Share

Chapter 2 | The Quarrel

Kini aku sudah berada di rumah Rafael. Rumahnya tampak sepi mungkin orang tuanya masih bekerja. Sementara itu, aku harus menunggu karena kata pembantunya, Rafael sedang mandi.

“Amanda…” Terlihat Rafael menghampiriku. “Ada apa?”

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Raut wajah Rafael tiba-tiba saja berubah, dia kemudian duduk di hadapanku.

“Apa?” tanyanya.

Aku kemudian mengeluarkan hasil testpackku dan menunjukkannya.

“Apa maksudnya ini?” Dia bertanya dengan wajahnya yang tegang.

“Aku hamil,” jawabku sambil menunduk. “Kamu tanggung jawab yah.”

Rafael mengusap rambutnya. “Tanggung jawab apa, Amanda? Gak mungkin kamu hamil. Kita hanya lakuin itu sekali. Lagian aku kan udah nyuruh kamu buat minum pil.”

Aku benar-benar terkejut melihat reaksi Rafael. Aku tidak menyangka dia akan meresponnya dengan seperti ini.

“Gimana aku mau minum pil kalau belinya aja susah. Raf, kamu harus tanggung jawab. Ini kan anak kamu, anak kita berdua.”

“Jadi kamu gak minum pil itu? Harusnya kamu minum!! Aku gak bisa tanggung jawab, lagian ini salahmu karena tidak mendengarku.”

Aku menatap Rafael tidak percaya. Dia menyalahkanku atas semua kejadian ini, dia menolak untuk bertanggung jawab. “Salahku? Gila yah kamu! Raf, disini yang dirugiin aku. Aku yang nantinya perutnya akan membesar. Kamu harus tanggung jawab, Raf.”

“Tanggung jawab seperti apa? Nikah sama kamu di usia belia. Kita masih muda, perjalanan aku dan kamu masih panjang. Gak mungkin aku harus nikah sama kamu sekarang. Aku mau mending gugurin bayi itu sekarang sebelum terlambat.”

“Gugurin kamu bilang? Semudah itu, kamu bilang untuk gugurin? Raf, sadar!! Biar bagaimana pun juga, dalam kandunganku ini adalah anakmu.”

“Itu aib untuk kita berdua, aku malu, dengarin apa yang aku katakan. Mending gugurin sek—”

Plakk

Aku langsung menamparnya, dia seperti bukan Rafael yang kukenal.

“Kamu malu? Terus gimana sama aku? Apa kamu tidak tahu bahayanya aborsi itu dan juga itu illegal. Kamu mau aku ngebunuh anak yang bahkan belum lahir di dunia ini. Gila yah kamu!!”

“Tapi itu aib dan aku gak mungkin—“

“Kalau kamu gak mau, ya sudah biar aku aja. Tapi, jangan pernah kamu nyesal sama apa yang kamu lakuin hari ini dan juga, aku mau mulai detik ini mending kita putus aja.”

Terlihat wajah Rafael terkejut dengan apa yang kubilang. “Kamu mau putus? Kamu jangan bawah hubungan kita dong sama masalah ini! Aku gak mau putus! Please Amanda kamu jangan egois. Gugurin bayi itu dan kita mulai lagi dari awal sama-sama.”

“Egois kamu bilang? Kamu bilang aku yang egois? Tidak Raf, disini kamu yang egois.”

Aku kemudian pergi dari rumahnya. Aku sudah tidak tahan, mendengar setiap kata yang ia ucapkan. Kenapa dia sangat egois? Bahkan, dia tidak menanyakan keadaanku sedikitpun.

***

Sudah satu bulan berlalu, akupun menceritakan keadaanku kepada Alika. Awalnya dia menyuruhku untuk bercerita kepada ayahku agar mendapat pertanggung jawaban. Tapi, hubunganku dengan keluarga ini sangat kacau. Langkah terakhir yang aku punya adalah menghubungi ibuku dan kini aku melakukannya.

Hallo?” Aku mendengar suaranya. Suara ibuku yang sangat kurindukan.

“Ibu..” lirihku di baliku telepon.

Amanda sayang, ini kamu sayang. Sayang apa kabar?”

“Aku merindukan ibu.”

Aku juga sangat merindukanmu, sayangku.”

“Ibu, kenapa tidak pernah menghubungiku? Apa Ibu sudah lupa sama aku karena mempunyai keluarga baru??”

