Share

Bab 3: Adegan Apa?

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-10-04 12:22:31

Alis Arvendra sedikit berkerut. “Sabuk pengaman.”

Tangan besar itu terulur perlahan, menyelip melewati sisi tubuh Anindya. Dalam satu gerakan pasti, dia meraih sabuk pengaman dan menariknya begitu saja. Bahu Anindya otomatis menegang saat kain sabuk itu melintasi tubuhnya.

Klik.

Suara kunci seat belt terdengar jelas di antara mereka.

“Sudah.” Arvendra kembali bersandar, pandangannya lurus ke jalan, seolah hal itu sama sekali bukan perkara besar.

Anindya mematung, pipinya panas terbakar. Dalam hati dia berteriak, ‘Astaga, Anin … kamu kira dia mau apa barusan?!’ Malu sendiri, dia buru-buru memalingkan wajah ke arah jendela.

Arvendra sempat melirik sekilas. Ekspresi gadis itu jelas kacau, meski dia berusaha keras menutupinya. Sudut bibir pria itu terangkat samar. Sekilas saja, cukup untuk dirinya sendiri.

Mobil mulai melaju pelan. Hening sesaat, hanya suara mesin yang terdengar.

Namun, Anindya berkali-kali melirik ke arah Arvendra. Bukan untuk mencari perhatian, tapi karena ada sesuatu yang mengganjal di dadanya sejak tadi.

“Pak Arven.” Akhirnya Anindya memberanikan diri bicara, meski ragu. “Motor saya masih di kosan. Kalau sampai ditarik orang proyek, saya … saya nggak punya apa-apa lagi.”

Arvendra menoleh sekilas. “Nanti saya suruh orang ambilkan.”

“Tapi kuncinya ada di saya,” sahut Anindya cepat, takut kalau pria itu tidak mengerti maksudnya.

“Diangkut saja pakai pick-up.” Arvendra menjawab singkat, penuh kepastian, seakan masalah itu remeh.

“Tapi–”

Tatapan Arvendra kembali menyapu wajah gadis itu. Hanya sekilas, tapi cukup membuat Anindya diam. “Kalau kamu percaya mengendarai motor lebih aman di jalanan malam ini, silakan turun dan urus sendiri. Tapi kalau kamu masih ingin selamat, biarkan saya yang atur.”

Hening. Anindya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Kata-kata itu keras, tapi sulit dibantah. Mengendarai motor seorang diri di tengah malam memang berbahaya, apalagi untuk gadis sepertinya. Jemarinya refleks mencengkeram tali tas di pangkuan.

Perbedaan usia mereka terasa mencolok. Arvendra tampak terlalu dewasa, penuh kendali, sementara dirinya hanya bisa menunduk patuh. Untuk sesaat, Anindya benar-benar merasa seperti anak kecil yang sedang ditegur ayahnya.

Selang tiga puluh menit, Jeep hitam itu akhirnya memasuki pekarangan rumah bergaya modern-minimalis. Sepi. Tentu saja. Ini sudah lewat tengah malam.

Arvendra turun lebih dulu, lalu tanpa banyak kata menunggu di sisi pintu penumpang. Tatapannya hanya memberi satu isyarat: ikut.

Begitu masuk, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyambut. Arvendra membimbingnya menuju kamar tamu di lantai bawah. Pintu dibuka, memperlihatkan ruangan yang jauh lebih luas daripada kamar kos Anindya. Ada ranjang queen, lemari tinggi, meja kerja, bahkan kamar mandi dalam.

“Tenang saja, Anin. Saya tidak akan menagih biaya sewa,” ucap Arvendra akhirnya, suaranya datar, tapi dengan nada samar menyerupai seloroh.

Anindya tertegun. Sekejap, dia hanya bisa menatap pria itu, mencoba memastikan barusan dia tidak salah dengar. Jadi … pria matang, dingin, dan terlihat menakutkan ini, bisa bercanda juga?

