MasukSiang itu, usai menjalani banyak keanehan sejak pagi, akhirnya kelas kuliah Anindya usai. Motornya ternyata juga benar-benar telah ada di teras rumah Arvendra pagi tadi, hingga membuat Anindya merasa cukup lega.
Anindya mengembuskan napas panjang begitu dosen keluar ruangan. Tas di pundaknya terasa berat, tapi jelas bukan hanya karena buku. Kepalanya penuh dengan kejadian semalam.
Anindya berjalan keluar kampus menuju parkiran. Tanpa membuang waktu, dia melajukan motor itu keluar kampus, menyusuri jalan menuju kompleks perumahan elit tempat Arvendra tinggal. Gerbang tinggi dengan satpam berseragam rapi menyambutnya begitu ia tiba.
Anindya melirik jam tangan kecil di pergelangan tangannya.
“Masih ada lima belas menit sebelum jam les,” gumamnya lega, sebelum kembali menarik napas dan bersiap melewati pintu masuk penjagaan.
Namun rasa lega itu langsung menguap ketika dari salah satu blok, sebuah mobil sport merah meluncur keluar. Kilau bodinya menyilaukan mata, emblem Lamborghini terpampang jelas di kap depan.
“Ya ampun …” Anindya refleks menurunkan kecepatan. Namun, ban motornya yang sudah gundul tidak bersahabat dengan aspal licin sisa hujan. Dalam sepersekian detik, kendalinya hilang.
BRAK!
Motor tuanya oleng hebat, jatuh ke samping, sementara setangnya menghantam sisi depan Lamborghini merah itu. Bunyi benturannya nyaring, membuat kepala Anindya langsung kosong.
Gadis terduduk di aspal basah, lututnya perih, tapi rasa nyeri itu kalah dengan ngeri yang menyergap begitu pandangannya naik ke arah mobil. Sebuah goresan panjang terlihat jelas di bodi mewah yang masih mengilap.
“Oh nggak … mati aku,” bisik Anindya panik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru bangkit berdiri, meraih motornya yang sudah miring di pinggir jalan.
Pintu Lamborghini terbuka keras. Dari dalam, seorang pria tambun keluar dengan wajah merah padam. Kemejanya terlalu ketat untuk tubuhnya, beberapa kancing terbuka memperlihatkan dada penuh bulu. Sebuah rantai emas tebal menggantung mencolok di lehernya.
“GILA LO, YA?!” bentaknya lantang. Suaranya berat dan kasar, membuat beberapa orang di sekitar kompleks spontan menoleh.
Anindya mundur setapak, kedua tangannya gemetar. “P-Pak, maaf saya … saya nggak sengaja–”
“Nggak sengaja?!” Suaranya makin meninggi. Pria itu menunjuk goresan di mobilnya dengan dramatis. “Liat nih! Lecet! Rusak! Lo pikir murah benerin beginian?!”
“Pak, saya minta maaf … terus saya harus gimana?” tanya Anindya parau.
“Ganti rugi lah! Pake nanya lagi!”
Pria itu merogoh ponsel, cepat-cepat memotret bagian yang lecet. Lalu menelepon seseorang, mengaktifkan loudspeaker agar semua orang bisa mendengar. “Halo, Bro, cek body depan mobil gue. Foto udah gue kirim. Lecet panjang. Berapa kira-kira benerinnya?”
Suasana hening beberapa detik, hanya terdengar suara desis napas marah si pemilik mobil. Sampai akhirnya, suara dari seberang sambungan terdengar jelas.
“Lecet segitu harus repaint full panel, Bos. Kalau ada part retak, ya ganti. Estimasi … bisa dua ratus juta.”
“Dua ratus … juta?!” Anindya hampir jatuh terduduk. Darahnya seperti berhenti mengalir. Tabungannya bahkan tidak ada sepersepuluh dari jumlah itu.