Astaga.. tidak sayang, Hp ibu hilang. Sehingga, ibu Hp baru. Untungnya Ibu berhasil mengurus nomor lama ini. Aku selalu menunggu telpon mu sayang.”

“Ibu, aku ingin ketemu sama ibu, aku ingin tinggal sama ibu. Aku sudah tidak tahan—“ Tanpa kusadari aku mulai menangis bahkan aku mulai sesegukkan.

Sayang, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan? Apa kamu tidak nyaman di sana?”

“Aku hanya lelah, aku ingin ibu—“

“Kamu ingin tinggal sama ibu, sayang? Ibu akan menjemputmu, jika kau mau.”

“Emang boleh bu?”

“Tentu sayang, sangat boleh.”

“Ibu sebenarnya, aku—aku dalam keadaan terpuruk dan juga..”

“Kenapa, sayang?”

“Aku hamil, bu. Aku tau aku salah dan aku gak tahu harus bagaimana lagi. Dia tidak ingin bertanggung jawab.“

“…” Kudengar dibalik sana hening. Mungkin, ibu terkejut dengan pengakuan secara tiba-tiba ini.

“Ibu?”

“Apa ayahmu mengetahuinya?”

“Jangan, kumohon jangan. Aku tidak bisa berurusan lagi dengan dia bu, aku udah gak tahan tinggal di sini.”

“Tenang sayang, ibu akan menjemputmu. Ibu juga akan bicara sama ayahmu, biar bagaimanapun dia harus tau sayang.”

“Ibu—“

Ibu janji semua akan baik-baik aja.”

 “Aku cinta sama Ibu.”

“I love you more, honey.”

Setelah menumpahkan semua isi hatiku kepada ibu rasanya sangat lega. Kami berbicara selama satu jam, dia bahkan mendengar semua curhatanku. Ibu bahkan menyakiniku untuk tidak usah khawatir dan dia akan menjemputku secepatnya untuk tinggal bersamanya di New York.

Kudengar juga tentang suami baru Ibu, dia seorang duda. Istrinya meninggal karena kecelakaan. Ibu juga memberitahuku dia punya seorang anak laki-laki yang usinya tujuh tahun di atasku dan dia baru saja menikah.

***

Hari ini aku harus ke sekolah untuk mengurus semua berkas-berkas kelulusanku. Tapi anehnya saat aku berjalan di koridor sekolah, banyak mata yang melihatku. Seperti, ada yang salah dengan diriku padahal kurasa penampilanku terlihat biasa-biasa saja.

“Manda..” Alika terlihat ngos-ngosan di depanku.

“Kenapa? Ngapain lari-lari, kaya habis dikejar anjing.”

Dia menarik nafas berat. “Lo liat timeline lambe sekolah deh.” Dia lalu mendekat dan berbisik, “berita tentang kehamilan lo sama Rafael kesebar.”

Aku terkejut mengetahui hal itu. Siapa yang berani menyebarluaskan hal ini. Tidak mungkin Alika yang melakukannya. Dia bahkan begitu terkejut, aku sudah mengenal Alika dari SMP dan dia bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain apa lagi sampai membuka aib orang.

Di sisi lain, terlihat Rafael dari arah kantin menuju ke arahku. Sementara, Devina yanng entah dari mana asalnya tiba-tiba ada di sampingku dan berkata, “Amanda, emang itu semua benar. Kamu hamil anaknya kak Rafael yah?”

“Urusan lo apa, tanya-tanya?” bentakku kepadanya.

“Nggak, itu semua gak benar. Anak yang dikandung Amanda, bukan anakku. Gue gak tahu itu anak siapa.” Rafael berkata demikian menutupi kesalahannya dan melimpahkan semuanya kepadaku.

“Lo gila yah!” bentak Alika kepada Rafael.

Akupun keluar dari kerumunan orang-orang yang melihat kami. Ini membuatku sesak dan pusing. Sampai akhirnya aku merasa penglihatanku semakin rabun dan setelah itu aku sudah tidak melihat apa-apa lagi.

***

Aku mulai membuka mataku, begitu aku sadar ternyata aku sudah berada di kamarku.

“Kamu udah sadar? Kamu ditunggu di ruang tengah. Udah ada orang tuanya kak Rafael juga,” kata Devina.

Akupun terkejut mendengar hal itu. “Ngapain mereka kesini?”

