LOGIN
Di Elyria, kota megah dengan menara kaca yang bersinar oleh mantra dan mobil terbang yang berdengung pelan seperti lebah raksasa, pagi selalu dimulai dengan hiruk-pikuk.
Jalan-jalan dipenuhi pedagang yang menjajakan kristal sihir, penyihir jalanan yang memamerkan trik kecil untuk koin, dan tentara kerajaan yang berpatroli dengan jubah berlapis rune. Di tengah itu semua, markas Aliansi Aurora berdiri megah, sebuah gedung lima lantai dengan dinding marmer yang diukir simbol matahari terbit, lambang harapan kerajaan. Eiran Voss berdiri di balkon lantai tiga, menatap kota dengan mata abu-abunya yang dingin. Rambut hitamnya yang acak-acakan tertiup angin, dan pedang roh di pinggangnya 'Zephyrion' berdengung pelan, seolah merasakan kegelisahannya. Dia tidak suka pagi. Terlalu berisik, terlalu ramai, terlalu... cerah. “Manusia dan sihir mereka,” gumamnya, “selalu bikin kekacauan.” “Eiran! Kau sudah lihat koran pagi ini?” Suara ceria yang tidak asing menyeruak, memecah keheningan. Liora Faye muncul di pintu balkon, memegang gulungan kertas ajaib yang memproyeksikan berita dalam gambar bergerak. Rambut pirangnya bergoyang seperti ombak, dan senyum lebarnya seolah menantang matahari untuk bersaing. “Ada Badai Roh lagi di desa utara! Kita pasti disuruh ke sana!” Eiran memutar mata, tidak menoleh. “Jangan berteriak di dekatku, Liora. Aku belum minum teh.” Liora mendengus, lalu dengan iseng mengibaskan tangannya. Seketika, bunga-bunga kecil bermunculan dari lantai balkon, melingkari kaki Eiran seperti karpet hidup. Bunga-bunga itu tiba-tiba berputar, menciptakan hembusan angin kecil yang mengacaukan rambut Eiran lebih parah. “Oops,” kata Liora, pura-pura tak bersalah, “tanganku tergelincir.” Eiran menatap bunga-bunga itu dengan ekspresi datar, tapi tangannya sudah di gagang Zephyrion. “Liora, kalau kau ingin pedangku mengenal lelet mu, teruskan main-main.” Liora tertawa, suaranya seperti lonceng. “Oh, ayolah, Voss. Kau terlalu serius! Lihat, bunga ini kuberi nama ‘Eiran Kesal’ cantik, tapi berduri.” Dia mengedipkan mata, lalu melompat mondar-mandir di balkon, jelas sengaja mengganggu. Sebelum Eiran bisa membalas, pintu balkon terbuka lagi dengan bunyi keras. Kairos Thorne masuk dengan langkah lebar, seragam militernya yang rapi kontras dengan rambut merahnya yang sedikit berantakan. “Kalian berdua sudah bertengkar lagi?” katanya, suaranya berat tapi ada nada geli. “Liora, berhenti ganggu Eiran. Dan Eiran, lepaskan tanganmu dari pedang itu sebelum kau bikin markas meledak.” “Dia mulai duluan,” protes Liora, tapi matanya berbinar nakal. Dia memanggil bunga lain, kali ini membentuk mahkota kecil di kepala Kairos. “Lihat, sekarang kau Raja Bunga!” Kairos menyentuh mahkota itu, lalu terkekeh. “Kau beruntung aku suka bunga, Faye.” Dia menoleh ke Eiran. “Raja memanggil kita. Badai Roh itu bukan cuma bencana alam, ada jejak sihir gelap di baliknya.” Eiran mengerutkan kening, akhirnya tertarik. “Sihir gelap? Dari mana?” “Belum tahu,” jawab Kairos. “Makanya kita harus ke ruang rapat sekarang. Sylva, Draven, dan Vesper sudah di sana, cuma kalian berdua yang sibuk... apa, main bunga dan pedang?” Liora terkikik, tapi Eiran hanya mendengus dan berjalan menuju pintu, pedangnya berdengung lebih keras seolah setuju dengan kekesalannya. Liora mengikuti di belakang, sengaja melangkah terlalu dekat sampai Eiran memelototinya. “Jarak, Faye,” geramnya. “Jarak apa? Kita satu tim, Eiran!” Liora menyeringai, lalu berbisik, “Kau tahu, kalau kau tersenyum sekali saja, mungkin dunia nggak akan kiamat.” Eiran mengabaikannya, tapi sudut bibirnya sedikit berkedut, hampir tersenyum, tapi dia cepat menyembunyikannya. Di ruang rapat, suasana lebih serius. Meja bundar besar dari kayu mistis bersinar lembut, dan peta holografik Elyria mengambang di tengah, menunjukkan desa-desa yang hancur oleh Badai Roh. Sylva Reed duduk dengan kacamata tipisnya, menatap peta dengan fokus, bayangannya di lantai bergerak aneh seolah hidup. Draven Quill, yang duduk dengan kaki di atas meja, bersiul pelan, membuat angin