Kini aku sudah berada di rumah Rafael. Rumahnya tampak sepi mungkin orang tuanya masih bekerja. Sementara itu, aku harus menunggu karena kata pembantunya, Rafael sedang mandi.
“Amanda…” Terlihat Rafael menghampiriku. “Ada apa?”
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Raut wajah Rafael tiba-tiba saja berubah, dia kemudian duduk di hadapanku.
“Apa?” tanyanya.
Aku kemudian mengeluarkan hasil testpackku dan menunjukkannya.
“Apa maksudnya ini?” Dia bertanya dengan wajahnya yang tegang.
“Aku hamil,” jawabku sambil menunduk. “Kamu tanggung jawab yah.”
Rafael mengusap rambutnya. “Tanggung jawab apa, Amanda? Gak mungkin kamu hamil. Kita hanya lakuin itu sekali. Lagian aku kan udah nyuruh kamu buat minum pil.”
Aku benar-benar terkejut melihat reaksi Rafael. Aku tidak menyangka dia akan meresponnya dengan seperti ini.
“Gimana aku mau minum pil kalau belinya aja susah. Raf, kamu harus tanggung jawab. Ini kan anak kamu, anak kita berdua.”
“Jadi kamu gak minum pil itu? Harusnya kamu minum!! Aku gak bisa tanggung jawab, lagian ini salahmu karena tidak mendengarku.”
Aku menatap Rafael tidak percaya. Dia menyalahkanku atas semua kejadian ini, dia menolak untuk bertanggung jawab. “Salahku? Gila yah kamu! Raf, disini yang dirugiin aku. Aku yang nantinya perutnya akan membesar. Kamu harus tanggung jawab, Raf.”
“Tanggung jawab seperti apa? Nikah sama kamu di usia belia. Kita masih muda, perjalanan aku dan kamu masih panjang. Gak mungkin aku harus nikah sama kamu sekarang. Aku mau mending gugurin bayi itu sekarang sebelum terlambat.”
“Gugurin kamu bilang? Semudah itu, kamu bilang untuk gugurin? Raf, sadar!! Biar bagaimana pun juga, dalam kandunganku ini adalah anakmu.”
“Itu aib untuk kita berdua, aku malu, dengarin apa yang aku katakan. Mending gugurin sek—”
Plakk
Aku langsung menamparnya, dia seperti bukan Rafael yang kukenal.
“Kamu malu? Terus gimana sama aku? Apa kamu tidak tahu bahayanya aborsi itu dan juga itu illegal. Kamu mau aku ngebunuh anak yang bahkan belum lahir di dunia ini. Gila yah kamu!!”
“Tapi itu aib dan aku gak mungkin—“
“Kalau kamu gak mau, ya sudah biar aku aja. Tapi, jangan pernah kamu nyesal sama apa yang kamu lakuin hari ini dan juga, aku mau mulai detik ini mending kita putus aja.”
Terlihat wajah Rafael terkejut dengan apa yang kubilang. “Kamu mau putus? Kamu jangan bawah hubungan kita dong sama masalah ini! Aku gak mau putus! Please Amanda kamu jangan egois. Gugurin bayi itu dan kita mulai lagi dari awal sama-sama.”
“Egois kamu bilang? Kamu bilang aku yang egois? Tidak Raf, disini kamu yang egois.”
Aku kemudian pergi dari rumahnya. Aku sudah tidak tahan, mendengar setiap kata yang ia ucapkan. Kenapa dia sangat egois? Bahkan, dia tidak menanyakan keadaanku sedikitpun.
***
Sudah satu bulan berlalu, akupun menceritakan keadaanku kepada Alika. Awalnya dia menyuruhku untuk bercerita kepada ayahku agar mendapat pertanggung jawaban. Tapi, hubunganku dengan keluarga ini sangat kacau. Langkah terakhir yang aku punya adalah menghubungi ibuku dan kini aku melakukannya.
“Hallo?” Aku mendengar suaranya. Suara ibuku yang sangat kurindukan.
“Ibu..” lirihku di baliku telepon.
“Amanda sayang, ini kamu sayang. Sayang apa kabar?”
“Aku merindukan ibu.”
“Aku juga sangat merindukanmu, sayangku.”
