Share

Passed By You!!!
Passed By You!!!
Author: Sheillya Pradina

Chapter 1 | The Beginning

Chapter 1. The Beginning.

Mempunyai ibu dan saudara tiri adalah yang menyebalkan. Seperti Cinderella yang selalu menjadi nomor dua. Namun aku bukanlah Cinderella yang selalu ingin ditindas. Bahkan, boleh dibilang kalau dirikulah yang menjadi pembangkang disini.

“Amanda, pakaian yang udah dicuci aku letakin di sini yah.”

Dia adalah saudara tiriku yang bernama Devina, sudah tugasnya mencuci dan melipat semua pakaianku. Mungkin kalian berpikir aku adalah orang yang jahat. Tapi, Devina dan ibunya yang bernama Nayah hanyalah orang-orang yang baik karena sebuah harta. Ya, mereka adalah orang yang munafik.

“Kamu mau keluar?” Dia bertanya.

Aku mengangguk. “Hm...,” jawabku seraya memoles liptint di bibirku.

“Mau kemana? Sekarang udah jam 8 malam, kamu udah diizinin sama ayah?”

“Mau ke party-nya Rama. Gue gak perlu izin dari siapapun.” Aku kemudian mengambil catokan. Devina masih saja memandangku dengan penuh tanya. Wajahnya begitu menyebalkan.

“Apa lo liat-liat gue? Syirik lo karena gak diundang? Lagian siapa sih yang mau bergaul sama anak pelakor.”

Devina tidak menjawab tapi dapat kulihat dari raut wajahnya, ia seperti menahan amarah. Devina kemudian pergi begitu saja meninggalkan kamarku.

Setelah selesai bersiap-siap, aku kemudian turun. Terlihat semua orang sedang berkumpul di ruang tengah. Ayah yang melihatku terus memanggil-manggilku seraya bertanya kepadaku. Tapi, aku mengabaikannya.

“Aku pergi..” pamitku yang acuh tak acuh.

Akupun segera keluar karena kekasihku sudah menunggu. Dia bernama Rafael, pria yang cukup famous di sekolahku. Kami berpacaran sejak kelas satu SMA hingga sekarang, kelas tiga SMA.

“Yuk jalan,” kataku.

Okay babe.”

Akupun sampai di kelab malam tempat Rama mengadakan pesta ulang tahunnya. Sebenarnya aku malas datang di tempat seperti ini. Tapi, Rama adalah sahabat Rafael  sehingga mau tidak mau aku harus menemani Rafael datang ke sini.

Kamipun menuju ruangan VIP yang sudah dipesan oleh Rama. Kulihat Rama menawarkan minuman ke Rafael.

“Ini alkohol, Raf.” Aku menahan Rafael agar tidak meminum minuman haram itu.

“Ya elah, Amanda.. Amanda, biarin Rafael minum dong kan segelas doang,” ujar Rama.

“Gapapa kok, segelas doang.” Rafael meyakinkanku. Aku akhirnya membiarkannya dia meminum minuman alkohol itu.

Begitu Rafael menghabiskan gelas pertama, semua teman-temannya bersorak. Bahkan, Rafael tidak hanya minum satu gelas. Akupun berusaha menahannya tapi sepertinya dia tidak mendengarku.

“Amanda.. lo coba juga deh, enak kok. Segelas aja.” Bahkan kini Rama menawariku juga minum. Semua teman-teman Rafael bersorak agar aku pun ikut minum.

“Minum yah, coba segelas aja dulu.” Rafael memberikanku satu gelas yang berisi bir.

Aku pun dengan terpaksa meminumnya. Rasanya seperti tenggorokanku terbakar, namun tidak berhenti sampai disitu. Aku terus disodori minuman dan tanpa sadar aku mulai menikmatinya.

Hingga aku dan Rafael sudah merasa sedikit mabuk. Kudengar Rama berkata kepada Rafael kalau ada kamar hotel di sebelah kelab ini yang bisa dipakai untuk bersitirahat sementara.

