Bu Lilis nangis sesenggukan saat Jaka mengabari dirinya sudah menjadi mahasiswa. Meski bukan terdaftar di kampus negeri dan bukan pula kampus swasta yang elit, sebodo amat. Toh yang penting saat lulus nanti gelarnya sama-sama Sarjana. Yang beda cuma soal nasib! Ada Sarjana yang nasibnya bagus bisa langsung diterima kerja di perusahaan elit, atau jadi PNS yang gajinya aman sampai tua. Ada juga yang masih menganggur meski sudah wawancara kerja sana-sini sampai ndelusur. Bagi Bu Lilis, biarlah anaknya menjadi Sarjana saja dulu. Soal nasib bisa diperjuangkan lagi nanti.
Obsesi Bu Lilis ingin foto bareng anaknya di hari wisudanya yang memakai toga, buat dipamerkan ke mendiang suaminya. Sesuai janjinya dulu kalau dia saggup mengurus Jaka sampai jadi Sarjana meski dirinya bukan orang berpendidikan tinggi. Jadi saat menengok Pak Ujang ke kuburan nanti, dia tak perlu menebar bunga lagi, tapi menebar foto-fotonya sama Jaka yang lagi wisuda. Hiii ... kok malah serem.
Semenjak a
Hubungan Nuning dan Jaka menjadi renggang sejak ketiadaan Bu Lilis. Mereka memang sudah berkomunikasi seperti biasa, tetapi rasanya tak sama lagi seperti dulu. Keakraban mulai memudar. Meski tiada yang saling menghindar. Secara fisik mereka memang berdekatan, tapi Nuning merasa jiwa Jaka menjauhinya. Nuning memahami Jaka dengan membalik sudut pandangnya, 'Andai aku menjadi Jaka, pasti bakal marah juga. Aku memang nggak becus jagain ibunya, sampai harus berujung kematian,' pikirnya direjam rasa bersalah yang menyengat. Namun Jimin membesarkan hatinya. “Sudahlah, Ning. Jangan kebangetan nyalahin dirimu sendiri. Memangnya kamu bisa ngumpetin mertuamu dari malaikat maut? Kalaupun kamu tetap di rumah hari itu, mertuamu tetap bakalan meninggal juga dengan cara dan sebab yang beda." Demi menghibur Jaka, Nuning rajin menyontek resep dan menu masakan yang biasa dibuat Bu Lilis agar Jaka semangat makan. Akan tetapi, Jaka selalu mengurung diri di kamar tiap pulang
Mulanya, Nuning enggan pulang kampung usai perceraiannya. Akan tetapi, takdir lebih berkuasa atas dirinya, tiba-tiba saja Bambang menelepon, mengabari kalau emaknya sedang sakit dan ingin dijenguk. Mau tak mau memanggilnya pulang dengan sendirinya. Meski berat bagi Nuning untuk meninggalkan Citayem yang sudah tujuh tahun menjadi bagian hidupnya. Bahkan Jimin ikut menangis harus kehilangan tukang petik buah terbaiknya. Nuning menyempatkan diri ke makam Bu Lilis seorang diri untuk pamitan. Menabur kembang, lalu memanjatkan doa. Hatinya sungguh terasa berat. Ia pun memeluk nisan Bu Lilis sambil menangis, tapi kemudian memekik kaget saat kepalanya tiba-tiba saja dipentung orang. “Memangnya kamu nggak tahu ya? Jangan nangisin orang mati di atas kuburannya!” omel seorang nenek-nenek yang memelototinya galak. Nuning bergegas berdiri sambil meringis, mengusapi kepalanya. “Ngapain Mbah Sum di sini?” tanyanya keheranan ada orang selain dirinya yang berani menyambangi k
Nuning membaca daftar belanja titipan emaknya. Menuju lapak ikan dan melihat Parman berjualan. Ingin pindah lapak, tapi Parman yang congornya tk kalah ramai dari toa masjid itu keburu memanggilnya, “Nuning! Apa kabar? Wah ..., udah lama banget nih nggak ketemu. Kamu masih aja kayak dulu, kirain bakal ada perubahan yang gimanaa gitu,” candanya rese. Nuning pura-pura sibuk memilih ikan. Ia sudah lama kenal Parman, cowok menyebalkan itu akan stop sendiri mengoceh kalau tak ditanggapi. Tapi, bukan Parman namanya kalau mulutnya nggak nyap-nyap menggali dan mengumbar berita, tak peduli rumor atau fakta. Bakat terpendamnya jadi presenter gosip, tak didukung saja oleh nasib. “Eh, aku ketemu Jaka waktu itu, katanya dia cuma mau nganterin kamu pulang, terus balik lagi ke Jakarta sendirian. Kok gitu? Emangnya kamu nggak betah hidup di sana, terus ogah lagi ikut dia? Mau tinggal misah, gitu? Cuma buat sementara atau seterusnya?” “Yang ini berapa sekilo?” Nuning mengabaik
