Share

6. Mood

Tiga hari berlalu semenjak Mas Fahmi menjelaskan tentang wanita yang bernama Safna itu. Selama itu juga aku mendiami Mas Fahmi. Mendiami maksudku ialah dengan tak banyak bicara padanya. Paling hanya bicara secukupnya, bila menyangkut perkara penting saja. 

“Dek, Mas antar, ya?”

“Nggak usah. Adek bisa berangkat sendiri," ucapku ketus sambil memalingkan muka darinya.

Setelah menolak tawaran Mas Fahmi, aku lantas mengambil tasku. Bersikap-siap berangkat. Hari ini aku ada jam pertama. Jadi, harus cepat.

“Adek mau salim,” kataku datar sambil mengulurkan tangan kepada Mas Fahmi yang masih berkutat dengan sarapannya.

Yah, meski tengah kesal, aku masih tahu norma. Mas Fahmi tetaplah suamiku yang harus kuhormati baik saat aku tengah marah atau tidak.

Setelah mencium tangan Mas Fahmi, aku langsung bergegas menuju pintu keluar. Tak lupa kuucapkan salam padanya.

“Adek kan udah bilang Mas, Adek nggak

mau diantar.”

Aku berucap demikian karena kulihat Mas Fahmi kini mengekor di belakangku, padahal tadi kulihat sarapannya masih banyak. Tak nafsu makankah ia?

“Mas hanya akan mengantar sampai depan, Dek" katanya tulus. Dalam ucapannya, terlihat jelas nada kesedihan. Namun, lagi-lagi aku mencoba acuh tak acuh.  

“Hati-hati. Nanti kalau kiranya Adek ingin dijemput, telepon saja. Mas akan langsung jemput.”

Akh..., rasanya sudah tak kuasa lagi berpura-pura mengabaikan Mas Fahmi. Mengapa di saat aku seperti ini pun, di saat aku tengah kesal padanya, ia masih bisa bersikap lembut? Apakah aku benar-benar egois, kekanak-kanakan?

Hanya karena kecemburuanku pada wanita yang bernama Safna itu lantas membuatku mengabaikan suamiku? Bukankah aku telah keterlaluan pada Mas Fahmi? Atau apa aku minta maaf saja sekarang? Ah, iya. Sepertinya aku harus meminta maafnya.

Tin...Tin...

“Eva...! Ayo masuk! Aku antar sampai sekolah.”

Aku menoleh dan melihat Kak Aan dengan mobilnya telah berhenti di depan gerbang rumah.

‘Astaha..., mau apa lagi dia?’ batinku makin stres.

“Eva ayo! Ini sudah jam setengah delapan lewat. Kamu bisa telat lho ntar,” ujar Kak Aan yang sayangnya ucapannya memang benar.

Sejenak aku ragu. Apakah aku harus menumpang mobil Kak Aan atau memesan ojek online? Namun, bila aku memesan ojol, tentu aku akan terlambat.

Atau apa aku minta Mas Fahmi yang mengantarku? Baik, sepertinya akan jauh lebih baik bila suamiku itu yang mengantarku bila dibandingkan dengan Kak Aan. Dan aku yakin, Mas Fahmi juga pasti tak akan setuju bila aku diantar Kak Aan secara dulu saja ia pernah sempat cemburu.

“Berangkatlah, Dek. Mas izinkan kamu diantar Aan.”

A-apa? Kenapa bisa Mas Fahmi berkata seperti itu? Apa Mas Fahmi tak akan cemburu melihatku satu mobil dengan laki-laki yang pernah ada hubungan denganku itu? Tidak. Mas Fahmi pasti sedang bercanda.

“Tapi, Mas...”

“Dek, sudah. Kamu harus segera berangkat. Nanti kamu telat.”

Jadi, Mas Fahmi lebih mengkhawatirkan aku yang telat sampai ke sekolah dibandingkan mencemaskan aku yang akan berada dalam satu mobil dengan Kak Aan? Akh..., menyebalkan sekali.

Akhirnya tanpa berkata apa pun lagi pada suamiku, kubalikkan badan. Dengan kasar, kubuka pintu belakang mobil Kak Aan. Membantingnya cukup keras.

“Jalan, Kak!” perintahku ketus.

“Astaga..., Va. Bisa rusak mobil baruku dan lagi kenapa kamu duduknya di belakang. Sini pindah depan!”

“Jalan sekarang, Kak atau aku turun!” ancamku masih dengan suara yang keras.

