Share

Bab 4: Satu Atap

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-10-04 12:23:25

“Terima kasih, Pak, sudah mau menampung saya,” ucap Anindya pelan setelah duduk di kursi penumpang.

Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Kosannya sudah digusur, tidak ada tempat lain untuk dituju, dan lebih parahnya lagi, dia tidak punya uang. Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau benar begitu, mungkin dia akan lebih leluasa tinggal di sana tanpa terlalu merasa canggung.

Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, bukan?

“Oke.” Hanya satu kata singkat yang keluar dari bibir Arvendra. Tenang, datar, tanpa emosi.

Namun entah kenapa, justru itu membuat keraguan semakin menggelayuti benak Anindya. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?

“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.

“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep. Dengung halus tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup rapat. Namun, tidak langsung menjalankannya. Sebab dari sudut mata, pria itu melihat gadis di sampingnya berkutat dengan sabuk pengaman. Jemari mungil itu berkali-kali terpeleset, wajahnya semakin merah, sedangkan bibirnya mengerucut kesal.

‘Menggemaskan sekali,’ pikir Arvendra.

“Hh …,” gumam Anindya frustrasi, pelan tapi jelas.

Arvendra menghela napas pelan. Gadis ini bahkan terlihat seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri. Tanpa banyak pikir, dia condong mendekat.

Anindya langsung menegang. Ketika jarak di antara mereka merapat, napasnya tercekat. Dengan refleks, dia mendorong dada pria itu.

“P-Pak Arven … mau apa?” tanya Anindya gugup.

Alis Arvendra sedikit berkerut. “Sabuk pengaman.”

Tangan besar itu terulur perlahan, menyelip melewati sisi tubuh Anindya. Dalam satu gerakan pasti, dia meraih sabuk pengaman dan menariknya begitu saja. Bahu Anindya otomatis menegang saat kain sabuk itu melintasi tubuhnya.

Klik.

Suara kunci seat belt terdengar jelas di antara mereka.

“Sudah.” Arvendra kembali bersandar, pandangannya lurus ke jalan, seolah hal itu sama sekali bukan perkara besar.

Anindya mematung, pipinya panas terbakar. Dalam hati dia berteriak, ‘Astaga, Anin … kamu kira dia mau apa barusan?!’ Malu sendiri, dia buru-buru memalingkan wajah ke arah jendela.

Arvendra sempat melirik sekilas. Ekspresi gadis itu jelas kacau, meski dia berusaha keras menutupinya. Sudut bibir pria itu terangkat samar. Sekilas saja, cukup untuk dirinya sendiri.

Mobil mulai melaju pelan. Hening sesaat, hanya suara mesin yang terdengar.

Namun, Anindya berkali-kali melirik ke arah Arvendra. Bukan untuk mencari perhatian, tapi karena ada sesuatu yang mengganjal di dadanya sejak tadi.

“Pak Arven.” Akhirnya Anindya memberanikan diri bicara, meski ragu. “Motor saya masih di kosan. Kalau sampai ditarik orang proyek, saya … saya nggak punya apa-apa lagi.”

Arvendra menoleh sekilas. “Nanti saya suruh orang ambilkan.”

“Tapi kuncinya ada di saya,” sahut Anindya cepat, takut kalau pria itu tidak mengerti maksudnya.

“Diangkut saja pakai pick-up.” Arvendra menjawab singkat, penuh kepastian, seakan masalah itu remeh.

“Tapi–”

Tatapan Arvendra kembali menyapu wajah gadis itu. Hanya sekilas, tapi cukup membuat Anindya diam. “Kalau kamu percaya mengendarai motor lebih aman di jalanan malam ini, silakan turun dan urus sendiri. Tapi kalau kamu masih ingin selamat, biarkan saya yang atur.”

Hening. Anindya menunduk, bibirnya terkatup rapat. Kata-kata itu keras, tapi sulit dibantah. Mengendarai motor seorang diri di tengah malam memang berbahaya, apalagi untuk gadis sepertinya. Jemarinya refleks mencengkeram tali tas di pangkuan.

Perbedaan usia mereka terasa mencolok. Arvendra tampak terlalu dewasa, penuh kendali, sementara dirinya hanya bisa menunduk patuh. Untuk sesaat, Anindya benar-benar merasa seperti anak kecil yang sedang ditegur ayahnya.

Selang tiga puluh menit, Jeep hitam itu akhirnya memasuki pekarangan rumah bergaya modern-minimalis. Sepi. Tentu saja. Ini sudah lewat tengah malam.

Arvendra turun lebih dulu, lalu tanpa banyak kata menunggu di sisi pintu penumpang. Tatapannya hanya memberi satu isyarat: ikut.

