Mata Austin dan Ainsley saling beradu. Tidak ada yang mau kalah diantara keduanya. Sementara Deisy yang berada diantara mereka berdeham pelan. Ia tidak suka diabaikan seperti ini.
Ainsley yang pertama memutuskan kontak matanya dengan lelaki yang duduk dengan gaya angkuhnya didepan mereka itu. Ia memberengut kesal karena tidak bisa tahan dengan tatapan mata Austin. Lihat saja sekarang, Austin tampaknya senang sekali dengan kemenangannya."Cih," gadis itu berdecih membuang muka tak mau menatap Austin. Lelaki itu menyeringai kemudian mengubah ekspresinya menjadi serius lagi. Ia kini menatap Deisy dan Ainsley bergantian."Jelaskan, kenapa kau ingin kakakmu menggantikanmu menikah denganku?" suara itu terdengar rendah dan tegas.Ainsley kembali mengangkat wajahnya menatap kedepan. Ekspresinya tampak bingung. Ia melirik Deisy sebentar. Kapan dirinya bilang mau Deisy menggantikannya menikah dengan lelaki menyebalkan itu?Sial. Pasti kakak tirinya itu yang mengajukan dirinya sendiri. Deisy kan tidak pernah mau kalah darinya. Ainsley merasa kesal. Walau ia mati-matian tidak mau menikah dengan Austin, bukan berarti ia ingin mencari orang lain menggantikannya menikahi pria itu. Ia cukup tahu seperti apa sifat Austin setelah beberapa waktu ini terus terlibat dengan lelaki itu. Deisy, sih kakak tiri yang menyebalkan itu hanya menambah masalah saja padanya.Ainsley mendengus keras ketika melihat Deisy yang menatapnya dengan sinis. Wanita itu bahkan begitu percaya diri mengeluarkan semua kebohongan dari mulutnya tersebut. Tidak ada rasa malu sama sekali."Ainsley, sudah kubilang aku tidak berani mengikuti rencana gilamu ini. Bagaimana bisa kau ingin aku menggantikanmu menikah,"Ainsley mencebik. Akting saja terus.Tapi sebenarnya rencana licik Deisy yang sama sekali tidak terpikir olehnya itu mungkin saja bisa membantunya. Karena sudah seperti ini, sekalian saja ia membenarkan perkataan Deisy, mungkin Austin akan setuju menukar pengantinnya. Gadis itu menatap Austin,"Benar, kau sendiri tahu kan aku tidak pernah mau menikah denganmu? Lebih baik kau menikah saja dengan Deisy. Lagipula kalian berdua sangat cocok. Sama-sama menyebalkan," kalimat terakhir Ainsley ia ucapkan dalam hati. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan di raut wajah Austin. Lelaki itu tampak marah. Berani sekali gadis itu mengaturnya."Aku tidak akan pernah menikah dengan siapapun selain dirimu Ainsley," kata pria itu penuh tekanan.Deisy yang berdiri disebelah Ainsley merasa tertohok. Ia malu sekali dengan perkataan pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu. Sebenarnya apa sih bagusnya Ainsley sampai pria sekelas Austin yang punya segalanya dan sulit sekali didekati banyak kaum hawa itu mau menikahinya. Setahunya mereka belum lama saling kenal.Ainsley tertawa keras."Dan aku tidak mau menikah denganmu!" balasnya tak mau kalah. Austin berdiri dari kursi dan mendekati Ainsley. Tidak peduli ada orang lain di dalam ruangan itu, ia hanya perlu membuat Ainsley tahu bahwa gadis itu adalah miliknya. Sekeras apapun Ainsley menolak, ia akan tetap membuatnya menjadi istrinya."Jangan terlalu bertingkah sayang, aku bisa saja melakukan hal gila padamu sekarang juga di sini, didepan saudari tirimu," bisik lelaki itu serak. Nada penuh ancaman itu membuat Ainsley menutup mulutnya. Ia tahu ancaman Austin selalu tidak main-main. Terakhir kali pria itu memberinya tanda kepemilikan didepan sekretarisnya sendiri, dalam ruangan kerjanya ini tentu saja."Kau boleh keluar," ucap Austin kemudian. Karena posisinya ketika mengatakan kalimat tersebut membelakangi kedua perempuan itu, Ainsley mengira yang di suruh keluar adalah dirinya dan cepat-cepat berbalik pergi."Bukan kau Ainsley," suara Austin lagi-lagi menghentikan langkah Ainsley. Gadis itu menghembuskan nafas kasar, lalu memilih duduk di sofa tanpa menatap pria itu sedetik pun.Pandangan Austin berpindah ke Deisy. Wanita itu