“Astaga..., iya-iya. Ini kita jalan,” katanya kemudian menyalakan mesin mobil. Detik berikutnya, aku bisa merasakan mobil Kak Aan bergerak. Semakin menjauh dari gerbang rumah dan tentu juga dari Mas Fahmi.

Setelah berjalan cukup jauh, aku baru memberanikan diri menengok ke belakang. Penasaran apakah Mas Fahmi masih berdiri di pintu gerbang atau tidak.

Aku mendengus. Ternyata suamiku itu tak lagi terlihat, mungkin sudah masuk ke dalam rumah, bermaksud melanjutkan sarapannya.

“Huf..., bodo amat. Aku nggak peduli.”

Tanpa sadar aku mengucapkan isi hatiku.

“Nggak peduli apa, Va?” tanya Kak Aan.

“Bukan urusan Kakak. Ayo Kak cepetan. Nanti aku telat!”

Boro-boro menjelaskan, aku malah memerintahnya supaya lebih cepat memacu kendaraan karena aku sudah tak tahan berduaan dengannya. Benar-benar membosankan.

Akhirnya, setelah tujuh belas menit mobil melaju, mobil Kak Aan pun berhenti, tepat di gerbang SD tempatku mengajar. Secepat kilat, kudorong pintu mobil dan keluar.

“Makasih, Kak,” ucapku sebelum akhirnya melangkah masuk menuju gerbang.

“Nanti aku jemput lagi, Va...” pekik Kak Aan yang sontak mengharuskanku menoleh karena suaranya cukup keras.

‘Astaga, tu orang emang makin aneh. Apa dulu aku nggak salah pernah suka sama dia? Astagfirullah,' batinku geram.

“Eh, Bu Eva baru datang? Diantar siapa, Bu? Suami?”

Aku mengalihkan pandanganku. Dari yang sebelumnya menatap mobil Kak Aan yang sudah melaju pergi, kini menoleh ke arah Pak Robi, orang yang menyapaku barusan.

“Ah, i-iya, Pak. Baru datang,” jawabku kikuk.

“Itu tadi suminya Bu Eva?” sambungnya kembali.

“Bu-bukan, Pak.”

Kugelengkan kepala kuat-kuat sebagai bentuk pengingkaran yang semakin jelas.

“Lalu, tadi itu siapa? Kakaknya Bu Eva?”

“Bukan juga, Pak.”

“Lah, kalau bukan siapanya Bu Eva dong?”

'Ya Allah..., ni Bapak-Bapak satu kenapa kepo amat dah. Ngalahin Bu Wina sama Bu Tika.'

“Bapak mau tahu, tadi itu siapanya saya?” bisikku pelan sambil pura-pura celingak-celinguk ke sekitar.

“Siapa, Bu?” bisik Pak Robi langsung terpancing dengan sandiwaraku.

“Saya akan kasih tahu, tapi ini rahasia. Jadi, saya harap, Bapak nggak akan kasih tahu siapa-siapa.”

“Aman, Bu. Rahasia aman terkendali,” katanya sangat meyakinkan.

“Jadi, dia itu siapa?” sambungnya kembali sudah tak tahan ingin tahu.

“Dia itu pa...”

Treet....Treet...

“Astaga, Pak. Sudah bel masuk. Saya duluan ya, Pak. Mari.”

“Tapi, Bu Eva belum kasih tahu siapa orang tadi?”

“Be-sok saja ya, Pak. Sekarang saya harus ngajar,” kataku kemudian dengan setengah berlari, kubawa kaki menuju ruang guru.

Adoh, sepertinya aku berbakat menjadi seorang penipu. Sudah berapa orang yang berhasil kutipu. Haha, haruskan aku beralih profesi dari guru menjadi seorang penipu?

Astaga..., astaga..., tentu hanya orang tak waras yang akan melakukannya dan beruntung aku bukan orangnya.

Sudah, Va. Cukup! Karena kalau tak segera dihentikan, aku bisa gila benaran. Namun, aku bersyukur karena sekarang mood-ku cukup membaik.

Berhubung mood-ku sudah kembali, aku akan meminta maaf sama Mas Fahmi karena sudah bersikap egois dan kekanak-kanankan padanya.

Iya, aku harus segera minta maaf. Tak boleh lagi ditunda-tunda. Rasanya, aku ingin segera pulang dan melakukan niatku itu. Semoga saja Mas Fahmi memaafkan istrinya yang suka merajuk ini. Hehe. Aamiin. 

Next.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status