Share

Chapter 4 | Sushi

"Baik, cukup sampai di sini saja materi yang saya jelaskan." Setelah menyelesaikan materi pengantar yang dijelaskannya, Dareen lalu keluar dari kelas. Kemudian, kurasa ponselku bergetar. Aku lalu melihatnya, rupanya ada pesan singkat dari Dareen.

"Keruangan saya sekarang juga!" Aku heran kenapa dia mengirim pesan singkat, kenapa tidak dari tadi saja bilangnya ketika menutup kelasnya. Dasar dosen aneh!

"Permisi, Mr.Ivander," ujarku seraya mengetuk pintunya yang setengah terbuka.

"Masuklah."

"Ada apa, Mr.Ivander memanggil saya?"

"Apa kau lupa untuk membantuku menyusun data mahasiswa?"

"Ah tentu tidak, aku pikir Mr.Ivander yang sudah lupa. Soalnya saya selama seminggu ini menunggu anda untuk menghubungi saya."

Dia terkekeh. "Kau menungguku untuk menghubungimu? Kenapa bukan kau saja yang menghubungiku?"

Aku hanya tersenyum kikuk tidak menjawabnya lagi, kenapa aku yang menghubunginya padahal dia yang butuh. Dimana-mana yang butuh bantuan dong yang menghubungi.

"Sudahlah, kau membawa laptop kan?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Keluarkan laptopmu dan nyalakan."

Aku yang tadinya berdiri kini beralih duduk di depannya yang masih sibuk dengan komputernya. Kemudian, aku mulai menyalakan laptopku. Dia lalu memberikan sebuah rekap dokumen yang cukup tebal.

"Ini adalah data-data yang mengambil kelasku. Kau harus menyusun ulang dan menjadikan satu di Microsoft Excel. Susun sesuai jadwal kuliahnya dan abjad."

"Ini sangat banyak, aku tidak bisa menyelesaikan langsung." Jika kulihat-lihat ada sekitar 400 atau 500 data mahasiswa yang harus ku salin ulang.

Dia menaikkan alisnya. "Siapa yang bilang sedikit dan siapa bilang kau harus menyelesaikannya sekarang?"

"Bukankah anda membutuhkannya sekarang?"

"Tidak juga, kau bisa menyicilnya. Tapi, jangan terlalu lama mengerjakannya."

Aku hanya bisa pasrah seraya mendengus.

"Kenapa? Kau tidak mau? Kau tidak ikhlas?"

"Ah—tidak. Tapi, bukankah ada salinan data di bagian di layanan akademik?"

"Yah memang ada. Tapi, itu data lama. Mereka belum memperbaruinya, kenapa kau ini banyak protes. Sudahlah, kerjakan sekarang saja!"

Aku banyak protes, perasaan aku hanya menanyakannya saja. Kenapa dia menjadi sensitif begitu. "Iya, akan kukerja. Tenang saja."

Aku mulai mengetikkan satu per satu data-data mahasiswa ini dan sekarang aku baru sampai di data yang ke 30. Sementara, hari semakin gelap. Aku juga mulai lapar. Tadi, aku lupa untuk makan siang.

"Apa kau lapar?" tanyanya. Apa dia mendengar kata hatiku atau bisa membaca isi pikiranku. "Kenapa kau menatapku seperti itu, Hei aku bertanya kepadamu. Apa kau lapar? Perutmu dari tadi bunyi terus dan itu sangat mengganggu."

"Aku lapar tapi aku—" Belum menyelesaikan kalimatku, dia langsung berdiri dan memakai kembali jasnya.

"Ayo kita pergi makan."

"Tapi ini belum selesai, bahkan sepertiganya saja belum."

"Bawa saja, kau bisa melanjutkannya di rumahmu. Ayo kita pergi makan, lagian hari semakin gelap.

Aku lalu mulai membereskan dokumen tersebut dan mematikan laptopku kemudian keluar dari ruangan Dareen. Saat aku berjalan ke arah kanan ia bertanya, "kau mau kemana?"

"Tentu aku mau pulang."

"Apa kau tidak dengar tadi, kita makan dulu dan mobilku diparkir di sebelah sana." Ia menunjuk ke arah kiri. "Ayo, aku juga akan sekalian mengantarmu pulang."

***

Aku tidak menyangka Dareen membawaku ke restoran sushi. Aku pikir dia hanya membawaku ke tempat makan yang biasa-biasa saja yang tidak jauh dari kampus. Bagaimana, kalau dia menyuruhku untuk membayarkannya? Kalau dilihat-lihat mungkin harga makanan disini mahal. Aku mempunyai uang tapi aku mulai menghemat.

Lalu ketika kami ingin masuk, aku melihat sebuah papan bertuliskan 'Reservation Only' lantas aku menahannya. Dia lalu berbalik ke arahku menatapku heran kemudian aku menunjuk papan itu. Apa dia tidak melihat papan yang tertera itu yang cukup besar.

