Share

Chapter 3 | Dareen Ivander

Kini aku berada di New York. Sudah empat tahun aku menjalani kehidupanku. Mengenai anakku, dia diadopsi sementara oleh Gavin, kakakku yang merupakan anak dari paman James—suami ibu. Gavin mempunyai istri bernama Natalie. Kami sangat akrab satu sama lain, aku beruntung keluarga ibu di Amerika sangat menerima keadaanku. Sementara aku saat ini harus fokus kuliah terlebih dahulu. Tapi, meskipun begitu aku dan anakku yang bernama Alex sering menghabiskan waktu bersama.

Siang ini aku memulai semester baru. Tapi, sebelum itu aku harus membeli sebuah buku terlebih dahulu untuk kelas hari ini. Akupun ke toko buku terdekat untuk mencari buku. Baru saja ingin mengambil sebuah buku yang kuinginkan. Terlihat juga seorang pria secara bersamaan mengambil buku tersebut.

“Maaf, bisakah anda mengalah? Ini sangat penting untukku,” ucapku.

“Mengalah? Kalau tidak salah tangan saya seperkian detik dari pada tanganmu dan ini juga penting untukku.”

“Ayolah, kau ini egois sekali sama wanita!” Kesialan bagi kami karena buku ini stoknya hanya satu. Buku ini memang sangat langkah mungkin karena sudah tua.

Dia lalu menarik buku itu. “Maaf saya buru-buru!”

“Hei.” Aku mengejarnya menuju kasir. “Bisakah kita bernegoisasi, aku sangat membutuhkan buku ini. Ayolah, kenapa kau pelit sekali?”

“Tadi kau mengataiku egois sekarang pelit!” Dia kemudian menyerahkan buku itu ke kasir lalu membayarnya. Kemudian dia pergi meninggalkan diriku yang masih menganga karena dirinya. Dia sepertinya orang yang pintar berdebat.

Akupun pergi mencari lagi buku tersebut, hingga aku lupa waktu. Sial, aku menggerutu ketika sadar harusnya jam sekarang aku sudah berada di area kampus karena sepuluh menit lagi kelasku akan dimulai. Akupun segera berlari mencari taksi untuk ke kampus.

Sesampaiku di area kampus, aku kembali berlari. Dosen yang mengajar di mata kuliah ini adalah dosen tua yang galak

Bruk.

Tanpa sengaja aku menabrak seseorang dan membuatku jatuh ke lantai. Mungkin, karena ototnya itu sangat keras.

“Astaga, bisakah kau hati-hati!” ucapku dan berusaha membangunkan diriku sendiri.

Aku lalu melihat ke arah orang kutabrak tadi. “Kau!” tunjukku dengan kesal.

“Jadi, kau berkuliah di sini?”

Aku terkejut melihat pria yang kutemui di toko buku. Pria yang egois dan pelit. “Apa urusannya denganmu kalau aku kuliah di sini.”

“Bukankah kau harus meminta maaf kepada orang yang sudah kau tabrak, sepertinya tadi kau tidak menggunakan matamu berlari dan hanya berlari seperti orang buta.”

“Sial, kau harusnya menghindariku begitu melihatku lari yang terburu-buru.”

“Apa kau mengumpat kepadaku?”

Aku mengabaikannya dan langsung bergegas menuju kelas.

Sesampaiku di kelas, terlihat belum ada Mr. Hanz. Aku dengan segera mengambil tempat duduk di samping Jessica. Dia satu-satunya orang yang dekat denganku selama berkuliah di sini.

“Kemana Mr.Hanz, apa dia tidak mengajar?” tanyaku kepada Jessica.

“Tenang, Mr.Hanz tidak akan mengajar kita. Ia ada urusan di Italia selama satu tahun.” Mendengar hal itu, aku sangat bersyukur.

“Lalu siapa penggantinya?”

Belum sempat Jessica menjawab, aku sudah mendengar langkah sepatu masuk ke dalam kelas. Kami semua segera merapikan tempat duduk kami.

