Share

Bab 3: Pria Ini Lagi

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-10-04 12:22:31

“Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”

Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.

“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.

Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper lusuh peninggalan mendiang ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.

“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.

Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukkan pakaian dan buku dengan sembarangan. Suara gaduh dari luar makin jelas. Mesin buldoser meraung, logam beradu keras, teriakan aparat bercampur dengan tangis anak-anak yang kebingungan.

‘Kenapa harus sekarang? Kenapa harus malam ini?’ pikirnya. Dada terasa sesak.

Dengan napas terengah, Anindya menyeret koper sambil menggendong ransel lusuh keluar kamar. 

Di luar, jalanan padat oleh kendaraan proyek. Lampu buldoser menyilaukan, truk-truk besar berjajar. Di seberang, papan besar berdiri tegak:

[Nagara Residence–Hunian Modern Sentra Kota]

Anindya menatapnya dengan perih. Jadi benar, tempat tinggal yang menemaninya sejak awal kuliah ini akan hilang begitu saja, dan diganti bangunan megah.

Saat hendak pergi, pandangan Anindya tertumbuk pada motor bututnya yang masih terparkir di halaman kos. Satu-satunya alat transportasi yang dia miliki. Panik, dia buru-buru mencoba masuk lagi.

“Pak, sebentar! Motor saya masih di dalam!” seru Anindya.

Seorang pria berseragam proyek dengan helm putih langsung menghadangnya. “Mbak, keluar! Area ini sudah ditutup!”

“Tapi motor saya–”

“Keluar saya bilang!” bentak pria itu. Tangannya mendorong bahu Anindya hingga tubuh gadis itu terhuyung.

Koper yang Anindya tarik oleng, hampir terlepas dari genggaman. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan justru punggungnya menabrak dada seseorang. Hangat, keras, membuat langkahnya seketika berhenti.

Anindya buru-buru menengok, jantungnya berpacu liar. Wajah asing? Bukan. Tatapan itu terlalu familiar. Hazel, dingin, berwibawa.

Arvendra. Untuk apa pria itu ada di sini?

“Sejak kapan cara bekerja perusahaan kalian sampai melibatkan kekerasan fisik?” Suara Arvendra berat, tegas, menebas bising mesin di sekitar. Tatapannya menusuk arsitek lapangan yang tadi mendorong Anindya. “Atau memang itu satu-satunya cara kalian mengeksekusi proyek?”

Arsitek itu sontak kaku melihat Arvendra. Namun genggamannya pada map biru mengeras, berusaha menjaga wibawa di depan para pekerja.

“Ini proyek kami, Arvendra. Kamu tidak punya hak ikut campur,” kata si arsitek itu dengan nada tinggi.

Arvendra melangkah maju, tubuhnya menjulang hingga pria itu otomatis mundur setengah langkah. “Kalau yang kalian sebut eksekusi hanya berupa dorongan dan teriakan, itu bukan profesional. Itu pelecehan.”

Wajah arsitek itu menegang, rahangnya mengeras. “Jangan sok suci. Semua orang tahu perusahaan kamu hanya menunggu proyek ini gagal supaya bisa merebut investor.”

Sudut bibir Arvendra terangkat tipis–senyum dingin yang lebih mirip ejekan. “Kalau memang jatuh, salahkan ketidakmampuanmu sendiri. Investor hanya berpindah ke tempat yang lebih pantas.”

Suasana mendadak sunyi. Para pekerja menunduk, pura-pura sibuk, tapi jelas telinga mereka menangkap setiap kata.

Anindya berdiri kaku di samping Arvendra, dadanya naik-turun cepat. Dia merasa begitu kecil di antara percakapan dua pria yang jelas punya urusan jauh lebih besar dari dirinya. Dan jujur, dia bahkan tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

“Dan kamu.” Tatapan hazel milik Arvendra kembali menusuk ke arah si arsitek. “Sentuh dia lagi, dan saya pastikan tanganmu tidak akan pernah menggambar proyek seumur hidupmu.”

Arsitek itu mendengus keras, tapi sorot matanya jelas gentar. Dia akhirnya menyingkir dengan wajah kelam, memilih menelan rasa malu di depan para pekerja.

Anindya masih terpaku di tempat. Koper menggantung lemah di tangannya, napasnya kacau, seakan paru-parunya menolak bekerja.

Tatapan Arvendra beralih pada gadis itu. “Kamu masih mau berdiri di sini sampai buldoser menabrakmu?”

Anindya tersentak. “S–saya … tidak, Pak.”

“Kalau begitu, ikut.”

Entah kenapa, kaki Anindya langsung bergerak mengikuti Arvendra, seolah tubuhnya patuh begitu saja. Dia menyeret koper lusuhnya, langkahnya kecil dan ragu, seperti dihipnotis oleh wibawa pria itu.

Begitu tiba di samping Jeep hitam yang terparkir di tepi jalan, Arvendra berbalik. Tatapannya turun, menelisik wajah Anindya yang berantakan.

“Kamu mau ke mana?” tanya Arvendra dengan suara berat, lebih rendah dari sebelumnya, seolah sengaja meredam nada tajamnya.

Anindya menelan ludah. “Belum tahu, Pak,” jawabnya jujur.

Dan memang benar, Anindya sama sekali tak punya tujuan. Menghubungi teman di tengah malam begini terasa tak sopan. Pulang ke rumah di desa? Mustahil, jaraknya terlalu jauh, sedangkan besok dia masih harus kuliah. Menginap di hotel? Yang benar saja! Uangnya bahkan tidak cukup untuk satu malam. Lebih baik disimpan untuk biaya kos baru.

Akhirnya Anindya menunduk, jemarinya saling mencengkeram. “Saya … benar-benar tidak tahu harus ke mana.”