kecil membawa kertas-kertas beterbangan, sampai Sylva memelototinya. Vesper Hale, dengan rambut hijau keabuannya, mengamati peta sambil mengelus akar kecil yang muncul dari lengan bajunya. Raja Eldrin, proyeksi sihirnya berdiri di ujung ruang, berbicara dengan suara berwibawa. “Aliansi Aurora, Badai Roh ini bukan bencana biasa. Ada laporan tentang bangsawan yang menyalahgunakan sihir alam untuk keuntungan pribadi, dan itu memicu kemarahan roh bumi. Kalian harus ke Desa Varyn, selidiki sumbernya, dan hentikan sebelum menyebar.” Eiran, yang berdiri di sudut dengan tangan disilang, berkata pelan, “Bangsawan, lagi. Selalu mereka.” Nada dinginnya membuat ruangan hening sejenak, dan Liora menatapnya, mendadak serius. Dia tahu Eiran benci bangsawan karena masa lalunya, tapi tidak pernah bertanya lebih jauh. “Jadi, kita ke Varyn, lawan badai, dan cari tahu siapa yang main-main dengan sihir gelap?” tanya Draven, menyeringai. “Keren. Aku bawa playlist sihirku buat perjalanan.” “Jangan nyanyi di mobil terbang lagi,” kata Sylva tanpa menoleh, tapi sudut bibirnya naik. “Kau bikin burung-burung kabur terakhir kali.” Vesper tertawa pelan. “Draven, kalau kau mau nyanyi, setidaknya minta akar-akar ku untuk ikut menari.” Kairos mengangkat tangan, menghentikan candaan. “Fokus, tim. Kita berangkat sore ini. Eiran, kau pimpin strategi tempur. Liora, kau tangani analisis sihir alam. Sisanya, kita bagi tugas di jalan.” Liora mengangguk, tapi matanya kembali ke Eiran, yang masih menatap peta dengan ekspresi gelap. Untuk sesaat, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi bunga kecil di sakunya bergerak sendiri, seolah merasakan perasaannya. Dia menghela napas, lalu tersenyum tipis. Kalau kau nggak mau cerita, Eiran Voss, aku akan cari tahu sendiri. Di luar markas, langit Elyria mulai mendung, tanda Badai Roh mendekat. Di suatu tempat di kota, di kastel mewah, seorang bangsawan bernama Lord Zoltar memandang kristal gelap di tangannya, tersenyum licik. “Mereka akan datang,” gumamnya. “Dan Aliansi Aurora akan jatuh.”Pintu batu raksasa di ruang pusat kota bawah tanah bergemuruh saat terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan luas yang diterangi cahaya ungu jahat dari Jantung Bayangan. Kristal raksasa itu, sebesar manusia, bertahta di tengah altar hitam, denyutnya seperti detak jantung yang mengguncang dinding gua. Lord Zoltar berdiri di depannya, jubahnya berkibar tertiup angin sihir, dan senyum liciknya menyapa Aliansi Aurora. Di sampingnya, sosok bayangan berdesis. Bentuknya kabur, seperti asap hidup dengan mata merah menyala. “Selamat datang di akhir perjalanan kalian,” kata Zoltar, suaranya halus namun mematikan. “Jantung Bayangan akan membawa Elyria ke era baru. Tanpa raja yang lemah, tanpa kalian.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion menyala perak di tangannya, berdengung dengan intensitas yang hampir tak terkendali. Mimpi buruk tadi malam masih menghantuinya, gambar ayahnya yang jatuh karena pedang roh yang liar, amarah yang menghancurkan segalanya. “Kau bicara terlalu banyak, bangsawan,”
Malam sebelum perjalanan ke kota bawah tanah, markas Aliansi Aurora sunyi, hanya diterangi cahaya rune lembut di dinding. Eiran Voss duduk sendirian di kamarnya, Zephyrion tergeletak di meja, pedang roh itu berdengung pelan seolah merasakan kegelisahan tuannya. Matanya terpejam, tapi tidur tidak datang dengan mudah. Sebaliknya, mimpi buruk datang lagi, seperti hantu yang tak pernah pergi. Dalam mimpi itu, Eiran kembali ke masa kecilnya, sebuah rumah bangsawan sederhana di pinggiran Elyria, di mana ayahnya, seorang penyihir setia kerajaan, berdiri di depan pintu dengan pedang yang sama ini. "Ingat, Eiran," kata ayahnya, suaranya hangat tapi tegas, "pedang roh ini bagian dari darahmu. Kendalikan, atau ia akan mengendalikanmu." Tapi kemudian, bayangan muncul, bangsawan korup yang datang di malam hari, dengan sihir gelap yang membakar rumah mereka. Ayahnya bertarung, Zephyrion menyala terang, tapi amarah membuat pedang itu liar, memotong segalanya tanpa kendali. Eiran kecil bersembu
