LOGIN‘Ya Tuhan … aku harus ke mana sekarang?’ batin Anindya gemetar.
“Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”
Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.
“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.
Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel yang lusuh di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper kecil peninggalan ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.
“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.
Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukkan pakaian dan buku dengan sembarangan. Suara gaduh dari luar makin jelas. Mesin buldoser meraung, logam beradu keras, teriakan aparat bercampur dengan tangis anak-anak yang kebingungan.
‘Kenapa harus sekarang? Kenapa harus malam ini?’ pikirnya. Dada terasa sesak.
Dengan napas terengah, Anindya menyeret koper sambil menggendong ransel lusuh keluar kamar.
Di luar, jalanan padat oleh kendaraan proyek. Lampu buldoser menyilaukan, truk-truk besar berjajar. Di seberang, papan besar berdiri tegak:
[Nagara Residence–Hunian Modern Sentra Kota]
Anindya menatapnya dengan perih. Jadi benar, tempat tinggal yang menemaninya sejak awal kuliah ini akan hilang begitu saja, diganti bangunan megah.
Saat hendak pergi, pandangan Anindya tertumbuk pada motor bututnya yang masih terparkir di halaman kos. Satu-satunya alat transportasi yang dia miliki. Panik, dia buru-buru mencoba masuk lagi.
“Pak, sebentar! Motor saya masih di dalam!” seru Anindya.
Seorang pria berseragam proyek dengan helm putih langsung menghadangnya. “Mbak, keluar! Area ini sudah ditutup!”
“Tapi motor saya–”
“Keluar saya bilang!” bentak pria itu. Tangannya mendorong bahu Anindya hingga tubuh gadis itu terhuyung.
Koper yang Anindya tarik oleng, hampir terlepas dari genggaman. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan justru punggungnya menabrak dada seseorang. Hangat, keras, membuat langkahnya seketika berhenti.
Anindya buru-buru menengok, jantungnya berpacu liar. Wajah asing? Bukan. Tatapan itu terlalu familiar. Hazel, dingin, berwibawa.
Arvendra. Untuk apa pria itu ada di sini?
“Sejak kapan cara bekerja perusahaan kalian sampai melibatkan kekerasan fisik?” Suara Arvendra berat, tegas, menebas bising mesin di sekitar. Tatapannya menusuk arsitek lapangan yang tadi mendorong Anindya. “Atau memang itu satu-satunya cara kalian mengeksekusi proyek?”
Arsitek itu sontak kaku melihat Arvendra. Namun genggamannya pada map biru mengeras, berusaha menjaga wibawa di depan para pekerja.
“Ini proyek kami, Arvendra. Kamu tidak punya hak ikut campur,” kata si arsitek itu dengan nada tinggi.
Arvendra melangkah maju, tubuhnya menjulang hingga pria itu otomatis mundur setengah langkah. “Kalau yang kalian sebut eksekusi hanya berupa dorongan dan teriakan, itu bukan profesional. Itu pelecehan.”
Anindya berdiri kaku di samping Arvendra, dadanya naik-turun cepat. Dia merasa begitu kecil di antara percakapan dua pria yang jelas punya urusan jauh lebih besar dari dirinya.
“Dan kamu.” Tatapan hazel milik Arvendra kembali menusuk ke arah si arsitek. “Sentuh dia lagi, dan saya pastikan tanganmu tidak akan pernah menggambar proyek seumur hidupmu.”
Arsitek itu mendengus keras, tapi sorot matanya jelas gentar. Dia akhirnya menyingkir dengan wajah kelam, memilih menelan rasa malu di depan para pekerja.
Anindya masih terpaku di tempat. Koper menggantung lemah di tangannya, napasnya kacau, seakan paru-parunya menolak bekerja.
Tatapan Arvendra beralih pada gadis itu. “Kamu masih mau berdiri di sini sampai buldoser menabrakmu?”
Anindya tersentak. “S–saya … tidak, Pak.”
“Kalau begitu, ikut.”
Entah kenapa, kaki Anindya langsung bergerak mengikuti Arvendra, seolah tubuhnya patuh begitu saja. Dia menyeret koper lusuhnya, langkahnya kecil dan ragu, seperti dihipnotis oleh wibawa pria itu.
Begitu tiba di samping Jeep hitam yang terparkir di tepi jalan, Arvendra berbalik. Tatapannya turun, menelisik wajah Anindya yang berantakan.
“Kamu mau ke mana?” tanya Arvendra dengan suara berat, lebih rendah dari sebelumnya, seolah sengaja meredam nada tajamnya.
Anindya menelan ludah. “Belum tahu, Pak,” jawabnya jujur.
Dan memang benar, Anindya sama sekali tak punya tujuan. Menghubungi teman di tengah malam begini terasa tak sopan.
Pulang ke rumah di desa? Mustahil, jaraknya terlalu jauh, sedangkan besok dia masih harus kuliah.
