Share

Bab 102: My Woman

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-12-13 07:31:52

“Anindya mana, Mbak?” tanya Arvendra pada Asara. Dia sudah kembali ke taman belakang, tapi tidak melihat sosok gadis yang tadi datang bersamanya. Yang ada justru beberapa tamu entah siapa.

Asara yang sedang duduk di meja makan panjang yang ditata cantik di taman belakang, berdiri perlahan. “Dia tadi bilang nggak enak badan. Kayaknya pulang.”

Rahang Arvendra mengeras. “Kenapa nggak ada yang kasih tahu saya?”

Asara tersenyum tipis. “Kamu lagi ngobrol sama Om. Lagian, mungkin dia nggak mau ganggu.”

“Saya pamit dulu,” ucap Arvendra lembut tapi dingin, kontras mematikan. “Tolong bilang ke Bunda.”

Arvendra baru berbalik dua langkah ketika tangan Elea menyentuh lengannya.

“Kenapa kamu harus peduli sama teman kamu?” suara Elea terdengar manis tapi menuntut. “Harusnya kamu peduli sama aku. Keluarga kamu yang menjodohkan kita, Arven.”

Semua percakapan di taman berhenti. Asara memalingkan wajah pura-pura sibuk. Raras menatap seperti menunggu drama.

Arvendra menatap Elea, tidak marah, tapi jelas
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 126: Serangan Balik

    “Saya kira kamu datang sendiri, Laranya,” ujar Wira, nada suaranya tipis tapi mengandung sindiran yang disengaja.Ruang meeting di kantor Wira terasa lebih sempit dari ukurannya. Meja kayu gelap, kaca jendela besar, dan udara dingin pendingin ruangan tidak cukup menetralkan ketegangan yang menggantung.“Kami merasa perlu hadir, Pak Wira. Karena pembicaraan ini menyangkut karier dan reputasi tunangan saya,” jawab Arvendra lebih dulu. Nadanya profesional, datar, tanpa emosi berlebih.Padahal biasanya, berhadapan dengan Wira selalu menguji kesabaran Arvendra. Kali ini tidak. Dia datang bukan untuk adu ego, melainkan untuk menutup celah.Wira melirik Arvendra sekilas, lalu kembali ke Anindya. Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. Senyum orang yang terbiasa memegang kendali, dan tidak suka ketika kendali itu dibagi.“Tapi saya harus akui, kamu hebat, Laranya. Berita itu sudah hampir hilang tiga perempatnya. Cepat sekali. Ini kerja keras agency?” Tatapannya beralih ke Mia. Wajah manajer it

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 125: Mendampingi

    “Maaf, Mas tinggalin kamu sendiri tadi pagi. Mau bangunin, tapi kamu tidurnya gelisah. Tiap Mas geser dikit aja, kamu langsung kaget,” ungkap Arvendra sambil mengambil piring dari rak dapur. Gerakannya tenang, rapi, seperti orang yang sedang menata sesuatu agar kembali ke tempatnya semula, termasuk hidup mereka.Setelah keluar dari pertemuan dengan Batara, Arvendra memang langsung ke sini. Bahkan sempat mampir ke restoran Korea langganan mereka, dan membeli fried chicken. Tanpa bertanya, tanpa mengomel.Biasanya, pria itu akan menghela napas panjang setiap kali Anindya meminta makanan seperti ini. Terlalu berminyak, terlalu sembarangan, terlalu tidak sehat. Namun hari ini, tidak ada ceramah. Tidak ada syarat.Hari ini, Anindya boleh meminta apa saja. Bahkan kalau gadis itu bilang ingin terbang ke Singapura siang ini juga, Arvendra tahu dia akan mengusahakannya.Anindya duduk di kursi makan dengan rambut masih diikat asal dan wajah yang pucatnya belum sepenuhnya pergi. Dia menatap Arve

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 124: Prioritas

    “Kalau urusan keluarga besar,” ucap Dian jujur, “Bunda tidak bisa ikut campur terlalu jauh, Anin.”Anindya terdiam. Tidak menyela, tidak bertanya. Dia menunggu.“Bunda ini hanya menantu,” lanjut Dian, suaranya tetap tenang. “Sejak ayah Mas Arven meninggal, dalam keluarga Pradipta, garis keputusan berpindah. Sekarang semuanya berada di tangan Om Batara. Dialah yang memegang arah, menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak.”Dian berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. Bukan senyum pahit, melainkan senyum seseorang yang sudah lama berdamai dengan posisinya sendiri.“Bunda bisa bertahan sejauh ini karena satu hal, karena Bunda punya anak-anak dengan nama belakang Pradipta. Itu yang memberi Bunda tempat. Bukan suara,” kata Dian pelan.Kalimat itu meluncur tanpa keluhan. Tanpa upaya mencari simpati.“Secara adat, secara kuasa,” Dian melanjutkan, “pendapat Bunda bukan yang utama. Dan Bunda tidak mau berpura-pura menjanjikan sesuatu yang memang bukan wewenang Bunda.”Dian menatap Anindya

