Aku berlari terburu-buru menyusuri koridor kampus. Bagaimana tidak terburu-buru, kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu dalam artian aku terlambat. Semalam aku menghabiskan malamku dengan bermain game bersama Gavin dan aku lupa kalau kelas Dareen hari ini dimajukan dengan alasan dia harus rapat dosen.
Tok..Tok..Tok.
Aku mengetuk pintu ragu lalu membukanya dengan ragu. "Maaf Mr.Ivander saya terlambat, apa saya masih boleh mengikuti kelas?"
Dareen menatapku tajam. "Kau tahu betul aturanku kan, datang dengan tepat waktu. Apa kau datang tepat waktu sekarang?"
Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mr. Ivander. Aku lupa jika jadwal hari ini dimajukan."
"Kalau begitu apa kau juga lupa jika aturanku seperti Mr.Hanz yang artinya jika kau telat maka tidak bisa mengikuti kelas."
"Maaf Mr. Ivander tapi bisakah kali ini saja aku—"
"Keluar!" tekannya.
Aku tertegun begitu dia mengusirku di kelas. Di sana terlihat Jessica menatapku iba dan kali ini Dareen benar-benar menyeramkan. Dia berbeda ketika aku makan sushi bersamanya.
"Apa kau tidak dengar? Aku bilang keluar!" usirnya kembali dengan nadanya yang naik satu oktaf. Aku lalu keluar dengan lesu dan jalan menunduk. Selama berkuliah di sini, aku tidak pernah terlambat dan tidak pernah di usir. Aku betul-betul tenang menjalani hidupku di sini berbanding terbalik ketika aku berada di Indonesia.
Namun, semenjak Dareen mengajar dia bahkan mengusirku. Aku pikir dia dosen yang cukup ramah setelah dia mentraktirku sushi waktu itu. Apa dia tidak bisa mentoleransi kesalahanku karena melupakan jadwal yang dimajukan. Maksudku lupa itu manusiawi kan? Kenapa dia pelit begitu. Ahh dia memang pelit, bahkan ketika di toko buku dia sangat pelit waktu itu tapi dia juga mentraktirku makan. Jangan-jangan dia berkepribadian ganda. Aku berdengik ngeri membayangkannya.
Tiba-tiba ponselku bergetar, lalu kulihat ada notifikasi pesan masuk dari Dareen. Dia mengirimiku pesan? Ada apa? Apa dia ingin meminta maaf dan menyuruhku kembali masuk kelasnya?
'Tunggu aku di ruanganku!' Aku mengangkat alisku membacanya, untuk apa aku ke ruangannya, kenapa tidak menyuruhku masuk kembali ke kelasnya saja.
Aku awalnya yang memilih mengabaikannya namun tidak lama kemudian pesan darinya masuk lagi. 'Ada tugas yang ingin kuberikan, jangan kabur!'
Belum selesai tugas yang dia berikan, kini dia memberiku tugas lagi. Apa dia tidak bisa berfikir, tugas bukan hanya dari dia tapi dari dosen lainnya juga. Memangnya aku robot yang bisa mengerjakan semua. Aku dengan langkah yang berat melangkah keruangannya.
Selama dua jam aku menunggunya, akhirnya dia datang dengan membawa caramel macchiato. Dia lalu menyedorkannya kepadaku. "Untukmu."
Aku menatapnya tidak percaya setelah mengusirku kini dia memberikanku caramel macchiato. Aku semakin yakin orang ini sedikit aneh atau dia sedikit tidak waras.
"Ayo ambil, ini untukmu. Tenang saja, aku tidak meracunimu jika itu yang kau takutkan," katanya dengan tangannya yang masih mengambang menyedorkanku sebuah minuman.
Aku lalu mengambilnya dengan ragu. "Terima kasih."
Dia kemudian duduk di hadapanku dengan melipat kakinya seraya menatapku. "Kenapa bisa kau terlambat?"
"Bukankah aku sudah bilang jika aku lupa kalau jadwal hari ini dimajukan."
"Benarkah? Apa hanya itu? Maksudku adalah alasan lupa hanyalah alasan konyol untuk menutup penyebab utamanya."
Aku tertegun mendengarnya, bagaimana bisa dia begitu pandai menjelaskan tujuan alasan lupa. Apa dia juga mengambil jurusan sastra atau bahasa. Aku kemudian menarik nafas dan berkata, "baiklah Mr.Ivander, aku akui—"
"Just Dareen, please. Hanya ada kita berdua di sini." Dia menginterupsiku.
