Home / Fantasi / Pedang Penebusan / Chapter 4: Altar Kelam

Share

Chapter 4: Altar Kelam

Author: Sisin Kim
last update Last Updated: 2025-10-03 22:13:20

Kabut ungu di Hutan Larang semakin tebal, menyelimuti Aliansi Aurora seperti selimut basah yang berbau sihir busuk. Pohon-pohon kuno di sekitar mereka berderit, seolah berbisik tentang rahasia yang terkubur.

Di depan, sebuah altar batu kuno muncul dari kabut, diukir dengan rune hitam yang berdenyut seperti jantungan. Di tengah altar, kristal gelap sebesar kepalan tangan manusia menyala dengan aura jahat, dan di sampingnya berdiri Lord Zoltar, jubahnya yang mewah kontras dengan senyum licik di wajahnya.

“Selamat datang, Aliansi Aurora,” kata Zoltar, suaranya halus tapi penuh racun. “Kalian terlambat. Badai Roh sudah menyebar, dan segera seluruh Elyria akan tunduk pada… katakanlah, tatanan baru.”

Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion di tangannya menyala perak, berdengung dengan kemarahan yang mencerminkan tuannya. “Bangsawan,” semburnya, kata itu terdengar seperti kutukan. “Kau pikir bisa main-main dengan sihir alam dan lolos begitu saja?”

Liora Faye, berdiri di samping Eiran, memandangnya sekilas. Dia tahu nada itu, dingin, penuh dendam. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk mencairkan suasana, tapi bunga-bunganya di tanah bergetar, merasakan sihir gelap.

“Eiran, tenang,” bisiknya, lalu menoleh ke Zoltar dengan senyum yang dipaksakan. “Hei, Tuan Jubah Mewah, kalau kau mau tatanan baru, mungkin mulai dengan baju yang nggak terlihat jahat?”

Zoltar terkekeh, tapi matanya tetap dingin. “Gadis bunga, kau lucu. Sayang sekali kau akan mati bersama teman-temanmu.”

Dia mengangkat kristal gelap, dan tanah di sekitar altar berguncang. Dari kabut, lusinan roh terkorup muncul makhluk dengan tubuh asap dan cakar logam, mata mereka menyala ungu seperti kilat badai.

Kairos Thorne menyalakan perisai apinya, berdiri di depan tim. “Semua, formasi!” teriaknya. “Eiran, Liora, serang langsung. Draven, Sylva, flangk dari sisi. Vesper, lindungi kami dari belakang!”

Draven Quill menyeringai, angin suaranya sudah bersiul. “Waktunya konser!” Dia mengirimkan gelombang suara yang mengguncang roh-roh itu, membuat mereka terhuyung. “Liora, pinjamkan bunga untuk efek dramatis!”

Liora tertawa, meski jantungnya berdegup kencang. Dia memanggil badai kelopak, yang berputar bersama angin Draven, menciptakan pusaran tajam yang merobek roh-roh itu. “Lihat, Draven, kita duet bagus!”

Sylva Reed, fokus pada bayangan di bawah altar, berbisik, “Zoltar punya pengawal… bayangan di belakangnya. Bukan manusia, tapi sesuatu yang lebih gelap.” Matanya menyipit, kacamata tipisnya memantulkan cahaya rune.

Vesper Hale mengangguk, akar-akarnya merayap ke tanah, membentuk dinding pelindung di belakang tim. “Alam di sini menderita,” katanya pelan. “Kristal itu… sedang menyedot nyawa hutan.”

Eiran tidak mendengar banyak. Matanya terkunci pada Zoltar, kenangan masa lalu membanjiri pikirannya, ayahnya yang dibunuh oleh bangsawan korup, keluarganya yang hancur.

Zephyrion berubah jadi cambuk perak, menyambar ke arah Zoltar, tapi bangsawan itu mengangkat kristal, menciptakan perisai asap yang memblokir serangan.

“Kau marah, anak muda,” ejek Zoltar. “Tapi kemarahanmu tidak akan menghentikan badai.” Dia mengayunkan tangan, dan pilar asap ungu menyerang Eiran, melemparnya ke belakang.