Begitu masuk, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyambut. Arvendra membimbingnya menuju kamar tamu di lantai bawah. Pintu dibuka, memperlihatkan ruangan yang jauh lebih luas daripada kamar kos Anindya. Ada ranjang queen, lemari tinggi, meja kerja, bahkan kamar mandi dalam.

“Tenang saja, Anin. Saya tidak akan menagih biaya sewa,” ucap Arvendra akhirnya, suaranya datar, tapi dengan nada samar menyerupai seloroh.

Anindya tertegun. Sekejap, dia hanya bisa menatap pria itu, mencoba memastikan barusan dia tidak salah dengar. Jadi … pria matang, dingin, dan terlihat menakutkan ini, bisa bercanda juga?

“Ah … iya, Pak. Terima kasih.” Anindya buru-buru menunduk.

Arvendra tidak menanggapi lebih jauh. Hanya satu anggukan tipis, lalu pria itu melangkah pergi menuju kamarnya.

Anindya berdiri kaku beberapa detik, baru kemudian menutup pintu kamar tamu.

__

Dor! Dor! Dor!

Pintu kamar digedor keras dari luar keesokan paginya.

Anindya yang sedang sibuk mengenakan celana langsung terlonjak. Hampir saja dia terjatuh gara-gara resleting yang tersangkut.

“Sebentar!” seru Anindya panik. Dia buru-buru merapikan blus kusut, menyibakkan rambut yang acak-acakan, lalu membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, senyum manis langsung menyambutnya. Elvio berdiri di ambang pintu dengan piyama biru bergambar dinosaurus, mata abu-abu pucatnya berbinar penuh semangat.

“Kak Anin! Kak Anin tinggal di rumah El sekarang?” tanya Elvio riang.

Anindya membeku, pipinya memanas. Anak ini seolah menyambutnya seperti putri raja yang baru pulang.

“Kak Anin cuma numpang sebentar, El,” jawab Anindya kikuk.

“Tapi itu artinya Kak Anin akan sering ketemu El, ‘kan?” Elvio bersorak kecil, lalu tanpa basa-basi menggenggam tangan Anindya. Jemari mungil itu hangat, penuh tenaga, menyeretnya keluar kamar. “Cepat! Papa udah nunggu di meja makan.”

Ketika sampai, Anindya sontak berhenti di ambang ruang makan. Di ujung meja panjang, Arvendra sudah duduk dengan kemeja santai abu-abu, lengan digulung, secangkir kopi mengepul di dekat tangan.

‘Aduh … semalam aja aku udah salah tingkah. Sekarang harus sarapan bareng? Wajahku harus ditaruh di mana?’ batin Anindya panik.

Elvio langsung menarik kursi di sebelahnya. “Kak Anin duduk sini!” serunya riang. 

Begitu Anindya duduk, bocah itu menatap Anindya penuh kekaguman. “Papa, Kak Anin cantik ya? Aku pernah bilang, kalau nanti aku sudah besar mau punya pacar seperti Kak Anin.”

“E-Elvio …” Anindya nyaris terbatuk, pipinya seketika panas membara.

Arvendra hanya mengangkat alis tipis, menyesap kopinya tanpa komentar. Tatapannya sempat menyapu wajah Anindya, tapi cepat kembali ke tablet di tangannya.

Elvio cengengesan puas melihat reaksi kedua manusia dewasa itu, lalu meraih gelas susu di depannya. Tangannya terlalu bersemangat sampai–bruk! Gelas itu terguling, susu tumpah ke meja, bahkan sedikit mengenai lengan Anindya.

“Astaga!” Anindya refleks berdiri, tangannya buru-buru hendak meraih kotak tisu. Namun hampir bersamaan, tangan besar itu juga sampai di sana. Jemari mereka nyaris bersentuhan, hanya terpisah selembar kertas putih.

Anindya buru-buru mendongak, dan tepat saat itu, tatapan hazel Arvendra bertemu dengan mata hitamnya.

“A-anu … saya–” suara Anindya tercekat. Dia cepat-cepat menarik tangannya, wajahnya memanas sampai telinganya ikut merah.

Arvendra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya mengambil beberapa lembar tisu, lalu mengulurkan ke arah gadis yang sedang panik itu. “Untuk lenganmu,” ucapnya singkat.

Anindya menerima tisu itu dengan jemari gemetar, lalu duduk kembali sambil menunduk, berusaha menyembunyikan pipinya yang merah padam.

Suasana yang tadinya hening langsung pecah ketika Elvio terkekeh keras.

“Papa sama Kak Anin kayak pasangan di drama!” celetuk Elvio polos. 

Anindya ingin menghilang dari muka bumi saat itu juga. ‘Ini semua gara-gara kamu, Bocah,’ rutuknya dalam hati.