“Bahas masalah kalian. Aku ke bawah duluan yah, kamu nyusul yah. Soalnya udah ditunggu dari tadi.” Devinapun segera turun. Tidak lama kemudian aku pun menyusul dan di ruang tengah terlihat Rafael bersama kedua orang tuanya.

“Kamu udah sadar?” tanya ayah kepadaku. “Sini duduk samping ayah.”

“Amanda, aku dan ayahmu sudah bicara. Kalau kami akan tanggung jawab, biar bagaimanapun anak itu tetaplah anak Rafael juga kan?” kata ayah Rafael.

Aku sangat senang mendengar hal itu. “Tanggung jawab? Serius Om? Jadi kapan kami akan nikah?”

“Aku tidak bilang kalian akan menikah.”

Aku pusing dengan maksud ayah Rafael. “Maksudnya? Kami tidak akan menikah?”

“Betul Amanda, kalian tidak mungkin menikah. Rafael masih harus melanjutkan pendidikannya dan kalian masih sangat muda. Aku dan ayahmu sudah sepakat kalau kalian tidak akan menikah tapi segala kebutuhan anak itu akan kami tanggung dan juga bisnis serta proyek ayahmu akan kami bantu dengan suntikan dana sesuai kebutuhannya. Dengan persyaratan, anak yang kamu kandung, tidak boleh tercium oleh media dan publik kalau itu adalah anaknya Rafael.”

“Kalian adalah orang gila yang hanya peduli tentang uang,” kataku.

“Amanda jaga sopan santunmu!” tegur ayah.

 “Amanda, kamu harus mengerti kalau ini adalah jalan terbaik untuk kita semua,” kata Nayah—ibu tiriku.

“Jalan terbaik untuk kita semua? Kalian semua hanya orang gila harta! Ini menguntungkan untuk lo karena lo hanya takut miskin!” tunjukku kepada Nayah. “Dan kalian hanya ingin Rafael diuntungkan dalam hal ini.”

 “Kalian gak usah tanggung jawab, aku bisa kok urus anak ini sendiri tanpa campur tangan kalian. Tapi ingat Raf, jangan pernah menyesal dan jangan pernah lo minta anak ini! Mulai sekarang gue gak mau liat muka sialan lo lagi!” sambungku.

“Amanda!!” bentak ayah.

“Apa? Ayah ingin harga dirinya dihargai dengan uang! Dasar menjijikkan.”

Plakk.

“Berani sekali kau menampar anakku!” Seraya aku mengusap pipiku yang ditampar ayah, aku mendengar suara dari arah pintu yang berteriak, itu suara ibuku.

“Ibu..” lirihku dan berlari memeluknya.

“Sayang, kamu gak  apa-apa kan sayang?” tanya ibu kepadaku. Aku hanya mengangguk. Ibu lalu melangkah mendekat ke arah orang tua Rafael.

“Kalian sangat tidak bermoral, ini yang kalian ajarkan kepada anak kalian. Menjadi tidak bertanggung jawab?” hardik ibuku kepada kedua orang tua Rafael.

“Erin, kamu tidak tahu apa-apa. Orang tua Rafael mencoba untuk tanggung jawab kepada Amanda,” kata Nayah.

“Yah, aku tadi sempat mendengarnya. Bertanggung jawab dengan uang? Aku tidak akan membiarkan harga diri anakku begitu jatuh. Dia tidak seperti kamu yang hanya mentingin uang.”

“Apa-apaan kamu, baru datang dan tiba-tiba ikut campur?” terlihat ayah terlihat kesal kepada ibu.

“Bagaimana aku tidak ikut campur, Amanda adalah anakku!” Ibu merangkulku dan dia kembali menatap sinis Rafael. “Kalian sebaiknya pergi, Amanda tidak butuh pertanggung jawaban dari orang yang seperti kalian!”

“Erin, kamu tidak berhak mengusir tamuku! Ini rumahku!” bentak ayah.

“Biarkan kami pergi saja! Pak Bara bisa menelpon saya kalau kalian berubah pikiran,” ujar ayah Rafael. Mereka lalu akhirnya pulang.

“Buat apa kamu ke sini?” tanya ayah kepada ibu.

“Tentu menjemput putriku, Amanda bereskan barang-barangmu.”

Aku mengangguk, kemudian langsung beranjak menuju kamarku untuk segera mengkemas pakaianku.

~~oo~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status