"Kita jadinya nonton apa?" tanya Gavin. Kini kami sedang berada di bioskop, berhubung malam minggu maka kami sekeluarga memutuskan untuk nonton film. Ibu juga terlihat suntuk beberapa hari. Mungkin karena ia merasa kesepian tanpa suaminya.
"Amanda, kalau kau mau nonton apa?" Natalie melempar pertanyaan kepadaku yang bingung mau nonton film apa.
"Aku mengikut saja."
"Mom¸ mau nonton film apa?"
"Terserah kalian saja."
"Kenapa kalian para wanita ini tidak pernah memberi jawaban jelas dan pasti. Giliran filmnya yang aku pilih terus kurang bagus kalian akan mengeluh," gerutu Gavin yang dari tadi sudah mengantre tapi belum juga mendapat kepastian wanita.
Natalie terlihat menertawakan suaminya itu. "Sayang, sebaiknya kau saja yang pilih filmnya. Kami tidak akan mengeluh apa pun hasilnya."
"Aku tidak bisa lagi mempercayai perkataan wanita."
Kami tertawa mendengar Gavin yang begitu berlebihan hanya untuk sebuah film saja.
"Permisi, tuan jadi memilih film apa?" interupsi wanita yang melayani pembelian tiket film kami.
"Birds of Prey 5 ticket, please." Sementara Gavin memesan tiket, aku dan ibu pergi membeli popcorn dan soda terlebih dahulu.
"Amanda, Mom, ayo masuk. Kita sudah bisa masuk sekarang," panggil Natalie.
Setelah selesai menonton, kami singgah terlebih dahulu untuk mengisi perut kami. Kami singgah makan tidak jauh dari rumah kami. Tempat, kami biasanya makan. Asal kalian tahu, ibu terus berprotes tentang film itu. Bahkan dia berdebat terus menerus dengan Gavin.
"Harusnya kau bisa memilih film yang sesuai, film seperti itu untuk dewasa, terus ada Alex yang menontonnya. Apa jadinya jika dia mencontohi tiap adegan itu?" gerutu ibu.
"Aku sudah bilang dan sudah tanya mau film apa, kalian selalu menyerahkannya kepadanku dan lihat kalian semua proteskan."
"Aku tidak protes, sayang," timpal Nataelie.
Akupun mengeluarkan suaraku berkata, "aku juga tidak protes."
"Yah.. yahh hanya aku yang protes. Tapi kau harus menyusaikan film yang kau pilih dengan usiaku dan juga usianya Alex. Aku ini sudah tua dan Alex masih sangat kecil, tidak pantas menonton film seperti itu."
"Mom, Alex tidak memperhatikannya, lagian Alex juga sepanjang film, dia tertidur," ujar Natalie. Sepanjang film memang Alex terlihat hanya tidur.
"Betul, Bu. Tidak apa-apa kok bu." Aku berusaha meyakinkan ibu.
"Tidak apa-apa endusmu!"
"English please. Aku tidak mengerti kalian bicara apa. Jangan-jangan kalian mengumpatiku," protes Gavin yang mendengar interaksi dengan ibu berbahasa indonesia.
"Tentu tidak! Bagaimana aku bisa mengumpatimu, kaukan kakak yang baik dan tampan," pujiku. Terlihat senyum Gavin mengambang setelah kupuji.
"Tidak usah besar kepala," sahut ibu. Aku dan Natalie langsung terbahak-bahak.
"Lama-lama aku turunkan mom di sini," ancam Gavin, tenang saja itu Cuma candaan saja. Gavin tidak mungkin melakukan hal itu. Dia sangat menyayangi ibu meskipun bukan ibu kandungnya.
"Kau mulai berani sekarang?" tantang ibu.
Natalie menggelengkan kepalanya dan mencoba memberhentikan perdebatan antara mereka. "Honey, sudahlah mengalah sama Mom."
Setelah perjalan dan perdebatan yang panjang akhirnya kami sudah tiba di tempat makan. Begitu aku masuk aku menangkap sosok yang tidak asing di seberang sana bersama seorang wanita. Dia adalah Dareen bersama wanita yang dewasa, mungkin seumurannya.
"Dareen!!" panggil Gavin kemudian menghampiri meja Dareen. "Kau Dareen? Apa kabar? Long time no see."
