Home / Fantasi / Pedang Penebusan / Chapter 2: Jalan yang Berangin

Share

Chapter 2: Jalan yang Berangin

Author: Sisin Kim
last update Last Updated: 2025-10-03 20:44:43

Mobil terbang Aliansi Aurora meluncur di atas dataran Elyria, mesinnya berdengung pelan berkat kristal sihir yang berkilau di bawah kap. Kendaraan ini lebih mirip perahu kecil dengan sayap logam, dihiasi rune yang menyala biru.

Di dalam, suasana jauh dari tenang. Draven Quill, yang duduk di belakang, sedang memainkan sihir angin suaranya, membuat nada-nada lagu pop Elyria bergema di kabin, sampai Sylva Reed melemparkan kertas ke arahnya.

“Draven, kalau kau mainkan lagu itu sekali lagi, aku akan buat bayanganmu menyanyi opera sampai kau minta ampun,” ancam Sylva, kacamata tipisnya memantulkan cahaya rune. Bayangan di bawah kursinya bergerak-gerak, seolah setuju.

Draven menyeringai, kaki masih selonjor di kursi. “Opera? Sylva, kau tahu aku lebih cocok nyanyi balada patah hati.” Dia mengibaskan tangan, dan angin kecil membawa suaranya ke telinga Sylva: “Oh, Sylva yang kejam, hatiku kau hancurkan…”

Vesper Hale, yang duduk di sudut dengan akar kecil melilit lengannya, tertawa pelan. “Draven, simpan energimu untuk monster. Badai Roh selalu bawa makhluk aneh.”

Kairos Thorne, yang mengemudikan mobil, menoleh sekilas. “Fokus, semua. Kita hampir sampai di Varyn. Peta bilang desa itu di tepi Hutan Larang. Eiran, strategi?”

Eiran Voss duduk di kursi depan, dekat jendela, menatap awan kelabu yang bergulung di cakrawala. Zephyrion, pedang roh di pinggangnya, berdengung pelan, seolah merasakan badai yang mendekat.

“Kita periksa desa dulu,” katanya dingin. “Cari tanda sihir gelap. Kalau ada monster, aku dan Kairos tangani depan. Liora, kau dan Vesper amankan perimeter dengan sihir alam kalian. Sylva, baca pikiran siapa pun yang mencurigakan. Draven… jangan bikin masalah.”

“Wow, terima kasih atas kepercayaanmu, Voss,” balas Draven, pura-pura tersinggung. “Aku bisa bikin monster kabur dengan serenade ku, tahu?”

Liora Faye, yang duduk di tengah dengan setumpuk bunga kecil di pangkuannya, terkikik. “Eiran, kau lupa bilang aku juga bisa bikin pedang angin yang lebih keren dari pedangmu.”

Dia mengibaskan tangan, dan bunga-bunga di pangkuannya melayang, membentuk wajah tersenyum di udara, persis wajah Eiran, tapi dengan ekspresi ceria yang jelas palsu.

Eiran memelototinya. “Faye, kalau kau buat satu bunga lagi di dekatku, aku potong jadi konfeti.”

Liora menyeringai lebar. “Konfeti bunga? Ide bagus! Kita bisa buat festival!” Dia sengaja memanggil bunga kecil lain, kali ini mendarat di bahu Eiran. Bunga itu berputar, mengeluarkan aroma manis yang mengganggu.

Kairos menggelengkan kepala, tapi tersenyum. “Kalian berdua, serius. Kita masuk zona badai sekarang. Lihat ke depan.”

Di cakrawala, langit berubah gelap, awan berputar seperti pusaran raksasa. Kilat berwarna ungu menyambar, bukan kilat biasa, tapi kilat sihir yang meninggalkan jejak asap berkilau.

Mobil terbang bergoyang, dan Vesper langsung mengulurkan tangan. Akar-akar kecil muncul dari lantai kabin, menstabilkan kendaraan. “Badai Roh,” gumamnya. “Alam sedang marah.”

Sylva menatap bayangan di dinding kabin, matanya menyipit. “Ada sesuatu di bawah sana. Bayangan… tidak alami. Seperti ada orang yang mengintai.”