“Ah … iya, Pak. Terima kasih.” Anindya buru-buru menunduk.

Arvendra tidak menanggapi lebih jauh. Hanya satu anggukan tipis, lalu pria itu melangkah pergi menuju kamarnya.

Anindya berdiri kaku beberapa detik, baru kemudian menutup pintu kamar tamu.

__

Dor! Dor! Dor!

Pintu kamar digedor keras dari luar keesokan paginya.

Anindya yang sedang sibuk mengenakan celana langsung terlonjak. Hampir saja dia terjatuh gara-gara resleting yang tersangkut.

“Sebentar!” seru Anindya panik. Dia buru-buru merapikan blus kusut, menyibakkan rambut yang acak-acakan, lalu membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, senyum manis langsung menyambutnya. Elvio berdiri di ambang pintu dengan piyama biru bergambar dinosaurus, mata abu-abu pucatnya berbinar penuh semangat.

“Kak Anin! Kak Anin tinggal di rumah El sekarang?” tanya Elvio riang.

Anindya membeku, pipinya memanas. Anak ini seolah menyambutnya seperti putri raja yang baru pulang.

“Kak Anin cuma numpang sebentar, El,” jawab Anindya kikuk.

“Tapi itu artinya Kak Anin akan sering ketemu El, ‘kan?” Elvio bersorak kecil, lalu tanpa basa-basi menggenggam tangan Anindya. Jemari mungil itu hangat, penuh tenaga, menyeretnya keluar kamar. “Cepat! Papa udah nunggu di meja makan.”

Ketika sampai, Anindya sontak berhenti di ambang ruang makan. Di ujung meja panjang, Arvendra sudah duduk dengan kemeja santai abu-abu, lengan digulung, secangkir kopi mengepul di dekat tangan.

‘Aduh … semalam aja aku udah salah tingkah. Sekarang harus sarapan bareng? Wajahku harus ditaruh di mana?’ batin Anindya panik.

Elvio langsung menarik kursi di sebelahnya. “Kak Anin duduk sini!” serunya riang. 

Begitu Anindya duduk, bocah itu menatap Anindya penuh kekaguman. “Papa, Kak Anin cantik ya? Aku pernah bilang, kalau nanti aku sudah besar mau punya pacar seperti Kak Anin.”

“E-Elvio …” Anindya nyaris terbatuk, pipinya seketika panas membara.

Arvendra hanya mengangkat alis tipis, menyesap kopinya tanpa komentar. Tatapannya sempat menyapu wajah Anindya, tapi cepat kembali ke tablet di tangannya.

Elvio cengengesan puas melihat reaksi kedua manusia dewasa itu, lalu meraih gelas susu di depannya. Tangannya terlalu bersemangat sampai–bruk! Gelas itu terguling, susu tumpah ke meja, bahkan sedikit mengenai lengan Anindya.

“Astaga!” Anindya refleks berdiri, tangannya buru-buru hendak meraih kotak tisu. Namun hampir bersamaan, tangan besar itu juga sampai di sana. Jemari mereka nyaris bersentuhan, hanya terpisah selembar kertas putih.

Anindya buru-buru mendongak, dan tepat saat itu, tatapan hazel Arvendra bertemu dengan mata hitamnya.

“A-anu … saya–” suara Anindya tercekat. Dia cepat-cepat menarik tangannya, wajahnya memanas sampai telinganya ikut merah.

Arvendra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mengambil beberapa lembar tisu, lalu mengulurkan ke arah gadis yang sedang panik itu. “Untuk lenganmu,” ucapnya singkat.

Anindya menerima tisu itu dengan jemari gemetar, lalu duduk kembali sambil menunduk, berusaha menyembunyikan pipinya yang merah padam.

Suasana yang tadinya hening langsung pecah ketika Elvio terkekeh keras.

“Papa sama Kak Anin kayak pasangan di drama!” celetuk Elvio polos. 

