LOGIN
“Papa, ini Kak Anin! Guru les aku,” seru Elvio polos sambil menggandeng tangan ayahnya yang baru saja tiba dari perjalanan bisnis. “Dia katanya mau jadi Mama aku!”
Anindya langsung tersentak.
“Eh, El! Kak Anin cuma bercanda!” Tegurannya terdengar panik, wajahnya memanas karena malu dan bingung.
Selama setahun terakhir, Anindya terpaksa bekerja sebagai guru les privat demi bisa membayar uang kuliah yang tinggal beberapa bulan lagi. Dan Elvio Dirgantara Pradipta, bocah laki-laki cerdas berusia 6 tahun dengan mata abu-abu pucat itulah yang Anindya ajar selama ini.
“Boleh, Papa? Kak Anin jadi Mama aku?” Elvio malah semakin bersemangat, menoleh pada ayahnya dengan wajah penuh harap.
Anindya ingin menutup wajahnya saat itu juga. ‘Ya Tuhan, apa-apaan sih ini!’ batinnya.
Ini adalah kali pertama Anindya bertemu dengan ayah Elvio karena selama ini, pria itu selalu pergi dinas. Seharusnya Anindya memberikan kesan pertama yang bagus, tapi kenapa sekarang malah rasanya jadi memalukan?
Sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Sulit ditebak apakah itu senyuman atau hanya refleks. Tatapannya sama sekali tidak bergeser dari Anindya saat dia menjawab, “Boleh.”
Anindya membeku di tempat.
Boleh? Yang benar saja!
Apa dia barusan salah dengar? Tidak mungkin pria itu serius, bukan?
“P … Pak?” Anindya mencoba membuka suara, tapi yang keluar hanya gumaman tak jelas.
Arvendra Satwika Pradipta–seorang arsitek ternama di kota itu–akhirnya menatap putranya. “Elvio, selesaikan dulu tugasmu. Papa ingin bicara sebentar dengan Kak Anin.”
“Bicara apa, Pa?” Elvio memiringkan kepala, tampak penasaran.
“Tidak penting untuk anak kecil.” Arvendra berbicara datar, tapi sarat otoritas, membuat bocah itu langsung menurut meski wajahnya masih tampak kecewa.
Arvendra kembali menatap Anindya. “Bisa ikut saya ke ruang kerja? Ada yang ingin saya bicarakan.” Kalimat itu terdengar singkat, tapi jelas terasa seperti perintah, bukan permintaan.
Anindya menelan ludah dan buru-buru mengangguk. “I-iya, Pak.”
Tanpa banyak bicara, Anindya mengikuti langkah Arvendra yang sudah lebih dulu menuju tangga di tengah rumah itu.
Saat mereka mencapai belokan tangga, Anindya sedikit kehilangan keseimbangan. Runner carpet itu bergeser tipis ketika dia menginjaknya terlalu cepat. Dalam sepersekian detik, tubuhnya terhuyung ke depan.
“Ah!” seru Anindya kaget.
Dalam sekejap, tangan kokoh Arvendra meraih pinggangnya, menarik tubuh Anindya hingga menghantam dada bidang pria itu, benturan yang terlalu dekat untuk disebut kebetulan.
“Ceroboh sekali,” tegur Arvendra dengan suara rendah. Napas hangat pria itu menyapu kulit leher Anindya, membuatnya kaku seketika. Dia sadar betul betapa eratnya lengan itu melingkari pinggangnya, terlalu erat untuk sekadar menyelamatkan.
“Ma-maaf, Pak.” Anindya buru-buru mencoba meraih pegangan tangga untuk berdiri sendiri, tapi gerakannya goyah.
Arvendra tidak langsung melepaskan gadis itu. Tangannya bertahan satu detik lebih lama dari yang seharusnya, dan tentu saja membuat kulit Anindya merinding. Baru setelah itu dia melepasnya, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Perhatikan langkahmu,” ucap Arvendra singkat, tapi nada suaranya membuat kata-kata itu terdengar lebih seperti perintah daripada nasihat.