Pria buncit itu memutus sambungan lalu melipat tangan di dada. “Nah, lo denger sendiri, ‘kan? Dua ratus juta. Jadi lo mau bayar cash, transfer, atau gue laporin ke polisi?”
Beberapa orang di sekitar mulai bergumam. Seorang satpam mendekat, tampak ragu harus ikut campur atau tidak.
Namun, sebelum Anindya sempat bersuara, pria itu sudah kembali membentak, “Gue kasih waktu sampai malam ini! Kalau lewat jam delapan belum ada uangnya, gue pastiin lo tidur di sel tahanan!”
__
“Kak Anin, kenapa ngelamun terus?” Suara riang Elvio memecah pikiran Anindya yang kacau. Gadis itu tersentak, kembali sadar akan posisinya: duduk di ruang belajar, sementara bocah itu tengah menulis dengan tekun.
“Nggak apa-apa. Terusin nulisnya, El,” sahut Anindya, berusaha terdengar tenang meski kepalanya terasa seperti mau pecah. Dia menarik napas dalam, lalu meraih ponsel yang tergeletak di meja. Jemari lentiknya gemetar saat mengetik pesan.
[Guys. Tolongin.]
Pesan terkirim ke grup chat dengan Jeane dan Laura. Sahabat Anindya.
Hanya butuh satu menit, Jeane langsung merespons.
[Kenapa, Anindya?]
Anindya menelan ludah, matanya panas, lalu mengetik balasan.
[Aku mau pinjam uang dua ratus juta.]
Hening sesaat. Lalu, hampir bersamaan, dua balasan masuk.
[APA?! Duit dari mana aku?] Jawaban dari Jeane.
[ANIN, KAMU SERIUS?!] Jawaban dari Laura.
Anindya memejamkan mata. Tentu saja mereka kaget. Dua ratus juta … angka itu bahkan terlalu gila untuk sekadar diucapkan oleh seorang mahasiswa. Namun, kalau sampai jam delapan malam dia tidak menemukan jalan keluar, hidupnya bisa benar-benar berakhir di balik jeruji besi.
Belum sempat Anindya mengetik penjelasan, satu pesan baru muncul. Dari Jeane.
[Kenapa kamu nggak pinjam sama papa murid kamu itu? Kayaknya uang segitu kecil deh buat dia.]
Jemari Anindya terhenti di atas layar. Dadanya serasa dihantam sesuatu. Pesan itu sederhana, tapi membuat perutnya makin mual.
Arvendra. Orang yang sudah menampungnya tanpa banyak tanya, yang diam-diam memindahkan motornya semalam tanpa diminta. Apa mungkin dia tega menambah beban pria itu dengan meminjam uang sebesar ini?
Namun, bayangan wajah marah si pemilik Lamborghini kembali menghantam pikirannya. Ancaman polisi, jeruji besi, dan angka dua ratus juta yang terus terngiang-ngiang.
Apa ada cara lain?
“Elvio.” Anindya akhirnya memanggil.
Bocah itu mengangkat kepalanya, menatap dengan mata bulat polos. “Kenapa, Kak?”
“Papa kamu, hari ini pulang nggak?” tanya Anindya ragu. Pasalnya, mobil pria itu tidak ada di garasi.
“Papa ada. Lagi berenang kayaknya,” jawab Elvio santai. Lalu, seperti membaca kebingungan Anindya, dia menambahkan, “Mobil Papa lagi di service, Kak.”
“Oh …” Anindya hanya mengangguk, mencoba mencerna. Agak aneh memang, sudah hampir jam tujuh malam, tapi pria itu malah berenang?
“Kenapa, Kak?” Elvio tiba-tiba menatapnya polos. “Kangen sama Papa, ya?”
Mata Anindya langsung membelalak. “El!” serunya, pipinya panas seketika.
Bocah itu cengengesan puas. “Ih, bener, ‘kan? Kalau nggak kangen buat apa tanya Papa hari ini pulang atau nggak?”