Arvendra yang baru membersihkan tumpahan susu, akhirnya bersuara. “Kalau drama, biasanya ada adegan lanjutannya.” Dia menatap gadis itu singkat, tapi cukup untuk membuat Anindya membeku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 6: Bagaimana Ini?

    Tanpa pikir panjang, Anindya refleks merunduk dan menyelinap ke bawah meja.“Anin?!” Jeane dan Laura serempak bersuara kaget, hampir bersamaan.“Ngapain kamu, hah?” Laura memiringkan kepala, wajahnya penuh tanya. “Uh … ini … uangku jatuh,” jawab Anindya cepat. Suaranya terlalu tinggi dan terburu-buru, jelas sekali kebohongan yang dipaksakan.Laura mengerutkan alis. “Serius? Duit receh aja sampai gelagapan gitu?”Jeane justru menyeringai, matanya berbinar penuh gosip. “Kamu lagi ngumpet dari seseorang, kah?”“Ssst! Jangan berisik!” Anindya menoleh tajam dari bawah meja, wajahnya merah padam. “Aku cuma–uh, ya, lagi cari uang!”Laura mendesah tak percaya, sementara Jeane hampir tidak bisa menahan tawa dan sampai harus menutup mulutnya sendiri.Setelah merasa cukup aman, Anindya akhirnya kembali duduk. Rambut hitam tebalnya sempat tergerai hingga hampir menyentuh lantai ketika dia merunduk, kini buru-buru dirapikan dengan jemari gemetar. Napas panjang dia hela, berusaha menstabilkan deta

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 5: Sugar Daddy

    “Oh … motorku udah ada rupanya.” Anindya tertegun di teras, pandangannya jatuh pada motor butut yang kini terparkir rapi di sudut halaman. Helmnya tergantung manis di kaca spion. Degup di dadanya mendadak kembali menguat. Padahal tadi di meja makan saja, jantungnya belum reda setelah Arvendra melontarkan kalimat itu–kalimat sederhana, tapi entah bercanda atau sungguhan, tetap membuat gadis itu salah tingkah, dan memilih cepat-cepat pergi. Dan kini, motor ini … bukti lain kalau pria itu bisa bergerak cepat tanpa perlu banyak kata. Hangat? Ya, sedikit. Namun, sekaligus membuatnya merinding memikirkan bagaimana cepatnya pria itu bertindak. Sekilas Anindya sempat berpikir masuk kembali untuk mengucapkan terima kasih. Namun, bayangan jam kuliah yang sudah dekat segera menyadarkannya. Dosennya terkenal galak. Kalau sampai terlambat, bukan hanya diusir, nilainya pun bisa terancam. Anindya buru-buru naik ke jok motor, lalu menyampirkan paper bag ke gantungan depan. Isinya jas hitam Arvend

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 4: Satu Atap

    “Terima kasih, Pak, sudah mau menampung saya,” ucap Anindya pelan setelah duduk di kursi penumpang.Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Kosannya sudah digusur, tidak ada tempat lain untuk dituju, dan lebih parahnya lagi, dia tidak punya uang. Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau benar begitu, mungkin dia akan lebih leluasa tinggal di sana tanpa terlalu merasa canggung.Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, bukan?“Oke.” Hanya satu kata singkat yang keluar dari bibir Arvendra. Tenang, datar, tanpa emosi.Namun entah kenapa, justru itu membuat keraguan semakin menggelayuti benak Anindya. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep. Dengung halus tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup r

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 3: Pria Ini Lagi

    “Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper lusuh peninggalan mendiang ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukk

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 2: Melamar?

    “M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat. Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.Apa maksudnya tertarik? Apakah pria ini menilai dirinya sebagai guru yang kompeten atau sebagai wanita?Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri. “Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belaja

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 1: Bertemu

    “Kak Anin cantik banget. Aku nanti mau punya pacar kayak Kak Anin.”Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang bocah laki-laki berusia enam tahun bermata abu-abu pucat, Elvio Dirgantara Pradipta. Suaranya polos, tanpa malu-malu, membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.“Kamu bisa aja, El. Aku tahu ini alasan kamu biar nggak aku suruh nulis lagi, ‘kan?” balas perempuan muda itu sambil tersenyum kecil, mencoba menahan tawa.Anindya Laranya Devi, terpaksa bekerja sebagai guru les privat selama setahun terakhir. Padahal, dia sedang menempuh semester akhir di universitas dan punya segudang tugas akhir. Semua ini tentu saja karena alasan ekonomi. “Ih, sebel deh Kak Anin nuduh aku sembarangan!” Elvio langsung cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. “Nanti aku aduin sama Papa aku, mau?”“Aduin aja, aku nggak takut kok,” sahut Anindya santai. Dia memang tidak merasa perlu takut. Selama satu tahun mengajar di rumah ini, dia belum pernah sekalipun bertemu ayah Elvio. Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status