Share

Bab 3

Tubuh atletis dengan wajah tampan serta mata yang memikat terus-menerus tergambar di pikiran Tika. Berbagai fantasi romantis melanda sekembalinya dia dari kafetaria. Senyum tak pernah lepas dari wajah ayunya.

"Tika, apa yang salah? Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Rose curiga. Sejak tadi Tika terlihat melamun lalu tersenyum dan sesekali menghela napas. Rose khawatir Tika menjadi gila karena hukuman yang diberikan Madam Cleo.

"A--ah, tidak ada Rose. Aku baik-baik saja. Aku sedang senang. Itu saja," gagap Tika menjawab pertanyaan Rose. Dia seperti sedang ketahuan.

Rose makin bingung, dia tak habis pikir Tika masih bisa senang setelah mendapat hukuman. Rose yakin ada yang tidak normal dengan Tika, "Kamu serius baik-baik saja? Aku pikir mendapat hukuman bukanlah alasan untuk senang?"

"Hemh, kamu tidak sepenuhnya salah. Aku sedikit bersyukur karena aku dihukum hari ini," ucap Tika ceria.

"Astaga, Tika. Kamu sudah gila." Rose menggelengkan kepalanya.

"Kamu benar, Rose. Aku sudah gila." Kali ini Tika bahkan tertawa. Dia melihat dengan jelas perubahan muka Rose yang keheranan sekaligus penasaran.

"Ayolah, Tika. Sekarang, aku benar-benar khawatir padamu." Rose menempelkan tangannya pada dahi Tika.

"Rose. Aku sudah bilang aku baik-baik saja. Aku sedang senang saja. Bisakah kamu nggak bertanya lebih lanjut alasannya," pinta Tika lembut, "aku janji akan menceritakan padamu nanti," imbuhnya.

"Oke baiklah," gumam Rose mengalah. 

Dia lalu kembali ke tempat duduknya. Namun, dia berbalik lagi, masih memandang Tika khawatir.

"Oh, ayolah Rose. I'm fine baby," tegas Tika yang dibalas anggukan oleh Rose.

Baru saja Rose duduk di kursinya, suara Madam Cleo terdengar menegur, "Ladies, rupanya kalian punya waktu untuk saling mengkhawatirkan ya?"

"Maaf, Madam," Rose dan Tika berkata bersamaan.

Madam Cleo mengangkat tangannya, menginstruksikan kepada Rose dan Tika untuk diam.

"Saya sedang tidak ingin mendengar alasan apa pun. Tolong bekerja secara profesional. Saya tidak ingin memiliki kinerja yang memalukan.  Kalian pasti sudah tahu bukan? Besok, CEO baru perusahaan kita akan datang dan dari yang saya dengar beliau adalah orang yang sangat perfeksionis. Jadi, tolong jangan membuang waktu anda untuk hal yang tidak perlu," papar Madam Cleo panjang lebar.

"Baik, Madam," serentak seluruh staf di ruangan itu termasuk Tika dan Rose menjawab.

Selepas Madam Cleo pergi, Tika melirik ke arah Rose.

"Buka ponselmu," Tika meminta tanpa suara.

[Siapa CEO baru itu?], tulis Tika pada aplikasi pesan.

Rose membacanya, lalu terkekeh. [Kau penasaran?]

[Tentu saja, aku ingin tahu siapa orang yang sudah membuatku hampir tidak makan siang]

[Oh, ku kira kamu senang dapat hukuman]

[Oh, ayolah, Rose, jangan mulai lagi. Ceritakan padaku]

Rose melirik ke arah Tika, wanita itu sedang mengatupkan kedua tangannya seraya mengisyaratkan permohonan. Sayangnya, saat Rose mulai mengetik, terdengar suara dehaman Madam Cleo.

[Pulang kerja]. Tika membaca pesan singkat itu lalu mengangguk ke arah Rose.

"Rose, kau tidak lupa janjimu bukan?" tuntut Tika mensejajari langkah Rose saat mereka hendak pulang.

"Tentu saja aku ingat. Ayo kita duduk dulu." Rose menggiring Tika menuju sofa yang tersedia di lobi kantor.

"Jadi, siapa CEO baru itu, kenapa aku baru tahu?" Tika langsung bertanya setelah mereka berdua duduk.

"Astaga, rupanya kau sangat penasaran," goda Rose.

"Rose!"

"Baiklah, akan ku ceritakan," tutur Rose mengalah.

"Nah, begitu lebih baik. Mulai saja dari kapan kalian diberitahu soal CEO baru itu dan bagaimana orangnya," cerca Tika.

"Kami diberitahu Madam Cleo kemarin, saat kau pergi meninjau lapangan. Kalau soal bagaimana orangnya, belum banyak yang tahu. Tapi yang kudengar dari pembicaraan para gadis, CEO baru kita adalah seorang laki-laki muda yang tampan. Tubuhnya kekar dan atletis. Katanya, setiap wanita yang melihatnya tak bisa memalingkan muka dan selalu ingin tidur dengan sang CEO. Tapi, nyatanya, dia adalah orang yang sangat dingin dan kejam. Tidak ada satupun wanita yang berhasil menaklukkannya. Belum lagi, kinerjanya di perusahaan selalu bagus bahkan sempurna. Sebelum dikirim ke sini, dia sudah pernah mengepalai beberapa anak perusahaan yang tersebar di seluruh Amerika Serikat," papar Rose.

