Share

Pelajaran Untuk Suami dan Teman Lamaku
Pelajaran Untuk Suami dan Teman Lamaku
Penulis: Kadita

Bayinya Mirip Suamiku

     Part 1

Bayinya Mirip Dengan Suamiku

'Selamat Datang Ke Dunia Sayang, sehat selalu ya, Elvano Prasetya, Kesayangan Mama Papa.'

Sebuah status yang sangat membanggakan dari salah satu teman masa sekolah dasarku dulu, Ririn. Status itu diunggah dengan sebuah foto seorang bayi lelaki yang sangat tampan dan menggemaskan. 

Antara senang dan sedih juga sih sebenarnya aku membaca status dari Ririn ini. Senang karena temanku telah bisa mendapatkan momongan, sedangkan aku yang dua tahun menikah belum juga bisa hamil. Kehadiran seorang anak memang kadang menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi pasangan yang sudah menikah.

"Astaghfirullah aladzim!" Sontak aku pun beristighfar sambil menutup mulut ini.

Karena ketika terus kuperhatikan, bayi laki-laki yang diberi nama Elvano ini ternyata sangat mirip dengan Mas Herman, suamiku. 

"Nggak mungkin deh kayaknya!" ucapku menghibur diri sendiri.

Aku pun kembali memperhatikan foto bayi itu, ada dua buah foto yang diunggah oleh Ririn. Kenapa semakin aku lihat wajahnya makin mirip dengan Mas Herman? Bentuk wajah, bentuk hidung, mata dan bibir serta kulit pun sama sekali. Mereka tak layak anak kembar, bagai pinang dibelah dua.

"Astaghfirullah aladzim! Kenapa aku jadi berpikiran buruk seperti ini?" ucapku kembali dengan lirih sambil memejamkan mata. Menghapus pikiran-pikiran buruk yang saat ini mulai menggangu.

Bukankah kata orang wajah dari bayi yang baru lahir itu gampang sekali berubah? Jadi mungkin saja memang begitu adanya. Atau mungkin memang karena aku telah sekitar enam bulan tak pulang ya? Jadi merasa kangen pada Mas Herman. Apa lagi memang dia sangat sulit dihubungi.

Kuputuskan kali ini mengirimkan chat pada Ririn. Sebagai ucapan selamat juga atas anugerah dari Allah yang telah dia dapatkan ini.

[Selamat ya Rin. Ya ampun bayinya ganteng dan menggemaskan sekali.]

Pesanku itu langsung terkirim dan berubah menjadi biru, nampak saat ini teman lamaku itu sedang mengetik.

[Terima kasih Ra. Dia memang sangat ganteng, mirip sekali dengan papanya.]

Aku tersenyum membaca balasan pesan dari Ririn ini. Tetapi kembali pikiran buruk menghinggapi. Mirip dengan suami Ririn? Apa itu berarti suaminya wajah mirip dengan Mas Herman? 

[Alhamdulillah kalau begitu. Oh iya, suami kamu orang mana sih Rin? Aku kok nggak diundang pas kamu menikah.]

Dengan pesan itu aku berharap jika bisa mengorek info atau mungkin tahu wajah dari suami Ririn itu.

[Orang sini-sini aja kok Rin, hehehe. Aku nikahnya diem-diem aja kok, karena perut ini memang sudah ada isinya duluan sih, hehehe.]

Membaca pesan balasan dari Ririn itu aku pun kembali tersenyum. Sejak dulu temanku yang satu ini memang terkenal ceplas ceplos sih. Kadang sesuatu hal yang tabu untuk dibicarakan menjadi biasa saja bagi dia. Seperti jawabannya kali ini. Menurutku sih, hal seperti itu tak patut juga jika dibicarakan pada orang lain. Hamil sebelum menikah menurutku adalah sebuah aib.

[Hmmm ... makannya aku nggak dengar tentang kamu nikah, tau-tau udah lahiran aja sih. By the way selamat ya. Oh iya, aku kok masih penasaran dengan suami kamu ya, kalau orang sini-sini aja, pasti aku kenal dong. Siapa sih? Kepo banget deh aku.] Balasku lagi dengan cepat.