Langit Elyria kembali cerah saat mobil terbang Aliansi Aurora mendarat di pelataran markas mereka, sinar matahari memantul dari menara kaca yang berkilau. Kota ini tampak hidup kembali setelah badai mereda, tapi udara masih terasa tegang, seolah alam tahu ancaman belum selesai. Di dalam markas, tim bersiap untuk menghadap Raja Eldrin di istana, tapi suasana di ruang rapat mereka jauh dari serius. Draven Quill bersandar di dinding, bermain-main dengan angin suaranya untuk membuat kertas-kertas di meja berputar seperti tornado mini. “Jadi, kita baru saja mengusir bangsawan jahat dan selamat dari badai maut,” katanya, menyeringai. “Aku bilang kita pantas dapat libur. Siapa mau ke pasar malam? Mereka punya kristal karaoke baru!” Sylva Reed memutar mata, kacamata tipisnya memantulkan cahaya lampu rune. “Draven, kalau kau pikir raja akan memberi kita libur setelah laporan ini, kau lebih delusional dari biasanya.” Bayangannya di lantai bergerak-gerak, seolah gelisah dengan apa yang dia
Kabut ungu di Hutan Larang semakin tebal, menyelimuti Aliansi Aurora seperti selimut basah yang berbau sihir busuk. Pohon-pohon kuno di sekitar mereka berderit, seolah berbisik tentang rahasia yang terkubur. Di depan, sebuah altar batu kuno muncul dari kabut, diukir dengan rune hitam yang berdenyut seperti jantungan. Di tengah altar, kristal gelap sebesar kepalan tangan manusia menyala dengan aura jahat, dan di sampingnya berdiri Lord Zoltar, jubahnya yang mewah kontras dengan senyum licik di wajahnya. “Selamat datang, Aliansi Aurora,” kata Zoltar, suaranya halus tapi penuh racun. “Kalian terlambat. Badai Roh sudah menyebar, dan segera seluruh Elyria akan tunduk pada… katakanlah, tatanan baru.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion di tangannya menyala perak, berdengung dengan kemarahan yang mencerminkan tuannya. “Bangsawan,” semburnya, kata itu terdengar seperti kutukan. “Kau pikir bisa main-main dengan sihir alam dan lolos begitu saja?” Liora Faye, berdiri di samping Eiran, meman
Kabut ungu menyelimuti Hutan Larang, membuat pepohonan kuno tampak seperti bayangan raksasa yang berbisik. Udara terasa berat, bercampur bau tanah basah dan sesuatu yang lebih gelap seperti logam terbakar. Aliansi Aurora berjalan hati-hati, dengan Kairos Thorne di depan, tangannya menyala api kecil untuk menerangi jalan. Cahaya itu memantul di dinding-dinding pohon yang dipenuhi lumut bercahaya, menciptakan suasana yang indah sekaligus menyeramkan. “Kalau ada yang bilang hutan ini romantis, aku akan muntah,” gumam Eiran Voss, pedang rohnya, Zephyrion, berdengung pelan di pinggangnya. Matanya menyipit, memindai setiap bayangan. Dia tidak suka hutan, terlalu banyak tempat untuk bersembunyi, terlalu banyak kenangan buruk tentang pengkhianatan di masa lalu. Liora Faye, yang berjalan tepat di belakangnya, mendengar gumamannya dan langsung menyeringai. “Romantis? Oh, Eiran, kalau kau mau kencan di hutan, aku bisa buatkan karangan bunga untukmu!” Dia mengibaskan tangan, dan bunga-bunga
Mobil terbang Aliansi Aurora meluncur di atas dataran Elyria, mesinnya berdengung pelan berkat kristal sihir yang berkilau di bawah kap. Kendaraan ini lebih mirip perahu kecil dengan sayap logam, dihiasi rune yang menyala biru. Di dalam, suasana jauh dari tenang. Draven Quill, yang duduk di belakang, sedang memainkan sihir angin suaranya, membuat nada-nada lagu pop Elyria bergema di kabin, sampai Sylva Reed melemparkan kertas ke arahnya. “Draven, kalau kau mainkan lagu itu sekali lagi, aku akan buat bayanganmu menyanyi opera sampai kau minta ampun,” ancam Sylva, kacamata tipisnya memantulkan cahaya rune. Bayangan di bawah kursinya bergerak-gerak, seolah setuju. Draven menyeringai, kaki masih selonjor di kursi. “Opera? Sylva, kau tahu aku lebih cocok nyanyi balada patah hati.” Dia mengibaskan tangan, dan angin kecil membawa suaranya ke telinga Sylva: “Oh, Sylva yang kejam, hatiku kau hancurkan…” Vesper Hale, yang duduk di sudut dengan akar kecil melilit lengannya, tertawa pelan. “D