Tika terperangah mendengar penjelasan Rose, temannya satu itu sangat handal mengumpulkan informasi.

"Kau luar biasa, Rose." Tika mengacungkan jempolnya.

Rose membusungkan dadanya, "Tentu saja." 

Keduanya lalu tertawa sesaat.

"Jadi, artinya kita harus berhati-hati terhadap CEO baru itu, bukan?"

"Kurang lebih seperti itu. Kau sendiri sudah mendapatkan dampaknya lebih dulu," tutur Rose.

"Baiklah, tidak ada pilihan lain bagi bawahan seperti kita."

"Ada kok." Mata Rose mengerling nakal.

"Apa?" tanya Tika polos.

"Jadilah kekasihnya." Rose terkekeh setelah mengatakan itu. 

Wajah Tika langsung berubah kesal. Dia mencubit Rose.

"Solusimu sangat tidak lucu."

"Ayolah Tika, aku hanya bercanda. Jangan marah, kita pulang sekarang." Rose beranjak.

"Oke, kita pulang." Tika ikut berdiri.

***

"Rei, bagaimana soal informasi yang aku minta?" tanya seorang lelaki yang tengah melatih otot-ototnya menggunakan benda berat.

"Salah satu penasehat kita - pak Rufus- kehilangan payungnya belum lama ini," jawab Reiden.

"Jadi, apakah kemungkinan payung yang dibawa oleh wanita itu adalah milik pak Rufus?"

"Soal itu belum bisa dipastikan. Kalaupun benar itu milik Pak Rufus, seharusnya ada yang membawanya kesini dan memberikannya pada wanita itu."

"Kamu benar. Kita harus mencari tahu siapa orang ini dan apa tujuannya."

Reiden mengangguk membenarkan.

"Akan baik kalau kita bisa bertanya langsung dengan wanita itu tentang bagaimana dia bisa mendapatkan payung itu," tukas Axel.

"Akan aku lakukan," putus Reiden.

"Jangan!" Tanpa sadar Axel berteriak. Dia pun tidak tahu alasannya. Dia hanya tidak ingin melihat pria lain berbicara dengan wanita kurang ajar itu.

"Baik." Reiden sebenarnya kaget, tapi tidak ingin bertanya lebih jauh.

"Bukan begitu, aku tidak mau menyusahkanmu, dia wanita yang sangat menyebalkan. Biarkan aku yang menghadapinya. Toh, dia masih memiliki hutang padaku, dia pasti akan mencariku," papar Axel.

"Axel, aku bahkan tidak bertanya alasanmu. Tapi, baiklah." Reiden menahan senyum.

"Jangan tersenyum, sungguh, niatku hanya tidak ingin membuat orang yang sudah kuanggap sebagai saudara kesusahan." Axel masih membela diri. Dia tidak ingin Reiden salah sangka dan memikirkan hal yang tidak benar.

"Aku mengerti," ucap Reiden menenangkan, "tapi, apa kau yakin dia akan menghubungimu?"

"Aku yakin. Selama ini tidak pernah ada wanita yang mampu menolak kebaikan dan keramahanku. Jadi, aku yakin dia akan menghubungiku." Nada suara Axel arogan.

"Kau sungguh narsis." Reiden terkekeh.

"Tapi, jika ternyata dia tidak menghubungimu bagaimana?"

Axel merengut, dia tidak percaya Reiden meragukan pesona dan ketampanannya. Axel yakin Tika juga tertarik padanya, jika tidak kenapa wanita gila itu mendekatinya dan bahkan memintanya membayar makanan.

"Ayolah, Rei, yang benar saja," Axel mendengus.

"Aku bertanya jika saja, kalau betul dia menghubungimu, itu bagus."

"Kalau sampai dia tidak menghubungiku, cari dia!" perintah Axel tegas.

Reiden manggut-manggut lalu pamit pergi. Sebelum mencapai pintu, dia teringat sesuatu dan berbalik menghadap Axel kembali.

"Ada apa lagi?" selidik Axel.

"Aku lupa menyampaikan, besok waktunya kau mengunjungi perusahan yang akan kau pimpin selama di North Carolina. Itu anak perusahaan milik pak Remus, yang dikelola oleh Laura."

"Oke, aku paham. Tolong siapkan segala sesuatunya, Rei. Kita harus melakukan yang terbaik atau kita bisa kehilangan dukungan. Laura sudah mencurigai kita sejak payung milik kita ditemukan di dekat mayat ayahnya." Ada sedikit nada kemarahan yang tertahan dalam suara Axel.

"Aku laksanakan," ujar Reiden singkat lalu berlalu meninggalkan Axel.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status