tetap setia berdiri meski tahu dialah yang di maksud oleh Austin."Aku tidak akan membuat perhitungan denganmu karena kau adalah kakak tunanganku. Yang jelas, tidak ada perempuan lain yang ingin aku nikahi selain adikmu. Keluarlah," kata Austin tegas. Tak ada senyuman sama sekali di wajahnya. Deisy tersenyum kikuk."Ah ya, sa ... Saya hanya melaporkan saja karena saya tidak enak pada anda," ucapnya gugup. Ia berusaha menutupi rasa malunya didepan Austin. Deisy ingin agar terlihat baik didepan lelaki itu. Apalagi sekarang statusnya adalah karyawan di perusahaan milik lelaki itu."K. .. kalau begitu saya keluar dulu," tambahnya lagi. Austin mengangguk cuek. Matanya sesekali mencuri-curi pandang ke Ainsley yang kini duduk santai di sofa miliknya.Sebelum mencapai pintu keluar, mata Deisy menatap sengit ke Ainsley. Apalagi melihat ekspresi kemenangan adik tirinya itu. Lihat saja nanti di rumah, ia tidak akan membiarkan Ainsley hidup tenang."Sepertinya kau dan kakak tirimu tidak dekat, tapi aku akui keberaniannya berbohong dengan memakai namamu," pandangan Ainsley berpindah ke Austin yang entah kapan telah duduk di sebelahnya. Gadis itu berpikir sebentar, kemudian membulatkan matanya setelah mengerti apa maksud ucapan pria itu."Kau jelas tahu bukan aku yang merencanakan ide itu tapi masih berakting di depanku?" Seru Ainsley tidak terima. Ia merasa kesal. Waktunya yang berharga malah terbuang sia-sia. Padahal hari ini dia ada wawancara kerja."Kau harus tahu kalau aku tipe yang senang bermain-main dengan milikku," balas Austin santai. Ainsley makin tidak senang mendengar perkataan lelaki itu. Mainan? Pria itu menganggapnya sebagai mainan? Huh!"Aku tidak sudi jadi milikmu. Sebaiknya kau cari saja wanita yang rela memberi diri mereka untukmu. Bukannya banyak? Mereka pasti bisa memuaskanmu," Ainsley menatap lelaki disebelahnya itu dengan berani. Ia bisa melihat seringaian diwajah tampan Austin."Kau pikir aku akan mati-matian menikahimu kalau sudah menemukan wanita yang bisa membuatku puas?" gumam Austin didepan wajah Ainsley. Karena jarak mereka terlalu dekat, Ainsley mundur namun sih Austin sialan ini malah terus mencondongkan badannya kedepan hingga membuatnya merasa sedikit gugup.Walau ia tidak suka pada pria itu, Ainsley tidak bisa menampik wajah tampan itu kalau lama-lama ia lihat bisa membuatnya terlena juga. Tidak, tidak. Ia harus cepat-cepat pergi dari sini. Tapi bagaimana ia pergi kalau Austin terus mengukungnya begini?"A ...Austin," tanpa sadar tangannya terangkat menyentuh dada bidang Austin. Meski bermaksud mendorong pria itu menjauh darinya, ia malah membuat pria itu semakin ingin menggodanya."Kenapa, hm?" gumam Austin di telinga Ainsley. Tak lupa memberikan kecupan ringan di daun telinganya. Semakin hari Austin makin berani. Ia bahkan sudah tidak tahan lagi bagaimana rasanya berhubungan yang lebih jauh lagi dengan gadis itu, namun ia tidak mau dirinya makin terlihat buruk di mata Ainsley jika memaksa gadis itu tanpa ikatan pernikahan, karena itu ia mati-matian menahan gairahnya tiap kali gadis itu berada didekatnya."Aku harus pergi," ujar Ainsley dengan ekspresi serius."Ke kampus?" Austin bertanya."Mm." Ainsley mengiyakan. Tidak penting juga mengatakan yang sebenarnya pada pria itu."Ya sudah. Kau bisa pergi sekarang. Ingat, kau tidak pernah bisa kabur dariku. Kau mengerti kan?" Ainsley memutar bola matanya malas. Tahunya mengancam saja."Aku sudah tahu," balasnya ketus. Austin lalu berdiri balik ke meja kerjanya setelah mendaratkan ciuman ringan di bibir gadis itu. Ainsley yang kaget hanya bisa pasrah. Ia tidak bisa melaporkan tindakan semena-mena Austin, karena status mereka sangat jelas di atas surat perjanjian yang di bacanya seminggu yang lalu.Meeting dadakan yang diadakan Austin siang ini sudah usai. Beberapa karyawan telah keluar dari ruangan Austin, sedang Narrel duduk diam di ujung sofa, mengamati Austin yang masih sibuk