Eiran menegang, tangannya sudah di Zephyrion. “Orang? Atau makhluk?”

“Belum tahu,” jawab Sylva. “Bayangannya terlalu kabur. Tapi pasti ada sihir gelap di dekatnya.”

Mobil mendarat di tepi Desa Varyn, yang kini lebih mirip puing-puing. Rumah-rumah kayu hancur, pohon-pohon terbalik, dan tanah retak seolah dipukul palu raksasa.

Di kejauhan, Hutan Larang menjulang, kabut ungu menyelimuti pepohonan. Bau logam dan bunga busuk menyengat udara.

Liora melompat keluar duluan, sepatunya mendarat di tanah berlumpur. “Oke, ini buruk. Tapi lihat!” Dia menunjuk ke tanah, di mana bunga liar kecil masih bertahan di antara reruntuhan.

Dia mengulurkan tangan, dan bunga-bunga itu bergerak, membentuk lingkaran pelindung di sekitar tim. “Alam masih punya harapan,” katanya, suaranya ceria tapi ada nada serius.

Eiran melangkah ke depan, pedangnya menyala tipis dengan aura perak. “Harapan tidak akan menang melawan badai. Tetap waspada.” Matanya menyipit ke arah hutan. Zephyrion berdengung lebih keras, seolah mencium bahaya.

Tiba-tiba, tanah berguncang. Dari kabut hutan, sesosok makhluk muncul, seekor serigala raksasa, tapi tubuhnya terbuat dari ranting dan asap ungu, matanya menyala merah.

“Roh Hutan yang terkorup,” kata Vesper, akar di lengannya mulai bergerak. “Sihir gelap mengendalikannya.”

“Bagus,” kata Draven, melompat berdiri dengan senyum nakal. “Aku suka tantangan.” Dia mengibaskan tangan, dan angin membawa suaranya jadi gelombang keras, menghantam serigala itu. Makhluk itu menggeram, tapi tidak terluka.

Kairos menyalakan api di tangannya, membentuk perisai panas. “Eiran, sekarang!”

Eiran berlari ke depan, Zephyrion berubah jadi cambuk perak yang menyambar. Dia memotong kaki serigala, tapi ranting-ranting itu tumbuh kembali. “Sial,” geramnya. “Ini bukan monster biasa.”

Liora melompat ke sampingnya, bunga-bunganya berputar jadi pedang angin. “Kau bilang konfeti tadi, kan? Lihat ini!”

Dia melemparkan badai bunga, kelopak-kelopak tajam menghujam serigala, membuatnya terhuyung. Tapi serigala itu meraung, dan gelombang asap ungu menerjang mereka.

Eiran menarik Liora ke belakang, pedangnya membentuk perisai roh untuk melindungi mereka. “Kau mau mati, Faye?” bentaknya, tapi ada kekhawatiran di matanya.

Liora tersenyum, meski napasnya tersengal. “Kau khawatir padaku, Voss? Aku tersentuh.” Dia melemparkan bunga lain, kali ini meledak jadi kabut penyembuh yang menenangkan tim.

Vesper berlari mendekat, akar-akarnya menjerat kaki serigala, sementara Sylva fokus membaca bayangannya. “Ada manusia di balik ini!” teriak Sylva. “Aku lihat bayangan bangsawan… dia di hutan!”

Kairos menghantam serigala dengan ledakan api, akhirnya menghancurkannya jadi abu. Tapi badai di atas mereka semakin ganas, kilat ungu menyambar dekat. “Kita harus ke hutan,” katanya. “Sumber sihir gelap ada di sana.”

Eiran mengangguk, tapi matanya tertuju pada Liora, yang sedang memeriksa bunga-bunganya dengan wajah serius. Untuk sesaat, dia teringat ayahnya, pengkhianatan bangsawan yang menghancurkan keluarganya.

“Jangan cuma berdiri di sana, Faye,” katanya, suaranya lebih lembut dari biasa. “Kita punya pekerjaan.”