“Ibu, kenapa tidak pernah menghubungiku? Apa Ibu sudah lupa sama aku karena mempunyai keluarga baru??”
“Astaga.. tidak sayang, Hp ibu hilang. Sehingga, ibu Hp baru. Untungnya Ibu berhasil mengurus nomor lama ini. Aku selalu menunggu telpon mu sayang.”
“Ibu, aku ingin ketemu sama ibu, aku ingin tinggal sama ibu. Aku sudah tidak tahan—“ Tanpa kusadari aku mulai menangis bahkan aku mulai sesegukkan.
“Sayang, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan? Apa kamu tidak nyaman di sana?”
“Aku hanya lelah, aku ingin ibu—“
“Kamu ingin tinggal sama ibu, sayang? Ibu akan menjemputmu, jika kau mau.”
“Emang boleh bu?”
“Tentu sayang, sangat boleh.”
“Ibu sebenarnya, aku—aku dalam keadaan terpuruk dan juga..”
“Kenapa, sayang?”
“Aku hamil, bu. Aku tau aku salah dan aku gak tahu harus bagaimana lagi. Dia tidak ingin bertanggung jawab.“
“…” Kudengar dibalik sana hening. Mungkin, ibu terkejut dengan pengakuan secara tiba-tiba ini.
“Ibu?”
“Apa ayahmu mengetahuinya?”
“Jangan, kumohon jangan. Aku tidak bisa berurusan lagi dengan dia bu, aku udah gak tahan tinggal di sini.”
“Tenang sayang, ibu akan menjemputmu. Ibu juga akan bicara sama ayahmu, biar bagaimanapun dia harus tau sayang.”
“Ibu—“
“Ibu janji semua akan baik-baik aja.”
“Aku cinta sama Ibu.”
“I love you more, honey.”
Setelah menumpahkan semua isi hatiku kepada ibu rasanya sangat lega. Kami berbicara selama satu jam, dia bahkan mendengar semua curhatanku. Ibu bahkan menyakiniku untuk tidak usah khawatir dan dia akan menjemputku secepatnya untuk tinggal bersamanya di New York.
Kudengar juga tentang suami baru Ibu, dia seorang duda. Istrinya meninggal karena kecelakaan. Ibu juga memberitahuku dia punya seorang anak laki-laki yang usinya tujuh tahun di atasku dan dia baru saja menikah.
***
Hari ini aku harus ke sekolah untuk mengurus semua berkas-berkas kelulusanku. Tapi anehnya saat aku berjalan di koridor sekolah, banyak mata yang melihatku. Seperti, ada yang salah dengan diriku padahal kurasa penampilanku terlihat biasa-biasa saja.
“Manda..” Alika terlihat ngos-ngosan di depanku.
“Kenapa? Ngapain lari-lari, kaya habis dikejar anjing.”
Dia menarik nafas berat. “Lo liat timeline lambe sekolah deh.” Dia lalu mendekat dan berbisik, “berita tentang kehamilan lo sama Rafael kesebar.”
Aku terkejut mengetahui hal itu. Siapa yang berani menyebarluaskan hal ini. Tidak mungkin Alika yang melakukannya. Dia bahkan begitu terkejut, aku sudah mengenal Alika dari SMP dan dia bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain apa lagi sampai membuka aib orang.
Di sisi lain, terlihat Rafael dari arah kantin menuju ke arahku. Sementara, Devina yanng entah dari mana asalnya tiba-tiba ada di sampingku dan berkata, “Amanda, emang itu semua benar. Kamu hamil anaknya kak Rafael yah?”
“Urusan lo apa, tanya-tanya?” bentakku kepadanya.
“Nggak, itu semua gak benar. Anak yang dikandung Amanda, bukan anakku. Gue gak tahu itu anak siapa.” Rafael berkata demikian menutupi kesalahannya dan melimpahkan semuanya kepadaku.
“Lo gila yah!” bentak Alika kepada Rafael.
Akupun keluar dari kerumunan orang-orang yang melihat kami. Ini membuatku sesak dan pusing. Sampai akhirnya aku merasa penglihatanku semakin rabun dan setelah itu aku sudah tidak melihat apa-apa lagi.
***
Aku mulai membuka mataku, begitu aku sadar ternyata aku sudah berada di kamarku.