mempelajari berkas-berkas di tangannya.Austin bukanlah lelaki yang bisa membaur, lelaki ini penyendiri, dan wataknya yang terkenal keras itu membuat orang-orang segan mendekatinya. Narrel sudah mengenalnya sejak lama, namun yang kebanyakan mereka bicarakan semuanya tentang bisnis. Austin jarang sekali berbicara tentang wanita yang disukainya atau hal lain di luar bisnis.Dan apabila menyangkut bisnis, Austin sangat kooperatif. Kerjasama mereka dengan perusahaan-perusahaan lain telah membuahkan banyak keuntungan bagi perusahaan mereka.Sesaat Narrel ragu untuk bertanya, namun ia benar-benar ingin tahu perasaan Austin sebenarnya terhadap gadis yang ingin dinikahinya. Ia tahu pernikahan itu bukanlah masalah kecil dan bukan main-main. Butuh perasaan saling suka di antara pasangan yang mau menikah. Namun Na
"Auww, pelan-pelan!" Pekik Ainsley meringis kesakitan, sesekali ia menatap tidak senang pada Austin yang kini sibuk mengobati luka kecil dan beberapa memar di tangan dan wajahnya.Tidak butuh waktu lama bagi pria berkuasa seperti Austin untuk membawanya pergi dari kantor polisi. Dara yang bersamanya tadi sudah pulang pakai taksi, hanya Ainsley seorang yang sekarang berada dalam mobil Austin.Ainsley yakin lelaki itu pasti sengaja mengobatinya dengan kasar. Apalagi Austin terus-terusan mengomelinya sejak keluar dari kantor polisi tadi. Lihat wajahnya sekarang. Seperti mau memakannya hidup-hidup saja.Austin terus menatap lekat gadis didepannya itu setelah selesai mengoleskan salep di beberapa bagian tubuhnya yang lebam. Sekarang ini mereka sedang berada di jalan dekat apotik."Kenapa berkelahi?" tanya Austin menuntut penjelasan.Ainsley menarik nafas jengah. Ia tidak suka menjelaskan karena menurutnya tidak penting. Lagipula ini masalah pribadinya. Menurutnya lelaki disampingnya ini ti
Besoknya di kampus,"Gimana, gimana? Jadi Austin Hugo datang sendiri ke penjara demi Ainsley?" tanya Mira antusias. Mereka kini berkumpul di kantin kampus itu dan mendengar cerita Dara yang membangkitkan rasa ketertarikan mereka untuk bergosip.Ketiga gadis itu tidak peduli sama sekali walau ada Ainsley disitu. Gadis yang tengah mereka gosipkan sekarang ini bersama Austin Hugo, sih pengusaha kejam namun tampan didepan mereka itu.Ainsley menatap jengah ketiga sahabatnya yang kini sibuk sendiri. Ya ampun, kenapa dirinya bisa bergaul dengan para gadis tukang gosip itu sih. Ia masih tidak habis pikir sampai sekarang kenapa bisa tergabung dalam kelompok itu."Kalian tahu, semalam itu kedatangan Austin sukses membuat semua gadis yang berselisih dengan kami terkagum-kagum. Aku senang sekali melihat tampang mereka yang iri berat pada Ainsley," cerita Dara. Ia sendiri saja yang teman Ainsley merasa iri. Apalagi setelah itu Austin dan Ainsley pergi berdua. Lebih tepat Austin yang membawa Ainsl
Selesai bicara dengan orangtuanya Ainsley masuk ke kamar. Gadis itu terus berjalan mondar-mandir seperti cacing kepanasan sambil meremas ponselnya kuat-kuat. Aduh bagaimana ini. Ia ingin menelpon Austin tapi ia takut pria itu akan besar kepala kalau dia menelpon lebih dulu dan meminta bertemu.Disisi lain, memang ia perlu bicara dengan Austin untuk meminta bantuan. Bagaimana ini? Ia malu dan merasa berat hati harus meminta bantuan lelaki itu namun tidak ada nama lain yang terpikir di otaknya.Para sahabatnya mana ada uang sebanyak itu. Ayolah, satu milyar saja ia yakin sekali mereka tidak ada. Kalau ada sudah dari lama Ainsley meminjam uang pada sahabat-sahabatnya dan diberikan ke Austin untuk memutuskan perjodohan mereka.Ainsley menghentikan gerakan mondar mandirnya, dan mengangguk kuat. Tekadnya sudah bulat. Ia harus segera menelpon Austin sekarang juga. Lalu diangkatnya ponselnya dan mencari nomor Austin di daftar panggilan.Austin yang tengah sibuk berkutat dengan berkas-berkas
