*Azzam Dafa Al Kaivan*
Gadis itu benar-benar berisik sekali, suka cari muka dan menggangu. Aku tahu dia anak sahabat Umi yang bernama Fatimah. Dan saat ini dia yatim piatu. Tapi sungguh kehadirannya membuatku terganggu.Aku dikenal sebagai sosok Gus yang dingin, cuek, galak dan mungkin angkuh. Tapi jangan salah, sikapku akan berbeda jika bersama Umi, aku justru sangat manja padanya. Maklum saja 12 tahun aku baru dikasih adik. Jadi, jangan salahkan kalau aku menjadi anak manja hanya ketika bersama Umi.Aku pertama jumpa dengannya di pintu gerbang pesantren, kuakui dia sangat cantik. Tapi bagiku biasa saja, karena aku sudah terbiasa lihat cewek cantik. Bahkan mantan calon Ning yang gagal ta'aruf denganku juga cantik. Tapi cantikan Caca sih. Astaghfirullah.Walau begitu bukan berarti aku suka sama Caca ya. Aku nyari istri itu harus seperti Umi. Kalem, lembut, perhatian dan penurut. Dan semua itu tidak ada di Caca.Aku sulung dari dua bersaudara. Jarak kelahiranku dan adikku 12 tahun. Abahku seorang tentara yang sering bertugas dalam misi perdamaian. Beliau mempunyai kakak bernama Irham. Aslinya pondok Mbah Harun dan Mbah Maftuhah diserahkan kepada Pak Dhe Irham karena dia anak tertua. Lagi pula Abah seorang tentara jadi tak mungkin mengurusi pondok. Hingga Pak Dhe Irham meninggal karena sakit dan meminta Abah untuk mengasuh pondok serta menjaga istrinya, Bu Dhe Laila dan kedua putranya yaitu Mas Fatur yang berusia 3 tahun dan Mas Fadil yang berusia 2 bulan. Abah menyanggupi menjaga mereka. Akhirnya Abah berhenti dari satuan dinasnya demi menjalankan wasiat sang kakak.Keluarga Bu Dhe Laila yang termasuk keluarga pesantren daerah Cilongok meminta Abah untuk menikahi Bu Dhe Laila tapi Abah kekeuh tidak mau. Karena wasiat kakaknya hanya meminta menjaga bukan menikahi janda kakaknya. Sempat terjadi perdebatan sengit, tapi Abah adalah seorang perwira. Seorang prajurit, pantang baginya menjilat ludah dan menyerah dengan keyakinannya jika apa yang ia yakini itu benar. Sungguh ia tak keberatan menjadi Ayah bagi kedua putra mendiang kakaknya hanya saja ia benar-benar tak ada rasa untuk kakak iparnya. Abah tak mau hidup dengan seseorang yang sama sekali tidak dia cinta. Sebenarnya bisa saja dia menikahi Bu Dhe Laila toh cinta bisa datang karena terbiasa. Hanya saja Abah tak begitu menyukai karakter Bu Dhe Laila yang sombong dan mudah iri. Abah saja sampai heran kok maunya sang kakak menikah dengan Bu Dhe Laila. Kenapa dulu kakaknya tidak memilih calon pilihan kedua orangtuanya yang jelas-jelas berbobot. Mungkin kakaknya sudah dibutakan cinta.Hingga akhirnya ia tak sengaja bertemu dengan umiku, Umi Aisyah. Abah jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Umi ternyata adalah santri Simbah.Abah akhirnya menikahi Umi Aisyah. Umi Aisyah sangat dibenci oleh seluruh keluarga Bu Dhe Laila. Beruntung Simbah Kakung dan Simbah Putri mendukungnya. Dan lebih beruntung, Umi adalah wanita yang tabah, lembut, keibuan namun bisa menjadi sosok yang tegas. Sangat cocok mendampingi Abah yang begitu keras dan kaku.Berbagai cacian, cibiran dilontarkan kepada Umi Aisyah apalagi karena dalam usia pernikahan yang menginjak tiga tahun Umi belum hamil.Berbagai serangan dilancarkan oleh Bu Dhe Laila dan keluarganya termasuk meminta dirinya dijadikan istri kedua. Tapi sekali lagi Abah menolak bahkan dia menskakmat setiap orang yang nyinyir akan keadaan Umi Aisyah. Beliau mengibaratkan Umi Aisyah seperti Aisyah R.A istri Rasululloh. Walaupun tak memiliki anak tapi beliau tetap memiliki kemuliaan.Hingga di tahun keempat suatu mukjizat datang. Umi hamil, dan itu membungkam mulut nyinyir Bu Dhe Laila beserta keluarganya. Tapi rupanya memang sifat Bu Dhe Laila yang mudah iri dan