Anindya ingin menghilang dari muka bumi saat itu juga.

‘Ini semua gara-gara kamu, Bocah,’ rutuknya dalam hati.

Arvendra yang baru membersihkan tumpahan susu, akhirnya bersuara, “Kalau drama, biasanya ada adegan lanjutannya.”

Dia menatap Anindya singkat, tapi cukup untuk membuat gadis itu membeku.

‘Adegan lanjutan apa maksudnya?!’ batin Anindya bingung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 86: Inisial Meresahkan

    “Mas ada pesan.” Anindya menunjuk layar mobil, suaranya biasa saja, atau setidaknya berusaha biasa.Arvendra hanya melirik layar. “Biarin aja dulu.”“Siapa?” tanya Anindya setelah beberapa detik.“Itu Ivelle.”Ada sesuatu yang bergerak cepat di dada Anindya, bukan marah, bukan sakit, hanya sesak yang muncul otomatis.“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anindya ketika melihat layar dengan satu huruf besar: I.Sesingkat itu, dan justru sesingkat itu yang paling mengganggu.Orang memang suka menyimpan kontak dengan cara aneh. Pakai emoji, pakai angka, pakai nama panggilan. Namun, inisial? Inisial itu biasanya hanya untuk dua alasan: karena terlalu dekat atau terlalu ingin disembunyikan.Anindya menarik tangannya dari paha Arvendra. Gerakan kecil, halus, tapi jelas menjauh. Dia lalu memalingkan wajah ke jendela, seolah sibuk dengan lampu-lampu jalan.“Kenapa, Anin?” suara Arvendra lembut, tapi ada kewaspadaan tipis di sana.“Nggak apa-apa.” Jawaban klasik, yang jelas artinya ada apa-ap

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 85: Siapa Dia?

    “Hah? Mana?” Anindya menoleh cepat, tapi mereka sudah melewatkan mobil itu. “Perasaan Mas aja kali.”“Mas nggak salah lihat,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Namun, Arvendra tidak menambahkan komentar. Tidak butuh.Sudah jelas tadi itu Zafran. Dan kalau Nani masih bersikeras menjodohkan Anindya dengan laki-laki yang bahkan tidak punya malu untuk ciuman sembarangan, ya itu urusan nanti.Mereka melaju stabil lagi, lampu kota mulai berjarak, sampai Anindya tiba-tiba memegang lengan Arvendra. Sentuhannya kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu langsung melirik.“Mas, berhenti dulu deh. Aku butuh udara segar.”“Mas juga,” jawab Arvendra pelan. Namun, alih-alih merapat ke pinggir jalan, pria itu menekan satu tombol di atas kepalanya.Atap Jeep Wrangler itu perlahan terbuka, melipat diri ke belakang, menyisakan angin malam yang langsung menerobos masuk. Rambut panjang Anindya tergerai, berkibar indah, seperti adegan slow motion dalam drama yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.Arven

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 84: Usaha Arvendra

    “Om, saya tahu ini berat untuk Om Indra.”Suara itu membuat Indra yang duduk di teras depan menoleh setengah, tapi tidak menanggapi. Arvendra berjalan menghampiri tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang lebih memilih menghadapi badai daripada lari.Dia duduk di sebelah Indra. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sejajar. Seperti dulu, dua pria yang sama-sama pernah bekerja dari nol.Indra menekuk bibir, pandangannya kini jatuh pada halaman kosong di depan. “Kalau kamu tahu ini berat buat saya, kenapa kamu masih memaksakan, Arven?”Arvendra menarik napas pelan. “Karena saya serius, Om.”“Serius?” Indra mendengus tipis. “Kamu pernah serius, Arven. Dan hasilnya berantakan.”Arvendra menerima pukulan itu tanpa mengelak. “Betul. Saya pernah gagal.”Indra akhirnya menoleh, matanya tajam tetapi sesak. “Dan saya harus apa? Serahin anak saya ke seseorang yang sudah pernah gagal? Yang hidupnya penuh masalah? Yang masa lalunya masih berserakan di belakang?”Arvendra tidak mundur. Tidak ber