“Kamu jadi gelandangan dong?” komentar Hobbie usai mendengar cerita Nuning saat mereka udah akur, tentang kartu nama Ayu yang hilang dan ranselnya yang raib diambil orang. “Yang penting kamu punya duit kan? Tenang aja, selagi ada duit pasti ada solusinya! Cari aja kos-kosan murah. Kalau soal baju ganti, beli aja di Tanah Abang banyak kok harga grosiran, yang bekas juga murah cuma lima ribuan,” ujar Hobbie menyemangati teman barunya. Tapi kemudian tepok jidat begitu Nuning memperlihatkan isi dompetnya. “Astaganaga. Nekat amat kamu ke Jakarta cuma berbekal duit segini doang?” katanya sambil geleng-geleng. “Sudahlah. Aku bisa numpang tidur di stasiun Gambir, pura-pura jadi penumpang nungguin jadwal kereta. Yang penting bukan di kolong jembatan atau emperan toko, biar nggak diciduk Satpol PP dikira gembel,” ujar Nuning miris kepada diri sendiri. “Lah, tampilanmu sekarang aja nggak ada bedanya sama gembel kok. Yang ada kamu ntar diciduk satpam stasiun terus diseto
Nuning lunglai di kasurnya bukan karena sakit, tapi karena telepon dari emaknya yang nangis-nangis, mengabari kalau Bambang ketiban rumah mereka yang rubuh, dan saat ini sedang berada di kamar bedah. “Tapi Mas Bambang nggak kenapa-napa kan, Mak?” “Ndak kenapa-napa gimana tho, Nduk? Lah wong kepalanya mandi darah gitu, kok! Haduh ..., padahal masmu rencananya mau kawin bulan depan!” Lalu telepon diambil alih bapaknya, karena si emak malah sibuk menangis ketimbang berbicara. “Tenang, Nduk. Dokter bilang luka di kepalanya memang perlu banyak jahitan, tapi nggak sampai melukai organ yang vital, otak dan mata misalnya. Tapi ya namanya luka di kepala, masmu bakal butuh istirahat sedikit lebih lama. Terpaksa masmu cuti kerja. Terus, nga-nganu ...,” untuk sejenak Pak Priyo terdengar kikuk, “rumah kita kan rubuh atapnya, perlu lekas diperbaiki, ta-tapi nganu, Nduk ..., Bapak ndak punya duit. Bapak mau pinjam dulu sama kamu. Kan waktu itu kamu bilang kalau Jaka
"Maaf, Hobbie bikin kamu nggak nyaman tadi. Kurasa dia nggak bermaksud seperti itu," ujar Vincent dengan teramat sopan saat mengantar Nuning pulang sampai lobi. "Sebetulnya aku ingin bicara langsung denganmu, tapi kebetulan, aku masih ada urusan mendesak. Biar Hobbie yang mewakiliku. Dia akan menjelaskan padamu nanti," katanya sembari membuka pintu sebuah Camry hitam yang menjemput Nuning. Nuning terdiam, sibuk mengagumi ketampanan paripurna di depannya."Masuklah," tegur Vincent membuyarlkan lamunannya. "Selamat beristirahat," ujar pria itu sebelum menutup pintu mobil. Sedan mewah itu mulai melaju meninggalkan lobi, tapi Nuning masih menoleh ke belakang. Vincent terlihat masih melambaikan tangan, lalu kembali masuk ke dalam hotel. "Waah, akhirnya ..., untung saja kita datang tepat waktu. Hampir saja kacau," desah Hobbie terlihat lega. Mengabaikan Nuning yang masih belum benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi."Bingung ya? Ntar aja k
Nuning pikir kerja jadi pembantunya Vincent alih-alih mengerjakan tugasnya sebagai IRT itu bakal asyik-asyik aja. Nyatanya, Nuning sering dibuat kelimpungan. Vincent ternyata amat pemilih dan tak punya jadwal makan yang jelas. Tapi begitu lapar, maunya cepat tersedia. 'Emangnya aku ini jinnya Aladdin,' batinnya dongkol. Untunglah Vincent penyuka buah dan sayur. Nuning tinggal bikin jus atau salad. Kecuali kalau tiba-tiba dia menginginkan pasta. Untunglah Hobbie sempat mengajarinya memasak aneka olahan pasta sebelum berangkat ke Amerika. Tak peduli sedang apa, pokoknya kalau juragan sudah memanggil, Nuning kudu setor muka, meski cuma buat ditanya hal yang penting nggak penting, “Lihat kacamataku, nggak?” Sementara si kacamata yang dicari lagi nangkring di kepalanya. Atau, “Tolong bikinin kopi.” Padahal secangkir kopinya sudah nangkring di meja kerjanya sejak kapan tahu. Dan dia selalu bertanya tanpa pernah menatap wajah Nuning. Tatapannya selalu lurus ke layar laptop
Nuning lagi asyik-asyiknya ngemplok makanan ndeso yang dahsyat banget nikmatnya kala bel pintu berbunyi. Terpaksa menyudahi acara makan siang dan mematikan video rekamannya karena bunyi belnya tak kunjung henti. Tak mungkin itu Vincent karena masih di Italia, dia tak bakal pencet bel segala karena ini kan rumahnya sendiri.Nuning mengintip siapa tamunya lewat lubang pintu, terperanjat begitu melihat penampakan Nyonya Rose di sana. Demi tuyul gundul yang nggak pernah gondrong... Apa pula yang membawa mertuanya kemari?! Iapun ngibrit mencuci mukanya. Untung mukanya udah terawat, meski cuma dibedakin dan pakai lipstik aja udah kelihatan segar, padahal belum mandi. Rambutnya juga udah lama pamitan sama ketombe karena tak luput dari perawatan. Jadi sekarang rambutnya pada kalem dan nurut aja pas disisir, nggak kaku kayak sapu ijuk lagi.Nyonya Rose bersedekap dan memandanginya dengan masam saat Nuning membuka pintu. “Lama amat?” ketusnya sambil memasuki