“Eiran!” Liora berlari ke arahnya, bunga-bunganya membentuk dinding angin untuk melindunginya. Dia berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat memeriksa luka di bahunya. “Kau baik-baik saja? Jangan bikin aku panik, Voss!”

Eiran mendorong tangannya pelan, berdiri dengan wajah keras. “Aku baik-baik saja, Faye. Jangan mendramatisir.”

Tapi matanya menghindari Liora, pikirannya dipenuhi bayangan ayahnya dan rasa takut bahwa orang-orang di dekatnya akan terluka lagi. Dia tidak bisa membiarkan Liora terlalu dekat, bukan sekarang.

Liora mengerutkan kening, merasakan jarak itu. “Kau nggak bisa terus dorong orang menjauh, tahu?” katanya pelan, suaranya tidak lagi ceria. Dia memanggil bunga penyembuh, kabut lembut membalut luka Eiran, tapi dia tidak tersenyum seperti biasa.

Kairos menghantam roh-roh dengan ledakan api, berteriak, “Liora, Eiran, kita butuh kalian! Zoltar coba kabur!”

Zoltar memang mundur ke arah kabut, kristal gelap di tangannya menyala lebih terang. “Kalian tidak akan menghentikan ini,” katanya, suaranya penuh keyakinan. “Badai Roh adalah kehendak alam dan aku yang mengendalikannya.”

“Tunggu dulu, Tuan Drama!” teriak Draven, melemparkan gelombang suara yang menghantam altar, membuat Zoltar tersandung.

Sylva memanfaatkan momen itu, bayangannya merayap ke arah Zoltar, mencoba membaca pikirannya. “Dia punya rencana besar,” katanya cepat. “Sesuatu tentang menguasai Elyria… dan artefak lain di kota bawah tanah!”

Vesper menjerat kaki Zoltar dengan akar, tapi bangsawan itu mematahkan jebakan dengan ledakan asap. “Kalian anak-anak berpikir bisa menang?” tawa Zoltar bergema. Dia mengangkat kristal, dan badai di atas menggila, kilat ungu menyambar ke arah tim.

Eiran melompat ke depan, Zephyrion berubah jadi perisai roh yang menahan kilat. “Liora, sekarang!” teriaknya.

Liora mengangguk, bunga-bunganya membentuk badai kelopak terbesar yang pernah dia ciptakan. “Ini untuk desaku!” teriaknya, melemparkan pusaran angin dan kelopak yang menghantam Zoltar. Kristal di tangannya retak, dan dia menggeram, mundur lebih jauh ke kabut.

“ ini belum selesai,” sembur Zoltar sebelum menghilang, kabut ungu menelannya. Badai di atas melemah, tapi kilat masih menyambar sporadis, tanda bahwa sihir gelap belum hilang.

Tim berkumpul di dekat altar, napas mereka tersengal. Vesper memeriksa rune di altar, akar-akarnya merasakan denyut sihir. “Kristal itu cuma bagian kecil,” katanya. “Ada sumber yang lebih besar di tempat lain.”

Kairos mengangguk, wajahnya serius. “Kota bawah tanah, seperti kata Sylva. Kita harus kembali ke Elyria, lapor ke raja, dan cari tahu apa yang Zoltar rencanakan.”

Draven menyandarkan diri ke pohon, menyeringai. “Jadi, kita selamatkan desa, hancurkan monster, dan buat bangsawan lari ketakutan. Aku bilang ini kemenangan. Siapa mau pesta?”

Sylva memutar mata. “Kau dan pestamu, Draven. Kita hampir mati.”

Liora tertawa, tapi matanya kembali ke Eiran, yang berdiri agak menjauh, menatap altar dengan ekspresi gelap. Dia mendekatinya, bunga kecil muncul di tangannya sebagai iseng. “Eiran, kau tadi keren, tahu? Tapi lain kali, jangan coba mati sendiri, oke?”

Eiran menoleh, matanya penuh konflik. “Jangan khawatirkan aku, Liora,” katanya, suaranya pelan tapi tegas. “Aku bisa jaga diri sendiri.” Dia berpaling, tapi tidak sebelum Liora melihat kilasan rasa sakit di matanya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka fisik.