[Hahaha kepo aja atau kepo banget nih? Makanya Ra, kamu itu jangan kerja terus di  Jakarta. Masak iya sih pulang cuma beberapa jam saja, jadi nggak pernah update berita bukan? Hehehe. Ya kenal sih, coba tebak siapa suamiku? Pokoknya wajahnya itu mirip sekali dengan bayi gantengku itu.] Balas Ririn dengan spontan juga.

Aku berpikir saat ini, kalau dari kampung sekitar sana, rasanya tak ada lelaki yang wajahnya mirip dengan bayi itu. Hanya ada satu, ya Mas Herman saja. Ah, kenapa kini pikiranku makin tak tenang saja ya.

[Kamu itu suka sekali membuat aku penasaran memang. Aku kerja ini demi tuntutan hidup, Rin. Hehehe. Sebenarnya aku sudah sejak beberapa bulan yang lalu ingin berhenti kerja, tetapi suamiku melarang. Katanya aku baru boleh berhenti bekerja jika sudah bisa beli mobil gitu. Mumpung masih belum punya anak juga, ya jadi kami masih menabung terus gitu.]

Aku memang sejak beberapa bulan yang lalu ingin tak lagi bekerja, karena aku menginginkan anak segera. Tetapi malah Mas Herman yang tak memperbolehkan hal itu. Dia ingin kamu memiliki sebuah mobil sebelum memiliki anak. Katanya agar nanti mudah ketika bepergian. Sebagai seorang istri tentu saja aku menuruti perintah suamiku itu.

[Perintah suami itu kan memang harus selalu dilakukan Ra. Pasti suami kamu senang memiliki istri yang pintar cari uang seperti kamu. Menabung itu memang penting loh! Lanjut saja bekerja Ra, demi masa depan kamu loh itu. Anak sih gampang bisa menyusul nanti.] Balas Ririn cepat.

[Punya anak jika miskin biar apa sih Rin? Jadi menurut aku benar sekali apa yang dikatakan suami kamu itu. Jangan sering pulang karena yang ada hanya akan menghabiskan uang, berat di ongkos tahu. Kirim aja gaji kamu tiap bulan, nah biar suami kamu itu saja yang nabung. Yakin deh, kalian segera bisa membeli sebuah mobil.] Kembali Ririn mengirim pesan saat aku belum membalas pesan yang tadi.

Dari beberapa teman yang pernah ku ceritakan tentang hal ini, hanya Ririn saja yang menyarankan agar aku tetap bekerja. Sementara teman yang lain lebih menyarankan jika aku segera pulang dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Karena bekerja jauh dari suami itu besar resikonya memang.

[Bagiku sebenarnya anak adalah yang utama Rin. Tetapi ya mau gimana lagi ya? Sepertinya majikanku pun tak akan memperbolehkan aku pulang dalam waktu dekat ini. Jalani saja semua biar mengalir seperti air ya, Rin. Hehehe. Oh iya, kalau begitu tunjukkan foto suami kamu saja, biar aku nggak terus penasaran, hehehe.]

Aku masih terus mengejar hal itu, berharap Ririn menunjukan wajah suaminya. Karena hanya hal ini lah yang akan bisa membuatku tenang dan tak lagi berpikiran buruk.

[Oke deh, aku nggak mau nanti kamu jadi jerawatan karena penasaran, hehehe. Tapi nanti kamu harus menebak ya .... ]

[Siap!]

Ririn pun kemudian mengirimkan sebuah screen shot foto. Foto Ririn dan seorang lelaki yang sedang berpelukan, tetapi wajah lelaki itu ditutupi dengan sebuah emoticon bentuk hati. Jadi aku tak dapat melihat wajah dari lelaki yang sepertinya berkulit putih itu.

"Ya Allah---"

Kembali aku sangat terkejut kali ini, karena kaos polo berwarna silver dengan logo huruf P yang dikenakan lelaki itu, sama persis dengan hadiah yang kuberikan pada Mas Herman enam bulan Yang lalu saat aku terakhir pulang kampung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status