Ainsley melahap makanannya dengan gembira. Ternyata makanan di restoran ini sangat enak. Tekstur dagingnya sangat empuk dan Ainsley suka."Kau tidak makan?" tanya Ainsley mendongak ke Austin yang malah menatapnya sambil menopang dagu."Aku sudah kenyang hanya dengan menatap wajahmu," lagi. Untuk yang kesekian kalinya Ainsley membiasakan dirinya mendengar kata-kata manis Austin yang menurutnya tidak benar-benar dari hati itu. Siapa yang tahu coba kalau lelaki itu sebenarnya adalah playboy yang sangat hebat merayu wanita. Sayangnya tidak mempan untuk Ainsley. Gadis itu memilih menghabiskan makanannya dulu sebelum ke pembicaraan utama mereka."Jadi, apa alasanmu menemuiku?" tanya Austin. Ia sungguh ingin tahu. Ainsley cepat-cepat menelan makanan terakhir di mulutnya lalu menatap lelaki itu dengan raut wajah serius. Sebenarnya ia malu sekali meminta bantuan dari pria yang terus-terusan ditolaknya dan ingin ia hindari itu. Tapi mau bagaimana lagi. Pikirannya sudah buntu dan hanya Austin mu
Ainsley menatap penampilannya di kaca. Dua minggu sudah lewat semenjak Austin datang ke rumahnya dan melamar didepan orangtuanya.Kini hari itu tiba. Kesepakatan waktu dimana dirinya akan menikahi lelaki itu. Gadis itu menatap malas dirinya yang kini sudah lengkap dengan gaun pengantin. Ia masih berat menikah dengan pria yang tidak ia cintai.Tapi mau bagaimana lagi, uang sepuluh milyar sudah keluar dari kantong lelaki itu. Demi pengobatan papanya tentu saja.Mulai hari ini Ainsley harus rela menjadi istri Austin, CEO kejam, suka berbuat semaunya, mesum dan entah apalagi itu. Ia kembali menatap dirinya di cermin. Ternyata dia cantik juga kalau sudah di poles make up begini."Ainsley, kau sudah siap? Ayo keluar. Pengantin prianya sudah datang." Dara, muncul dari balik pintu dengan gaun berwarna jingga. Gaun yang sengaja di pilihkan mama tirinya buat para sahabatnya yang akan menjadi pengiring hari ini.Mungkin hanya Austin, papa, mama dan ketiga sahabatnya itu yang sangat senang dengan
Karena tidak tahan lagi dan sudah merasa kecapean, Ainsley pamit pergi duluan kepada kedua orang tuanya sesaat setelah para sahabatnya pergi. Lagipula kamar pengantin hanya di hotel itu. Ia tidak perlu bilang ke Austin karena ia melihat lelaki itu sibuk berbincang-bincang dengan beberapa tamunya. Ainsley tidak mau mengganggu. Apalagi ia tahu Austin pasti tidak akan membiarkannya pergi lebih dulu. Jadi lebih baik menggunakan kesempatan di saat pria itu sedang sibuk.Ainsley memasuki kamar pengantin dan langsung berganti pakaian dengan gaun tidur warna putihmiliknya. Ia lalu duduk dengan ragu di atas ranjang. Dalam hati ia berpikir untuk mengunci kamar biar Austin tidak bisa masuk atau tidak. Tapi...Austin pasti akan marah besar kalau sampai dia melakukannya. Namun ia juga takut. Bagaimana kalau pria itu langsung meminta jatah malam pertama padanya. Ainsley belum siap. Ia takut."Atau aku kunci saja pintunya?" ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Ia masih berpikir ragu-ragu. Telunjukn
Pagi-pagi sekali Austin dan Ainsley sudah berada di bandara Soekarno Hatta. Papa dan mama Ainsley akan berangkat ke Singapura hari ini. Tentu saja sebagai anak Ainsley ingin ikut mengantar kepergian sang papa.Sebenarnya Ainsley sudah menolak dengan halus saat Austin mau mengantarnya. Dengan alasan sebagai bos perusahaan besar lelaki itu pasti sibuk. Sayangnya Austin bersikeras mau mengantarnya. Kalau masalah pekerjaan katanya gampang. Bisa dia atur. Hasilnya, Ainsley tidak bisa menolak alasan pria yang mau ikut bersamanya itu."Mereka sudah datang."papa Ainsley yang tengah berdiri di sebelah Deisy mengalihkan pandangannya ke putri kandungnya yang datang bersama menantunya. Deisy ikut menatap mereka.Pandangan Deisy bertemu dengan Ainsley. Dari kemarin ia sedang tidak ingin melihat gadis itu. Karena ia masih tidak terima Ainsley menikah dengan Austin. Sekarang status gadis itu berubah. Dan ia punya suami dengan latar belakang yang kuat seperti Austin, yang membuat banyak perempuan iri