tamak. Beliau tak mau menikah lagi demi bisa menuntut agar pondok diserahkan pada putra-putranya. Yang menurut beliau, kedua putranya lebih berhak mewarisi Al Hikam. Simbah Kakung sangat murka namun bisa dibujuk oleh Abah dengan mengajukan jalan keluar memisahkan kepengurusan pondok putra dan putri secara terpisah. Akhirnya diputuskan pondok putra di bawah naungan Bu Dhe Laila sedangkan pondok putri dibawah asuhan Abah dan Umi.Pondok yang dipimpin Abah berkembang pesat sedangkan yang dipimpin Bu Dhe Laila mengalami pasang surut. Ini karena kekeraspalaan Bu Dhe Laila yang tidak mau dibantu oleh Abah dan Umi. Beruntung Mas Fadil bisa sedikit demi sedikit memulihkan kondisi pondok putra Al-Hikam. Ini karena Mas Fadil masih bisa dinasehati dan mau menuruti nasehat Abah tanpa diketahui oleh uminya. Mas Fatur sendiri memilih menjadi anggota caleg dan tak mau repot mengurusi pondok. Semua ia serahkan kepada adiknya.Lalu aku? Aku memiliki karakter persis Abah. Kata Umi, aku duplikatnya Abah. Bukan hanya dari fisik tapi juga dari sifat. Abah dulu mondok dengan cara berpindah-pindah. Abah selalu menyembunyikan identitas aslinya yang merupakan anak kyai. Bahkan Abah memilih menjadi tentara dan hidup melalang buana mencari pengalaman.Nah, karakter Abah ini benar-benar menurun padaku. Seusai menamatkan Aliyahku di Kediri, aku kuliah di Bandung. Disana aku mondok dan menyembunyikan jati diriku sebagai anak seorang kyai. Hanya beberapa sahabat karibku yang tahu. Ketika bulan Ramadhan tiba, biasanya aku akan mondok ditempat lain selama satu bulan penuh. Pondok yang aku kunjungi setiap tahun selalu berganti. Kalau Abah hanya menyembunyikan identitasnya saat mondok. Aku bahkan lebih ekstrem lagi, aku selalu mondok di tempat yang tidak Abah ketahui. Terutama pondok yang aku datangi selama bulan Ramadhan. Pokoknya rahasia.Bahkan masalah kuliahku pun tak ada yang tahu aku mengambil jurusan apa. Hanya Abah , Umi dan Kang ndalem setiaku Kang Bimo yang tahu kalau aku adalah calon magister arsitektur lulusan ITB. Oleh karenanya banyak yang memandang remeh pada diriku. Dan aku tak peduli.Hingga ada seorang kyai dari Pekalongan melihatku dan terpesona akan wajah gantengku. Dia mencoba mengenalkanku dengan putrinya, Ning Salima. Sayang sepertinya keluarga mereka terkena hasutan Budhe Laila yang mengatakan aku hanyalah gus pengangguran yang hobby berpetualang. Ya, aku ini memang seorang pecinta alam. Hobiku naik gunung.Dan keluarga Ning Salima percaya sehingga memilih menikahkan Ning Salima dengan Mas Fadil yang secara tampak mata lebih baik dariku. Lulusan S1 Kairo dan berpenampilan rapi. Tidak sepertiku yang rambut saja gondrong. Aku tak peduli toh aku pun tidak ada rasa dengan Ning itu.Bagiku aku adalah aku. Selama aku berjalan dikoridor yang benar dan tak menyimpang aku tak peduli pendapat orang. Aku walaupun cuek aslinya selalu membantu Abah dibalik layar. Saat Abah meminta saran membuat sekolah aku menyarankan membuat SMA untuk menampung santri putri dan SMK untuk santri putra. Aku berpendapat santri putra dari awal harus memiliki keterampilan demi menunjang hidupnya kelak sebagai imam dan tulang punggung keluarga. Sedangkan santri putri adalah calon ibu sehingga kajian keputrian dan penanaman akhlak Sangat kami tekankan pada mereka. Pembuatan klinik pesantren juga atas saranku demi memberikan pelayanan kepada para santri yang sakit.Oh iya sekedar info, aku memberi saran Abah ketika aku baru semester tiga kuliah strata satu dan kedua bangunan megah SMA dan SMK Al Hikam itu hasil rancanganku. Begitupun dengan klinik pesantren. Ah sampai lupa, gerbang pesantren putri pun aku yang merombaknya.