Sejujurnya aku masih canggung jika harus memanggilnya dengan nama depannya tapi apa boleh buat, anggap saja ini permintaan dosen yang harus kulakukan meskipun dia cukup menyebalkan. "Oke Dareen, aku bukan hanya lupa tapi aku ketiduran dan lupa menghidupkan alarmku di jadwal yang kau majukan."
"Ketiduran? Apa kau begadang semalam?"
"Yah, Gavin memintaku untuk menemaninya bermain game agar rank-nya naik." Mengingat Gavin semalam yang melarangku tidur hanya untuk sekedar membantunya bermain game agar peringkatnya naik.
Dia manggu-manggut. "Bermain game rupanya."
Aku hanya bisa tersenyum paksa sambil mengulum bibirku. "Sorry."
"Aku tidak menyangka kalau kau ternyata bersaudara dengan Gavin, setauku dia tidak punya saudara dan juga nama belakang kalian yang—"
"Yah secara biologis kami tidak sedarah. Ayahnya dan ibuku menikah dan kami menjadi saudara. Aku juga tidak menyangka kalau kalian ternyata saling kenal bahkan satu kampus."
"Dia dulu sangat menyebalkan, sangat jail, dan dia tidak punya sopan santun sama seniornya tapi dia orang yang cukup menyenangkan."
"Hah.. betul dia sangat jail. Dia sering mengangguku dan juga sering menjaili ibu bahkan menjaili istrinya sendiri. Tapi dia penyayang keluarga." Aku tiba-tiba terbawa suasana dan mendeskripsikan Gavin dengan heboh. "Maaf, aku terbawa suasana."
Dia menatapku lalu menarik senyumnya. "Tidak apa-apa, aku suka melihatmu yang antusias begini."
Sejujurnya melihat dia menatapku dengan begitu membuatku sedikit salah tingkah, aku wanita normal yang melihat wajah tampan Dareen tersenyum pasti akan sedikit salah tingkah namun, bukan berarti aku menyukainya. Mungkin, saat ini aku sudah mati rasa setelah hubunganku dengan si brengsek Rafael.
"Jadi, apa aku punya tugas tambahan?" tanyaku.
"Tentu, karena kau terlambat maka pasti akan kuberi tugas tambahan."
Aku mengkerutkan alisku seraya menganyumkan bibirku. "Tidak bisakah kau memaafkanku kali ini, aku sudah punya banyak tugas. Belum lagi tugas pendataan yang kau berikan, aku baru mendata seratus mahasiswa belum sampat setengahnya. Kalau ditambah lagi dengan tugas tambahanmu bukankah itu sangat memberatkan?"
"Tidak bisa Amanda, itu perkara yang beda. Tugasmu muda kau hanya perlu mengumpulkan metode-metode umum pengujian aplikasi sebelum diluncurkan. Carilah acuan aplikasi dibidang bisnis dalam melakukan metode tersebut. Mudahkan? Lusa kau harus sudah kumpul laporanmu."
"Lusa? Bukan minggu depan? Tapi kelasmu minggu depan." Aku tidak percaya, dia memberiku tugas dalam jangka waktu dua hari. Dia begitu kejam.
"Kau harusnya beruntung, tidak menyuruhmu untuk mengumpukannya hari ini. Kesalahanmu adalah hari ini harusnya kau bertanggung jawabnya hari ini juga."
"Anda sangat kejam," gerutuku yang sudah kembali berbicara formal kepadanya.
"Jangan menganggapku kejam. Aku tidak akan kejam jika orang itu mematuhi peraturan."
"Baiklah, Mr.Ivander aku akan mematuhi semua aturanmu mulai dari sekarang. Baiklah kalau begitu, aku permisi."
Baru aku berdiri dari tempatku, Dareen tiba-tiba menahan lenganku. "Tunggu!"
Aku lalu berbalik ke arahnya dan sedikit terkejut melihat ke arah tanganku.
"Maaf," ucapnya lalu melepaskan tangannya. "Kau ingin pergi makan siang bersama?"
"Bukankah anda ada rapat dosen, Mr.Ivander?" tanyaku.
"Sudah kubilang untuk tidak formal kepadaku jika sedang berdua saja dan rapatnya di undur selama dua jam. Bagaimana, apa kau mau?"
Aku heran harus menjawab apa, rasanya aneh jika dia mengajakku makan siang. Aku juga tidak merasa tidak enak jika ada melihat kami dan berpikir yang tidak-tidak. Tapi, menolaknya juga aku tidak yakin.