"Hai, Gavin." Dareen menjabat tangan Gavin. Aku terkejut begitu mereka terlihat saling kenal. Dareen pun melihat ke arahku, dari tatapannya dia seperti bertanya-tanya.
"Yah terakhir kulihat kau sekita tiga tahun yang lalu di acara pertemuan bisnis Mr.Smith dan dia, bukannya dia Jules?" tunjuk Gavin ke arah wanita itu. Dareen hanya mengangguk membalasnya. "Aku tidak menyangka kalian masih dekat, Hai Jules!"
"Hai Gavin, kau masih nakal dan tidak sopan terhadap seniormu rupanya," kata Jules.
"Kau sepertinya masih senioritas. Jadi, selama ini kalian bersama."
"Tidak—kami baru bertemu makanya berencana reuni," jawab Dareen. Dia kembali beralih menatap ke arahku. "Amanda?"
"Kalian saling kenal?" tanya Gavin.
"Tentu, dia mahasiswiku. Dia siapamu?" tanyanya yang datar.
"Ohya? Amanda adikku dan juga ini ibuku, ini Natalie—istriku, dan ini Alex..." ucapan Gavin tiba-tiba terjeda dan menatap ke arahku. "Anakku," lanjutnya. Meskipun aku senang akan hal itu tapi aku masih merasa hatiku teriris akan hal itu.
Dareen kemudian menjabat tangan Natalie dan Ibu. "Kemana Mr.Ravindra?"
"Dad lagi ada urusan di luar negeri." Aku bahkan terkejut jika Dareen mengenal paman James.
"Kalau begitu kami pesan makan dulu," ujar Gavin.
"Kami juga sudah selesai makan, kami pamit lebih dulu. See you Gavin," balas Dareen lalu berjalan keluar diikuti oleh Jules. Entah mengapa aku merasa arah matanya terus melihatiku hingga dia melewatiku. Sementara, aku hanya tersenyum kaku kepadanya.
Kami kemudian duduk di meja yang kosong. Gavin mulai memesan, dia tidak lagi menanyakannya kepada kami karena dia sudah tahu apa yang kami selalu pesan. Gavin begitu penyayang keluarga. Aku dapat merasakan hal itu, awal pertemuanku dengannya terasa begitu canggung namun, seiring perjalanan waktu aku mulai terbiasa. Dia juga orang ramah dan sangat terbuka. Hal ini membuatku cepat akrab dan nyaman dengannya bahkan dengan Natalie.
Aku terus bertanya-tanya bagaimana Dareen dan Gavin dan saling kenal, aku yang sudah penasaran terpaksa menanyakannya.
"Gavin, bagaimana kau bisa kenal dengan Mr.Ivander?" tanyaku.
"Oh Dareen? Dia dan Jules adalah seniorku ketika kuliah. Saat itu kami cukup akrab satu sama lain."
"Lalu, Dad?"
"Dia dan dad kenalan ketika pertemuan bisnis Mr.Smith di Kanada tiga tahun yang lalu. Aku yang memperkenalkannya."
Aku hanya manggut-manggut mendengarnya.
"Kenapa kau bertanya?" tanya Gavin kembali. "Kau tertarik sama Dareen?"
"Apa? Tidak—bagaimana mungkin, dia adalah dosenku. Aku hanya penasaran bagaimana kalian saling kenal."
"Oh begitu, sebenarnya tidak apa-apa kalau kau menyukainya. Justru bagus kalau kau bersamanya. Masa depanmu terjamin." Dia terlihat menggodaku.
Aku mengernyit. "Dia hanya dosenku dan juga apa hubungannya dengan masa depanku?"
"Dia sangat mapan, dia dosen, kudengar dia sudah membangun perusahaan yang bergerak dibagian teknologi dan start-up. Meskipun tergolong masih perusahaan yang kecil tapi dia mampu bersaing di dunia bisnis dan usianya masih tergolong muda untuk mendapatkan semua itu."
Aku hanya memutar mata mendengarnya. "Terserah kau saja."
"Aku bisa mengatur agar kalian bisa pergi kencan," godannya kembali.
"Apa-apaan kau ini," protesku sambil menantapnya tajam.
Dia tertawa mengejekku. "Aku hanya bercanda."
"Sebenarnya ada betulnya juga yang dibilang Gavin." Kini Ibu mulai bersuara dan terlihat dia sekarang bersekutu dengan Gavin setelah perdebatan panjang yang mereka lakukan.