Menginap di hotel? Yang benar saja! Uangnya bahkan tidak cukup untuk satu malam. Lebih baik disimpan untuk biaya kos baru.
Akhirnya Anindya menunduk, jemarinya saling mencengkeram. “Saya … benar-benar tidak tahu harus ke mana.”
Arvendra menatap Anindya lama, seolah menembus setiap lapisan kegelisahan di wajah gadis itu. Lalu perlahan dia membuka pintu mobil.
“Kalau begitu, ikut saya.”
Anindya terperanjat. “K-kemana, Pak?” Lidahnya kelu, bayangan buruk langsung berkelebat. Dia seorang gadis muda, dan pria di depannya lelaki dewasa. Bagaimanapun, dia tetap merasa rawan di hadapannya.
“Rumah saya cukup besar.” Suara berat Arvendra, meluncur tenang seperti milik seseorang yang tahu persis besarnya kuasa yang dia genggam. Senyum samar melintas di bibirnya. “Elvio akan senang kalau kamu ada di sana. Tinggal sementara, sampai kamu menemukan tempat lain.”
Deg.
Jantung Anindya serasa melompat ke tenggorokan. Otaknya menjerit menolak, tapi hatinya sadar, dia tidak punya pilihan lain.
“Jadi bagaimana, Anindya? Mau tidur di pinggir jalan dengan kopermu, atau ikut saya ke rumah yang jelas ada atapnya?”
__
“Terima kasih, Pak. Sudah mau menampung saya,” ucap Anindya setelah duduk di kursi penumpang.
Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau begitu, mungkin dia akan lebih leluasa.
Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, ‘kan?
“Oke.”
Satu kata singkat, tenang, dan entah kenapa justru membuat keraguan makin menggelayuti benak gadis itu. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?
“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.
“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep.
Dengung halus, tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup rapat. Namun, tidak langsung menjalankannya. Sebab dari sudut mata, pria itu melihat gadis di sampingnya berkutat dengan sabuk pengaman. Jemari mungil itu berkali-kali terpeleset, wajahnya semakin merah, sedangkan bibirnya mengerucut kesal.
“Hh …,” gumam Anindya frustrasi, pelan tapi jelas.
Arvendra menghela napas pelan. Gadis ini bahkan terlihat seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri. Tanpa banyak pikir, dia condong mendekat.
Anindya langsung menegang. Ketika jarak di antara mereka merapat, napasnya tercekat. Dengan refleks, dia mendorong dada pria itu.
“P-Pak Arven … mau apa?” tanya Anindya gugup.
“Mas ada pesan.” Anindya menunjuk layar mobil, suaranya biasa saja, atau setidaknya berusaha biasa.Arvendra hanya melirik layar. “Biarin aja dulu.”“Siapa?” tanya Anindya setelah beberapa detik.“Itu Ivelle.”Ada sesuatu yang bergerak cepat di dada Anindya, bukan marah, bukan sakit, hanya sesak yang muncul otomatis.“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anindya ketika melihat layar dengan satu huruf besar: I.Sesingkat itu, dan justru sesingkat itu yang paling mengganggu.Orang memang suka menyimpan kontak dengan cara aneh. Pakai emoji, pakai angka, pakai nama panggilan. Namun, inisial? Inisial itu biasanya hanya untuk dua alasan: karena terlalu dekat atau terlalu ingin disembunyikan.Anindya menarik tangannya dari paha Arvendra. Gerakan kecil, halus, tapi jelas menjauh. Dia lalu memalingkan wajah ke jendela, seolah sibuk dengan lampu-lampu jalan.“Kenapa, Anin?” suara Arvendra lembut, tapi ada kewaspadaan tipis di sana.“Nggak apa-apa.” Jawaban klasik, yang jelas artinya ada apa-ap
“Hah? Mana?” Anindya menoleh cepat, tapi mereka sudah melewatkan mobil itu. “Perasaan Mas aja kali.”“Mas nggak salah lihat,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Namun, Arvendra tidak menambahkan komentar. Tidak butuh.Sudah jelas tadi itu Zafran. Dan kalau Nani masih bersikeras menjodohkan Anindya dengan laki-laki yang bahkan tidak punya malu untuk ciuman sembarangan, ya itu urusan nanti.Mereka melaju stabil lagi, lampu kota mulai berjarak, sampai Anindya tiba-tiba memegang lengan Arvendra. Sentuhannya kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu langsung melirik.“Mas, berhenti dulu deh. Aku butuh udara segar.”“Mas juga,” jawab Arvendra pelan. Namun, alih-alih merapat ke pinggir jalan, pria itu menekan satu tombol di atas kepalanya.Atap Jeep Wrangler itu perlahan terbuka, melipat diri ke belakang, menyisakan angin malam yang langsung menerobos masuk. Rambut panjang Anindya tergerai, berkibar indah, seperti adegan slow motion dalam drama yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.Arven