Anindya hanya bisa mengangguk, wajahnya memanas karena malu sekaligus bingung. Dia menunduk, mengikuti pria itu dalam diam hingga mereka sampai di depan sebuah pintu besar dengan ukiran mewah.
Anindya berdiri kaku di dekat pintu, sementara Arvendra melangkah ke tengah ruangan setelah membuka pintu, lalu berbalik menghadapnya.
Manik matanya yang berwarna hazel menelusuri tubuh Anindya dari atas ke bawah. Kulit eksotis khas wanita Indonesia, rambut hitam pekat yang tebal dan bergelombang hingga hampir menyentuh punggung bawah, serta tubuh ramping yang tampak semakin mungil di hadapan sosok setinggi dirinya.
Tatapan itu sulit diartikan, apakah Arvendra sedang menilai, atau menikmati. Anindya merasa seolah dirinya sedang ditelanjangi tanpa sentuhan.
Arvendra menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, berdiri santai namun mengintimidasi.
“Saya tertarik dengan kamu,” ucap Arvendra ringan, seperti komentar sambil lalu. Namun, bagi Anindya, kata-kata itu terdengar terlalu dalam, terlalu sarat makna, membuatnya membelalakkan mata.
“M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.
Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat.
Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.
Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.
‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri.
“Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belajar sejak kamu yang mengajar,” jelas Arvendra akhirnya.
Ah, rupanya itu maksudnya. Sejenak Anindya merutuki dirinya sendiri karena sudah berpikir terlalu jauh. Pipi hangatnya terasa memanas karena malu.
“Oh … terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.” Anindya mengangguk cepat, mencoba menguasai diri. Dia memaksakan senyum profesional, berharap pria itu tidak menyadari kecanggungan yang dia rasakan.
“Saya ingin tahu perkembangan anak saya,” ujar Arvendra dengan nada tenang namun berwibawa. Dia menunjuk kursi di seberang meja kayu jati yang luas, dipenuhi tumpukan blueprint dan miniatur bangunan. “Silakan duduk.”
Anindya segera menurut, duduk dengan punggung tegak. Tangannya bertaut di pangkuan, mencoba menutupi gugup yang jelas terasa dari detak jantungnya yang tak kunjung stabil.
“Bagaimana Elvio selama belajar? Saya ingin mendengar langsung dari kamu,” tanya Arvendra. Dia sudah duduk di sofa single, posturnya rileks namun sorot matanya tajam, membuat Anindya merasa seolah sedang diuji.
“Dia anak yang cerdas, Pak. Kadang sulit fokus, tapi cepat menangkap materi kalau dibimbing dengan sabar. Saya rasa, dia hanya butuh perhatian lebih,” jawab Anindya dengan suara pelan tapi berusaha tegas.
“Perhatian lebih, ya.” Gumaman Arvendra terdengar rendah, seolah lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
“Lanjutkan.” Satu kata singkat itu meluncur seperti instruksi, dan Anindya segera menambahkan penjelasan lain.
Namun, semakin lama Anindya bicara, semakin jelas perasaan aneh itu. Arvendra terlalu tenang, terlalu diam, seperti mendengar tapi tidak benar-benar menyimak. Seolah ucapannya hanya menjadi latar belakang bagi pikiran pria itu yang tengah berada di tempat lain.
‘Dia sebenarnya dengerin aku atau nggak, sih?’ batin Anindya resah.
__
Setelah kelas berakhir, Anindya langsung pulang ke kos tanpa singgah ke mana pun. Begitu masuk ke kamarnya dia meletakkan tas lalu membiarkan tubuhnya jatuh terlentang ke atas kasur.
Entah berapa lama, matanya terpejam begitu saja. Hingga tepat tengah malam, keributan dari luar mendadak membuyarkan tidurnya.
“Penggusuran!” teriak seseorang dari lorong kos. Suara panik itu disusul derap langkah penghuni yang berhamburan keluar kamar.