"Betulkan mom, yang kukatakan. Jika Amanda bersama Dareen, dia sangat beruntung karena masa depannya terjamin," katanya sambil terkekeh.
"Awas kau Gavin," ancamku yang ingin memukulinya pakai tas ku.
Dia kini semakin terbahak-bahak. "Lihat wajahmu merah!"
"Sudahlah! Berhenti menggoda Amanda, Honey." Natalie menginterupsi membelaku.
"Sorry, just kidding sister." Aku hanya menganyumkan bibirku.
~~oo~~
Aku berlari terburu-buru menyusuri koridor kampus. Bagaimana tidak terburu-buru, kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu dalam artian aku terlambat. Semalam aku menghabiskan malamku dengan bermaingamebersama Gavin dan aku lupa kalau kelas Dareen hari ini dimajukan dengan alasan dia harus rapat dosen. Tok..Tok..Tok. Aku mengetuk pintu ragu lalu membukanya dengan ragu. "Maaf Mr.Ivander saya terlambat, apa saya masih boleh mengikuti kelas?" Dareen menatapku tajam. "Kau tahu betul aturanku kan, datang dengan tepat waktu. Apa kau datang tepat waktu sekarang?" Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mr. Ivander. Aku lupa jika jadwal hari ini dimajukan."
Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat. "Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya. "Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?" "Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran." "Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berp
"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan. "Kau sudah bangun?" tanya ibuku. Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku,Dad.KapanDaddatang?" "Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu,beauty?" "Tentu baik." "Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit. "Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.
Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan. Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku. "Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua. "Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadan
Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya. "Hust.. diamlah,auntydi sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang. "Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen. "Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.
Alex tak henti-hentinya tertawa begitu aku membantunya bermain ayunan. Dareen pergi membeli minuman untuk kami berdua. Setelah puas dengan bermain ayunan kini Alex menuju ke arah seluncuran. Memang taman dekat rumahku begitu dilengkapi dengan arena permaian anak. Tidak lama kemudian Dareen sudah datang. Dia lalu memberiku air botol mineral, dia juga membawa permen kapas yang dia belikan untuk Alex. Alex terlihat senang menerima permen kapas dari Dareen. "Kenapa kau memberinya permen?" protesku. "Memangnya kenapa?" tanyanya datar tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Tentu tidak bisa, itu kurang baik untuk gizinya sama pertumbuhan giginya," jawabku yang sedikit kesal. Enak saja dia ingin memberi Alex makanan tidak sehat.
"Cukup sekian kelas hari ini. Jangan lupa minggu depan kita ada kuis. Bagi yang belum menyelesaikan tugas segera selesaikan sebelum hari kuis," kata Mr. Taka yang kemudian berlalu keluar dari kelas. Aku merenggangkan badanku, dua jam mendengar ceramah yang begitu kaku membuatku begitu mengantuk. Dan juga dia termasuk dosen yang sangat keras. Di kelasnya, kami tidak bisa melakukan apapun selain memperhatikan dirinya berceramah. "Mr. Taka sudah tua, buncit, botak, menyebalkan lagi." Jessica mencacinya. Ia masih menyimpan dendam kepada Mr. Taka mengingat semester lalu dia hampir saja tidak lulus di kelas Mr. Taka hanya karena dia lupa mensenyapkan ponselnya. "Meskipun begitu, tapi kau takut tidak lulus di kelasnya 'kan?" timpalku. "S
Selepas selesai makan, aku tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan ke salah satu mall di New York. Jessica ingin membeli beberapa pakaian baru, ia betul-betul memanfaatkan Noah begitu Noah bilang akan mengikuti kemauan Jessica seharian ini. Sementara, aku kini menemani Jessica memilih pakaian yang cocok padanya. Terlihat juga dari kejauhan Zion dan Noah sedang berbicara. Mereka mungkin sedikit bosan menemani wanita berbelanja. Terlebih Jessica, memilih satu pakaian saja prosesnya sangat lama. "Ayolah Jessica, kau sudah setengah jam hanya karena memilih warna," keluhku kepadanya. Dari tadi dia hanya bingung ingin memilih antara warna putih atau abu-abu. Aku sudah memberikan saranku, namun dia terlihat semakin bingung. "Aku harus pastikan yang benar-benar cocok di tubuh seksiku ini." Jessica berkata dengan penuh percaya diri.