Share

9

Mata Austin dan Ainsley saling beradu. Tidak ada yang mau kalah diantara keduanya. Sementara Deisy yang berada diantara mereka berdeham pelan. Ia tidak suka diabaikan seperti ini.

Ainsley yang pertama memutuskan kontak matanya dengan lelaki yang duduk dengan gaya angkuhnya didepan mereka itu. Ia memberengut kesal karena tidak bisa tahan dengan tatapan mata Austin. Lihat saja sekarang, Austin tampaknya senang sekali dengan kemenangannya.

"Cih," gadis itu berdecih membuang muka tak mau menatap Austin. Lelaki itu menyeringai kemudian mengubah ekspresinya menjadi serius lagi. Ia kini menatap Deisy dan Ainsley bergantian.

"Jelaskan, kenapa kau ingin kakakmu menggantikanmu menikah denganku?" suara itu terdengar rendah dan tegas.

Ainsley kembali mengangkat wajahnya menatap kedepan. Ekspresinya tampak bingung. Ia melirik Deisy sebentar. Kapan dirinya bilang mau Deisy menggantikannya menikah dengan lelaki menyebalkan itu?

Sial. Pasti kakak tirinya itu yang mengajukan dirinya sendiri. Deisy kan tidak pernah mau kalah darinya. Ainsley merasa kesal. Walau ia mati-matian tidak mau menikah dengan Austin, bukan berarti ia ingin mencari orang lain menggantikannya menikahi pria itu. Ia cukup tahu seperti apa sifat Austin setelah beberapa waktu ini terus terlibat dengan lelaki itu. Deisy, sih kakak tiri yang menyebalkan itu hanya menambah masalah saja padanya.

Ainsley mendengus keras ketika melihat Deisy yang menatapnya dengan sinis. Wanita itu bahkan begitu percaya diri mengeluarkan semua kebohongan dari mulutnya tersebut. Tidak ada rasa malu sama sekali.

"Ainsley, sudah kubilang aku tidak berani mengikuti rencana gilamu ini. Bagaimana bisa kau ingin aku menggantikanmu menikah,"

Ainsley mencebik. Akting saja terus.

Tapi sebenarnya rencana licik Deisy  yang sama sekali tidak terpikir olehnya itu mungkin saja bisa membantunya. Karena sudah seperti ini, sekalian saja ia membenarkan perkataan Deisy, mungkin Austin akan setuju menukar pengantinnya. Gadis itu menatap Austin,

"Benar, kau sendiri tahu kan aku tidak pernah mau menikah denganmu? Lebih baik kau menikah saja dengan Deisy. Lagipula kalian berdua sangat cocok. Sama-sama menyebalkan," kalimat terakhir Ainsley ia ucapkan dalam hati. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan di raut wajah Austin. Lelaki itu tampak marah. Berani sekali gadis itu mengaturnya.

"Aku tidak akan pernah menikah dengan siapapun selain dirimu Ainsley," kata pria itu penuh tekanan.

Deisy yang berdiri disebelah Ainsley merasa tertohok. Ia malu sekali dengan perkataan pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu. Sebenarnya apa sih bagusnya Ainsley sampai pria sekelas Austin yang punya segalanya dan sulit sekali didekati banyak kaum hawa itu mau menikahinya. Setahunya mereka belum lama saling kenal.

Ainsley tertawa keras.

"Dan aku tidak mau menikah denganmu!" balasnya tak mau kalah. Austin berdiri dari kursi dan mendekati Ainsley. Tidak peduli ada orang lain di dalam ruangan itu, ia hanya perlu membuat Ainsley tahu bahwa gadis itu adalah miliknya. Sekeras apapun Ainsley menolak, ia akan tetap membuatnya menjadi istrinya.

"Jangan terlalu bertingkah sayang, aku bisa saja melakukan hal gila padamu sekarang juga di sini, didepan saudari tirimu," bisik lelaki itu serak. Nada penuh ancaman itu membuat Ainsley menutup mulutnya. Ia tahu ancaman Austin selalu tidak main-main. Terakhir kali pria itu memberinya tanda kepemilikan didepan sekretarisnya sendiri, dalam ruangan kerjanya ini tentu saja.

"Kau boleh keluar," ucap Austin kemudian. Karena posisinya ketika mengatakan kalimat tersebut membelakangi kedua perempuan itu, Ainsley mengira yang di suruh keluar adalah dirinya dan cepat-cepat berbalik pergi.

"Bukan kau Ainsley," suara Austin lagi-lagi menghentikan langkah Ainsley. Gadis itu menghembuskan nafas kasar, lalu memilih duduk di sofa tanpa menatap pria itu sedetik pun.

