“M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.
Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat.
Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.
Apa maksudnya tertarik? Apakah pria ini menilai dirinya sebagai guru yang kompeten atau sebagai wanita?
Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.
‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri.
“Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belajar sejak kamu yang mengajar,” jelas Arvendra akhirnya.
Ah, rupanya itu maksudnya. Sejenak Anindya merutuki dirinya sendiri karena sudah berpikir terlalu jauh. Pipi hangatnya terasa memanas karena malu.
“Oh … terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.” Anindya mengangguk cepat, mencoba menguasai diri. Dia memaksakan senyum profesional, berharap pria itu tidak menyadari kecanggungan yang dia rasakan.
“Saya hanya ingin tahu perkembangan anak saya,” ujar Arvendra dengan nada tenang namun berwibawa. Dia menunjuk kursi di seberang meja kayu jati yang luas, dipenuhi tumpukan blueprint dan miniatur bangunan. “Silakan duduk.”
Anindya segera menurut, duduk dengan punggung tegak. Tangannya bertaut di pangkuan, mencoba menutupi gugup yang jelas terasa dari detak jantungnya yang tak kunjung stabil.
“Bagaimana Elvio selama belajar? Saya ingin mendengar langsung dari kamu,” tanya Arvendra. Dia sudah duduk di sofa single, posturnya rileks namun sorot matanya tajam, membuat Anindya merasa seolah sedang diuji.
“Dia anak yang cerdas, Pak. Kadang sulit fokus, tapi cepat menangkap materi kalau dibimbing dengan sabar. Saya rasa, dia hanya butuh perhatian lebih,” jawab Anindya dengan suara pelan tapi berusaha tegas.
“Perhatian lebih, ya.” Gumaman Arvendra terdengar rendah, seolah lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
“Lanjutkan.” Satu kata singkat itu meluncur seperti instruksi, dan Anindya segera menambahkan penjelasan lain.
Namun, semakin lama Anindya bicara, semakin jelas perasaan aneh itu. Arvendra terlalu tenang, terlalu diam, seperti mendengar tapi tidak benar-benar menyimak. Seolah ucapannya hanya menjadi latar belakang bagi pikiran pria itu yang tengah berada di tempat lain.
‘Dia sebenarnya dengerin aku atau nggak, sih?’ batin Anindya resah.
Hingga akhirnya, suara ketukan pintu terdengar. Seorang pelayan masuk dengan langkah hati-hati, membawa nampan berisi minuman.
“Permisi. Tuan, ini minumannya.”
“Terima kasih, Bi Nur,” balas Arvendra singkat. Pelayan paruh baya itu segera pamit keluar, lalu meninggalkan keduanya.
“Minum dulu,” ucap Arvendra.
“Oh, baik, Pak.” Anindya buru-buru mengangguk, meraih gelas di depannya. Uap dingin dari es menyentuh telapak tangannya yang basah oleh keringat. Dia mencoba menenangkan diri dengan meneguknya perlahan.
“Kak Anin! Tugasku selesai!” seru Elvio tiba-tiba dari belakang, membuat Anindya terlonjak kaget.
“Eh–” Gelas di tangan Anindya terlepas sedikit, air dingin di dalamnya tumpah ke blouse putih tipis yang dia kenakan. Seketika kain itu menempel erat di kulit, memperlihatkan bayangan bra hitam di baliknya.
Wajah Anindya memanas. “A-astaga … saya–saya minta maaf!” ucapnya terbata, buru-buru menutupi dada dengan kedua tangan.
Arvendra berdiri tanpa berkata-kata. Dia hanya meraih jas hitam yang tergantung rapi di sandaran kursi, lalu melangkah ke hadapan Anindya. Tanpa ekspresi, dia menyodorkan jas itu.
“Pakai ini.”
Anindya menelan ludah, jantungnya berpacu lebih cepat dari yang dia sanggup kendalikan. Malu, panik, dan lega bercampur menjadi satu. Dengan tangan gemetar, dia menerima jas itu.
“T-terima kasih, Pak …”
“Papa …” Suara Elvio kembali terdengar, polos dan penuh rasa ingin tahu. Bocah itu memiringkan kepala, menatap orang dewasa itu bergantian. “Papa sudah melamar Kak Anin, ya?”
Keheningan langsung menggantung di udara.
Anindya membelalak, hampir tersedak napasnya sendiri. “E-Elvio! Jangan ngomong sembarangan!” serunya panik.
Elvio cemberut, lalu menatap Anindya dengan serius. “Tapi Papa kasih jas ke Kak Anin kayak di drama yang aku tonton. Itu tandanya Papa suka sama Kak Anin, ‘kan?”
Anindya menunduk dan ingin menghilang saat itu juga.
Sementara Arvendra tetap tenang, bahkan sudut bibirnya sedikit terangkat. Senyum samar yang sulit diartikan. Entah ejekan, persetujuan, atau hanya refleks. Dia tidak membantah. Tidak juga membenarkan.
Dan itu justru membuat Anindya semakin bingung.
Kenapa pria itu bersikap seperti ini?
__
Setelah selesai mengajar, Anindya buru-buru kembali ke kosannya yang sempit. Bangunan dua lantai itu penuh dengan suara orang, aroma masakan bercampur dengan bau lembap dinding tua yang mulai berjamur.
Kamar kecilnya tak lebih dari lima kali tiga meter. Hanya muat kasur single, lemari kayu lapuk, dan meja belajar sederhana.
Jas hitam milik Arvendra gadis itu gantungkan di sandaran kursi. Sebelum melepasnya, hidungnya sempat menangkap samar parfum yang masih menempel–woody-spicy, elegan, asing, begitu kontras dengan parfum bunga murah yang biasa dia pakai.