“Kamu udah sadar? Kamu ditunggu di ruang tengah. Udah ada orang tuanya kak Rafael juga,” kata Devina.
Akupun terkejut mendengar hal itu. “Ngapain mereka kesini?”
“Bahas masalah kalian. Aku ke bawah duluan yah, kamu nyusul yah. Soalnya udah ditunggu dari tadi.” Devinapun segera turun. Tidak lama kemudian aku pun menyusul dan di ruang tengah terlihat Rafael bersama kedua orang tuanya.
“Kamu udah sadar?” tanya ayah kepadaku. “Sini duduk samping ayah.”
“Amanda, aku dan ayahmu sudah bicara. Kalau kami akan tanggung jawab, biar bagaimanapun anak itu tetaplah anak Rafael juga kan?” kata ayah Rafael.
Aku sangat senang mendengar hal itu. “Tanggung jawab? Serius Om? Jadi kapan kami akan nikah?”
“Aku tidak bilang kalian akan menikah.”
Aku pusing dengan maksud ayah Rafael. “Maksudnya? Kami tidak akan menikah?”
“Betul Amanda, kalian tidak mungkin menikah. Rafael masih harus melanjutkan pendidikannya dan kalian masih sangat muda. Aku dan ayahmu sudah sepakat kalau kalian tidak akan menikah tapi segala kebutuhan anak itu akan kami tanggung dan juga bisnis serta proyek ayahmu akan kami bantu dengan suntikan dana sesuai kebutuhannya. Dengan persyaratan, anak yang kamu kandung, tidak boleh tercium oleh media dan publik kalau itu adalah anaknya Rafael.”
“Kalian adalah orang gila yang hanya peduli tentang uang,” kataku.
“Amanda jaga sopan santunmu!” tegur ayah.
“Amanda, kamu harus mengerti kalau ini adalah jalan terbaik untuk kita semua,” kata Nayah—ibu tiriku.
“Jalan terbaik untuk kita semua? Kalian semua hanya orang gila harta! Ini menguntungkan untuk lo karena lo hanya takut miskin!” tunjukku kepada Nayah. “Dan kalian hanya ingin Rafael diuntungkan dalam hal ini.”
“Kalian gak usah tanggung jawab, aku bisa kok urus anak ini sendiri tanpa campur tangan kalian. Tapi ingat Raf, jangan pernah menyesal dan jangan pernah lo minta anak ini! Mulai sekarang gue gak mau liat muka sialan lo lagi!” sambungku.
“Amanda!!” bentak ayah.
“Apa? Ayah ingin harga dirinya dihargai dengan uang! Dasar menjijikkan.”
Plakk.
“Berani sekali kau menampar anakku!” Seraya aku mengusap pipiku yang ditampar ayah, aku mendengar suara dari arah pintu yang berteriak, itu suara ibuku.
“Ibu..” lirihku dan berlari memeluknya.
“Sayang, kamu gak apa-apa kan sayang?” tanya ibu kepadaku. Aku hanya mengangguk. Ibu lalu melangkah mendekat ke arah orang tua Rafael.
“Kalian sangat tidak bermoral, ini yang kalian ajarkan kepada anak kalian. Menjadi tidak bertanggung jawab?” hardik ibuku kepada kedua orang tua Rafael.
“Erin, kamu tidak tahu apa-apa. Orang tua Rafael mencoba untuk tanggung jawab kepada Amanda,” kata Nayah.
“Yah, aku tadi sempat mendengarnya. Bertanggung jawab dengan uang? Aku tidak akan membiarkan harga diri anakku begitu jatuh. Dia tidak seperti kamu yang hanya mentingin uang.”
“Apa-apaan kamu, baru datang dan tiba-tiba ikut campur?” terlihat ayah terlihat kesal kepada ibu.
“Bagaimana aku tidak ikut campur, Amanda adalah anakku!” Ibu merangkulku dan dia kembali menatap sinis Rafael. “Kalian sebaiknya pergi, Amanda tidak butuh pertanggung jawaban dari orang yang seperti kalian!”
“Erin, kamu tidak berhak mengusir tamuku! Ini rumahku!” bentak ayah.
