Share

7. Ceritaku

*Azzam Dafa Al Kaivan*

Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu.

Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi.

Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah.

Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca.

Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiranku dan adikku 12 tahun. Abahku seorang tentara yang sering bertugas dalam misi perdamaian. Beliau mempunyai kakak bernama Irham. 

Aslinya pondok Mbah Harun dan Mbah Maftuhah diserahkan kepada Pak Dhe Irham karena dia anak tertua. Lagi pula Abah seorang tentara jadi tak mungkin mengurusi pondok. Hingga Pak Dhe Irham meninggal karena sakit dan meminta Abah untuk mengasuh pondok serta menjaga istrinya, Bu Dhe Laila dan kedua putranya yaitu Mas Fatur yang berusia 3 tahun dan Mas Fadil yang berusia 2 bulan. 

Abah menyanggupi menjaga mereka. Akhirnya Abah berhenti dari satuan dinasnya demi menjalankan wasiat sang kakak.

Keluarga Bu Dhe Laila yang termasuk keluarga pesantren daerah Cilongok meminta Abah untuk menikahi Bu Dhe Laila tapi Abah kekeuh tidak mau. Karena wasiat kakaknya hanya meminta menjaga bukan menikahi janda kakaknya. 

Sempat terjadi perdebatan sengit, tapi Abah adalah seorang perwira. Seorang prajurit, pantang baginya menjilat ludah dan menyerah dengan keyakinannya jika apa yang ia yakini itu benar. Sungguh ia tak keberatan menjadi Ayah bagi kedua putra mendiang kakaknya hanya saja ia benar-benar tak ada rasa untuk kakak iparnya. 

Abah tak mau hidup dengan seseorang yang sama sekali tidak dia cinta. Sebenarnya bisa saja dia menikahi Bu Dhe Laila toh cinta bisa datang karena terbiasa. Hanya saja Abah tak begitu menyukai karakter Bu Dhe Laila yang sombong dan mudah iri. 

Abah saja sampai heran kok maunya sang kakak menikah dengan Bu Dhe Laila. Kenapa dulu kakaknya tidak memilih calon pilihan kedua orangtuanya yang jelas-jelas berbobot. Mungkin kakaknya sudah dibutakan cinta.

Hingga akhirnya ia tak sengaja bertemu dengan umiku, Umi Aisyah. Abah jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Umi ternyata adalah santri Simbah.

Abah akhirnya menikahi Umi Aisyah. Umi Aisyah sangat dibenci oleh seluruh keluarga Bu Dhe Laila. Beruntung Simbah Kakung dan Simbah Putri mendukungnya. Dan lebih beruntung, Umi adalah wanita yang tabah, lembut, keibuan namun bisa menjadi sosok yang tegas. Sangat cocok mendampingi Abah yang begitu keras dan kaku.

Berbagai cacian, cibiran dilontarkan kepada Umi Aisyah apalagi karena dalam usia pernikahan yang menginjak tiga tahun Umi belum hamil.

Berbagai serangan dilancarkan oleh Bu Dhe Laila dan keluarganya termasuk meminta dirinya dijadikan istri kedua. Tapi sekali lagi Abah menolak bahkan dia menskakmat setiap orang yang nyinyir akan keadaan Umi Aisyah. Beliau mengibaratkan Umi Aisyah seperti Aisyah R.A istri Rasululloh. Walaupun tak memiliki anak tapi beliau tetap memiliki kemuliaan.

Hingga di tahun keempat suatu mukjizat datang. Umi hamil, dan itu membungkam mulut nyinyir Bu Dhe Laila beserta keluarganya. Tapi rupanya memang sifat Bu Dhe Laila yang mudah iri dan tamak. Beliau tak mau menikah lagi demi bisa menuntut agar pondok diserahkan pada putra-putranya. Yang menurut beliau, kedua putranya lebih berhak mewarisi Al Hikam. 

Simbah Kakung sangat murka namun bisa dibujuk oleh Abah dengan mengajukan jalan keluar memisahkan kepengurusan pondok putra dan putri secara terpisah. Akhirnya diputuskan pondok putra di bawah naungan Bu Dhe Laila sedangkan pondok putri dibawah asuhan Abah dan Umi.