“Itu penggantinya,” jawab Jessica sambil menunjuk, aku lalu mengalihkan pandanganku ke depan dan aku sangat terkejut kalau dosen penggantinya adalah pria yang menyebalkan itu.

            “Perkenalkan saya Dareen Ivander yang akan menggantikan Mr.Hanz di mata kuliah ini. Aturan saya sama dengan Mr.Hanz yaitu datang tepat waktu, kerjakan tugas dengan tepat dan sesuai instruksi. Kalian paham?”

***

Berkuliah di jurusan  Manajamen Bisnis Digital atau dalam bahasa kerennya e-commerce bukanlah hal yang mudah. Dareen mengajar mata kuliah yang penting disemester ini yaitu Manajemen dan Evaluasi Proyek. Sementara aku, berhasil membuat kesan pertama yang buruk terhadapnya.

“Apa menurutmu tentang Mr.Ivander? Dia tampan kan?” tanya Jessica kepadaku yang dari tadi dia tidak berhentinya memuja ketampanan Dareen.

“Tentu dia tampan karena dia laki-laki. Kalau wanita, namanya cantik,” jawabku asal.

“Maksudku secara fisik seorang pria, dia benar-benar tampan. Tubuhnya yang proporsional. Apa kau lihat urat-urat di tangannya. Sangat sexy bukan?”

Aku berdehem sudah malas meladeni Jessica yang sudah menghayalkan Dareen.

“Dia dosen baru kan? Aku baru melihatnya,” tanyaku karena aku memang merasa tidak pernah melihatnya selama berkuliah tiga tahun di sini.

“Dia jadi dosen di sini sekitar 5 tahun yang lalu. Tapi, baru jadi dosen satu tahun, dia harus resign karena ada proyek yang dia kerjakan di Italia. Setelah itu, dia mulai membuka perusahaan kecil untuk pengembangan start-up.”

“Dari mana kau mengetahui itu semua?” Aku heran apa dia penguntit Dareen, perasaan sewaktu di kelas Dareen tidak menceritakan nya.”

“Aku sudah melihatnya di data dosen. Di sana tertera dengan jelas di CV-nya dan juga tanggal lahirnya 27 Juni tahun ini dan dia akan berusia 33 tahun.”

Aku mengernyit. “Kau seorang stalker?”

“Aku hanya memeriksa kualitas dosen dan apa kau tahu kalau Mr. Ivander adalah orang jenius karena di usia 26 tahun dia sudah menyelesaikan pendidikan strata 3. Dan yang paling terpenting dia masih lajang.”

“Tentu dia lajang, dia hanya menghabiskan waktunya untuk sekolah dan belajar.”

“Aku juga dengar gosip kalau Mr.Ivander seorang penakluk, ada kakak senior kita yang memergokinya sedang berada di kelab malam bersama wanita.”

“Dari mana kau mengetahui itu, bukankah dia baru satu hari di sini.”

“Ayolah, relasiku luas. Dosen keren seperti Mr. Ivander, beritanya sangat cepat tersebar hanya hitungan menit.”

Aku hanya menghembuskan nafas seraya memutar mataku. “Sudahlah aku ingin ke kantin, kau mau ikut?”

“Sepertinya tidak, aku ingin pergi kencan buta.” Jessica memang cukup sering mengikuti kencan buta. Menurutku, dia orang yang aktif, periang, dan sedikit agresif.

“Baiklah kalau begitu.” Aku lalu beranjak meninggalkannya, menuju kantin kampus.

Aku yang berjalan menuju kantin, tanpa sengaja aku melihat Dareen yang jalannya entah dari mana mungkin dari ruangannya atau menuju ruangannya. Aku bahkan tidak tahu dimana ruangannya.

Aku lalu menghampirinya berencana ingin memulai semuanya dari awal, sebelum terlambat dan dia akan menandaiku sebagai mahasiswa tidak sopan.

“Mr.Ivander,” panggilku begitu sudah berdiri tepat di belakangnya.

“Ada apa? Apa kau perlu sesuatu.” Aku merasakan aura mendominasi dari dirinya. Dia mungkin cukup kesal terhadapku.

“Bisakah kita bicara sebentar?” Aku berkata dengan ragu.

