LOGINPintu batu raksasa di ruang pusat kota bawah tanah bergemuruh saat terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan luas yang diterangi cahaya ungu jahat dari Jantung Bayangan.
Kristal raksasa itu, sebesar manusia, bertahta di tengah altar hitam, denyutnya seperti detak jantung yang mengguncang dinding gua. Lord Zoltar berdiri di depannya, jubahnya berkibar tertiup angin sihir, dan senyum liciknya menyapa Aliansi Aurora. Di sampingnya, sosok bayangan berdesis. Bentuknya kabur, seperti asap hidup dengan mata merah menyala. “Selamat datang di akhir perjalanan kalian,” kata Zoltar, suaranya halus namun mematikan. “Jantung Bayangan akan membawa Elyria ke era baru. Tanpa raja yang lemah, tanpa kalian.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion menyala perak di tangannya, berdengung dengan intensitas yang hampir tak terkendali. Mimpi buruk tadi malam masih menghantuinya, gambar ayahnya yang jatuh karena pedang roh yang liar, amarah yang menghancurkan segalanya. “Kau bicara terlalu banyak, bangsawan,” semburnya, suaranya dingin tapi tangannya gemetar sedikit. “Akhiri ini sekarang.” Liora Faye, berdiri di sampingnya, merasakan ketegangan Eiran. Dia ingin menggodanya seperti biasa, tapi matanya menangkap getaran kecil di tangan Eiran. “Eiran, kita lakukan ini bersama,” bisiknya, bunga-bunganya berputar di sekitar kakinya, siap berubah jadi pedang angin. Dia tersenyum, berusaha mencairkan suasana. “Jangan coba jadi pahlawan sendirian lagi, oke? Aku nggak mau bikin karangan bunga untuk kuburanmu.” Eiran memelototinya, tapi ada kilasan kehangatan di matanya. “Faye, fokus,” katanya, meski nada suaranya lebih lembut dari biasa. Kairos Thorne mengangkat tangan, apinya menyala membentuk perisai panas. “Formasi!” teriaknya. “Eiran, Liora, serang Zoltar langsung. Draven, Sylva, tangani bayangan itu. Vesper, lindungi altar, jangan biarkan kristal itu aktif sepenuhnya!” Pertarungan meledak dalam sekejap. Zoltar mengangkat Jantung Bayangan, dan gelombang asap ungu menerjang tim. Eiran bergerak cepat, Zephyrion berubah jadi cambuk perak yang menyambar, memblokir asap itu. Tapi setiap serangan membuat pedangnya berdengung lebih keras, seolah menarik amarahnya keluar. Dia merasakan mimpi buruk itu lagi. Jangan hilang kendali, Eiran. Liora melompat ke sampingnya, badai kelopaknya menghantam Zoltar, memaksanya mundur. “Hei, Tuan Jubah, bunga ini lebih kuat dari kelihatannya!” teriaknya, tapi Zoltar hanya tertawa, mengarahkan gelombang asap lain yang hampir menelannya. Eiran menarik Liora ke belakang, pedangnya membentuk perisai roh. “Ceroboh, Faye!” bentaknya, tapi matanya penuh kekhawatiran. Untuk sesaat, mereka saling menatap, napas mereka tersengal di tengah kekacauan. Liora menyentuh lengannya, bunga penyembuhnya muncul tanpa sadar, dan Eiran merasakan kehangatan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang, bukan karena pertarungan. “Kau nggak akan kehilangan aku, Voss,” kata Liora, suaranya lembut tapi tegas, matanya penuh keyakinan. “Dan aku nggak akan membiarkanmu kehilangan dirimu sendiri.” Eiran ingin membalas, ingin bilang sesuatu, tapi mimpi buruk itu berbisik lagi. Pedang ini akan menghancurkan semua yang kau sayangi. Dia menarik napas, menjaga jarak, tapi genggaman Liora di lengannya membuatnya ragu untuk melepaskan. Di sisi lain, Draven Quill mengirimkan gelombang suara yang mengguncang sosok bayangan, tapi makhluk itu hanya berdesis, tubuh asapnya membentuk cakar yang mencoba mencengkeramnya. “Sial, ini bukan musuh