"Maaf, tapi aku sudah ada janji dengan Jessica untuk makan siang bersama."
"Oh, begitu."
Aku terpaksa berbohong untuk menolak pemintaannya. Sejujurnya aku merasa tidak enak kulihat raut wajah Dareen yang berubah. Aku hanya merasa tidak nyaman jika terus makan bersamanya.
"Aku permisi," pamitku lalu keluar dari ruangannya.
~~oo~~
Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat. "Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya. "Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?" "Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran." "Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berp
"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan. "Kau sudah bangun?" tanya ibuku. Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku,Dad.KapanDaddatang?" "Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu,beauty?" "Tentu baik." "Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit. "Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.
Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan. Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku. "Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua. "Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadan
Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya. "Hust.. diamlah,auntydi sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang. "Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen. "Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.
Alex tak henti-hentinya tertawa begitu aku membantunya bermain ayunan. Dareen pergi membeli minuman untuk kami berdua. Setelah puas dengan bermain ayunan kini Alex menuju ke arah seluncuran. Memang taman dekat rumahku begitu dilengkapi dengan arena permaian anak. Tidak lama kemudian Dareen sudah datang. Dia lalu memberiku air botol mineral, dia juga membawa permen kapas yang dia belikan untuk Alex. Alex terlihat senang menerima permen kapas dari Dareen. "Kenapa kau memberinya permen?" protesku. "Memangnya kenapa?" tanyanya datar tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Tentu tidak bisa, itu kurang baik untuk gizinya sama pertumbuhan giginya," jawabku yang sedikit kesal. Enak saja dia ingin memberi Alex makanan tidak sehat.
"Cukup sekian kelas hari ini. Jangan lupa minggu depan kita ada kuis. Bagi yang belum menyelesaikan tugas segera selesaikan sebelum hari kuis," kata Mr. Taka yang kemudian berlalu keluar dari kelas. Aku merenggangkan badanku, dua jam mendengar ceramah yang begitu kaku membuatku begitu mengantuk. Dan juga dia termasuk dosen yang sangat keras. Di kelasnya, kami tidak bisa melakukan apapun selain memperhatikan dirinya berceramah. "Mr. Taka sudah tua, buncit, botak, menyebalkan lagi." Jessica mencacinya. Ia masih menyimpan dendam kepada Mr. Taka mengingat semester lalu dia hampir saja tidak lulus di kelas Mr. Taka hanya karena dia lupa mensenyapkan ponselnya. "Meskipun begitu, tapi kau takut tidak lulus di kelasnya 'kan?" timpalku. "S
Selepas selesai makan, aku tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan ke salah satu mall di New York. Jessica ingin membeli beberapa pakaian baru, ia betul-betul memanfaatkan Noah begitu Noah bilang akan mengikuti kemauan Jessica seharian ini. Sementara, aku kini menemani Jessica memilih pakaian yang cocok padanya. Terlihat juga dari kejauhan Zion dan Noah sedang berbicara. Mereka mungkin sedikit bosan menemani wanita berbelanja. Terlebih Jessica, memilih satu pakaian saja prosesnya sangat lama. "Ayolah Jessica, kau sudah setengah jam hanya karena memilih warna," keluhku kepadanya. Dari tadi dia hanya bingung ingin memilih antara warna putih atau abu-abu. Aku sudah memberikan saranku, namun dia terlihat semakin bingung. "Aku harus pastikan yang benar-benar cocok di tubuh seksiku ini." Jessica berkata dengan penuh percaya diri.
Aku membuka mataku merasa cahaya matahari pagi menembus jendelaku. Kulihat ibu membuka tirai jendelaku. Aku mengucek mataku lalu mendudukkan diriku. Kepalaku terasa berat, semalam aku tidak bisa tidur memikirkan kata-kata Dareen. Setelah aksi teriak meneriaki, aku langsung pulang begitu saja. Semalam aku lebih memilih pulang naik taksi, rasanya ada yang tidak beres antara aku dengan Dareen jika terus bersama. "Ayo bangun lalu mandi putri tidur," titah ibu kepadaku. "Ibu kenapa cepat sekali membangunkanku, aku masih mengantuk," gumamku lalu kembali membaringkan tubuhku di kasir. Hari ini aku kelas siang, tidak ada salahnya jika aku terlambat bangun. Ibu langsung menarikku. "Hei, bangun. Tidak baik anak gadis lama bangun. Nanti jodohmu lama terbuka."