Pandangan Austin berpindah ke Deisy. Wanita itu tetap setia berdiri meski tahu dialah yang di maksud oleh Austin.

"Aku tidak akan membuat perhitungan denganmu karena kau adalah kakak tunanganku. Yang jelas, tidak ada perempuan lain yang ingin aku nikahi selain adikmu. Keluarlah," kata Austin tegas. Tak ada senyuman sama sekali di wajahnya. Deisy tersenyum kikuk.

"Ah ya, sa ... Saya hanya melaporkan saja karena saya tidak enak pada anda," ucapnya gugup. Ia berusaha menutupi rasa malunya didepan Austin. Deisy ingin agar terlihat baik didepan lelaki itu. Apalagi sekarang statusnya adalah karyawan di perusahaan milik lelaki itu.

"K. .. kalau begitu saya keluar dulu," tambahnya lagi. Austin mengangguk cuek. Matanya sesekali mencuri-curi pandang ke Ainsley yang kini duduk santai di sofa miliknya.

Sebelum mencapai pintu keluar, mata Deisy menatap sengit ke Ainsley. Apalagi melihat ekspresi kemenangan adik tirinya itu. Lihat saja nanti di rumah, ia tidak akan membiarkan Ainsley hidup tenang.

"Sepertinya kau dan kakak tirimu tidak dekat, tapi aku akui keberaniannya berbohong dengan memakai namamu," pandangan Ainsley berpindah ke Austin yang entah kapan telah duduk di sebelahnya. Gadis itu berpikir sebentar, kemudian membulatkan matanya setelah mengerti apa maksud ucapan pria itu.

"Kau jelas tahu bukan aku yang merencanakan ide itu tapi masih berakting di depanku?" Seru Ainsley tidak terima. Ia merasa kesal. Waktunya yang berharga malah terbuang sia-sia. Padahal hari ini dia ada wawancara kerja.

"Kau harus tahu kalau aku tipe yang senang bermain-main dengan milikku," balas Austin santai. Ainsley makin tidak senang mendengar perkataan lelaki itu. Mainan? Pria itu menganggapnya sebagai mainan? Huh!

"Aku tidak sudi jadi milikmu. Sebaiknya kau cari saja wanita yang rela memberi diri mereka untukmu. Bukannya banyak? Mereka pasti bisa memuaskanmu," Ainsley menatap lelaki disebelahnya itu dengan berani. Ia bisa melihat seringaian diwajah tampan Austin.

"Kau pikir aku akan mati-matian menikahimu kalau sudah menemukan wanita yang bisa membuatku puas?" gumam Austin didepan wajah Ainsley. Karena jarak mereka terlalu dekat, Ainsley mundur namun sih Austin sialan ini malah terus mencondongkan badannya kedepan hingga membuatnya merasa sedikit gugup.

Walau ia tidak suka pada pria itu, Ainsley tidak bisa menampik wajah tampan itu kalau lama-lama ia lihat bisa membuatnya terlena juga. Tidak, tidak. Ia harus cepat-cepat pergi dari sini. Tapi bagaimana ia pergi kalau Austin terus mengukungnya begini?

"A ...Austin," tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh dada bidang Austin. Meski bermaksud mendorong pria itu menjauh darinya, ia malah membuat pria itu semakin ingin menggodanya.

"Kenapa, hm?" gumam Austin di telinga Ainsley. Tak lupa memberikan kecupan ringan di daun telinganya. Semakin hari Austin makin berani. Ia bahkan sudah tidak tahan lagi bagaimana rasanya berhubungan  yang lebih jauh lagi dengan gadis itu, namun ia tidak mau dirinya makin terlihat buruk di mata Ainsley jika memaksa gadis itu tanpa ikatan pernikahan, karena itu ia mati-matian menahan gairahnya tiap kali gadis itu berada didekatnya.

"Aku harus pergi," ujar Ainsley dengan ekspresi serius.

"Ke kampus?" Austin bertanya.

"Mm." Ainsley mengiyakan. Tidak penting juga mengatakan yang sebenarnya pada pria itu.

"Ya sudah. Kau bisa pergi sekarang. Ingat, kau tidak pernah bisa kabur dariku. Kau mengerti kan?" Ainsley memutar bola matanya malas. Tahunya mengancam saja.

"Aku sudah tahu," balasnya ketus. Austin lalu berdiri balik ke meja kerjanya setelah mendaratkan ciuman ringan di bibir gadis itu. Ainsley yang kaget hanya bisa pasrah. Ia tidak bisa melaporkan tindakan semena-mena Austin, karena status mereka sangat jelas di atas surat perjanjian yang di bacanya seminggu yang lalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status