biasa!” teriak Draven, lalu bersiul keras, angin suaranya membentuk mantra kecepatan yang mempercepat gerakan tim. Sylva Reed fokus pada bayangan makhluk itu, matanya menyipit di balik kacamata. “Ini bukan manusia… ini roh terikat, mungkin pelayan Jantung Bayangan!” Dia memproyeksikan ilusi bayangan, membuat makhluk itu menyerang bayangannya sendiri, memberi Draven celah untuk menyerang. Vesper Hale, di dekat altar, menggunakan akar-akarnya untuk menjerat kristal, mencoba melemahkan denyutnya. “Alam menolak benda ini!” katanya, suaranya tegang. “Tapi aku butuh waktu!” Kairos menghantam Zoltar dengan ledakan api, tapi bangsawan itu memblokir dengan perisai asap. “Kalian terlalu lemah!” ejek Zoltar. “Jantung Bayangan akan membangunkan kekuatan yang kalian nggak bisa bayangkan!” Eiran, didorong amarah, berlari ke depan, Zephyrion berubah jadi pedang panjang yang menyala terang. “Kau sama seperti mereka!” teriaknya, suaranya penuh dendam. Dia menebas Zoltar, tapi pedangnya membelah asap, dan Jantung Bayangan berdenyut lebih keras, membuat Eiran tersandung. Gambar ayahnya muncul di pikirannya, pedang yang liar, amarah yang menghancurkan. “Tidak,” gumamnya, mencoba menahan diri. “Aku nggak akan jadi seperti itu.” Liora melihat Eiran goyah, dan tanpa ragu, dia memanggil badai bunga terbesar yang pernah dia ciptakan. “Eiran, bangun!” teriaknya. Kelopak-kelopaknya berputar jadi pedang angin raksasa, menghantam Zoltar dan memecahkan perisainya. “Kau nggak sendirian, bodoh!” Zoltar tersandung, kristal di tangannya retak lebih dalam. “Kalian… akan menyesal!” semburnya, lalu melemparkan Jantung Bayangan ke altar. Kristal itu meledak dalam kilatan ungu, dan sosok bayangan di sampingnya membesar, menjadi makhluk raksasa dengan cakar asap dan mata merah menyala. Kairos berteriak, “Bersama-sama, sekarang!” Tim menyatu: api Kairos, angin Draven, bayangan Sylva, akar Vesper, dan pedang angin Liora bergabung dalam serangan terkoordinasi. Eiran, masih bergulat dengan ketakutannya, menarik napas dalam dan menyalurkan emosinya ke Zephyrion. Pedang itu menyala lebih terang dari sebelumnya, tapi kali ini terkendali, dipandu oleh tekad untuk melindungi tim, terutama Liora. Dalam serangan terakhir, Eiran dan Liora bergerak bersamaan, pedang roh dan pedang angin mereka menghantam makhluk bayangan itu, menghancurkannya jadi asap. Jantung Bayangan retak sepenuhnya, dan altar runtuh, badai di atas kota melemah. Zoltar, terluka tapi masih hidup, menghilang ke dalam kabut yang tersisa, berteriak, “Ini belum selesai! Jantung lain menunggu!” Tim berdiri di tengah reruntuhan, napas mereka tersengal. Vesper memeriksa akar-akarnya, mengangguk. “Alam mulai pulih. Tapi Zoltar benar, ada artefak lain.” Draven menyeringai, meski wajahnya penuh keringat. “Kita menang, kan? Aku bilang kita pantas dapat pesta sekarang.” Sylva mendengus. “Kau dan pestamu, Draven. Tapi aku lihat bayangan… Zoltar punya sekutu lebih besar. Kita harus cari tahu siapa.” Kairos mengangguk. “Kembali ke Elyria. Kita laporkan ini dan siapkan misi berikutnya.” Di tengah puing-puing, Liora mendekati Eiran, yang berdiri menjauh, menatap Zephyrion dengan ekspresi campur aduk. “Eiran,” katanya pelan, bunga kecil muncul di tangannya, kali ini bukan untuk menggoda, tapi tanda tulus. “Kau tadi luar biasa. Tapi kau nggak harus takut pada pedangmu… atau dirimu sendiri.” Eiran menatapnya, mimpi buruk itu masih mengintai, tapi kehadiran Liora seperti cahaya di kegelapan. Dia ingin bicara, ingin membiarkan dirinya jatuh ke dalam