Napasnya terasa sesak ketika melihat tubuh Farel yang menggigil di bawah selimut.
“Pa-pa!”“Sayang, bangun. Ini mama,” ucap Lily dengan suara seraknya yang tertahan. Dirinya panik bukan main ketika merasakan sekitaran badan putranya yang panas.Farel masih dalam keadaan mata terpejam dengan racauannya yang tadi. Dengan cepat Lily menyibak selimut kemudian mengggendong tubuh sang putra dalam hitungan detik. Saat itu juga dia merasakan adanya guncangan yang hebat.“Bibi! Paman! Tolong!!” pekik Lily yang sudah berada di ambang pintu.Tak butuh waktu lama hingga seorang wanita paruh baya muncul dari kamar yang lain. “Eh? Kenapa sama Farel?”“Farel demam lagi, Bi. Dia barusan kejang-kejang! Kita harus ke rumah sakit sekarang.”“Iya iya. Bibi bangunin paman kamu dulu ya.” Kini kendaraan roda tiga yang biasanya dijadikan sang paman untuk mencari nafkah sehari-hari sedang melaju kencang membawa Lily, Farel dan bibinya menuju rumah sakit terdekat. Beruntung jarak fasilitas kesehatan itu dari rumah mereka hanya memakan waktu lima menit saja.“Tolong, Sus,” isak Lily ketika mereka tiba di depan ruangan IGD. Matanya menatap nanar dua orang tenaga medis yang tampak sigap menangani Farel di atas brankar.“Suhunya 39 derajat, Dok!” lapor salah seorang dari mereka.Pria berjas putih dengan stetoskop yang sudah berada di telinga mengangguk cepat. “Siapin pemasangan infus segera ya.” Lily kehilangan kata-kata saat dokter yang menangangi putranya menjelaskan secara singkat apa yang barusan terjadi. Dia hanya mengangguk sembari melihat mata Farel yang masih terpejam.“Makasih ya, Dok,” ucap bibinya ketika dokter tadi mengakhiri kalimatnya.“Sama-sama, Bu. Pasien kita observasi sampai satu jam ke depan ya. Setelahnya kami akan pindahkan ke ruang rawatan inap.” Lagi-lagi Lily mengangguk dalam diamnya sebagai respon. Sementara kini sang bibi segera mengajaknya untuk duduk di samping brankar tempat Farel berbaring.“Farel sudah ditangani. Kamu jangan cemas ya,” kata bibi berusaha menenangkan dirinya. “Paman tadi langsung pulang ke rumah karena harus nganterin langganan becaknya yang mau ke pasar.”“Iya, Bi. Makasih ya udah bantuin aku,” gumam Lily akhirnya.“Hei, kamu kayak sama siapa aja. Kita ini keluarga, Ly. Jadi harus tolong-menolong.”Lily mengangguk samar dengan senyuman getirnya. Sungguh dia semakin takut kalau nanti putranya akan membuka mata. Apa yang harus dia katakan nanti? Keinginan yang dianggap Farel sangat mudah ternyata sangat sulit untuk dia penuhi.“Kalau memang Farel mau ikut Mas Adrian, aku harus apa ya?” tanyanya entah pada siapa. Namun, ucapan tadi terdengar oleh wanita yang ada di sampingnya itu juga.“Maksud kamu gimana? Apa kamu mau ngelepasin anak kamu ke kandang harimau? Jangan ceroboh, Ly! Bibi saja kalau boleh ditanya sangat nyesel restuin pernikahan kamu dengan si Adrian itu. Pamanmu juga sama. Cuma ya dia hanya bisa diam. Toh udah kejadian juga.”“Bibi,” isak Lily kemudian.“Maafin bibi ya, tapi memang begitu isi hati bibi yang terdalam. Pamanmu pun merasa bersalah karena kamu yang merupakan anak dari abangnya menderita sekarang. Dia enggak nyangka kalau Adrian masih tidak berubah. Selalu aja hidup di bawah ketiak orangtuanya. Kamu dan Farel yang jadi korban karena dia tidak bisa mandiri.”“Ini udah jadi jalannya hidup aku, Bi. Enggak ada yang harus disesali. Aku bersyukur punya Farel. Iya ‘kan?”Bibinya mengangguk sambil tersenyum. “Sudah ya. Jangan pikirkan lagi yang tidak-tidak. Farel itu masih kecil. Belum mengerti permasalahan orang dewasa. Kamu harus luasin rasa sabar lagi. Nanti dia juga tahu dengan sendirinya.” Beruntung hari ini dan besok memang waktunya Lily untuk libur dalam pekerjaan. Jadilah dia tak perlu risau kalau gajinya akan dipotong. Wanita tersebut lekas bangkit ketika melihat putranya terbangun.