Share

5. Penjelasan

Semalam setelah menerima telepon yang entah dari siapa, Mas Fahmi langsung berpamitan kepadaku. Sudah kutanya, ia akan ke mana, tetapi hanya dijawab ke tempat saudara.

Awalnya aku keberatan ditinggal sendirian, tetapi karena Mas Fahmi berjanji akan segera kembali, aku pun mengizinkan. Namun kenyataannya, sampai hari berganti pun, Mas Fahmi tak kunjung pulang.  

Telah kuhubungi nomornya berkali-kali, tetapi lagi-lagi seperti seorang yang melarikan diri, ponselnya mendadak tak dapat dihubungi.

“Sudah, Va! Mungkin Mas Fahmi masih ada urusan. Paling nanti juga pulang,” kataku, mencoba berpositif thinking. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang sempat hilir mudik dalam pikiran.

Dengan cepat, lekas kupakai kerudung berwarna khaki seperti warna seragamku. Aku harus segera berangkat karena hari ini hari Senin dan itu artinya akan dilaksanakan upacara, seperti biasanya.

Selepas memastikan semua barang-barang telah kubawa, pun buku-buku telah kumasukkan ke dalam tas, kuberjalan ke arah pintu keluar. Kukunci pintu dan menaruhnya di balik pot bunga, tempat biasa aku dan Mas Fahmi menaruh kunci.

Masih dengan perasaan yang gamang, kucoba mengucap bismillah dan bergegas meninggalkan rumah. Kubuka ponselku kemudian kupesan ojek online karena kendaran satu-satunya yang kami miliki yaitu mobil dibawa Mas Fahmi ke rumah saudaranya.

Akhirnya, setelah sepuluh menit menunggu, Mas ojol pun tiba dan tanpa berbasa-basi lekas diantarnya aku ke SDN 3 Solah, tempat di mana aku mengajar.

Sekitar dua puluh menit perjalanan, motor pun berhenti di depan gerbang SDN 3 Solah. Kubuka helm dan lekas turun dari motor.

“Ambil saja kembaliannya, Mas,” kataku sambil menyerahkan uang senilai tiga puluh ribu.

Selepas berterima kasih dan menyerahkan helm, cepat kubawa kaki masuk menuju gerbang sekolah karena bel pertanda akan dimulainya upacara telah terdengar.

‘Bismillah. Mas Fahmi pasti akan pulang, Va. Kamu harus percaya sama dia. Dia mencintaimu. Dia tak mungkin berkhianat. Ayo, semangat! Kamu harus profesional,' ucapku menyemangatkan diri.

Tak peduli sudah berapa kali aku menyemangati diri dan mencoba menjalankan tugasku seprofesional mungkin, sesekali masalah akan Mas Fahmi datang membayang.

Hingga sampai bel terakhir, pertanda berakhirnya persekolahan berbunyi pum, aku masih terus memikirkan suamiku.

Di manakah ia sekarang? Akankah ia pulang? Sudahkan ia makan? Dan sedang bersama siapakah ia? 

Pertanyaan-pertanyaan itu terus kurapalkan dalam hati sampai tak sengaja kudengar notifikasi dari salah satu aplikasi yang ada di ponselku. 

Tak menunggu lama, lekas kubuka gawaiku dan sejurus kemudian senyum lebar merekah begitu saja di bibirku.

[Sayang, lima belas menit lagi Mas nyampe sekolahan. Mas jemput kamu. Tunggu, ya!]

Betapa hati yang tadinya gamang, kini berubah menjadi riang.

Tanpa menunggu apa pun, segera, kubalas pesannya Mas Fahmi.

[Siap, Mas. Adek tunggu di depan.]

Kumasukkan buku-buku dan lembar pekerjaan siswa ke dalam tas kemudian bangkit dari kursi dan kubawa kaki keluar ruang guru.

“Mau pulang, Bu Eva? Mau bareng tidak, kebetulan kita searah,” ucap Pak Robi yang juga adalah guru di sekolah tempat kumengajar.

“Terima kasih, Pak. Tapi, Maaf. Saya sudah dijemput sama Mas Fahmi.”

Kupaksakan seulas senyum sebagai penutup ucapan.

“Oalah, saya kira enggak dijemput. Kalau begitu saya duluan ya, Bu. Mari.”

Lagi-lagi, hanya kupaksakan sudut bibirku terangkat sebagai balasan. Tak berselang lama dari kepergian Pak Robi, aku pun kembali melanjutkan langkahku ke arah gerbang sekolah dengan senyum yang tak henti-hentinya tersungging di bibir.

“Adek, sebelah sini!”

Kulihat Mas Fahmi berteriak sembari melambai-lambaikan tangannya. Tanpa berdiam diri lagi, kuangkat kaki menghampirinya.

“Sini, tasnya biar Mas aja yang bawain,” ujarnya setelah aku sampai di dekatnya.

“Enggak usah, Mas. Biar Adek aja. Nggak berat kok.”

Mas Fahmi mengangguk dan memimpinku berjalan ke arah mobil. Namun, bukannya mengekor, aku justru mematung.

Dadaku tiba-tiba terasa sesak sekali. Bahkan hanya untuk menarik napas saja rasanya susah.

