Share

Bab 3

Author: IchiOcha
last update Last Updated: 2022-03-24 12:16:06

Tubuh atletis dengan wajah tampan serta mata yang memikat terus-menerus tergambar di pikiran Tika. Berbagai fantasi romantis melanda sekembalinya dia dari kafetaria. Senyum tak pernah lepas dari wajah ayunya.

"Tika, apa yang salah? Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Rose curiga. Sejak tadi Tika terlihat melamun lalu tersenyum dan sesekali menghela napas. Rose khawatir Tika menjadi gila karena hukuman yang diberikan Madam Cleo.

"A--ah, tidak ada Rose. Aku baik-baik saja. Aku sedang senang. Itu saja," gagap Tika menjawab pertanyaan Rose. Dia seperti sedang ketahuan.

Rose makin bingung, dia tak habis pikir Tika masih bisa senang setelah mendapat hukuman. Rose yakin ada yang tidak normal dengan Tika, "Kamu serius baik-baik saja? Aku pikir mendapat hukuman bukanlah alasan untuk senang?"

"Hemh, kamu tidak sepenuhnya salah. Aku sedikit bersyukur karena aku dihukum hari ini," ucap Tika ceria.

"Astaga, Tika. Kamu sudah gila." Rose menggelengkan kepalanya.

"Kamu benar, Rose. Aku sudah gila." Kali ini Tika bahkan tertawa. Dia melihat dengan jelas perubahan muka Rose yang keheranan sekaligus penasaran.

"Ayolah, Tika. Sekarang, aku benar-benar khawatir padamu." Rose menempelkan tangannya pada dahi Tika.

"Rose. Aku sudah bilang aku baik-baik saja. Aku sedang senang saja. Bisakah kamu nggak bertanya lebih lanjut alasannya," pinta Tika lembut, "aku janji akan menceritakan padamu nanti," imbuhnya.

"Oke baiklah," gumam Rose mengalah. 

Dia lalu kembali ke tempat duduknya. Namun, dia berbalik lagi, masih memandang Tika khawatir.

"Oh, ayolah Rose. I'm fine baby," tegas Tika yang dibalas anggukan oleh Rose.

Baru saja Rose duduk di kursinya, suara Madam Cleo terdengar menegur, "Ladies, rupanya kalian punya waktu untuk saling mengkhawatirkan ya?"

"Maaf, Madam," Rose dan Tika berkata bersamaan.

Madam Cleo mengangkat tangannya, menginstruksikan kepada Rose dan Tika untuk diam.

"Saya sedang tidak ingin mendengar alasan apa pun. Tolong bekerja secara profesional. Saya tidak ingin memiliki kinerja yang memalukan.  Kalian pasti sudah tahu bukan? Besok, CEO baru perusahaan kita akan datang dan dari yang saya dengar beliau adalah orang yang sangat perfeksionis. Jadi, tolong jangan membuang waktu anda untuk hal yang tidak perlu," papar Madam Cleo panjang lebar.

"Baik, Madam," serentak seluruh staf di ruangan itu termasuk Tika dan Rose menjawab.

Selepas Madam Cleo pergi, Tika melirik ke arah Rose.

"Buka ponselmu," Tika meminta tanpa suara.

[Siapa CEO baru itu?], tulis Tika pada aplikasi pesan.

Rose membacanya, lalu terkekeh. [Kau penasaran?]

[Tentu saja, aku ingin tahu siapa orang yang sudah membuatku hampir tidak makan siang]

[Oh, ku kira kamu senang dapat hukuman]

[Oh, ayolah, Rose, jangan mulai lagi. Ceritakan padaku]

Rose melirik ke arah Tika, wanita itu sedang mengatupkan kedua tangannya seraya mengisyaratkan permohonan. Sayangnya, saat Rose mulai mengetik, terdengar suara dehaman Madam Cleo.

[Pulang kerja]. Tika membaca pesan singkat itu lalu mengangguk ke arah Rose.

"Rose, kau tidak lupa janjimu bukan?" tuntut Tika mensejajari langkah Rose saat mereka hendak pulang.

"Tentu saja aku ingat. Ayo kita duduk dulu." Rose menggiring Tika menuju sofa yang tersedia di lobi kantor.

"Jadi, siapa CEO baru itu, kenapa aku baru tahu?" Tika langsung bertanya setelah mereka berdua duduk.

"Astaga, rupanya kau sangat penasaran," goda Rose.

"Rose!"

"Baiklah, akan ku ceritakan," tutur Rose mengalah.

"Nah, begitu lebih baik. Mulai saja dari kapan kalian diberitahu soal CEO baru itu dan bagaimana orangnya," cerca Tika.

"Kami diberitahu Madam Cleo kemarin, saat kau pergi meninjau lapangan. Kalau soal bagaimana orangnya, belum banyak yang tahu. Tapi yang kudengar dari pembicaraan para gadis, CEO baru kita adalah seorang laki-laki muda yang tampan. Tubuhnya kekar dan atletis. Katanya, setiap wanita yang melihatnya tak bisa memalingkan muka dan selalu ingin tidur dengan sang CEO. Tapi, nyatanya, dia adalah orang yang sangat dingin dan kejam. Tidak ada satupun wanita yang berhasil menaklukkannya. Belum lagi, kinerjanya di perusahaan selalu bagus bahkan sempurna. Sebelum dikirim ke sini, dia sudah pernah mengepalai beberapa anak perusahaan yang tersebar di seluruh Amerika Serikat," papar Rose.