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 123: Khawatir

    “Mas Arven?” panggil Anindya lirih ketika matanya terbuka dan sisi ranjang di sebelahnya kosong. Padahal dia ingat betul, Arvendra memeluknya sepanjang malam, seperti tidak berniat pergi ke mana pun.Anindya meraba seprai di sampingnya. “Masih hangat kok. Pasti lagi bikin sarapan,” gumamnya pelan.Bukan bermaksud sok tahu, tapi memang begitu kebiasaannya. Setiap Arvendra menginap, dapur selalu lebih dulu hidup sebelum apartemen ini benar-benar bangun.Anindya menggeser tubuh, lalu tanpa sadar melirik ponselnya di atas nakas. Benda yang sengaja dia matikan sejak kemarin. Anindya tahu, sekali layar itu menyala, dunia akan kembali menghantamnya dengan opini, tudingan, dan komentar yang belum tentu sanggup dia baca hari ini. Mia menyuruhnya tidak melihat media sosial dulu. Jadi dia menuruti.Dengan langkah masih berat, Anindya menuju kamar mandi. Menggosok gigi sambil menatap pantulan wajahnya sendiri. Mata sedikit sembap, tapi jauh lebih tenang dibanding kemarin. Dia membasuh muka, merap

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 122: Jangan Pergi

    “Serius Wira bicara begitu sama kamu?” tanya Arvendra pelan, sambil menggosok handuk di rambut panjang Anindya. Kini mereka sudah berada di apartemen. Anindya duduk di tepi ranjang, sudah berganti pakaian mengenakan piyama, bahunya sedikit merosot oleh kelelahan yang akhirnya terasa.“Iya, Mas. Tapi aku belum kasih keputusan apa-apa,” jawab Anindya lemah.Gerakan tangan Arvendra berhenti sesaat. Bukan kaget. Lebih ke menahan sesuatu.“Kamu harusnya langsung tegas. Kamu tahu itu artinya apa, ‘kan? Dia bukan lagi bicara soal kontrak. Dia mau kendali,” kata Arvendra kemudian, nadanya tetap terkendali, tapi jelas lebih dalam.Anindya menunduk. “Aku tahu.”“Dia memanfaatkan posisi kamu yang lagi terpojok. Itu bukan bantuan. Itu pemerasan yang dibungkus profesionalisme,” lanjut Arvendra, kali ini jujur tidak menahan nada kesalnya.Anindya mengangkat wajahnya, matanya kembali basah. “Kalau aku langsung nolak, dendanya besar. Kontraknya belum selesai. Karier aku gimana? Aku capek mulai dari

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 121: Suara Itu Datang

    “Kenapa hujan-hujanan?”Suara itu datang rendah, dekat, dan terlalu familiar.Anindya menegang. Bahunya berhenti bergerak sepersekian detik, seolah tubuhnya tidak siap mendengar suara itu sekarang, tidak saat pertahanannya sudah tipis, tidak saat dadanya sudah terlalu penuh.“Saya sudah bilang,” lanjut Arvendra, suaranya rendah tapi jelas, “kalau ada apa-apa, pulangnya ke saya aja, Anindya.”Anindya menelan napas. Dadanya terasa penuh, seperti ada terlalu banyak hal yang ingin keluar bersamaan tapi tidak tahu harus mulai dari mana.“Kamu nggak perlu hadapi ini sendiri. Ada saya,” kata Arvendra lagi, kali ini lebih pelan.Hujan terasa makin dingin.Anindya menggeleng kecil, keras kepala yang sudah kelelahan. “Aku cuma capek. Aku cuma mau baik. Tapi semuanya jadi berantakan.” Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan sesuatu yang terus mendesak naik.Arvendra menghela napas pelan. “Beban kamu itu berat. Jangan kamu angkat sendirian. Bagi sama saya.”“Jangan dibagi,” ralat Arv

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status