“Elvio, bisa nggak sih ceplas-ceplosnya dikurangi?” Anindya berusaha menahan senyum, tapi suaranya terdengar terlalu gugup untuk bisa terdengar galak.
“Kenapa? Kak Anin salah tingkah memangnya?” Elvio malah menambahkan minyak ke api, sedangkan tawanya makin pecah.
Anindya menutup wajah dengan kedua tangan, hampir ingin berteriak frustasi. Bukan karena marah, tapi karena bocah itu terlalu jago membuat jantungnya makin tidak karuan.
“Mas ada pesan.” Anindya menunjuk layar mobil, suaranya biasa saja, atau setidaknya berusaha biasa.Arvendra hanya melirik layar. “Biarin aja dulu.”“Siapa?” tanya Anindya setelah beberapa detik.“Itu Ivelle.”Ada sesuatu yang bergerak cepat di dada Anindya, bukan marah, bukan sakit, hanya sesak yang muncul otomatis.“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anindya ketika melihat layar dengan satu huruf besar: I.Sesingkat itu, dan justru sesingkat itu yang paling mengganggu.Orang memang suka menyimpan kontak dengan cara aneh. Pakai emoji, pakai angka, pakai nama panggilan. Namun, inisial? Inisial itu biasanya hanya untuk dua alasan: karena terlalu dekat atau terlalu ingin disembunyikan.Anindya menarik tangannya dari paha Arvendra. Gerakan kecil, halus, tapi jelas menjauh. Dia lalu memalingkan wajah ke jendela, seolah sibuk dengan lampu-lampu jalan.“Kenapa, Anin?” suara Arvendra lembut, tapi ada kewaspadaan tipis di sana.“Nggak apa-apa.” Jawaban klasik, yang jelas artinya ada apa-ap
“Hah? Mana?” Anindya menoleh cepat, tapi mereka sudah melewatkan mobil itu. “Perasaan Mas aja kali.”“Mas nggak salah lihat,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Namun, Arvendra tidak menambahkan komentar. Tidak butuh.Sudah jelas tadi itu Zafran. Dan kalau Nani masih bersikeras menjodohkan Anindya dengan laki-laki yang bahkan tidak punya malu untuk ciuman sembarangan, ya itu urusan nanti.Mereka melaju stabil lagi, lampu kota mulai berjarak, sampai Anindya tiba-tiba memegang lengan Arvendra. Sentuhannya kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu langsung melirik.“Mas, berhenti dulu deh. Aku butuh udara segar.”“Mas juga,” jawab Arvendra pelan. Namun, alih-alih merapat ke pinggir jalan, pria itu menekan satu tombol di atas kepalanya.Atap Jeep Wrangler itu perlahan terbuka, melipat diri ke belakang, menyisakan angin malam yang langsung menerobos masuk. Rambut panjang Anindya tergerai, berkibar indah, seperti adegan slow motion dalam drama yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.Arven
“Om, saya tahu ini berat untuk Om Indra.”Suara itu membuat Indra yang duduk di teras depan menoleh setengah, tapi tidak menanggapi. Arvendra berjalan menghampiri tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang lebih memilih menghadapi badai daripada lari.Dia duduk di sebelah Indra. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sejajar. Seperti dulu, dua pria yang sama-sama pernah bekerja dari nol.Indra menekuk bibir, pandangannya kini jatuh pada halaman kosong di depan. “Kalau kamu tahu ini berat buat saya, kenapa kamu masih memaksakan, Arven?”Arvendra menarik napas pelan. “Karena saya serius, Om.”“Serius?” Indra mendengus tipis. “Kamu pernah serius, Arven. Dan hasilnya berantakan.”Arvendra menerima pukulan itu tanpa mengelak. “Betul. Saya pernah gagal.”Indra akhirnya menoleh, matanya tajam tetapi sesak. “Dan saya harus apa? Serahin anak saya ke seseorang yang sudah pernah gagal? Yang hidupnya penuh masalah? Yang masa lalunya masih berserakan di belakang?”Arvendra tidak mundur. Tidak ber