kehangatan itu, tapi ketakutan menahannya. “Liora, aku… aku nggak yakin bisa jadi orang yang kau pikir bisa menghadapi ini,” katanya, suaranya serak. Liora menggenggam tangannya, bunga itu diletakkan di telapak Eiran. “Aku nggak minta kau jadi siapa pun, Voss. Aku cuma minta kau coba.” Dia tersenyum, tapi ada air mata kecil di matanya, bukan karena sedih, tapi karena dia tahu Eiran sedang berjuang. Eiran menutup tangannya di sekitar bunga itu, jantungnya berdetak kencang. Untuk pertama kalinya, dia tidak menarik diri. “Aku akan coba,” bisiknya, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Liora tersenyum lebih lebar. Saat tim berjalan keluar dari gua, langit Elyria di atas mereka cerah, tapi di kejauhan, awan gelap baru mulai berkumpul. Di suatu tempat, di kastel tersembunyi, Zoltar berlutut di depan sosok bayangan yang lebih besar, suaranya bergetar. “Jantung Bayangan hancur, tapi yang lain sudah siap. Elyria akan jatuh.” Sosok itu berdesis, “Dan Aliansi Aurora akan hancur bersamanya.”Pintu batu raksasa di ruang pusat kota bawah tanah bergemuruh saat terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan luas yang diterangi cahaya ungu jahat dari Jantung Bayangan. Kristal raksasa itu, sebesar manusia, bertahta di tengah altar hitam, denyutnya seperti detak jantung yang mengguncang dinding gua. Lord Zoltar berdiri di depannya, jubahnya berkibar tertiup angin sihir, dan senyum liciknya menyapa Aliansi Aurora. Di sampingnya, sosok bayangan berdesis. Bentuknya kabur, seperti asap hidup dengan mata merah menyala. “Selamat datang di akhir perjalanan kalian,” kata Zoltar, suaranya halus namun mematikan. “Jantung Bayangan akan membawa Elyria ke era baru. Tanpa raja yang lemah, tanpa kalian.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion menyala perak di tangannya, berdengung dengan intensitas yang hampir tak terkendali. Mimpi buruk tadi malam masih menghantuinya, gambar ayahnya yang jatuh karena pedang roh yang liar, amarah yang menghancurkan segalanya. “Kau bicara terlalu banyak, bangsawan,”
Malam sebelum perjalanan ke kota bawah tanah, markas Aliansi Aurora sunyi, hanya diterangi cahaya rune lembut di dinding. Eiran Voss duduk sendirian di kamarnya, Zephyrion tergeletak di meja, pedang roh itu berdengung pelan seolah merasakan kegelisahan tuannya. Matanya terpejam, tapi tidur tidak datang dengan mudah. Sebaliknya, mimpi buruk datang lagi, seperti hantu yang tak pernah pergi. Dalam mimpi itu, Eiran kembali ke masa kecilnya, sebuah rumah bangsawan sederhana di pinggiran Elyria, di mana ayahnya, seorang penyihir setia kerajaan, berdiri di depan pintu dengan pedang yang sama ini. "Ingat, Eiran," kata ayahnya, suaranya hangat tapi tegas, "pedang roh ini bagian dari darahmu. Kendalikan, atau ia akan mengendalikanmu." Tapi kemudian, bayangan muncul, bangsawan korup yang datang di malam hari, dengan sihir gelap yang membakar rumah mereka. Ayahnya bertarung, Zephyrion menyala terang, tapi amarah membuat pedang itu liar, memotong segalanya tanpa kendali. Eiran kecil bersembu