“Om, saya tahu ini berat untuk Om Indra.”Suara itu membuat Indra yang duduk di teras depan menoleh setengah, tapi tidak menanggapi. Arvendra berjalan menghampiri tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang lebih memilih menghadapi badai daripada lari.Dia duduk di sebelah Indra. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sejajar. Seperti dulu, dua pria yang sama-sama pernah bekerja dari nol.Indra menekuk bibir, pandangannya kini jatuh pada halaman kosong di depan. “Kalau kamu tahu ini berat buat saya, kenapa kamu masih memaksakan, Arven?”Arvendra menarik napas pelan. “Karena saya serius, Om.”“Serius?” Indra mendengus tipis. “Kamu pernah serius, Arven. Dan hasilnya berantakan.”Arvendra menerima pukulan itu tanpa mengelak. “Betul. Saya pernah gagal.”Indra akhirnya menoleh, matanya tajam tetapi sesak. “Dan saya harus apa? Serahin anak saya ke seseorang yang sudah pernah gagal? Yang hidupnya penuh masalah? Yang masa lalunya masih berserakan di belakang?”Arvendra tidak mundur. Tidak ber
“Sebelum Mas ketemu Ayah, aku mau Mas ketemu Mama dulu.” Itu kalimat yang Anindya ucapkan pelan ketika Jeep Wrangler hitam itu baru keluar dari tol. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada tatapan minta dikasihani. Hanya suara kecil yang terdengar seperti seseorang yang sedang memberanikan diri membuka pintu yang sudah lama dia tutup. Maka di sinilah mereka berada. Makam Lusi. Ini bukan kali pertama Arvendra datang ke sini. Namun, hari ini rasanya lain. Hari ini dia datang bukan sebagai teman lama ayah Anindya. Hari ini dia datang sebagai seseorang yang ingin dimasukkan ke hidup seorang gadis, secara utuh, masa kini sampai masa lalu. Sedangkan Anindya, dia bahkan harus menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke area pemakaman. Sudah lama dia menghindari tempat ini. Bukan karena lupa, justru karena ingatannya terlalu jelas, terlalu tajam. Kadang Anindya merasa dia dan Lusi sama-sama ‘berhenti hidup’ pada hari itu. Hari ketika dia baru pulang sekolah, dan mendapati rumahnya
“Kamu jangan tegang begitu dong. Tenang, ada Mas. Nanti saya yang jelasin semuanya ke Ayah kamu.” Arvendra menarik sabuk pengaman Anindya dan menguncinya pelan, seolah memastikan gadis itu benar-benar aman sebelum kembali memasang sabuknya sendiri.Setelah rencana meminta restu itu dibahas, butuh dua bulan penuh sampai akhirnya mereka benar-benar bisa melakukannya.Dua bulan yang melelahkan.Arvendra sibuk setengah mati karena perebutan tender proyek besar. Kantornya seperti medan perang setiap hari. Sedangkan Anindya baru selesai sidang skripsi dan menunggu wisuda. Di luar itu, pekerjaan modelnya mulai jalan, plus jadwal les Elvio yang masih dia pegang.Di titik ini, 24 jam sehari rasanya seperti kurang.“Nggak tegang, cuma khawatir sedikit,” gumam Anindya, merapikan ujung rambutnya yang berantakan. “Bukan cuma soal Ayah, tapi Mas tahu sendiri Ibu sama Kakak tiri aku kayak gimana.”Sudah bisa dipastikan 100% Nani akan mencak-mencak ketika tahu Anindya menolak dijodohkan dengan Zafran.
Alis Arvendra naik sedikit. “Memangnya kamu udah bicara sama Ayah kamu?” Bukan curiga, melainkan memastikan. Setahunya, Anindya belum sempat pulang menjenguk ayahnya. Kalau gadis itu sudah menemui Indra, dia pasti tahu.“Kalau soal hubungan kita belum, Mas,” jawab Anindya jujur. “Tapi waktu itu Ayah lihat Mas pegang tangan aku di depan rumah. Dan pas kita pulang dari dokter kandungan itu, Ayah nyamperin aku dekat kampus. Dia bilang, dia kurang suka kalau aku ada hubungan sama duda, dan udah punya anak.”Arvendra terdiam. Bukan marah, bukan kecewa. Namun, diam panjang seorang pria yang sedang mempertimbangkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapannya turun ke wajah Anindya. Menyapu bibir yang bergetar pelan, bahu yang sedikit naik, dan jari yang saling meremas karena gugup.“Ayah kamu nggak salah,” ucap Arvendra, lirih tapi mantap.“Mas! Jangan ngomong begitu,” sanggah Anindya cepat.“Tapi itu kenyataan, Sayang.” Arvendra meraih tangan Anindya dan menggenggamnya, ibu jarinya mengusap pu