Liora menoleh, terkejut dengan nada Eiran. Dia tersenyum kecil. “Aku tahu, Voss. Tapi kau harus akui, pedang anginku tadi keren, kan?”

Eiran mendengus, tapi sudut bibirnya berkedut lagi, hampir tersenyum. “Jangan mimpi.”

Di kejauhan, di dalam Hutan Larang, Lord Zoltar menyaksikan melalui kristal gelapnya. “Mereka lebih kuat dari yang kukira,” gumamnya. “Tapi tidak untuk waktu lama.”

Dia menggosokkan kristal itu, dan badai di atas hutan menggila, kilat ungu menyambar ke arah tim.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pedang Penebusan    Chapter 7: Jantung yang Berdetak

    Pintu batu raksasa di ruang pusat kota bawah tanah bergemuruh saat terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan luas yang diterangi cahaya ungu jahat dari Jantung Bayangan. Kristal raksasa itu, sebesar manusia, bertahta di tengah altar hitam, denyutnya seperti detak jantung yang mengguncang dinding gua. Lord Zoltar berdiri di depannya, jubahnya berkibar tertiup angin sihir, dan senyum liciknya menyapa Aliansi Aurora. Di sampingnya, sosok bayangan berdesis. Bentuknya kabur, seperti asap hidup dengan mata merah menyala. “Selamat datang di akhir perjalanan kalian,” kata Zoltar, suaranya halus namun mematikan. “Jantung Bayangan akan membawa Elyria ke era baru. Tanpa raja yang lemah, tanpa kalian.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion menyala perak di tangannya, berdengung dengan intensitas yang hampir tak terkendali. Mimpi buruk tadi malam masih menghantuinya, gambar ayahnya yang jatuh karena pedang roh yang liar, amarah yang menghancurkan segalanya. “Kau bicara terlalu banyak, bangsawan,”

  • Pedang Penebusan    Chapter 6: Kegelapan di Bawah Tanah

    Malam sebelum perjalanan ke kota bawah tanah, markas Aliansi Aurora sunyi, hanya diterangi cahaya rune lembut di dinding. Eiran Voss duduk sendirian di kamarnya, Zephyrion tergeletak di meja, pedang roh itu berdengung pelan seolah merasakan kegelisahan tuannya. Matanya terpejam, tapi tidur tidak datang dengan mudah. Sebaliknya, mimpi buruk datang lagi, seperti hantu yang tak pernah pergi. Dalam mimpi itu, Eiran kembali ke masa kecilnya, sebuah rumah bangsawan sederhana di pinggiran Elyria, di mana ayahnya, seorang penyihir setia kerajaan, berdiri di depan pintu dengan pedang yang sama ini. "Ingat, Eiran," kata ayahnya, suaranya hangat tapi tegas, "pedang roh ini bagian dari darahmu. Kendalikan, atau ia akan mengendalikanmu." Tapi kemudian, bayangan muncul, bangsawan korup yang datang di malam hari, dengan sihir gelap yang membakar rumah mereka. Ayahnya bertarung, Zephyrion menyala terang, tapi amarah membuat pedang itu liar, memotong segalanya tanpa kendali. Eiran kecil bersembu

  • Pedang Penebusan    Chapter 5: Bayang-Bayang di Istana

    Langit Elyria kembali cerah saat mobil terbang Aliansi Aurora mendarat di pelataran markas mereka, sinar matahari memantul dari menara kaca yang berkilau. Kota ini tampak hidup kembali setelah badai mereda, tapi udara masih terasa tegang, seolah alam tahu ancaman belum selesai. Di dalam markas, tim bersiap untuk menghadap Raja Eldrin di istana, tapi suasana di ruang rapat mereka jauh dari serius. Draven Quill bersandar di dinding, bermain-main dengan angin suaranya untuk membuat kertas-kertas di meja berputar seperti tornado mini. “Jadi, kita baru saja mengusir bangsawan jahat dan selamat dari badai maut,” katanya, menyeringai. “Aku bilang kita pantas dapat libur. Siapa mau ke pasar malam? Mereka punya kristal karaoke baru!” Sylva Reed memutar mata, kacamata tipisnya memantulkan cahaya lampu rune. “Draven, kalau kau pikir raja akan memberi kita libur setelah laporan ini, kau lebih delusional dari biasanya.” Bayangannya di lantai bergerak-gerak, seolah gelisah dengan apa yang dia