Liora menggigit bibir, ingin mendorong lebih jauh, tapi dia tahu Eiran butuh waktu. “Baiklah, Voss,” katanya, memaksa senyum. “Tapi kau nggak bisa hindari aku selamanya. Bunga selalu tumbuh kembali, tahu?”

Eiran tidak menjawab, tapi Zephyrion berdengung pelan, seolah setuju dengan Liora. Dia berjalan menuju tim, meninggalkan Liora dengan bunga di tangannya dan tekad baru untuk memecahkan tembok dingin itu.

Di kejauhan, di balik kabut, Zoltar muncul di gua tersembunyi, kristal gelap di tangannya masih berdenyut. Sosok bayangan di sampingnya berbicara, suaranya seperti desis ular. “Mereka kuat, tapi tidak siap untuk apa yang datang.”

Zoltar tersenyum. “Biarkan mereka menang hari ini."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pedang Penebusan    Chapter 7: Jantung yang Berdetak

    Pintu batu raksasa di ruang pusat kota bawah tanah bergemuruh saat terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan luas yang diterangi cahaya ungu jahat dari Jantung Bayangan. Kristal raksasa itu, sebesar manusia, bertahta di tengah altar hitam, denyutnya seperti detak jantung yang mengguncang dinding gua. Lord Zoltar berdiri di depannya, jubahnya berkibar tertiup angin sihir, dan senyum liciknya menyapa Aliansi Aurora. Di sampingnya, sosok bayangan berdesis. Bentuknya kabur, seperti asap hidup dengan mata merah menyala. “Selamat datang di akhir perjalanan kalian,” kata Zoltar, suaranya halus namun mematikan. “Jantung Bayangan akan membawa Elyria ke era baru. Tanpa raja yang lemah, tanpa kalian.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion menyala perak di tangannya, berdengung dengan intensitas yang hampir tak terkendali. Mimpi buruk tadi malam masih menghantuinya, gambar ayahnya yang jatuh karena pedang roh yang liar, amarah yang menghancurkan segalanya. “Kau bicara terlalu banyak, bangsawan,”

  • Pedang Penebusan    Chapter 6: Kegelapan di Bawah Tanah

    Malam sebelum perjalanan ke kota bawah tanah, markas Aliansi Aurora sunyi, hanya diterangi cahaya rune lembut di dinding. Eiran Voss duduk sendirian di kamarnya, Zephyrion tergeletak di meja, pedang roh itu berdengung pelan seolah merasakan kegelisahan tuannya. Matanya terpejam, tapi tidur tidak datang dengan mudah. Sebaliknya, mimpi buruk datang lagi, seperti hantu yang tak pernah pergi. Dalam mimpi itu, Eiran kembali ke masa kecilnya, sebuah rumah bangsawan sederhana di pinggiran Elyria, di mana ayahnya, seorang penyihir setia kerajaan, berdiri di depan pintu dengan pedang yang sama ini. "Ingat, Eiran," kata ayahnya, suaranya hangat tapi tegas, "pedang roh ini bagian dari darahmu. Kendalikan, atau ia akan mengendalikanmu." Tapi kemudian, bayangan muncul, bangsawan korup yang datang di malam hari, dengan sihir gelap yang membakar rumah mereka. Ayahnya bertarung, Zephyrion menyala terang, tapi amarah membuat pedang itu liar, memotong segalanya tanpa kendali. Eiran kecil bersembu

  • Pedang Penebusan    Chapter 5: Bayang-Bayang di Istana

    Langit Elyria kembali cerah saat mobil terbang Aliansi Aurora mendarat di pelataran markas mereka, sinar matahari memantul dari menara kaca yang berkilau. Kota ini tampak hidup kembali setelah badai mereda, tapi udara masih terasa tegang, seolah alam tahu ancaman belum selesai. Di dalam markas, tim bersiap untuk menghadap Raja Eldrin di istana, tapi suasana di ruang rapat mereka jauh dari serius. Draven Quill bersandar di dinding, bermain-main dengan angin suaranya untuk membuat kertas-kertas di meja berputar seperti tornado mini. “Jadi, kita baru saja mengusir bangsawan jahat dan selamat dari badai maut,” katanya, menyeringai. “Aku bilang kita pantas dapat libur. Siapa mau ke pasar malam? Mereka punya kristal karaoke baru!” Sylva Reed memutar mata, kacamata tipisnya memantulkan cahaya lampu rune. “Draven, kalau kau pikir raja akan memberi kita libur setelah laporan ini, kau lebih delusional dari biasanya.” Bayangannya di lantai bergerak-gerak, seolah gelisah dengan apa yang dia