Begitu sampai di kamar hotel, aku dan Rafael langsung jatuh ke kasur. Kami berdua seperti begitu mabuk tapi masih dalam keadaan yang sadar. Aku pun mulai membuka cardiganku karena merasa gerah. Sementara Rafael yang tadi baring kini bangun dan memelukku dari belakang.

“Raf, apaan sih.” Aku protes karena kurasa ia sedang mencium bagian pundak dan leherku. Aku lalu berbalik menghadapnya.

“Amanda… kamu cinta sama aku kan?” tanyanya dengan serak.

“Tentu,” jawabku. “Memangnya kenapa?”

Rafael tersenyum, dia kemudian memegang tengkuk wajahku menarikku mendekat. Ujung hidung kami mulai bersentuhan, kurasa nafas beratnya yang masih sangat jelas beraroma alkohol.

 “Karena aku mau kamu sekarang, sayang.” Rafael berkata kemudian menarikku dan menempalkan bibirnya dengan bibirku. Awalnya aku hanya diam, tapi kurasa sesuatu mulai menerobos. Dia kemudian mengigit ujung bibirku, sehingga dia mempunya akses lebih. Dia melumat dan mengisap lidahku bagaikan permen.

Aku yang terbawa suasana, menikmatinya dengan mengeluarkan desahan. Rafael kemudian berpindah ke leherku. Memberi tanda kissmark, aku kembali mendesah tak karuan. Tubuhku semakin terasa panas.

Rafael membuka dressku, sehingga menyisahkan diriku yang hanya mengenakan bra. Dia juga mulai membuka kemeja nya, sehingga terlihat jelas tubuh shirtlessnya. Rafael kembali menciumku dengan rakus hingga aku jatuh terbaring di kasur dengan posisi dia menindihku.

Tangannya mulai menelusup untuk membuka pengait braku. 

“Ahhh…” Suaraku kembali mendesah. Kuharap ruangan ini kedap suara.

 Rafael membuka pakaian bawahku hingga sekarang terlihat jelas tubuhku tanpa sehelai benang yang menutupinya. Rafael kemudian, juga membuka celana jeans dan boxer-nya.

Posisinya kembali menindihku. Dia menatapku dengan lekat. “Ini mungkin akan sakit, but I still want you. So, don’t say stop to me.”

Aku hanya diam. Tapi, kemudian di bawah sana kurasa ada sesuatu menerobos masuk dalam diriku. Aku merasa perih tapi, dia tetap melakukannya. Dia memberikanku sebuah ciuman untuk meredah rasa sakit.

“Ahhhh…”     

Aku mulai mendesah merasakannya begitupun Rafael. Suara kami sepertinya terpenuhi di setiap sudut ruangan ini. Kami seperti melupakan dunia kami dan begitu menikmati malam ini.

***

Kubuka mataku dengan samar-samar, aku melihat cahaya yang masuk. Kepalaku terasa sedikit sakit. Wait, aku sepertinya berada di ruang yang asing. Ini bukan kamarku, aku lalu melihat ke samping. Ada Rafael yang duduk dan hanya mengenakan bawahan saja. Aku kemudian melihat diriku yang hanya terbungkus selimut tanpa sehelai benang di baliknya.

“Raf..” panggilku. Jujur, aku terkejut dengan keadaanku sekarang. Tapi, aku berusaha bersikap senetral mungkin.

Rafael kemudian berbalik. “Ka—Kamu udah bangun?”

Aku menangguk lalu kemudian beranjak dari posisi tidurku. “Arghh,” ringisku ketika merasa terasa nyeri di bagian selangkanganku. Aku langsung melihat di balik selimut dan ada bercak darah. Wajahku memucat. Aku mulai sadar sepenuhnya, kalau semalam kami sudah melakukan hal itu.

Air mataku tanpa kusadari mulai jatuh. Aku merasa takut, cemas, dan khawatir. Semua bercampur menjadi satu.

“Amanda..” lirihnya seraya berjalan ke arahku. “Semua akan baik-baik aja kok, kamu juga bakalan baik-baik aja. Lupain aja semua kejadian tadi malam. Maafin aku yah, kamu jangan nangis.” Rafael berusaha meyakinkanku tapi terlihat jelas wajahnya juga menunjukkan kecemasan.