“Kita di rumah sakit, Sayang. Kamu tadi demam lagi. Sekarang udah dipindah ke ruangan biasa,” jelas Lily panjang lebar begitu melihat respon terkejut dari anaknya. “Maaf ya kalau tempat rawatan kamu kurang nyaman. Itu artinya kamu harus sembuh supaya bisa kembali ke rumah.” Hati Lily ikut perih ketika mengatakan kalimat barusan. Fasilitas BPJS kesehatan kelas terendah yang menjadi senjatanya tentu tidak akan memberikan kenyamanan penuh seperti yang keluarga mantan suaminya berikan. Meskipun begitu dia wajib bersyukur karena bisa memberikan apa yang dia mampu untuk Farel.“Aku mau pulang. Di sini menakutkan,” rengek putranya. “Bau obat, Ma. Aku tidak suka.”Lily tidak kehilangan akal. Dia menatap jarum jam yang masih menunjukkan ke angka enam. “Sebentar lagi sarapan kamu datang. Setelahnya mama ajak ke taman. Ya hitung-hitung sambil nungguin dokternya besuk ke sini. Gimana, hemm? Kalau sudah boleh pulang baru kita siap-siap.”“Mama enggak bohong lagi ’kan??” tanya Farel sedikit ragu.“Sayang,” ucap Lily yang semakin merasa bersalah. “Maafin mama ya soal yang tadi malam.” Farel hanya menunduk tanpa berniat untuk mengucapkan apapun. Di sinilah mereka sekarang. Taman rumah sakit yang letaknya berada di tengah-tengah, dekat dengan area parkiran. Banyak pasien berkusi roda yang sedang menghirup udara pagi di sana. Lily memegang tiang infus dengan tangan yang lain mengusap rambut putranya.“Duduk di bangku panjang sana yuk,” tunjuknya ke arah yang dimaksud. Farel tak menjawab langsung. Namun, langkahnya ikut berpindah juga. Tatapan Farel yang tadinya kosong kini beralih ke sosok pria yang baru saja ke luar dari mobil bewarna hitam. Satu alisnya terangkat dengan mata yang menyipit sejenak. “Itu Papa! Papa!” Tanpa mempedulikan selang infus yang masih menancap di punggung tangannya pria kecil itu berlari kencang ke arah tadi. Membuat Lily langsung tersentak menatap darah putranya yang menetes di ubin rumah sakit.“Farel! Sayang, tunggu!!” Lily pun berlari sekuat tenaga mengimbangi gerakan anaknya yang sangat cepat. Mulutnya ternganga ketika mendapati Farel yang tengah mendekap tubuh seseorang. Sama sepertinya yang terkejut saat ini. Pria dewasa yang tak tahu apa-apa itu hanya diam tanpa mengatakan apapun. Tak juga merespon dengan memeluk balik Farel yang tengah menangis sesenggukan. Barulah dia terkesiap saat melihat lengan jasnya yang ternoda dengan darah.“Hei, kenapa dengan tanganmu?” tanyanya kemudian. “Kamu melepas infusnya dengan paksa ya?”Farel tak menghiraukan ucapan barusan. “Papa ke mana saja? Aku kangen Papa.”“Sayang, dia bukan papa,” gumam Lily sangat hati-hati. Kedua tangannya berusaha melepaskan dekapan erat sang putra. Sayangnya tindakan tadi malah berakhir dengan sia-sia. Farel malah memberontak.“Aku mau sama papa,” isak Farel masih di posisi yang sama. Lily merasa kalah dengan keadaan. Dia menatap pria yang dianggap putranya sebagai papa itu dengan sorot mata sendu. “Anakku lagi sakit. Maaf.”Pria tadi malah terkekeh dengan senyuman yang mengejek. “Apa kalian sedang bersandiwara? Ini sama sekali tidak lucu.”“Papa di sini saja. Jangan pergi ke mana-mana lagi,” pinta Farel dengan wajahnya yang masih kelihatan pucat.“Sayang, sudah ya. Susternya mau pasang infus kamu dulu. Sebentar lagi obatnya mau dimasukkan. Dengerin kata mama ya, Nak,” ucap Lily yang hampir frustrasi. Farel hendak memberontak, tetapi tubuh pria dewasa yang dianggapnya adalah sang papa tadi mulai mendekat. Jadilah dia mengangguk dan akhirnya menurut untuk tidak bergerak lagi.“Sakit itu tidak enak. Jadi kau harus cepat sembuh,” katanya dengan suara datar. Namun, ternyata berhasil membuat Farel senang karena merasa diperhatikan.“Papa janji ya tidak akan jauh-jauh dari kami lagi,” gumam Farel dengan sorot matanya yang sendu. “Besok aku ulang tahun. Teman-teman pasti akan bertanya lagi di mana papa. Jadi jangan pergi.”“Aku ada—“Ucapan tadi terjeda saat dokter yang menangani Farel muncul ke dalam ruangan. “Selamat pagi. Wah. Infusnya terlepas ya?”“Maaf, Dokter,” cengir Farel seraya menunjukkan cengiran kudanya