"Sudahlah, ayo masuk."

Aku mengkerutkan alisku, dia tetap masuk, tidak memperdulikan tulisan di papan dekat pintu itu. Aku hanya bisa pasrah dan mengekorinya. Diusir baru tahu dia bagaimana rasanya malu.

"Hei Dareen!" Kulihat orang China menyapanya dengan akrab, bahkan mereka saling berpelukan.

"Chen, long time no see. Apa kau menyediakan ruangan yang kuminta."

"Tentu. Siapa wanita ini?" tanyanya begitu melihat ke arahku yang mengekor di belakang Dareen sedari tadi.

"Dia Amanda, mahasiswiku."

"Seriously? Apa dia—"

"Tidak, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ayolah tunjukan dimana aku makan. Kami sudah lapar." Aku hanya diam dan bingung dengan interaksi mereka berdua.

"Oke baiklah, tunggu." Chen lalu memanggil pelayan wanita. "Silahkan kau antar mereka."

Aku dan Dareen lalu mengikuti pelayan wanita itu. Aku tidak menyangka, kami berada di ruangan khusus tempat yang hanya kami berdua bukankah ini VIP? Kapan dia reservasi tempat? Dan kenapa dia reservasi tempat ini? Kenapa bukan yang umum saja?

"Kenapa kau kebingungan seperti itu?" tanyanya.

"Kapan kau reservasi tempat seperti ini? Bukankah ini akan bayar lebih, aku tidak mau membuang-buang uangku hanya untuk makan di tempat khusus. Sebenarnya, diluar juga nyaman-nyaman saja."

"Kau tidak usah khawatir soal itu."

"Lalu, Chen itu siapa?"

"Dia manager sekaligus pengelolah restoran ini. Kakaknya adalah pemiliknya."

"Kalian saling kenal?"

"Tentu, kami dulu satu kampus."

Aku hanya manggut-manggut. Ternyata dia punya teman dan relasi yang hebat juga. Tidak lama kemudian, datang berbagi jenis sushi. Aku melihat sushi itu, dapat kupastikan semua pasti sangat enak.

Kulihat Dareen dari tadi masih memainkan ponselnya. Sementara, sushi ini sudah terhidangkan semua. Apa dia tidak makan? Aku menunggunya agar dia makan duluan, tapi dia masih sibuk dengan dunianya sendiri.

"Mr.Ivander, apa kita sudah bisa makan?" tanyaku yang sudah tidak menahan rasa lapar di perutku ditambah sushi yang mengilerkan ini ada di depanku.

Dia lalu menurunkan ponselnya. "Kau menungguku?"

Aku mengangguk.

Dia terkekeh. "Ya sudah, ayo makan. Makanlah yang banyak."

Aku tanpa berkata-kata lagi dan tanpa malu langsung melahap sushi itu. Aku yang terlalu serius dan begitu menikmati sushi ini tiba-tiba tersedak. "Uhuk..uhukk.

uhuk."

Dareen langsung memberikanku air minum. "Pelan-pelanlah makan, ia tidak akan lari."

Aku lalu meneguk air minum yang diberikan Dareen. Setelah meneguk air, aku kemudian menatapnya dengan mengkerutkan alisku. "Siapa juga yang bilang sushi itu bisa lari," protesku.

"Soalnya kau makan begitu tergesah-gesah. Apa kau takut aku akan menghabiskannya duluan?"

"Apa? Tidak, aku tidak bepikir begitu. Hanya saja, aku sudah sangat lapar." Seenaknya saja dia menuduhku yang bukan-bukan.

Kulihat dia menikmati tuduhan itu terbukti dengan raut wajahnya yang menahan tawa. "Tenang saja, kalau kau masih mau kau bisa tambah lagi. Tidak usah terburu-buru."

"Ah—tidak usah. Aku tidak makan sebanyak itu."

Dia lalu melanjutkan lagi makannya yang sempat terhenti karena mengejekku akibat aku tersedak. Seketika, mood makanku sudah mengurang.

"Lanjutkan makanmu, tidak usah malu begitu," katanya datar.

Dalam hati aku mengumpatinya. Kenapa dia jadi sok asyik begitu. Memangnya kita teman. Apa dia berasa masih muda jadi menganggapku teman sebayanya.

"Kenapa masih diam, makan sushimu itu atau kau kusuruh bayar semua ini," ancamnya membuatku langsung kembali melanjutkan makanku.

"Iya..iya aku akan kembali makan Mr.Ivander," kataku.

"Kau tidak usah begitu formal kepadaku. Kau bisa memanggilku Dareen kalau kita hanya berdua."

Aku lalu menganggkat pandanganku ke arahnya. Dia menatapku dengan serius dengan mata coklat mudahnya itu.

~~oo~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status