang ke rumah karena harus nganterin langganan becaknya yang mau ke pasar.”

“Iya, Bi. Makasih ya udah bantuin aku,” gumam Lily akhirnya.

“Hei, kamu kayak sama siapa aja. Kita ini keluarga, Ly. Jadi harus tolong-menolong.”

Lily mengangguk samar dengan senyuman getirnya. Sungguh dia semakin takut kalau nanti putranya akan membuka mata. Apa yang harus dia katakan nanti? Keinginan yang dianggap Farel sangat mudah ternyata sangat sulit untuk dia penuhi.

“Kalau memang Farel mau ikut Mas Adrian, aku harus apa ya?” tanyanya entah pada siapa. Namun, ucapan tadi terdengar oleh wanita yang ada di sampingnya itu juga.

“Maksud kamu gimana? Apa kamu mau ngelepasin anak kamu ke kandang harimau? Jangan ceroboh, Ly! Bibi saja kalau boleh ditanya sangat nyesel restuin pernikahan kamu dengan si Adrian itu. Pamanmu juga sama. Cuma ya dia hanya bisa diam. Toh udah kejadian juga.”

“Bibi,” isak Lily kemudian.

“Maafin bibi ya, tapi memang begitu isi hati bibi yang terdalam. Pamanmu pun merasa bersalah karena kamu yang merupakan anak dari abangnya menderita sekarang. Dia enggak nyangka kalau Adrian masih tidak berubah. Selalu aja hidup di bawah ketiak orangtuanya. Kamu dan Farel yang jadi korban karena dia tidak bisa mandiri.”

“Ini udah jadi jalannya hidup aku, Bi. Enggak ada yang harus disesali. Aku bersyukur punya Farel. Iya ‘kan?”

Bibinya mengangguk sambil tersenyum. “Sudah ya. Jangan pikirkan lagi yang tidak-tidak. Farel itu masih kecil. Belum mengerti permasalahan orang dewasa. Kamu harus luasin rasa sabar lagi. Nanti dia juga tahu dengan sendirinya.”

Beruntung hari ini dan besok memang waktunya Lily untuk libur dalam pekerjaan. Jadilah dia tak perlu risau kalau gajinya akan dipotong. Wanita tersebut lekas bangkit ketika melihat putranya terbangun.

“Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu tadi demam lagi. Sekarang udah dipindah ke ruangan biasa,” jelas Lily panjang lebar begitu melihat respon terkejut dari anaknya. “Maaf ya kalau tempat rawatan kamu kurang nyaman. Itu artinya kamu harus sembuh supaya bisa kembali ke rumah.”

Hati Lily ikut perih ketika mengatakan kalimat barusan. Fasilitas BPJS kesehatan kelas terendah yang menjadi senjatanya tentu tidak akan memberikan kenyamanan penuh seperti yang keluarga mantan suaminya berikan. Meskipun begitu dia wajib bersyukur karena bisa memberikan apa yang dia mampu untuk Farel.

“Aku mau pulang. Di sini menakutkan,” rengek putranya. “Bau obat, Ma. Aku tidak suka.”

Lily tidak kehilangan akal. Dia menatap jarum jam yang masih menunjukkan ke angka enam. “Sebentar lagi sarapan kamu datang. Setelahnya mama ajak ke taman. Ya hitung-hitung sambil nungguin dokternya besuk ke sini. Gimana, hemm? Kalau sudah boleh pulang baru kita siap-siap.”

“Mama enggak bohong lagi ’kan??” tanya Farel sedikit ragu.

“Sayang,” ucap Lily yang semakin merasa bersalah. “Maafin mama ya soal yang tadi malam.” Farel hanya menunduk tanpa berniat untuk mengucapkan apapun.

Di sinilah mereka sekarang. Taman rumah sakit yang letaknya berada di tengah-tengah, dekat dengan area parkiran. Banyak pasien berkusi roda yang sedang menghirup udara pagi di sana. Lily memegang tiang infus dengan tangan yang lain mengusap rambut putranya.

“Duduk di bangku panjang sana yuk,” tunjuknya ke arah yang dimaksud. Farel tak menjawab langsung. Namun, langkahnya ikut berpindah juga.

Tatapan Farel yang tadinya kosong kini beralih ke sosok pria yang baru saja ke luar dari mobil bewarna hitam. Satu alisnya terangkat dengan mata yang menyipit sejenak. “Itu Papa! Papa!”

Tanpa mempedulikan selang infus yang masih menancap di punggung tangannya pria kecil itu berlari kencang ke arah tadi. Membuat Lily langsung tersentak menatap darah putranya yang menetes di ubin rumah sakit.

“Farel! Sayang, tunggu!!” Lily pun berlari sekuat tenaga mengimbangi gerakan anaknya yang sangat cepat. Mulutnya ternganga ketika mendapati Farel yang tengah mendekap tubuh seseorang.

Sama sepertinya yang terkejut saat ini. Pria dewasa yang tak tahu apa-apa itu hanya diam tanpa mengatakan apapun. Tak juga merespon dengan memeluk balik Farel yang tengah menangis sesenggukan. Barulah dia terkesiap saat melihat lengan jasnya yang ternoda dengan darah.

“Hei, kenapa dengan tanganmu?” tanyanya kemudian. “Kamu melepas infusnya dengan paksa ya?”

Farel tak menghiraukan ucapan barusan. “Papa ke mana saja? Aku kangen Papa.”

“Sayang, dia bukan papa,” gumam Lily sangat hati-hati. Kedua tangannya berusaha melepaskan dekapan erat sang putra. Sayangnya tindakan tadi malah berakhir dengan sia-sia. Farel malah memberontak.

“Aku mau sama papa,” isak Farel masih di posisi yang sama.

Lily merasa kalah dengan keadaan. Dia menatap pria yang dianggap putranya sebagai papa itu dengan sorot mata sendu. “Anakku lagi sakit. Maaf.”

Pria tadi malah terkekeh dengan senyuman yang mengejek. “Apa kalian sedang bersandiwara? Ini sama sekali tidak lucu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status