“Sebelum Mas ketemu Ayah, aku mau Mas ketemu Mama dulu.” Itu kalimat yang Anindya ucapkan pelan ketika Jeep Wrangler hitam itu baru keluar dari tol. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada tatapan minta dikasihani. Hanya suara kecil yang terdengar seperti seseorang yang sedang memberanikan diri membuka pintu yang sudah lama dia tutup. Maka di sinilah mereka berada. Makam Lusi. Ini bukan kali pertama Arvendra datang ke sini. Namun, hari ini rasanya lain. Hari ini dia datang bukan sebagai teman lama ayah Anindya. Hari ini dia datang sebagai seseorang yang ingin dimasukkan ke hidup seorang gadis, secara utuh, masa kini sampai masa lalu. Sedangkan Anindya, dia bahkan harus menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke area pemakaman. Sudah lama dia menghindari tempat ini. Bukan karena lupa, justru karena ingatannya terlalu jelas, terlalu tajam. Kadang Anindya merasa dia dan Lusi sama-sama ‘berhenti hidup’ pada hari itu. Hari ketika dia baru pulang sekolah, dan mendapati rumahnya
“Kamu jangan tegang begitu dong. Tenang, ada Mas. Nanti saya yang jelasin semuanya ke Ayah kamu.” Arvendra menarik sabuk pengaman Anindya dan menguncinya pelan, seolah memastikan gadis itu benar-benar aman sebelum kembali memasang sabuknya sendiri.Setelah rencana meminta restu itu dibahas, butuh dua bulan penuh sampai akhirnya mereka benar-benar bisa melakukannya.Dua bulan yang melelahkan.Arvendra sibuk setengah mati karena perebutan tender proyek besar. Kantornya seperti medan perang setiap hari. Sedangkan Anindya baru selesai sidang skripsi dan menunggu wisuda. Di luar itu, pekerjaan modelnya mulai jalan, plus jadwal les Elvio yang masih dia pegang.Di titik ini, 24 jam sehari rasanya seperti kurang.“Nggak tegang, cuma khawatir sedikit,” gumam Anindya, merapikan ujung rambutnya yang berantakan. “Bukan cuma soal Ayah, tapi Mas tahu sendiri Ibu sama Kakak tiri aku kayak gimana.”Sudah bisa dipastikan 100% Nani akan mencak-mencak ketika tahu Anindya menolak dijodohkan dengan Zafran.
Alis Arvendra naik sedikit. “Memangnya kamu udah bicara sama Ayah kamu?” Bukan curiga, melainkan memastikan. Setahunya, Anindya belum sempat pulang menjenguk ayahnya. Kalau gadis itu sudah menemui Indra, dia pasti tahu.“Kalau soal hubungan kita belum, Mas,” jawab Anindya jujur. “Tapi waktu itu Ayah lihat Mas pegang tangan aku di depan rumah. Dan pas kita pulang dari dokter kandungan itu, Ayah nyamperin aku dekat kampus. Dia bilang, dia kurang suka kalau aku ada hubungan sama duda, dan udah punya anak.”Arvendra terdiam. Bukan marah, bukan kecewa. Namun, diam panjang seorang pria yang sedang mempertimbangkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapannya turun ke wajah Anindya. Menyapu bibir yang bergetar pelan, bahu yang sedikit naik, dan jari yang saling meremas karena gugup.“Ayah kamu nggak salah,” ucap Arvendra, lirih tapi mantap.“Mas! Jangan ngomong begitu,” sanggah Anindya cepat.“Tapi itu kenyataan, Sayang.” Arvendra meraih tangan Anindya dan menggenggamnya, ibu jarinya mengusap pu