“Dek, kenapa diam di situ. Ayo pulang!”

Mas Fahmi berteriak karena mungkin supaya suaranya bisa kudengar. Namun, jangankan melangkah, bergerak dari tempat saja, aku tak ingin. Takut bila apa yang kusangkakan benar adanya.

“Hei..., sayang! Kamu kenapa? Hei, lihat Mas,” ujarnya sambil mengangkat ujung daguku supaya kami bisa beradu pandang.

Iya, benar. Mas Fahmi kembali menghampirimu padahal tinggal beberapa langkah lagi, ia akan sampai mobil.

“Mas jujur sama Adek, Mas sebenarnya dari mana? Kenapa ada bau parfum perempuan di tubuh, Mas?”

Aku memukul-mukul tubuh Mas Fahmi, tetapi suamiku itu hanya diam saja. Tak sedikit pun melawan atau pun menghentikan pukulanku.

“Kenapa Mas hanya diam saja? Apa dugaan Adek benar kalau Mas seling---”

“Kita bicara di rumah ya, Dek? Di sini banyak orang. Nggak enak dilihat. Mas akan jelaskan semuanya.”

Dengan patuh, kuanggukkan kepala karena malu juga dilihat murid-murid dan rekan-rekan guru lainnya bila aku harus berkelahi dengan suami di pinggir jalan.

Sebagai seorang pendidik mestinya aku harus mencontohkan prilaku yang baik-baik, bukan malah menunjukkan sesuatu yang buruk kepada siswa-siswaku.

Selama perjalanan menuju rumah aku memilih tak berbicara sedikit pun. Begitu halnya dengan Mas Fahmi. Ia juga terdiam membisu.

Sekitar dua puluh menit perjalanan, kami pun tiba di rumah. Mobil terhenti di depan halaman. Tanpa diperintah, aku segera turun dari mobil. Meninggalkan Mas Fahmi yang masih terdiam.

Kucari kunci rumah di tempat biasa dan dengan cepat kubuka pintu. Berjalan masuk begitu saja, setelah sebelumnya kuucapkan salam.

“Dek, tunggu! Kamu harus dengar penjelasan Mas dulu!”

Langkahku terhenti, tetapi aku tak sedikit pun menoleh ke arah Mas Fahmi.

“Duduk dulu, ya. Kita bicarakan baik-baik,” perintahnya sambil membawaku duduk di sofa ruang tamu karena ruangan itulah yang paling dekat sekarang.

Aku duduk di sebelah kanan Mas Fahmi dan masih terdiam. Tentu, sekarang aku tak ingin berkata apa pun karena aku hanya akan berperan sebagai pendengar.

“Dek...,” kata Mas Fahmi, lalu menghadapkan sebagian tubuhku supaya melihat ke arahnya.

“Tatap Mas, Dek! Mas nggak mau kamu terus-terusan kayak gini!”

Akhirnya, dengan pelan kuangkat wajahku. Menatap tepat di netra hitam suamiku.

“Siapa perempuan itu?” ucapku tegas meski dadaku terasa sesak luar biasa.

“Dia istri mendiang Kakakku, Dek. Namanya Safna.”

“Ada urusan apa Mas sama dia? Kenapa Mas malam-malam harus pergi ninggalin Adek sendirian? Bahkan sampai pagi nggak pulang-pulang?”

Pecah sudah tangis yang sejak tadi kutahan. Sungguh menyakitkan rasanya mengetahui Mas Fahmi yang lebih memilih wanita lain dan meninggalkan aku sendirian semalam.

“Safna habis melahirkan, Dek. Dia memerlukan seseorang di sampingnya. Karena Kakak Mas sudah meninggal, Mas yang menggantikan posisinya sementara. Dia yatim piatu, Dek. Tak juga punya saudara. Hanya Mas yang dia punya. Jadi, Mas mohon, Adek ngertiin keadaan Mas, ya.”

Mas Fahmi memegang tanganku dan menatapku dalam. Wajah tampannya terlihat kelelahan, bahkan tampak pucat. Aku menduga suamiku itu tak tidur semalaman. Mungkin, karena harus menunggu istri kakak iparnya itu.

“Adek ingin ketemu sama dia. Adek akan tanya langsung sama dia karena Adek belum sepenuhnya percaya dengan apa yang Mas katakan,” ucapku masih dengan nada suara yang terdengar ketus.

Bukannya melarang atau apa, Mas Fahmi malah tersenyum. Senyum kelegaan terpancar jelas di wajahnya.

“Besok Minggu, Mas akan bawa Adek buat ketemu Safna. Adek bisa buktikan sendiri kalau Mas nggak bohong sama kamu, sayang.”

Setelah mengatakan itu, Mas Fahmi langsung membawaku ke pelukannya. Pelukan hangat yang selalu aku rindukan.

Untuk sejenak, aku membiarkan Mas Fahmi memelukku, menyalurkan bahasa tubuh yang mungkin tak kan mampu terucap dengan bahasa lisan. Dan aku berdoa, semoga pelukan hangat Mas Fahmi selalu bisa aku rasakan. Baik sekarang, esok, hingga sampai di masa depan nanti. 

Next....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status