Tika terperangah mendengar penjelasan Rose, temannya satu itu sangat handal mengumpulkan informasi.

"Kau luar biasa, Rose." Tika mengacungkan jempolnya.

Rose membusungkan dadanya, "Tentu saja." 

Keduanya lalu tertawa sesaat.

"Jadi, artinya kita harus berhati-hati terhadap CEO baru itu, bukan?"

"Kurang lebih seperti itu. Kau sendiri sudah mendapatkan dampaknya lebih dulu," tutur Rose.

"Baiklah, tidak ada pilihan lain bagi bawahan seperti kita."

"Ada kok." Mata Rose mengerling nakal.

"Apa?" tanya Tika polos.

"Jadilah kekasihnya." Rose terkekeh setelah mengatakan itu. 

Wajah Tika langsung berubah kesal. Dia mencubit Rose.

"Solusimu sangat tidak lucu."

"Ayolah Tika, aku hanya bercanda. Jangan marah, kita pulang sekarang." Rose beranjak.

"Oke, kita pulang." Tika ikut berdiri.

***

"Rei, bagaimana soal informasi yang aku minta?" tanya seorang lelaki yang tengah melatih otot-ototnya menggunakan benda berat.

"Salah satu penasehat kita - pak Rufus- kehilangan payungnya belum lama ini," jawab Reiden.

"Jadi, apakah kemungkinan payung yang dibawa oleh wanita itu adalah milik pak Rufus?"

"Soal itu belum bisa dipastikan. Kalaupun benar itu milik Pak Rufus, seharusnya ada yang membawanya kesini dan memberikannya pada wanita itu."

"Kamu benar. Kita harus mencari tahu siapa orang ini dan apa tujuannya."

Reiden mengangguk membenarkan.

"Akan baik kalau kita bisa bertanya langsung dengan wanita itu tentang bagaimana dia bisa mendapatkan payung itu," tukas Axel.

"Akan aku lakukan," putus Reiden.

"Jangan!" Tanpa sadar Axel berteriak. Dia pun tidak tahu alasannya. Dia hanya tidak ingin melihat pria lain berbicara dengan wanita kurang ajar itu.

"Baik." Reiden sebenarnya kaget, tapi tidak ingin bertanya lebih jauh.

"Bukan begitu, aku tidak mau menyusahkanmu, dia wanita yang sangat menyebalkan. Biarkan aku yang menghadapinya. Toh, dia masih memiliki hutang padaku, dia pasti akan mencariku," papar Axel.

"Axel, aku bahkan tidak bertanya alasanmu. Tapi, baiklah." Reiden menahan senyum.

"Jangan tersenyum, sungguh, niatku hanya tidak ingin membuat orang yang sudah kuanggap sebagai saudara kesusahan." Axel masih membela diri. Dia tidak ingin Reiden salah sangka dan memikirkan hal yang tidak benar.

"Aku mengerti," ucap Reiden menenangkan, "tapi, apa kau yakin dia akan menghubungimu?"

"Aku yakin. Selama ini tidak pernah ada wanita yang mampu menolak kebaikan dan keramahanku. Jadi, aku yakin dia akan menghubungiku." Nada suara Axel arogan.

"Kau sungguh narsis." Reiden terkekeh.

"Tapi, jika ternyata dia tidak menghubungimu bagaimana?"

Axel merengut, dia tidak percaya Reiden meragukan pesona dan ketampanannya. Axel yakin Tika juga tertarik padanya, jika tidak kenapa wanita gila itu mendekatinya dan bahkan memintanya membayar makanan.

"Ayolah, Rei, yang benar saja," Axel mendengus.

"Aku bertanya jika saja, kalau betul dia menghubungimu, itu bagus."

"Kalau sampai dia tidak menghubungiku, cari dia!" perintah Axel tegas.

Reiden manggut-manggut lalu pamit pergi. Sebelum mencapai pintu, dia teringat sesuatu dan berbalik menghadap Axel kembali.

"Ada apa lagi?" selidik Axel.

"Aku lupa menyampaikan, besok waktunya kau mengunjungi perusahan yang akan kau pimpin selama di North Carolina. Itu anak perusahaan milik pak Remus, yang dikelola oleh Laura."

"Oke, aku paham. Tolong siapkan segala sesuatunya, Rei. Kita harus melakukan yang terbaik atau kita bisa kehilangan dukungan. Laura sudah mencurigai kita sejak payung milik kita ditemukan di dekat mayat ayahnya." Ada sedikit nada kemarahan yang tertahan dalam suara Axel.

"Aku laksanakan," ujar Reiden singkat lalu berlalu meninggalkan Axel.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Payung Merah   Bab 40

    Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris

  • Payung Merah   Bab 39

    "Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re

  • Payung Merah   Bab 38

    Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki

  • Payung Merah   Bab 37

    "Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak

  • Payung Merah   Bab 36

    Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada

  • Payung Merah   Bab 35

    Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag

  • Payung Merah   Bab 34

    "Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum

  • Payung Merah   Bab 33

    "Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."

  • Payung Merah   Bab 32

    Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status