Keenan mengatakan itu dengan sadar, tetapi wanita yang ada di hadapannya malah menuduh kalau dia sudah gila. Rahangnya pun mengeras dengan tatapan yang begitu menusuk pada Lily. “Kau akan menyesali ucapanmu.”“Dasar pria aneh,” gumam Lily. Dia pun lekas berbalik badan dan bergerak cepat meninggalkan Keenan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah sayu sang putra yang tampak celingukan kian kemari. Lily mengulas senyumnya lalu mendekat ke arah brankar.“Papa di mana, Ma?” tanya Farel tanpa mengindahkan kehadirannya sama sekali. “Aku enggak mimpi ‘kan? Tadi kita ketemu papa di taman rumah sakit. Nenek saja yang tidak percaya.” Diamnya sang mama membuat bocah itu menoleh ke arah wanita paruh baya yang tadi menjaganya. “Beneran loh, Nek. Papa nemenin aku di sini. Iya ‘kan, Ma?”“Beneran, Ly?” tanya bibi Lily yang terlihat masih ragu.Lily menggeleng lemah. Dia pun segera mengalihkan pembicaraan. “Gimana, Sayang? Apa tadi bekas infusnya sakit, hemm?”“Mama belum jawa
“Kita tidak akan melakukan peperangan di atas ranjang,” gumam Keenan sambil tersenyum miring. Wajah Lily yang tadinya terlihat tegang kini tampak kemerahan. “Kenapa? Apa kau kurang belaian, hemm?”“Jaga ucapanmu!” sentak Lily kemudian. Sungguh perkataan barusan sangat menyinggung harga dirinya. Ah. Dia hampir lupa kalau sudah lama kehilangan itu sejak memutuskan menikah dengan Adrian.“Jadi bagaimana?” Keenan sama sekali tak peduli dengan perubahan diri lawan bicaranya tersebut yang tampak tertekan. “Karena kau diam, maka aku anggap setuju. Aku akan urus ini bersama pengacaraku. Jadi bilang pada anakmu bahwa aku akan kembali.” Tanpa ingin mendengar balasan dari Lily, pria arogan tersebut melenggang pergi begitu saja. Kini Lily duduk di sofa ruang rawatan mewah putranya. Di sisi lain ada sang bibi yang sudah tertidur pulas di ranjang samping pasien. Sementara dirinya masih juga terjaga sejak dua jam yang lalu. Meratapi kemalangan hidup yang sepertinya tiada bertepi.
Teguran tadi membuat sepasang suami istri baru tersebut mematung seketika. Keduanya saling memandang dengan tatapan entah. Hingga beberapa detik kemudian Keenan mengulurkan tangan kanannya pada Lily.“Nah begitu. Jangan lupa diambil buat dokumentasi ya,” kata Pak Penghulu pada orang suruhan Keenan yang tengah memegang kamera.Sementara itu Lily menempelkan dahinya ke arah punggung tangan Keenan. Tak pelak sang pria pun mendekatkan bibir ke telinganya.“Aku bersedia menjadi papa untuk anakmu, tetapi jangan pernah berharap agar aku menganggapmu layaknya seorang istri.” Ucapan yang hanya bisa didengar oleh Lily saja karena jarak mereka yang sangat dekat.CUP!! Suami barunya itu mengecup singkat dahinya. Lantas kembali memundurkan tubuh menjauhi Lily.Penderitaannya bukan berakhir. Malahan bertambah hanya karena status baru yang sekarang ia sandang. Sebagai istri dari seorang pria yang bahkan tidak dikenal sama sekali. Bodoh. Tentu saja. Namun, nalurinya sebagai se