Pondok yang dipimpin Abah berkembang pesat sedangkan yang dipimpin Bu Dhe Laila mengalami pasang surut. Ini karena kekeraspalaan Bu Dhe Laila yang tidak mau dibantu oleh Abah dan Umi. Beruntung Mas Fadil bisa sedikit demi sedikit memulihkan kondisi pondok putra Al-Hikam. Ini karena Mas Fadil masih bisa dinasehati dan mau menuruti nasehat Abah tanpa diketahui oleh uminya. Mas Fatur sendiri memilih menjadi anggota caleg dan tak mau repot mengurusi pondok. Semua ia serahkan kepada adiknya.

Lalu aku? Aku memiliki karakter persis Abah. Kata Umi, aku duplikatnya Abah. Bukan hanya dari fisik tapi juga dari sifat. Abah dulu mondok dengan cara berpindah-pindah. 

Abah selalu menyembunyikan identitas aslinya yang merupakan anak kyai. Bahkan Abah memilih menjadi tentara dan hidup melalang buana mencari pengalaman.

Nah, karakter Abah ini benar-benar menurun padaku. Seusai menamatkan Aliyahku di Kediri, aku kuliah di Bandung. Disana aku mondok dan menyembunyikan jati diriku sebagai anak seorang kyai. Hanya beberapa sahabat karibku yang tahu. 

Ketika bulan Ramadhan tiba, biasanya aku akan mondok ditempat lain selama satu bulan penuh. Pondok yang aku kunjungi setiap tahun selalu berganti. Kalau Abah hanya menyembunyikan identitasnya saat mondok. Aku bahkan lebih ekstrem lagi, aku selalu mondok di tempat yang tidak Abah ketahui. Terutama pondok yang aku datangi selama bulan Ramadhan. Pokoknya rahasia.

Bahkan masalah kuliahku pun tak ada yang tahu aku mengambil jurusan apa. Hanya Abah , Umi dan Kang ndalem setiaku Kang Bimo yang tahu kalau aku adalah calon magister arsitektur lulusan ITB. Oleh karenanya banyak yang memandang remeh pada diriku. Dan aku tak peduli.

Hingga ada seorang kyai dari Pekalongan melihatku dan terpesona akan wajah gantengku. Dia mencoba mengenalkanku dengan putrinya, Ning Salima. Sayang sepertinya keluarga mereka terkena hasutan Budhe Laila yang mengatakan aku hanyalah gus pengangguran yang hobby berpetualang. Ya, aku ini memang seorang pecinta alam. Hobiku naik gunung.

Dan keluarga Ning Salima percaya sehingga memilih menikahkan Ning Salima dengan Mas Fadil yang secara tampak mata lebih baik dariku. Lulusan S1 Kairo dan berpenampilan rapi. Tidak sepertiku yang rambut saja gondrong. Aku tak peduli toh aku pun tidak ada rasa dengan Ning itu.

Bagiku aku adalah aku. Selama aku berjalan dikoridor yang benar dan tak menyimpang aku tak peduli pendapat orang. Aku walaupun cuek aslinya selalu membantu Abah dibalik layar. Saat Abah meminta saran membuat sekolah aku menyarankan membuat SMA untuk menampung santri putri dan SMK untuk santri putra. Aku berpendapat santri putra dari awal harus memiliki keterampilan demi menunjang hidupnya kelak sebagai imam dan tulang punggung keluarga. Sedangkan santri putri adalah calon ibu sehingga kajian keputrian dan penanaman akhlak Sangat kami tekankan pada mereka. Pembuatan klinik pesantren juga atas saranku demi memberikan pelayanan kepada para santri yang sakit.

Oh iya sekedar info, aku memberi saran Abah ketika aku baru semester tiga kuliah strata satu dan kedua bangunan megah SMA dan SMK Al Hikam itu hasil rancanganku. Begitupun dengan klinik pesantren. Ah sampai lupa, gerbang pesantren putri pun aku yang merombaknya.

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Nurhastuti Andisultani
bagus ceritanya sayang harus buka kunci...
goodnovel comment avatar
Maya Rikin
penasaran...
goodnovel comment avatar
Khan's Nee
hahahaha...minta pujilah itu..beraku..aku..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status