  • Pedang Penebusan    Chapter 4: Altar Kelam

    Kabut ungu di Hutan Larang semakin tebal, menyelimuti Aliansi Aurora seperti selimut basah yang berbau sihir busuk. Pohon-pohon kuno di sekitar mereka berderit, seolah berbisik tentang rahasia yang terkubur. Di depan, sebuah altar batu kuno muncul dari kabut, diukir dengan rune hitam yang berdenyut seperti jantungan. Di tengah altar, kristal gelap sebesar kepalan tangan manusia menyala dengan aura jahat, dan di sampingnya berdiri Lord Zoltar, jubahnya yang mewah kontras dengan senyum licik di wajahnya. “Selamat datang, Aliansi Aurora,” kata Zoltar, suaranya halus tapi penuh racun. “Kalian terlambat. Badai Roh sudah menyebar, dan segera seluruh Elyria akan tunduk pada… katakanlah, tatanan baru.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion di tangannya menyala perak, berdengung dengan kemarahan yang mencerminkan tuannya. “Bangsawan,” semburnya, kata itu terdengar seperti kutukan. “Kau pikir bisa main-main dengan sihir alam dan lolos begitu saja?” Liora Faye, berdiri di samping Eiran, meman

  • Pedang Penebusan    Chapter 3: Jebakan di Hutan Larang

    Kabut ungu menyelimuti Hutan Larang, membuat pepohonan kuno tampak seperti bayangan raksasa yang berbisik. Udara terasa berat, bercampur bau tanah basah dan sesuatu yang lebih gelap seperti logam terbakar. Aliansi Aurora berjalan hati-hati, dengan Kairos Thorne di depan, tangannya menyala api kecil untuk menerangi jalan. Cahaya itu memantul di dinding-dinding pohon yang dipenuhi lumut bercahaya, menciptakan suasana yang indah sekaligus menyeramkan. “Kalau ada yang bilang hutan ini romantis, aku akan muntah,” gumam Eiran Voss, pedang rohnya, Zephyrion, berdengung pelan di pinggangnya. Matanya menyipit, memindai setiap bayangan. Dia tidak suka hutan, terlalu banyak tempat untuk bersembunyi, terlalu banyak kenangan buruk tentang pengkhianatan di masa lalu. Liora Faye, yang berjalan tepat di belakangnya, mendengar gumamannya dan langsung menyeringai. “Romantis? Oh, Eiran, kalau kau mau kencan di hutan, aku bisa buatkan karangan bunga untukmu!” Dia mengibaskan tangan, dan bunga-bunga

  • Pedang Penebusan    Chapter 2: Jalan yang Berangin

    Mobil terbang Aliansi Aurora meluncur di atas dataran Elyria, mesinnya berdengung pelan berkat kristal sihir yang berkilau di bawah kap. Kendaraan ini lebih mirip perahu kecil dengan sayap logam, dihiasi rune yang menyala biru. Di dalam, suasana jauh dari tenang. Draven Quill, yang duduk di belakang, sedang memainkan sihir angin suaranya, membuat nada-nada lagu pop Elyria bergema di kabin, sampai Sylva Reed melemparkan kertas ke arahnya. “Draven, kalau kau mainkan lagu itu sekali lagi, aku akan buat bayanganmu menyanyi opera sampai kau minta ampun,” ancam Sylva, kacamata tipisnya memantulkan cahaya rune. Bayangan di bawah kursinya bergerak-gerak, seolah setuju. Draven menyeringai, kaki masih selonjor di kursi. “Opera? Sylva, kau tahu aku lebih cocok nyanyi balada patah hati.” Dia mengibaskan tangan, dan angin kecil membawa suaranya ke telinga Sylva: “Oh, Sylva yang kejam, hatiku kau hancurkan…” Vesper Hale, yang duduk di sudut dengan akar kecil melilit lengannya, tertawa pelan. “D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status