“Maaf, Pak. Emm... Bb-Bang Keenan maksud saya,” cicit Lily dengan suara seraknya. “Kali ini aku maafkan.” Keenan menatapnya dengan tajam. “Dengar baik-baik, Lily. Aku tak suka kau memanggilku dengan nada yang tinggi. Jadilah penurut kalau mau aku memperlakukan kalian dengan baik.” Wanita itu mengangguk tanpa suara. Lalu kembali berjalan berdampingan dengan Keenan menuju mobil. Tempat di mana putranya kini sudah berada. “Pa, kita mau ke mana?” tanya Farel ketika keduanya sudah berada di masing-masing sisi kanan kirinya. “Kau tunggu saja. Nanti juga akan sampai,” jawab Keenan dengan wajah dingin dan datarnya. Hal itu membuat Farel menunduk dan tak lagi berkata-kata. “Hei, tadi papa bilang apa, hemm? Dia mau kasih kejutan loh. Jadi jangan diganggu dulu,” bisik Lily seraya mengusapi puncak kepala anaknya. “Papa begitu karena dia takut keceplosan bicara, Sayang.” “Oh. Iya,” sahut Farel bernada pelan. Keenan yang tadinya membuang pandangan ke arah luar melirik Farel yang t
Suara barusan membuat Lily terhenyak seketika. Dalam sekejap kehadirannya sudah menjadi fokus semua orang yang ada di ruang tengah itu. Sementara Keenan sama sekali tak peduli."Keenan, kau jangan membual." Wanita dengan baju kekurangan bahan yang berdiri di hadapannya tersebut begitu meradang. "Dia hanya pembantu baru di rumah ini 'kan? Kalian ... tidak mungkin menikah. Kau hanya berbohong!!" Keenan memutar balas bola matanya. Lantas segera merengkuh cepat tubuh Lily. "Apanya yang tidak mungkin? Dia adalah istriku. Kami baru saja menikah. Apa kau tuli, heh?""Terus, kau anggap apa aku??" sentak sang wanita menggeram marah. Dia tersenyum miring ketika melirik ke arah istri Keenan itu. "Ini sungguh tidak lucu. Kau tahu bahwa kita adalah pasangan yang serasi." "Itu hanya menurutmu." Setelahnya Keenan menarik lengan sang istri meninggalkan wanita tersebut. Keduanya berjalan menuju kamar utama dan diikuti oleh seorang kepala pelayan yang tadi menyapa mereka. Warna putih, abu-abu dan hi
“Awwh!!” Wanita itu meringis saat tangannya dicengkeram kuat lalu disentakkan dengan kasar. Dia menggeram lalu menoleh ke arah si pelaku. “Kee-nan?”“Ini rumahku!” Keenan menatap tajam sang wanita lalu menariknya cepat ke luar dari kamar.“Keenan, ayolah. Sandiwara apa yang kau lakukan, heh? Aku tahu bahwa kau ditekan untuk segera menikah, tetapi mengapa harus dengan janda beranak satu pula? Lihat aku!” Dengan penuh rasa percaya diri wanita berambut perak itu mendekatkan. “Aku bisa jadi istrimu.”Sayangnya Keenan malah tertawa sumbang. “Lisna, berhentilah mengada-ngada. Lebih baik kau pulang sekarang.”“Aku serius. Aku kurang apa coba? Oh astaga. Jangan-jangan kau ini dipelet oleh perempuan itu.”Keenan mendengkus pelan lalu berucap. “Aku sedang tidak mau berdebat denganmu. Pergilah.” Sementara di dalam kamarnya Farel tengah mendengarkan penjelasan dari Lily terkait dengan insiden barusan.“Enggak pa-pa, Sayang. Tante yang tadi mungkin sedang kesal. Jadi ya berbicara asal
Farel terkesiap lalu mematung dalam sekejap. Sementara Lily lekas menahan tangan Keenan yang sudah mengepal erat.“Apa yang kau lakukan??” tanya Keenan dengan suara yang menahan geram. Tadinya dia hendak kembali ke ruang kerja. Namun, suara bising dari kamar Farel mengacaukan rencananya.Bocah usia empat tahun itu menunduk seraya meremas jari-jarinya sendiri. “A-aku hanya main rumah-rumahan.”“Dia hanya bermain. Tolong jangan memarahinya,” bisik Lily. Wanita itu menggeleng pelan dengan bola mata yang nyaris berhenti berkedip ketika Keenan mulai mengayunkan langkahnya. Tepat saat hampir mendekati Farel, suami dinginnya tersebut berhenti lalu mengambil posisi bersidekap.“Apa ranjangmu tidak nyaman?” tanyanya kemudian. “Kau tidak suka gambarnya?” Farel menggeleng. “Atau warnanya?” Lagi-lagi sang bocah menggeleng pelan. Keenan lantas mengernyit heran. Kepalan tangannya pun mulai mengendur.“Enggak ada yang salah kok. Semua yang ada di sini Farel suka,” gumam Lily