*Cahaya Mustika*Tak terasa sudah dua bulan aku mondok plus jadi khadamah disini. Awalnya, aku kesusahan beradaptasi. Terutama masalah ngajinya, tapi alhamdulillah akhirnya terbiasa. Berhubung dulu aku dan Hasan hanya punya satu HP milik bersama dan jadul pula, praktis komunikasi kami lewat sosmed. Dan itupun hanya bisa kulakukan saat hari Minggu saja dimana kami boleh keluar itupun hanya di area dekat pondok.Syukurlah Hasan nampak bahagia dan menikmati kuliahnya. Aku lost kontak dengan keluarga Jepara. Paling Hasan yang rajin menghubungi Husna untuk menanyakan keadaan bapaknya."Kamu betah Ca?" tanya Kang Bimo kepadaku saat membantuku mengupas kelapa sedangkan aku bertugas memarutnya."Betah Kang." Aku memanggilnya sesuai panggilannya disini."Syukurlah, Hasan kayaknya juga betah disana. Senangnya dengar dia lagi kuliah." Kang Bimo menghembuskan nafasnya."Kenapa Kang?""Gak papa. Aku cuma nyesel dulu jadi anak badung. Sekolah gak tamat hid
Kali ini aku menemani Abah, Umi, dan Gus Azmi ke Bandung dengan disopiri oleh Kang Bimo. Gus Azzam sendiri satu minggu yang lalu sudah ada di Bandung. Besok adalah hari wisuda Gus Azzam untuk program magisternya. Kami menginap di hotel yang cukup dekat dengan kampus."Kampusnya keren ya Umi, besok Azmi mau disini juga," celoteh Gus Azmi saat mobil kami memasuki pelataran parkir hotel."Memangnya Azmi mau jadi apa?""Gamer Umi, pokoknya bisa pegang komputer sama HP. Hehehe.""Dasar kamu itu ya?"Semua tertawa termasuk aku. Selanjutnya aku lebih banyak diam, karena menikmati perjalanan. Wow, aku jadi rindu kampus. Aku rindu belajar. Aku menghembuskan nafasku pelan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kuliah lagi dan semoga aku segera punya uang. Syukur dibiayai suami. Dan pertanyaan yang muncul emangnya suamiku siapa?*****Mataku terpana menatap objek di depanku. Perawakannya yang tinggi menjulang, kulit putih dengan seraut wajah nan rupawan tengah ber
"Mbak Caca dipanggil Umi ke ndalem," seru Fauziah salah satu khadamah yang masih kelas 12 SMA."Oh ... makasih Dek." Aku menemui umi di ruang keluarga."Umi manggil Caca? Wonten nopo nggih Umi.""Gini, kata Azzam kamu itu lulusan pendidikan Biologi benar kan?""Nggih Umi, pripun?""Guru Biologi kita mau ikut suaminya ke Malang, jadi kita butuh gantinya. Daripada kita bikin loker kan mending memberdayakan SDM yang sudah ada. Bener kan?""Nggih Umi.""Mau ya bantuin ngajar di SMA.""Tapi, Caca sudah lama gak ngajar Umi. Takutnya nanti pas dihadapan siswa malah kayak patung Umi.""Ya dicoba dulu makanya.""Nanti kalau nervous gimana Umi.""Ya makanya latihan.""Nanti kalau ....""Kalau gak sanggup ya nolak. Gak usah banyak alasan. Percuma katanya sarjana terbaik tapi disuruh ngajar aja banyak alasan," sinis Gus Azzam.Aku melotot kearahnya, dia malah memiringkan senyumnya. Dasar kurang garam ini orang. Awas ya! Aku b
Satu bulan lamanya aku menjadi pengajar di SMA Al-Hikam. Awalnya grogi, gugup dan takut menjadi satu. Tapi lama-kelamaan akhirnya bisa beradaptasi."Us Caca," sapa ustazah Shafa, guru kimia."Ustazah Shafa. Hati-hati Us. Ckckck. Njenengan ini lagi hamil juga tetep gak bisa diem.""Hehehe. Mau gimana lagi Us, udah bawaan dari orok hehehe." Ustazah Shafa adalah ustazah yang umurnya sebaya denganku sedangkan yang lain rata-rata sudah berusia di atas 30 tahun."Ustaz Ahmad gak jemput apa?""Nanti Us, katanya masih ada rapat dengan para Ustaz.""Owh."Suasana sepi, karena ini sudah pukul empat sore. Aku baru saja mendampingi ekskul Pramuka. Saat tengah melewati koridor kelas dua belas kulihat sekelebat anak yang tengah mengendap-ngendap seperti maling."Sebentar Us. Tunggu disini!"Aku langsung melesat menuju si penyusup yang menggunakan helm dan berjaket tebal."Hei, siapa kamu!" teriakku.Dia kaget dan akan berlari tapi kutarik jaketnya. Ter