“Bagaimana kalau aku—“

“Tidak, kamu gak akan hamil, aku akan pastiin itu.”

“Aku takut.”

Rafael kemudian mendekapku. ”Jangan takut, ada aku. Semua bakalan baik-baik aja.”

“Kamu janji?”

“Janji.”

***

Sekarang aku sudah berada di rumah, Rafael mengantarku pulang. Di perjalanan tadi, kami tidak saling bicara. Kulihat Rafael mengirimi aku pesan singkat untuk meminum pil pencegah kehamilan. Apa maksudnya pil KB? Tapi, dimana aku mendapatkannya?

Aku mencoba untuk meminta kepada Rafael untuk membelikanku, tapi dia langsung menolak dengan alasan, tidak mungkin kalau seorang pria membeli pil itu. Apa sekarang dia ingin lepas tangan?

Sudah tiga minggu berlalu malam itu, hari-hari kulewati begitu saja dan begitu berat. Aku tidak jadi minum obat pil pencegah itu karena setiap kali mencarinya ke apotek, aku selalu dihantui pertanyaan-pertanyaan. Seperti, ‘sudah menikah?’ ‘alasan menunda kehamilan?’ ‘Suaminya mana?’ dan terakhir kerap kali juga aku ditanyai usia hingga KTPku diminta.

Sekarang, aku merasa sepertinya Rafael menghindariku. Sudah tiga minggu juga kami tidak berangkat bersama. Alasannya sangat banyak mulai antar ibunya hingga alasan tidak logis. Di sekolahpun Rafael terlihat menjauhiku.

Dan hari ini adalah hari terakhir ujianku. Selama tiga minggu ini, aku belum merasakan apa-apa. Hanya saja, nafsu makanku sepertinya berkurang dan sekarang kepalaku terasa sakit. Alika yang merupakan sahabatku, sedari tadi bertanya tentang keadaanku.

“Lo baik-baik aja kan?”

Aku mengangguk tapi seperkian detik kemudian aku beranjak berlari menuju toilet. Tiba-tiba saja, perutku terasa mules dan merasa mual. Aku segera mencari bidik toilet yang kosong untuk mengeluarkan rasa mualku.

“Manda, lo gapapa kan?” Kudengar Alika dari luar mengetuk pintu dan bertanya. Akupun segera keluar begitu merasa sudah mendingan.

“Gue baik-baik aja, mungkin lagi masuk angin,” kataku.

“Ini tas lo.”

“Makasih yah.”

Dalam pikiranku aku mencurigai satu hal pada kondisiku saat ini. Akupun memutuskan untuk mengecek apakah dugaanku memang benar.

“Ka, gue pulang duluan yah.” Belum sempat Alika menjawab, akupun langsung pergi meninggalkannya.

***

Aku berjalan dengan ragu menuju sebuah apotek. Tujuanku adalah untuk membeli testpack. Semoga saja, penjaga apotik tidak menanyakan aneh-aneh terhadapku.

“Mba, saya mau beli testpack.”

Terlihat wanita itu memandangiku dari atas sampai bawah. Sial, aku lupa kalau aku masih mengenakan seragam sekolah.

“Eh—testpacknya untuk kakak saya, tadi dia nitip ke saya untuk dibeliin.” Aku langsung beralasan, semoga saja dia mempercayai kebohonganku.

“Tunggu sebentar!” ucapnya lalu beralih mengambilkan testpack kepadaku. Aku kemudian, membayarnya dengan segera dan pergi meninggalkan apotek itu.

Sesampaiku di rumah, aku begitu terburu-buru masuk ke kamarku. Aku sangat ingin mengetahui apakah yang kutakutkan benar terjadi.

Setelah melakukan test, kulihat hasilnya bergambar garis dua. Aku menangis sesegukkan. Ini seperti mimpi buruk bagiku. Aku lalu bergegas memesan taksi online menuju rumah Rafael. Rafael harus tahu ini dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

~~oo~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status