Tak hanya Lily yang terkejut dengan kedatangan orang barusan. Para ibu yang tengah menghakiminya tadi pun sama kagetnya. Mereka saling berbisik sembari melirik pria tersebut.
“Ada apa ini?” Keenan bertanya demikian sembari melingkarkan tangannya di pundak Lily. Lantas dia menatap satu demi satu orang-orang julid tadi.
“Enggak kok. Kami cuma nanya sama Lily,” jawab seorang dari mereka. “Ya wajar sih kami curiga. Lily dan anaknya tiba-tiba aja pergi dari sini. Eh pas ditanya ke paman bibinya malah dibillang dia nikah. Kami ya merasa ada yang aneh.”
“Iya. Seharusnya ‘kan ada kabar gitu sejak jauh hari,” tambah yang lain pula.
Lily menunduk seraya meremas ujung bajunya. Takut kalau Keenan berbicara penuh dengan emosi atau malah jadi merendahkan keluarga pamannya. Hingga kemu
“Hai!” Wanita pengganggu tadi sudah tersenyum kecentilan. Mendekat ke arah Keenan yang sama sekali memandangnya dengan tatapan muak.“Mau apa? Ini sudah malam,” gumam Keenan dengan suara datarnya. Alih-alih menjawab pertanyaan barusan. Sang wanita malah bergelayut manja di lengannya. “Lisna, aku lelah.”“Benarkah? Kalau begitu ayo kita ke kamarmu. Aku akan pijat agar kau jadi lebih rileks. Bagaimana?” rengek wanita bernama Lisna itu.Keenan menggeleng lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Namun, siapa sangka jika Lisna malah justru membuntutinya dari arah belakang.“Ayolah, Keenan. Aku hanya ingin memijatmu saja.” Dia masih berusaha dengan menampakkan senyuman paling manis menurutnya. “Kau lupa ya kalau kita bahkan pernah—““Itu hanya kesalahan. Berhentilah untuk mengungkitnya lagi,” potong Keenan yang lekas menyela pembicaraan tersebut. “Pulanglah.” Lisna berdecak sebal lalu menyentakkan kakinya dengan mode manja. Sengaja berbuat ulah agar Keenan mau mengiku
Farel lantas meninggalkan ruang makan begitu saja. Tak pedulikan Mbok Jum yang berusaha mengejarnya dari arah belakang.“Tuan Farel. Ini si Mbok. Tolong bukain pintunya dong.” Tak ada sahutan dari dalam sana. Hanya sesekali isakan tangis dari bocah tersebut. Membuat kepala asisten rumah tangga itu mendesah pelan sambal geleng-geleng kepala. Cukup lama dia berada di depan pintu. Namun, suaranya sama sekali tidak ditanggapi oleh Farel. Sementara Keenan yang baru saja menyudahi sarapannya bangkit dengan cepat. Pun begitu juga dengan Lisna masih tampak tak merasa bersalah dengan kekacauan yang dibuatnya beberapa saat lalu.[“Mundurkan jadwal meeting pagi ini hingga jam makan siang tiba. Aku sedang ada urusan.”] Keenan segera menyudahi titahnya pada seseorang di seberang sana. Menyimpan gawainya ke dalam saku dalam jas lalu melangkah menaiki gundukan anak tangga.“Berhenti mengikutiku!”Lisna mencebik lalu mengangguk seketika. “Oke. Aku akan tunggu
“Udah, Ma. Aku kenyang.” Farel menggeleng sembari menjauhkan mulutnya dari sendok yang dipegang sang mama.“Oke. Kata papa tadi kamu sakit perut ya?” tanya Lily usai menyudahi sarapannya juga. “Mules atau bagaimana, hemm?”“Sekarang sudah tidak sakit. Aku mau ke kamar saja.”“Nanti mama datang ya, Nak. Mama mau mandi dulu,” gumam Lily sambal membelai lembut puncak kepala putranya.Farel mengangguk. Bocah itu lantas segera pergi meninggalkan ruang makan. Dia menunduk begitu melihat Keenan yang berpapasan dengannya. Kini Lily sudah tiba di kamar. Baru saja membersihkan diri dan duduk tenang di atas sofa. Tak berapa lama Keenan masuk lalu mengambil posisi bersidekap di hadapannya.“Apa dia sudah tidak marah padaku lagi?” tanya pria tampan berhati dingin itu.“Kami masih belum bicara. Tadi aku hanya bisa membujuknya untuk sarapan,” jawab Lily yang kemudian lekas menutup mulutnya yang tengah menguap lebar. “Abang pergi saja. Tidak pa-pa.” Setelahnya Lily lekas m