  • Pedang Penebusan    Chapter 4: Altar Kelam

    Kabut ungu di Hutan Larang semakin tebal, menyelimuti Aliansi Aurora seperti selimut basah yang berbau sihir busuk. Pohon-pohon kuno di sekitar mereka berderit, seolah berbisik tentang rahasia yang terkubur. Di depan, sebuah altar batu kuno muncul dari kabut, diukir dengan rune hitam yang berdenyut seperti jantungan. Di tengah altar, kristal gelap sebesar kepalan tangan manusia menyala dengan aura jahat, dan di sampingnya berdiri Lord Zoltar, jubahnya yang mewah kontras dengan senyum licik di wajahnya. “Selamat datang, Aliansi Aurora,” kata Zoltar, suaranya halus tapi penuh racun. “Kalian terlambat. Badai Roh sudah menyebar, dan segera seluruh Elyria akan tunduk pada… katakanlah, tatanan baru.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion di tangannya menyala perak, berdengung dengan kemarahan yang mencerminkan tuannya. “Bangsawan,” semburnya, kata itu terdengar seperti kutukan. “Kau pikir bisa main-main dengan sihir alam dan lolos begitu saja?” Liora Faye, berdiri di samping Eiran, meman

  • Pedang Penebusan    Chapter 3: Jebakan di Hutan Larang

    Kabut ungu menyelimuti Hutan Larang, membuat pepohonan kuno tampak seperti bayangan raksasa yang berbisik. Udara terasa berat, bercampur bau tanah basah dan sesuatu yang lebih gelap seperti logam terbakar. Aliansi Aurora berjalan hati-hati, dengan Kairos Thorne di depan, tangannya menyala api kecil untuk menerangi jalan. Cahaya itu memantul di dinding-dinding pohon yang dipenuhi lumut bercahaya, menciptakan suasana yang indah sekaligus menyeramkan. “Kalau ada yang bilang hutan ini romantis, aku akan muntah,” gumam Eiran Voss, pedang rohnya, Zephyrion, berdengung pelan di pinggangnya. Matanya menyipit, memindai setiap bayangan. Dia tidak suka hutan, terlalu banyak tempat untuk bersembunyi, terlalu banyak kenangan buruk tentang pengkhianatan di masa lalu. Liora Faye, yang berjalan tepat di belakangnya, mendengar gumamannya dan langsung menyeringai. “Romantis? Oh, Eiran, kalau kau mau kencan di hutan, aku bisa buatkan karangan bunga untukmu!” Dia mengibaskan tangan, dan bunga-bunga

  • Pedang Penebusan    Chapter 2: Jalan yang Berangin

    Mobil terbang Aliansi Aurora meluncur di atas dataran Elyria, mesinnya berdengung pelan berkat kristal sihir yang berkilau di bawah kap. Kendaraan ini lebih mirip perahu kecil dengan sayap logam, dihiasi rune yang menyala biru. Di dalam, suasana jauh dari tenang. Draven Quill, yang duduk di belakang, sedang memainkan sihir angin suaranya, membuat nada-nada lagu pop Elyria bergema di kabin, sampai Sylva Reed melemparkan kertas ke arahnya. “Draven, kalau kau mainkan lagu itu sekali lagi, aku akan buat bayanganmu menyanyi opera sampai kau minta ampun,” ancam Sylva, kacamata tipisnya memantulkan cahaya rune. Bayangan di bawah kursinya bergerak-gerak, seolah setuju. Draven menyeringai, kaki masih selonjor di kursi. “Opera? Sylva, kau tahu aku lebih cocok nyanyi balada patah hati.” Dia mengibaskan tangan, dan angin kecil membawa suaranya ke telinga Sylva: “Oh, Sylva yang kejam, hatiku kau hancurkan…” Vesper Hale, yang duduk di sudut dengan akar kecil melilit lengannya, tertawa pelan. “D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status