Langit Elyria kembali cerah saat mobil terbang Aliansi Aurora mendarat di pelataran markas mereka, sinar matahari memantul dari menara kaca yang berkilau. Kota ini tampak hidup kembali setelah badai mereda, tapi udara masih terasa tegang, seolah alam tahu ancaman belum selesai. Di dalam markas, tim bersiap untuk menghadap Raja Eldrin di istana, tapi suasana di ruang rapat mereka jauh dari serius. Draven Quill bersandar di dinding, bermain-main dengan angin suaranya untuk membuat kertas-kertas di meja berputar seperti tornado mini. “Jadi, kita baru saja mengusir bangsawan jahat dan selamat dari badai maut,” katanya, menyeringai. “Aku bilang kita pantas dapat libur. Siapa mau ke pasar malam? Mereka punya kristal karaoke baru!” Sylva Reed memutar mata, kacamata tipisnya memantulkan cahaya lampu rune. “Draven, kalau kau pikir raja akan memberi kita libur setelah laporan ini, kau lebih delusional dari biasanya.” Bayangannya di lantai bergerak-gerak, seolah gelisah dengan apa yang dia
Kabut ungu di Hutan Larang semakin tebal, menyelimuti Aliansi Aurora seperti selimut basah yang berbau sihir busuk. Pohon-pohon kuno di sekitar mereka berderit, seolah berbisik tentang rahasia yang terkubur. Di depan, sebuah altar batu kuno muncul dari kabut, diukir dengan rune hitam yang berdenyut seperti jantungan. Di tengah altar, kristal gelap sebesar kepalan tangan manusia menyala dengan aura jahat, dan di sampingnya berdiri Lord Zoltar, jubahnya yang mewah kontras dengan senyum licik di wajahnya. “Selamat datang, Aliansi Aurora,” kata Zoltar, suaranya halus tapi penuh racun. “Kalian terlambat. Badai Roh sudah menyebar, dan segera seluruh Elyria akan tunduk pada… katakanlah, tatanan baru.” Eiran Voss melangkah maju, Zephyrion di tangannya menyala perak, berdengung dengan kemarahan yang mencerminkan tuannya. “Bangsawan,” semburnya, kata itu terdengar seperti kutukan. “Kau pikir bisa main-main dengan sihir alam dan lolos begitu saja?” Liora Faye, berdiri di samping Eiran, meman
Kabut ungu menyelimuti Hutan Larang, membuat pepohonan kuno tampak seperti bayangan raksasa yang berbisik. Udara terasa berat, bercampur bau tanah basah dan sesuatu yang lebih gelap seperti logam terbakar. Aliansi Aurora berjalan hati-hati, dengan Kairos Thorne di depan, tangannya menyala api kecil untuk menerangi jalan. Cahaya itu memantul di dinding-dinding pohon yang dipenuhi lumut bercahaya, menciptakan suasana yang indah sekaligus menyeramkan. “Kalau ada yang bilang hutan ini romantis, aku akan muntah,” gumam Eiran Voss, pedang rohnya, Zephyrion, berdengung pelan di pinggangnya. Matanya menyipit, memindai setiap bayangan. Dia tidak suka hutan, terlalu banyak tempat untuk bersembunyi, terlalu banyak kenangan buruk tentang pengkhianatan di masa lalu. Liora Faye, yang berjalan tepat di belakangnya, mendengar gumamannya dan langsung menyeringai. “Romantis? Oh, Eiran, kalau kau mau kencan di hutan, aku bisa buatkan karangan bunga untukmu!” Dia mengibaskan tangan, dan bunga-bunga
Mobil terbang Aliansi Aurora meluncur di atas dataran Elyria, mesinnya berdengung pelan berkat kristal sihir yang berkilau di bawah kap. Kendaraan ini lebih mirip perahu kecil dengan sayap logam, dihiasi rune yang menyala biru. Di dalam, suasana jauh dari tenang. Draven Quill, yang duduk di belakang, sedang memainkan sihir angin suaranya, membuat nada-nada lagu pop Elyria bergema di kabin, sampai Sylva Reed melemparkan kertas ke arahnya. “Draven, kalau kau mainkan lagu itu sekali lagi, aku akan buat bayanganmu menyanyi opera sampai kau minta ampun,” ancam Sylva, kacamata tipisnya memantulkan cahaya rune. Bayangan di bawah kursinya bergerak-gerak, seolah setuju. Draven menyeringai, kaki masih selonjor di kursi. “Opera? Sylva, kau tahu aku lebih cocok nyanyi balada patah hati.” Dia mengibaskan tangan, dan angin kecil membawa suaranya ke telinga Sylva: “Oh, Sylva yang kejam, hatiku kau hancurkan…” Vesper Hale, yang duduk di sudut dengan akar kecil melilit lengannya, tertawa pelan. “D