“Biarkan kami pergi saja! Pak Bara bisa menelpon saya kalau kalian berubah pikiran,” ujar ayah Rafael. Mereka lalu akhirnya pulang.
“Buat apa kamu ke sini?” tanya ayah kepada ibu.
“Tentu menjemput putriku, Amanda bereskan barang-barangmu.”
Aku mengangguk, kemudian langsung beranjak menuju kamarku untuk segera mengkemas pakaianku.
~~oo~~
Kini aku berada di New York. Sudah empat tahun aku menjalani kehidupanku. Mengenai anakku, dia diadopsi sementara oleh Gavin, kakakku yang merupakan anak dari paman James—suami ibu. Gavin mempunyai istri bernama Natalie. Kami sangat akrab satu sama lain, aku beruntung keluarga ibu di Amerika sangat menerima keadaanku. Sementara aku saat ini harus fokus kuliah terlebih dahulu. Tapi, meskipun begitu aku dan anakku yang bernama Alex sering menghabiskan waktu bersama.Siang ini aku memulai semester baru. Tapi, sebelum itu aku harus membeli sebuah buku terlebih dahulu untuk kelas hari ini. Akupun ke toko buku terdekat untuk mencari buku. Baru saja ingin mengambil sebuah buku yang kuinginkan. Terlihat juga seorang pria secara bersamaan mengambil buku tersebut.“Maaf, bisakah anda mengalah? Ini sangat penting untukku,” ucapku.“Mengalah? Kalau tidak salah tangan saya seperkian detik dari pada tanganmu dan ini juga penting untukku.”
"Baik, cukup sampai di sini saja materi yang saya jelaskan." Setelah menyelesaikan materi pengantar yang dijelaskannya, Dareen lalu keluar dari kelas. Kemudian, kurasa ponselku bergetar. Aku lalu melihatnya, rupanya ada pesan singkat dari Dareen. "Keruangan saya sekarang juga!"Aku heran kenapa dia mengirim pesan singkat, kenapa tidak dari tadi saja bilangnya ketika menutup kelasnya. Dasar dosen aneh! "Permisi, Mr.Ivander," ujarku seraya mengetuk pintunya yang setengah terbuka. "Masuklah." "Ada apa, Mr.Ivander memanggil saya?" "Apa kau lupa untuk membantuku menyusun data mahasiswa?" "Ah tentu tidak, aku pikir Mr.
"Kita jadinya nonton apa?" tanya Gavin. Kini kami sedang berada di bioskop, berhubung malam minggu maka kami sekeluarga memutuskan untuk nonton film. Ibu juga terlihat suntuk beberapa hari. Mungkin karena ia merasa kesepian tanpa suaminya. "Amanda, kalau kau mau nonton apa?" Natalie melempar pertanyaan kepadaku yang bingung mau nonton film apa. "Aku mengikut saja." "Mom¸mau nonton film apa?" "Terserah kalian saja." "Kenapa kalian para wanita ini tidak pernah memberi jawaban jelas dan pasti. Giliran filmnya yang aku pilih terus kurang bagus kalian akan mengeluh," gerutu Gavin yang dari tadi sudah mengantre tapi belum juga mendapat kepastian wanita.
Aku berlari terburu-buru menyusuri koridor kampus. Bagaimana tidak terburu-buru, kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu dalam artian aku terlambat. Semalam aku menghabiskan malamku dengan bermaingamebersama Gavin dan aku lupa kalau kelas Dareen hari ini dimajukan dengan alasan dia harus rapat dosen. Tok..Tok..Tok. Aku mengetuk pintu ragu lalu membukanya dengan ragu. "Maaf Mr.Ivander saya terlambat, apa saya masih boleh mengikuti kelas?" Dareen menatapku tajam. "Kau tahu betul aturanku kan, datang dengan tepat waktu. Apa kau datang tepat waktu sekarang?" Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mr. Ivander. Aku lupa jika jadwal hari ini dimajukan."
Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat. "Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya. "Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?" "Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran." "Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berp
"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan. "Kau sudah bangun?" tanya ibuku. Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku,Dad.KapanDaddatang?" "Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu,beauty?" "Tentu baik." "Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit. "Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.
Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan. Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku. "Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua. "Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadan
Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya. "Hust.. diamlah,auntydi sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang. "Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen. "Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.