LOGINAgak panas ya guys :)
“Sejauh yang Mas mau,” bisik Anindya.Arvendra tertawa kecil. Bukan tawa manis. Namun, tawa pria yang baru saja diberi izin untuk kehilangan kendali, dan tahu persis konsekuensinya.“Good. Karena saya juga sudah terlalu lama menahan ini.” Arvendra menunduk, mencium pusat dada Anindya, lalu turun perlahan. Tidak terburu-buru, tetapi tiap inci seolah dihitung, dipelajari, diingat. Tangan besarnya mengusap naik turun sisi pinggulnya, menggenggamnya sekali, cukup untuk membuat Anindya melengkung.“Relax, Sayang.” Pria itu mencium perut bawah Anindya. “Biar saya yang kerja malam ini.”Anindya menggigit bibir, kedua pahanya menegang refleks.Arvendra merasakan itu. Tangan Arvendra menahan kedua paha itu, membukanya sedikit, ibu jarinya mengusap bagian dalam paha Anindya dengan tekanan yang nyaris malas, tapi sangat … sangat niat.“Kamu gemeteran,” gumam Arvendra sebelum mencium bagian dalam paha kiri, lembut dan dalam sekaligus.“Mmm …” Anindya tidak bisa membentuk kata. Yang keluar hanya n
Arvendra membalas ciuman itu tidak terburu-buru, tapi juga tidak ragu. Bibirnya menekan balik dengan kendali seorang pria yang sudah terlalu lama menahan diri, kendali yang sejak tadi hanya tinggal satu tarikan napas untuk pecah.Tangan besarnya melingkar di pinggang Anindya, menarik tubuh gadis itu naik sepenuhnya ke pangkuannya. Gerakan itu tegas, seperti dia akhirnya mengambil apa yang sudah terus menerus menggoda batas sabarnya.Anindya terkejut, tapi tubuhnya justru merapat. Tangannya naik ke bahu Arvendra, meremas kemeja hitam itu begitu erat seolah kalau dia melepaskan genggaman sedikit saja, gravitasi akan menyeretnya jauh lebih dalam.Ciuman itu berubah. Dari impulsif, menjadi haus. Dari haus, berubah menjadi kebutuhan yang tidak peduli siapa yang akan terbakar duluan.“Anin,” suara Arvendra pecah di sela napas mereka, bibirnya masih menyisir bibir gadis itu.Anindya hanya mengeluarkan gumaman tanpa bentuk, tubuhnya terasa terlalu panas untuk memproduksi kalimat yang waras.A
“Mas jangan tiba-tiba gitu,” gumam Anindya lirih sambil meraih pegangan dashboard.“Saya serius,” lanjut Arvendra, matanya mengikuti setiap gerakan Anindya. “Lutut kamu berdarah. Mas nggak suka lihat kamu luka.”“Mas sendiri tangannya masih berdarah,” balas Anindya, pelan namun tetap dengan upaya mempertahankan wibawanya sendiri.“Tangan saya sudah kamu obati. Sekarang giliran kamu,” ucap Arvendra lembut, tapi tegas dengan cara yang sulit dibantah.Dengan jemari yang akhirnya tidak lagi gemetar, Anindya membuka laci dashboard dan mengambil kotak P3K.“Nih,” ucap Anindya pendek sambil menyerahkannya.Arvendra mengambilnya perlahan, lalu menahan ujung jemari Anindya dengan ibu jarinya. Hanya sekejap. Namun, cukup untuk membuat suhu di dalam mobil terasa berubah.“Good girl,” gumam Arvendra, nyaris seperti refleks.“Mas!!” Anindya tersentak. “Apa?” Arvendra menahan senyum kecil, sudut bibirnya naik seperti menahan godaan untuk tertawa.“Jangan ngomong begitu!” protes Anindya cepat, pipin
“Hati-hati kalau mau ke tempat seperti ini,” bisik Arvendra tepat di belakang telinga Anindya. Nada rendah itu menggetarkan kulit lehernya. Meremangkan seluruh tubuhnya.“Oh, sorry.” Wira menaikkan kedua tangan sedikit. Senyumnya tetap sopan, tapi ada kilatan menilai di matanya. “Saya kira dia masih single. Have a great night.”Wira akhirnya mundur menuju meja VIP-nya. Namun sebelum benar-benar menghilang, tatapannya kembali menyapu Anindya, meninggalkan isyarat bahwa dia belum berhenti tertarik.Begitu Wira menjauh, Anindya langsung mendesis pelan, “Mas tahu dari mana aku di sini?”Nada kesalnya jelas. Sudah jelas Anindya datang ke club ini untuk menghindari Arvendra, bukan untuk dipergoki seperti anak SMA kabur malam mingguan.“Jeane yang kasih tahu,” jawab Arvendra datar. Tatapannya tidak berubah, masih setajam beberapa detik lalu.Anindya menoleh ke floor. Jeane sedang menari sambil melambai-lambaikan tangan, entah sadar atau pura-pura tidak sadar telah menjual informasi dengan san
“Jea, sumpah ya! Kamu bikin pusing aku naik dua level.” Anindya menatap Jeane dengan tatapan maut yang sangat tidak mempan untuk sahabatnya yang satu itu.Jeane mencondongkan tubuh, menunjuk dada Anindya dengan telunjuk yang berkilau glitter dari nail polish. “Denger ya, kamu itu bukan stres karena Mas Duda-nya. Kamu stres karena semua tentang dia udah kebuka, dan sekarang kamu nggak bisa ninggalin karena kamu kepalang jatuh cinta.”Anindya ingin marah, ingin membantah, ingin tertawa, dan ingin bilang Jeane kebanyakan nonton drama Korea. Namun, yang keluar hanya diam, diam yang terlalu jujur.Lagi-lagi, Jeane benar. Menyebalkan sekali.Daripada menjawab, Anindya meraih gelasnya dan menenggaknya sampai tandas. Hangat alkohol yang ringan mengalir turun, tapi tidak cukup kuat mengusir apa pun dari kepalanya.Tepat saat gelas Anindya kembali ke meja, ponsel Jeane berbunyi. Jeane mengintip layar, dan wajahnya langsung berubah. Matanya membesar sedikit, lalu dia cepat-cepat menahan ponselnya
Bass menghentak dari lantai, cahaya strobo merah muda berkedip-kedip seperti denyut jantung tempat itu. Aroma alkohol, parfum mahal, dan asap rokok bercampur.Anindya berjalan masuk diapit Jeane dan Laura, mencoba terlihat santai padahal pikirannya masih keruh seperti kaca mobil habis terkena hujan deras.Tadi selepas dari apartemen, dia langsung mengambil motornya yang baru keluar dari bengkel, lalu menembus malam menuju kos Jeane. Impulsif, dan sedikit nekat, Anindya mengajak kedua sahabatnya itu clubbing. Selain butuh distraksi, Anindya butuh sudut pandang dua wanita yang ‘unik’. Jeane dengan logika ‘out of this world’, dan Laura yang, meski lebih waras, tetap bisa jadi dana cadangan kalau sewaktu-waktu Anindya melarat akut.Begitu tiba, Laura langsung menggandeng lengan Anindya. “Gila ya, kamu dandan cantik dikit langsung kayak fresh-meat di pasar malam. Semua orang nengok.”Jeane mengangguk dramatis, bibirnya membentuk huruf O yang dibuat-buat. “Masuk klub lima detik, tiga cowok