Arvendra menatap Anindya lama, seolah menembus setiap lapisan kegelisahan di wajah gadis itu. Lalu perlahan dia membuka pintu mobil.

“Kalau begitu, ikut saya.”

Anindya terperanjat. “K-kemana, Pak?” Lidahnya kelu, bayangan buruk langsung berkelebat. Dia seorang gadis muda, dan pria di depannya lelaki dewasa. Bagaimanapun, dia tetap merasa rawan di hadapan pria ini.

“Rumah saya cukup besar.” Suara berat Arvendra, meluncur tenang seperti milik seseorang yang tahu persis besarnya kuasa yang dia genggam. Senyum samar melintas di bibirnya. “Elvio akan senang kalau kamu ada di sana. Tinggal sementara, sampai kamu menemukan tempat lain.”

Deg.

Jantung Anindya serasa melompat ke tenggorokan. Otaknya menjerit menolak, tapi hatinya sadar, dia tidak punya pilihan lain.

“Jadi bagaimana, Anindya? Mau tidur di pinggir jalan dengan kopermu, atau ikut saya ke rumah yang jelas ada atapnya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 6: Bagaimana Ini?

    Tanpa pikir panjang, Anindya refleks merunduk dan menyelinap ke bawah meja.“Anin?!” Jeane dan Laura serempak bersuara kaget, hampir bersamaan.“Ngapain kamu, hah?” Laura memiringkan kepala, wajahnya penuh tanya. “Uh … ini … uangku jatuh,” jawab Anindya cepat. Suaranya terlalu tinggi dan terburu-buru, jelas sekali kebohongan yang dipaksakan.Laura mengerutkan alis. “Serius? Duit receh aja sampai gelagapan gitu?”Jeane justru menyeringai, matanya berbinar penuh gosip. “Kamu lagi ngumpet dari seseorang, kah?”“Ssst! Jangan berisik!” Anindya menoleh tajam dari bawah meja, wajahnya merah padam. “Aku cuma–uh, ya, lagi cari uang!”Laura mendesah tak percaya, sementara Jeane hampir tidak bisa menahan tawa dan sampai harus menutup mulutnya sendiri.Setelah merasa cukup aman, Anindya akhirnya kembali duduk. Rambut hitam tebalnya sempat tergerai hingga hampir menyentuh lantai ketika dia merunduk, kini buru-buru dirapikan dengan jemari gemetar. Napas panjang dia hela, berusaha menstabilkan deta

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 5: Sugar Daddy

    “Oh … motorku udah ada rupanya.” Anindya tertegun di teras, pandangannya jatuh pada motor butut yang kini terparkir rapi di sudut halaman. Helmnya tergantung manis di kaca spion. Degup di dadanya mendadak kembali menguat. Padahal tadi di meja makan saja, jantungnya belum reda setelah Arvendra melontarkan kalimat itu–kalimat sederhana, tapi entah bercanda atau sungguhan, tetap membuat gadis itu salah tingkah, dan memilih cepat-cepat pergi. Dan kini, motor ini … bukti lain kalau pria itu bisa bergerak cepat tanpa perlu banyak kata. Hangat? Ya, sedikit. Namun, sekaligus membuatnya merinding memikirkan bagaimana cepatnya pria itu bertindak. Sekilas Anindya sempat berpikir masuk kembali untuk mengucapkan terima kasih. Namun, bayangan jam kuliah yang sudah dekat segera menyadarkannya. Dosennya terkenal galak. Kalau sampai terlambat, bukan hanya diusir, nilainya pun bisa terancam. Anindya buru-buru naik ke jok motor, lalu menyampirkan paper bag ke gantungan depan. Isinya jas hitam Arvend

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 4: Satu Atap

    “Terima kasih, Pak, sudah mau menampung saya,” ucap Anindya pelan setelah duduk di kursi penumpang.Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Kosannya sudah digusur, tidak ada tempat lain untuk dituju, dan lebih parahnya lagi, dia tidak punya uang. Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau benar begitu, mungkin dia akan lebih leluasa tinggal di sana tanpa terlalu merasa canggung.Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, bukan?“Oke.” Hanya satu kata singkat yang keluar dari bibir Arvendra. Tenang, datar, tanpa emosi.Namun entah kenapa, justru itu membuat keraguan semakin menggelayuti benak Anindya. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep. Dengung halus tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup r

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 3: Pria Ini Lagi

    “Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper lusuh peninggalan mendiang ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukk

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 2: Melamar?

    “M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat. Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.Apa maksudnya tertarik? Apakah pria ini menilai dirinya sebagai guru yang kompeten atau sebagai wanita?Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri. “Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belaja

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 1: Bertemu

    “Kak Anin cantik banget. Aku nanti mau punya pacar kayak Kak Anin.”Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang bocah laki-laki berusia enam tahun bermata abu-abu pucat, Elvio Dirgantara Pradipta. Suaranya polos, tanpa malu-malu, membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.“Kamu bisa aja, El. Aku tahu ini alasan kamu biar nggak aku suruh nulis lagi, ‘kan?” balas perempuan muda itu sambil tersenyum kecil, mencoba menahan tawa.Anindya Laranya Devi, terpaksa bekerja sebagai guru les privat selama setahun terakhir. Padahal, dia sedang menempuh semester akhir di universitas dan punya segudang tugas akhir. Semua ini tentu saja karena alasan ekonomi. “Ih, sebel deh Kak Anin nuduh aku sembarangan!” Elvio langsung cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. “Nanti aku aduin sama Papa aku, mau?”“Aduin aja, aku nggak takut kok,” sahut Anindya santai. Dia memang tidak merasa perlu takut. Selama satu tahun mengajar di rumah ini, dia belum pernah sekalipun bertemu ayah Elvio. Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status