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 83: Perlu Waktu

    “Sebelum Mas ketemu Ayah, aku mau Mas ketemu Mama dulu.” Itu kalimat yang Anindya ucapkan pelan ketika Jeep Wrangler hitam itu baru keluar dari tol. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada tatapan minta dikasihani. Hanya suara kecil yang terdengar seperti seseorang yang sedang memberanikan diri membuka pintu yang sudah lama dia tutup. Maka di sinilah mereka berada. Makam Lusi. Ini bukan kali pertama Arvendra datang ke sini. Namun, hari ini rasanya lain. Hari ini dia datang bukan sebagai teman lama ayah Anindya. Hari ini dia datang sebagai seseorang yang ingin dimasukkan ke hidup seorang gadis, secara utuh, masa kini sampai masa lalu. Sedangkan Anindya, dia bahkan harus menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke area pemakaman. Sudah lama dia menghindari tempat ini. Bukan karena lupa, justru karena ingatannya terlalu jelas, terlalu tajam. Kadang Anindya merasa dia dan Lusi sama-sama ‘berhenti hidup’ pada hari itu. Hari ketika dia baru pulang sekolah, dan mendapati rumahnya

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 82: Tidak Datang Sendiri

    “Kamu jangan tegang begitu dong. Tenang, ada Mas. Nanti saya yang jelasin semuanya ke Ayah kamu.” Arvendra menarik sabuk pengaman Anindya dan menguncinya pelan, seolah memastikan gadis itu benar-benar aman sebelum kembali memasang sabuknya sendiri.Setelah rencana meminta restu itu dibahas, butuh dua bulan penuh sampai akhirnya mereka benar-benar bisa melakukannya.Dua bulan yang melelahkan.Arvendra sibuk setengah mati karena perebutan tender proyek besar. Kantornya seperti medan perang setiap hari. Sedangkan Anindya baru selesai sidang skripsi dan menunggu wisuda. Di luar itu, pekerjaan modelnya mulai jalan, plus jadwal les Elvio yang masih dia pegang.Di titik ini, 24 jam sehari rasanya seperti kurang.“Nggak tegang, cuma khawatir sedikit,” gumam Anindya, merapikan ujung rambutnya yang berantakan. “Bukan cuma soal Ayah, tapi Mas tahu sendiri Ibu sama Kakak tiri aku kayak gimana.”Sudah bisa dipastikan 100% Nani akan mencak-mencak ketika tahu Anindya menolak dijodohkan dengan Zafran.

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 81: Aroma Favoritnya

    Alis Arvendra naik sedikit. “Memangnya kamu udah bicara sama Ayah kamu?” Bukan curiga, melainkan memastikan. Setahunya, Anindya belum sempat pulang menjenguk ayahnya. Kalau gadis itu sudah menemui Indra, dia pasti tahu.“Kalau soal hubungan kita belum, Mas,” jawab Anindya jujur. “Tapi waktu itu Ayah lihat Mas pegang tangan aku di depan rumah. Dan pas kita pulang dari dokter kandungan itu, Ayah nyamperin aku dekat kampus. Dia bilang, dia kurang suka kalau aku ada hubungan sama duda, dan udah punya anak.”Arvendra terdiam. Bukan marah, bukan kecewa. Namun, diam panjang seorang pria yang sedang mempertimbangkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapannya turun ke wajah Anindya. Menyapu bibir yang bergetar pelan, bahu yang sedikit naik, dan jari yang saling meremas karena gugup.“Ayah kamu nggak salah,” ucap Arvendra, lirih tapi mantap.“Mas! Jangan ngomong begitu,” sanggah Anindya cepat.“Tapi itu kenyataan, Sayang.” Arvendra meraih tangan Anindya dan menggenggamnya, ibu jarinya mengusap pu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status