Kulihat dia tersenyum smirk. “Apa yang ingin kau bicarakan? Kau terkejut kalau ternyata aku ini adalah dosenmu. Orang yang kau bilang egois dan pelit.”

Astaga tidak kusangka dia mengingat itu. Sepertinya dia tipikal orang pendendam. “Aku ingin minta maaf, bisakah anda melupakan semuanya. Aku hanya terbawa emosi.”

Dia kemudian terkekeh. “Kau tidak usah terlalu formal. Sebelumnya, aku mau bertanya. Untuk apa kau meminta maaf? Apa kau benar-benar merasa bersalah atau hanya karena statusku sebagai dosenmu dan kau ingin mencari jalan aman. Jika kau khawatir, kalau nilaimu akan berpengaruh, itu tidak perlu. Aku adalah orang yang bersikap profesional. Ketidaksopananmu waktu itu tidak akan kusangkut pautkan.”

Aku tertegun mendengar perkataannya. Apa dia tidak bisa bilang kalau dia memaafkanku..

“Aku hanya ingin memulai dari awal dengan membuat kesan yang baik.”

“Kau sudah membuat kesan pertama kepadaku.” Dia lalu beranjak meninggalku. Namun, baru beberapa melangkah. Aku mendengar ia berkata, “kalau kau memang merasa bersalah. Bisakah kau membantuku menyusun data mahasiswa. Kebetulan, aku membutuhkan seorang asisten. Aku terlalu sibuk hanya untuk pendataan mahasiswa.”

Aku mengangguk mengiyakannya. “Baiklah.”

Dia lalu kembali berjalan ke arahku. “Berikan ponselmu!”

“Untuk apa?” tanyaku seraya perlahan menyerahkan ponselku.

“Tentu saja mencatat nomor ponselku.” Setelah mengetikan nomornya, dia lalu memberikan ponselku kembali. “Nanti aku akan menghubungimu.”

Dareen memang tadi di kelas hanya memberikan emailnya kepada kami. Dia tadi tidak memberi kami nomor ponselnya dengan berdalil kalau mahasiswa terkadang bertanya sesuatu yang tidak penting dan itu sangat menganggu privasinya.

Setelah kami bertukar nomor, dia lalu kembali berjalan.

“Dasar gila lo!” kataku kepadanya dengan bahasa Indonesia dan juga tidak begitu keras. Seketika dia lalu kembali berputar arah kepadaku.

“Apa kau mengumpat lagi?” tanyanya sambil mengerutkan alisnya. Aku tidak menyangka kalau pendengarannya sangat tajam.

Aku lalu hanya menggelengkan kepalaku. “Tidak, aku tidak mengumpat.”

Dia menyipitkan matanya kepadaku, seakan-akan tidak percaya. “Baiklah, kalau begitu.” Dia kembali berjalan menjauh.

***

Setelah, berkuliah seharian. Aku akhirnya sudah sampai di rumah. Aku sangat lelah dan sangat ngantuk. Tapi, rasa lelah itu hilang ketika melihat ada Alex di rumah ibu.

“Alex, kau di sini, baby.” Aku menciumnya dengan gemas. Natalie yang melihatku ikut tertawa.

“Tentu, dia ingin menemani neneknya dan juga bertemu denganmu.”

“Ibu, kemana?”

“Dia sedang tidur, seharian dia habis berjalan-jalan dengan Alex.” Aku sangat bersyukur, semua orang disini begitu menerima keberadaanku dan juga Alex.

“Natalie, aku sangat berterima kasih kepadamu yang merawat dan mengurus Alex.”

“Tidak, Amanda. Aku yang berterima kasih,  kau sudah memberikan kami warna baru di keluarga kecil ini. Aku sangat senang merawat Alex. Dia sudah seperti anak kandungku. Aku sangat beruntung ada Alex disisiku. Jika tidak aku dan Gavin akan—“

“Sudah, kau tidak usah membahasnya.” Natalie mempunyai masalah terhadap kandungannya. Sehingga, hal itu membuat dirinya tak kunjung hamil selama empat tahun ini.

 ~~oo~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status