Bagaimana ini? Permintaan Farel barusan sangat memberatkan. Lily tidak mungkin membujuk sang suami untuk mengiyakannya bukan?“Maaf ya. Mama benar. Kau tak bisa ikut,” kata Keenan memberikan jawaban.“Kenapa? Aku janji tidak akan mengganggu papa,” rengek Farel manja. “Dulu papa bilang aku masih kecil makanya belum boleh ikut kerja. Sekarang aku sudah besar.” Ada rasa perih yang seketika menjalar di hati Lily usai mendengar kalimat putranya tadi. Terbayang bagaimana banyak caci maki yang dilontarkan pihak keluarga mantan suaminya kala itu. Ternyata Farel bisa mengingat luka tersebut sampai sekarang.“Waktunya tidak tepat. Lain kali saja ya.”“Aku mau sama papa.” Farel masih memohon.Keenan pun menghela napas berat. Lantas berbisik pada Lily. “Apa yang bisa kulakukan agar dia tidak menganggu?”Lily berpikir sejenak kemudian memberikan saran pada Keenan yang langsung disanggupi oleh pria dingin itu. “Kita makan siang di luar saja yuk. Papa masih punya waktu. N
Lily menggeleng pelan. “Ini bukan apa-apa. Hanya memar biasa.”“Baiklah,” jawab Keenan singkat. Tak mau memikirkan hal yang dianggapnya remeh seperti barusan. Dia pun memberikan perintah pada sang sopir untuk mengemudikan mobil ke hadapannya. “Kalian pulanglah.”“Papa gimana?” tanya Farel dengan polosnya.“Sebentar lagi ada mobil lain yang menjemput.” Farel pun lekas menurut dan segera masuk ke dalam mobil. Tak pelak bocah itu mengecup punggung tangan Keenan. Namun, saat Lily hendak melakukan hal yang sama suara nyaring dari arah belakang mengalihkan atensinya. Seorang pria dengan setelan jas formal seperti sang suami berjalan mendekat sambil tersenyum. Tatapannya tertuju pada Lily dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. Tak berapa lama kemudian dia mengulum senyum.“Wah, siapa nih? Malah kelihatan bening. Kalau gebetan kayaknya enggak mungkin.”Keenan berdecak pelan. “Bukan urusanmu.” Dia melirik ke arah Lily yang tampak canggung. “Masuklah.”“I-iya.
“Permisi,” ucap Lily dengan suara yang sangat pelan.“Hei, saya belum selesai bicara,” kata pria itu. “Kamu yang tadi bersama dengan Keenan ‘kan?”Lily menggeleng cepat. “Bu-bukan. Anda pasti … salah orang.”“Benarkah?” Kedua alis lawan bicaranya itu saling bertaut. “Kayaknya memang kamu. Tunggu dulu biar saya—”“Maaf, Pak. Saya masih banyak kerjaan. Permisi,” potong Lily yang bergegas pergi dari sana. Wanita itu berjalan setengah berlari dengan sekuat tenaga. Napasnya pun sudah terengah-engah.“Eh, kenapa?” tanya Nina begitu melihatnya kembali ke ruangan.“Enggak. Aku tadi salah masuk toilet pas kebelet,” bohong Lily yang tampak begitu natural.Nina pun tergelak. “Ada ya gitu. Jadi kamu udah lihat apa aja?”
“Asih, jangan ngomong sembarangan,” tegur Mbok Jum yang malah merasa tak enak hati dengan sikap anggotanya. “Minta maaf kamu!”“Kenapa harus minta maaf, Mbok? Aku salah apa?” Pelayan bernama Asih itu tetap keras hati.Lily yang baru saja menghabiskan tiga suapan nasi ke dalam mulutnya lekas tersenyum simpul. “Udahlah Mbok. Enggak pa-pa. Bi Asih enggak ngerasa bersalah sih wajar. Kelihatannya dia memang biasa ngomong begitu.” Lily sama sekali tak menunjukkan rasa tersinggungnya. Hingga kemudian dia kembali melanjutkan suara, “Cukup tahu saja sebenarnya. Oh ya. Sikap seseorang mencerminkan dari mana dia berasal bukan? Emas jika dilemparkan ke selokan pun nilainya akan tetap berharga, sedangkan bangkai jika diletakkan di taman bunga sekalipun masih dipandang menjijikkan.” Perkataan telak yang ditujukan untuk menyindir Asih memang. Terbukti wanita yang usianya hanya beda beberapa tahun lebih muda darinya itu tengah kelabakan sendiri. Sekaligus merasa tertampar pula. Sementar
Keenan mendengkus kasar lalu berdecak setelahnya. Kesal lantaran temannya tersebut tampak tertarik pada Lily.“Oke,” kata Dimas sambil tersenyum penuh arti. “Aku pamit sekarang. Tolong sampaikan salamku pada Lily ya.” Tatapan tajam Keenan membuatnya justru terkekeh. “Iya iya. Lain kali mungkin kami bisa bertemu lagi.” Usai memastikan kalau Dimas sudah benar-benar pergi, barulah dia bergegas menaiki anak tangga. Menyusul sang istri yang ternyata ada di kamar Farel.TOK TOK TOK!!“Lily! Buka pintunya!” pekik Keenan tak sabaran. Lily yang sudah sangat mengantuk mau tak mau terpaksa mengayunkan langkah menuju sumber suara. Lantas menyembulkan kepala begitu membuka sedikit pintu kamar putranya itu.“Kenapa?” tanyanya dengan suara serak karena mata yang sudah memberat.Alih-alih menjawab pertanyaan barusan, Keenan malah mendorong tubuh sang istri ke dalam. “Apa yang kau lakukan tadi, hah??”“Apa? Aku hanya menjelaskan agar Pak Dimas tidak salah paha