Anindya sontak bangkit, jantungnya berpacu. Dia berlari ke depan pintu kamar, meski kepalanya masih pening karena kantuk.
“Ada apa?” tanya Anindya terburu-buru pada Lestari, teman kosnya, yang wajahnya sudah pucat pasi.
“Lihat, Nin!” Lestari menunjuk ke arah jalanan dari jendela lorong. “Ada buldoser sama truk proyek. Mereka bawa aparat juga!”
Lutut Anindya mendadak lemas. Dia memang tahu kosan ini sudah lama terancam digusur. Namun, dia tidak pernah menyangka malam ini, tepat saat dia bahkan tak punya cukup uang untuk pindah, penggusuran itu benar-benar datang.
“Mas ada pesan.” Anindya menunjuk layar mobil, suaranya biasa saja, atau setidaknya berusaha biasa.Arvendra hanya melirik layar. “Biarin aja dulu.”“Siapa?” tanya Anindya setelah beberapa detik.“Itu Ivelle.”Ada sesuatu yang bergerak cepat di dada Anindya, bukan marah, bukan sakit, hanya sesak yang muncul otomatis.“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anindya ketika melihat layar dengan satu huruf besar: I.Sesingkat itu, dan justru sesingkat itu yang paling mengganggu.Orang memang suka menyimpan kontak dengan cara aneh. Pakai emoji, pakai angka, pakai nama panggilan. Namun, inisial? Inisial itu biasanya hanya untuk dua alasan: karena terlalu dekat atau terlalu ingin disembunyikan.Anindya menarik tangannya dari paha Arvendra. Gerakan kecil, halus, tapi jelas menjauh. Dia lalu memalingkan wajah ke jendela, seolah sibuk dengan lampu-lampu jalan.“Kenapa, Anin?” suara Arvendra lembut, tapi ada kewaspadaan tipis di sana.“Nggak apa-apa.” Jawaban klasik, yang jelas artinya ada apa-ap
“Hah? Mana?” Anindya menoleh cepat, tapi mereka sudah melewatkan mobil itu. “Perasaan Mas aja kali.”“Mas nggak salah lihat,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Namun, Arvendra tidak menambahkan komentar. Tidak butuh.Sudah jelas tadi itu Zafran. Dan kalau Nani masih bersikeras menjodohkan Anindya dengan laki-laki yang bahkan tidak punya malu untuk ciuman sembarangan, ya itu urusan nanti.Mereka melaju stabil lagi, lampu kota mulai berjarak, sampai Anindya tiba-tiba memegang lengan Arvendra. Sentuhannya kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu langsung melirik.“Mas, berhenti dulu deh. Aku butuh udara segar.”“Mas juga,” jawab Arvendra pelan. Namun, alih-alih merapat ke pinggir jalan, pria itu menekan satu tombol di atas kepalanya.Atap Jeep Wrangler itu perlahan terbuka, melipat diri ke belakang, menyisakan angin malam yang langsung menerobos masuk. Rambut panjang Anindya tergerai, berkibar indah, seperti adegan slow motion dalam drama yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.Arven
“Om, saya tahu ini berat untuk Om Indra.”Suara itu membuat Indra yang duduk di teras depan menoleh setengah, tapi tidak menanggapi. Arvendra berjalan menghampiri tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang lebih memilih menghadapi badai daripada lari.Dia duduk di sebelah Indra. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sejajar. Seperti dulu, dua pria yang sama-sama pernah bekerja dari nol.Indra menekuk bibir, pandangannya kini jatuh pada halaman kosong di depan. “Kalau kamu tahu ini berat buat saya, kenapa kamu masih memaksakan, Arven?”Arvendra menarik napas pelan. “Karena saya serius, Om.”“Serius?” Indra mendengus tipis. “Kamu pernah serius, Arven. Dan hasilnya berantakan.”Arvendra menerima pukulan itu tanpa mengelak. “Betul. Saya pernah gagal.”Indra akhirnya menoleh, matanya tajam tetapi sesak. “Dan saya harus apa? Serahin anak saya ke seseorang yang sudah pernah gagal? Yang hidupnya penuh masalah? Yang masa lalunya masih berserakan di belakang?”Arvendra tidak mundur. Tidak ber