“Kayaknya sebelum dikembaliin, harus dilaundry dulu deh,” gumam Anindya pelan. Dia menghela napas panjang lalu merebahkan diri di kasur tipis.
Entah berapa lama, matanya terpejam begitu saja. Hingga tepat tengah malam, keributan dari luar mendadak membuyarkan tidurnya.
“Penggusuran!” teriak seseorang dari lorong kos. Suara panik itu disusul derap langkah penghuni yang berhamburan keluar kamar.
Anindya sontak bangkit, jantungnya berpacu. Dia berlari ke depan pintu kamar, meski kepalanya masih pening karena kantuk.
“Ada apa?” tanya Anindya terburu-buru pada Lestari, teman kosnya, yang wajahnya sudah pucat pasi.
“Lihat, Nin!” Lestari menunjuk ke arah jalanan dari jendela lorong. “Ada buldoser sama truk proyek. Mereka bawa aparat juga!”
Lutut Anindya mendadak lemas. Dia memang tahu kosan ini sudah lama terancam digusur. Namun, dia tidak pernah menyangka malam ini, tepat saat dia bahkan tak punya cukup uang untuk pindah, penggusuran itu benar-benar datang.
‘Ya Tuhan … aku harus ke mana sekarang?’ batin Anindya gemetar.
Tanpa pikir panjang, Anindya refleks merunduk dan menyelinap ke bawah meja.“Anin?!” Jeane dan Laura serempak bersuara kaget, hampir bersamaan.“Ngapain kamu, hah?” Laura memiringkan kepala, wajahnya penuh tanya. “Uh … ini … uangku jatuh,” jawab Anindya cepat. Suaranya terlalu tinggi dan terburu-buru, jelas sekali kebohongan yang dipaksakan.Laura mengerutkan alis. “Serius? Duit receh aja sampai gelagapan gitu?”Jeane justru menyeringai, matanya berbinar penuh gosip. “Kamu lagi ngumpet dari seseorang, kah?”“Ssst! Jangan berisik!” Anindya menoleh tajam dari bawah meja, wajahnya merah padam. “Aku cuma–uh, ya, lagi cari uang!”Laura mendesah tak percaya, sementara Jeane hampir tidak bisa menahan tawa dan sampai harus menutup mulutnya sendiri.Setelah merasa cukup aman, Anindya akhirnya kembali duduk. Rambut hitam tebalnya sempat tergerai hingga hampir menyentuh lantai ketika dia merunduk, kini buru-buru dirapikan dengan jemari gemetar. Napas panjang dia hela, berusaha menstabilkan deta
“Oh … motorku udah ada rupanya.” Anindya tertegun di teras, pandangannya jatuh pada motor butut yang kini terparkir rapi di sudut halaman. Helmnya tergantung manis di kaca spion. Degup di dadanya mendadak kembali menguat. Padahal tadi di meja makan saja, jantungnya belum reda setelah Arvendra melontarkan kalimat itu–kalimat sederhana, tapi entah bercanda atau sungguhan, tetap membuat gadis itu salah tingkah, dan memilih cepat-cepat pergi. Dan kini, motor ini … bukti lain kalau pria itu bisa bergerak cepat tanpa perlu banyak kata. Hangat? Ya, sedikit. Namun, sekaligus membuatnya merinding memikirkan bagaimana cepatnya pria itu bertindak. Sekilas Anindya sempat berpikir masuk kembali untuk mengucapkan terima kasih. Namun, bayangan jam kuliah yang sudah dekat segera menyadarkannya. Dosennya terkenal galak. Kalau sampai terlambat, bukan hanya diusir, nilainya pun bisa terancam. Anindya buru-buru naik ke jok motor, lalu menyampirkan paper bag ke gantungan depan. Isinya jas hitam Arvend
“Terima kasih, Pak, sudah mau menampung saya,” ucap Anindya pelan setelah duduk di kursi penumpang.Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Kosannya sudah digusur, tidak ada tempat lain untuk dituju, dan lebih parahnya lagi, dia tidak punya uang. Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau benar begitu, mungkin dia akan lebih leluasa tinggal di sana tanpa terlalu merasa canggung.Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, bukan?“Oke.” Hanya satu kata singkat yang keluar dari bibir Arvendra. Tenang, datar, tanpa emosi.Namun entah kenapa, justru itu membuat keraguan semakin menggelayuti benak Anindya. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep. Dengung halus tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup r
“Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper lusuh peninggalan mendiang ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukk
“M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat. Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.Apa maksudnya tertarik? Apakah pria ini menilai dirinya sebagai guru yang kompeten atau sebagai wanita?Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri. “Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belaja
“Kak Anin cantik banget. Aku nanti mau punya pacar kayak Kak Anin.”Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang bocah laki-laki berusia enam tahun bermata abu-abu pucat, Elvio Dirgantara Pradipta. Suaranya polos, tanpa malu-malu, membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.“Kamu bisa aja, El. Aku tahu ini alasan kamu biar nggak aku suruh nulis lagi, ‘kan?” balas perempuan muda itu sambil tersenyum kecil, mencoba menahan tawa.Anindya Laranya Devi, terpaksa bekerja sebagai guru les privat selama setahun terakhir. Padahal, dia sedang menempuh semester akhir di universitas dan punya segudang tugas akhir. Semua ini tentu saja karena alasan ekonomi. “Ih, sebel deh Kak Anin nuduh aku sembarangan!” Elvio langsung cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. “Nanti aku aduin sama Papa aku, mau?”“Aduin aja, aku nggak takut kok,” sahut Anindya santai. Dia memang tidak merasa perlu takut. Selama satu tahun mengajar di rumah ini, dia belum pernah sekalipun bertemu ayah Elvio. Se