"Ustazah, ini kita bikin patoknya ukuran 1m x 1m?""Iya, nanti kamu amati didalamnya individunya apa saja terus jumlah dan kemungkinan interaksi yang terjadi. Apa mutualisme, parasitisme, komensalisme atau netral," jawabku.Hari ini kelas 10 IPA 1 sedang praktek materi ekosistem. Aku sengaja membawa mereka menuju ke sawah penduduk yang jaraknya 10 menit dari sekolahan. Dalam praktek ini, kami belajar sambil bermain. Sesekali menyapa para petani yang sedang memanen padinya. Bahkan ternyata sebagian besar sawah disini milik abah Ilyas yang tengah dipanen dengan mempekerjakan penduduk sekitar. Saat sedang mengawasi kegiatan anak-anak. Segerombolan ibu-ibu menyapaku dan mengajakku ngobrol."Eh Ustazah cantik, njenengan Ustazah baru ya?" tanya salah seorang ibu sambil menggepyok padinya." Gepyok padi artinya merontokkan padi secara manual dengan memukulkannya pada sebuah alat khusus."Nggih Bu, nama saya Caca.""Asli mana Us?" tanya yang lain."K
*Azzam Daffa Al Kaivan*Aku memarkirkan mobilku di garasi. Aku baru menyelesaikan segala urusanku mengenai beasiswa S3-ku di RMIT University yang terletak di kota Melbourne. Insya Allah seminggu lagi aku berangkat ke sana. Alhamdulillah ya Allah, cita-citaku akan terlaksana sebentar lagi.Aku tertegun melihat sebuah mobil Avanza yang terparkir dihalaman berdampingan dengan mobil Xenia abah. Aku segera masuk ke rumah."Assalamu’alaikum""Wa’alaikumsalam."Kulihat Abah dan Umi sedang menerima tamu yang ternyata orang tua Ning Salima. Bahkan Ning Salima ikut. Aku pun menyalami Abah, Umi, Kyai Miftah dan menangkupkan kedua tangan kepada istri dan anak Kyai Miftah."Baru pulang Zam?" tanya Abah."Nggih Bah.""Lancar semua.""Lancar Bah."Abah tersenyum meneduhkan. Aku menoleh ke arah Kyai Miftah."Sampun dangu Pak Kyai?" tanyaku basa basi."Belum Gus, selamat atas wisudanya nggih Gus.""Matur nuwun P
*Cahaya Mustika*"Ini Gus Kecil. Nasi goreng pedas manis dengan tambahan telor ceplok ala chef Caca. Monggo.""Hore ... makasih Mbak Caca."Gus Azmi mulai memasukkan nasi goreng buatanku."Hem ... enak Mbak. Maknyos mamamia lezatos ...," ucapnya sambil menautkan jempol dan telunjuk lalu menaruh pada mulutnya dan berdecak. Setdah ... sok pokoknya.Abah dan Umi sedang ke acara pengajian di daerah Karanglewas sama Kang Bimo. Khadamah yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi hanya aku yang menemani Gus Kecil."Mas Azzam sini Mas." Gus Azmi memanggil kakaknya.Gus Azzam datang ke meja makan dengan muka bantalnya, aku dengar memang beliau sedang menyiapkan keberangkatannya ke Melbourne tiga hari lagi bertepatan dengan pernikahan kedua Gus Fadil."Maem apa Mi?""Nasi goreng Mas, bikinan Mbak Caca," sahut Gus Azmi."Ca ... bikinin yang spesial jangan kepedesan tapi. Telurnya jangan ceplok tapi dadar terus digulung ke nasi gorengnya!
Hiruk pikuk keramaian tercetak dengan jelas pada netraku. Aku tengah duduk manis di samping Umi."Berangkatnya jam berapa Zam?" tanya Umi."Satu jam lagi Umi," sahut Gus Azzam."Kamu disana nanti jadi ikut temenmu yang dokter itu?""Iya nanti Azzam mau nunut kosan Mas Rayyan dulu. Walau kampus beda tapi kan sama-sama di Melbourne.""Dokter Rayyan yang wajahnya kayak bule itu ya Zam?" tanya Umi."Iya Umi.""Kok Mas Azzam bisa kenal sama itu bule, Mas?" sekarang Gus Azmi yang bertanya."Mas Rayyan anaknya Pak Surya, salah satu arsitek dan kontraktor terkenal di Purwokerto. Mas Azzam kan sering kerja bareng beliau. Jadi kenal semua anaknya.""Oooo," jawab Gus Azmi.Kami sibuk bercerita, Abah dan Kang Bimo sedang ke mushola untuk sholat dhuha. Keluarga Abah Ilyas memutuskan tidak menghadiri acara pernikahan Gus Fadil.Selain alasan kurang setuju juga dikarenakan berbarengan dengan keberangkatan Gus Azzam ke Melbourne. Ja