“Sebelum Mas ketemu Ayah, aku mau Mas ketemu Mama dulu.” Itu kalimat yang Anindya ucapkan pelan ketika Jeep Wrangler hitam itu baru keluar dari tol. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada tatapan minta dikasihani. Hanya suara kecil yang terdengar seperti seseorang yang sedang memberanikan diri membuka pintu yang sudah lama dia tutup. Maka di sinilah mereka berada. Makam Lusi. Ini bukan kali pertama Arvendra datang ke sini. Namun, hari ini rasanya lain. Hari ini dia datang bukan sebagai teman lama ayah Anindya. Hari ini dia datang sebagai seseorang yang ingin dimasukkan ke hidup seorang gadis, secara utuh, masa kini sampai masa lalu. Sedangkan Anindya, dia bahkan harus menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke area pemakaman. Sudah lama dia menghindari tempat ini. Bukan karena lupa, justru karena ingatannya terlalu jelas, terlalu tajam. Kadang Anindya merasa dia dan Lusi sama-sama ‘berhenti hidup’ pada hari itu. Hari ketika dia baru pulang sekolah, dan mendapati rumahnya
“Kamu jangan tegang begitu dong. Tenang, ada Mas. Nanti saya yang jelasin semuanya ke Ayah kamu.” Arvendra menarik sabuk pengaman Anindya dan menguncinya pelan, seolah memastikan gadis itu benar-benar aman sebelum kembali memasang sabuknya sendiri.Setelah rencana meminta restu itu dibahas, butuh dua bulan penuh sampai akhirnya mereka benar-benar bisa melakukannya.Dua bulan yang melelahkan.Arvendra sibuk setengah mati karena perebutan tender proyek besar. Kantornya seperti medan perang setiap hari. Sedangkan Anindya baru selesai sidang skripsi dan menunggu wisuda. Di luar itu, pekerjaan modelnya mulai jalan, plus jadwal les Elvio yang masih dia pegang.Di titik ini, 24 jam sehari rasanya seperti kurang.“Nggak tegang, cuma khawatir sedikit,” gumam Anindya, merapikan ujung rambutnya yang berantakan. “Bukan cuma soal Ayah, tapi Mas tahu sendiri Ibu sama Kakak tiri aku kayak gimana.”Sudah bisa dipastikan 100% Nani akan mencak-mencak ketika tahu Anindya menolak dijodohkan dengan Zafran.
Alis Arvendra naik sedikit. “Memangnya kamu udah bicara sama Ayah kamu?” Bukan curiga, melainkan memastikan. Setahunya, Anindya belum sempat pulang menjenguk ayahnya. Kalau gadis itu sudah menemui Indra, dia pasti tahu.“Kalau soal hubungan kita belum, Mas,” jawab Anindya jujur. “Tapi waktu itu Ayah lihat Mas pegang tangan aku di depan rumah. Dan pas kita pulang dari dokter kandungan itu, Ayah nyamperin aku dekat kampus. Dia bilang, dia kurang suka kalau aku ada hubungan sama duda, dan udah punya anak.”Arvendra terdiam. Bukan marah, bukan kecewa. Namun, diam panjang seorang pria yang sedang mempertimbangkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapannya turun ke wajah Anindya. Menyapu bibir yang bergetar pelan, bahu yang sedikit naik, dan jari yang saling meremas karena gugup.“Ayah kamu nggak salah,” ucap Arvendra, lirih tapi mantap.“Mas! Jangan ngomong begitu,” sanggah Anindya cepat.“Tapi itu kenyataan, Sayang.” Arvendra meraih tangan Anindya dan menggenggamnya, ibu jarinya mengusap pu







