Share

Oh Ibu Mertua

 Part 4

Oh Ibu Mertua

Oek Oek Oek

Keinginanku untuk berpikiran positif seketika berubah, ketika mendengar suara tangisan bayi itu. Apa lagi kini Mas Herman malah langsung mengakhiri panggilan ini tanpa salam.

Suara mesra dari seorang wanita tadi dan sekarang ditambah dengan suara tangisan bayi itu, rasanya sudah sangat cukup untuk membuat hati bimbang seorang istri yang sedang bekerja di luar kota seperti aku ini.

"Astaghfirullah aladzim. Apa yang sebenarnya terjadi di desa ya Allah?" Hanya pada Allah saja aku bisa menanyakan hal ini.

Kucoba kembali menghubungi Mas Herman,  namun nyatanya kini ponsel suamiku itu tak lagi aktif. Akhirnya ku kirimkan saja sebuah pesan panjang, berharap nanti dia akan membalas ketika tengah kembali aktif.

[Suara bayi siapa tadi itu Mas? Jangan bilang jika itu adalah suara bayi pelanggan atau bayi teman kamu. Aku merasa ada yang ganjil. Kenapa juga kamu tiba-tiba mengakhiri panggilan itu. Dan, nomer kamu sekarang malah tidak lagi aktif. Tolong segera balas pesan ini agar aku tak makin berpikiran buruk pada kamu.]

Semakin bimbang saja saat ini hatiku, rasanya aku harus menelepon ibu mertua. Mungkin saja aku bisa mendapatkan ketenangan hati dari sana, meski kadang ucapan ibu mertuaku seringnya malah menyakiti hatiku.

Sejenak aku pun menengok Ama di kamar, ternyata beliau masih terlelap saat ini. Setelah tadi kusuapi beliau pasti langsung tidur lelap. Siang seperti ini memang aku selalu hanya sendirian dengan Ama saja di rumah, karena Pak Daniel memang belum pulang kerja. Jadi kali ini aku pun memutuskan untuk menelepon ibu mertua.

Satu kali percobaan panggilanku pun langsung saja sudah diterima oleh beliau.

"Ada apa, Ra?" ucap ibu mertuaku itu dengan nada suara yang tak mengenakkan seperti biasa, mengawali obrolan melalui sambungan telepon ini tanpa ucapan salam.

"Assalamualaikum, Bu. Apa Mas Herman ada di rumah?" ucapku dengan sopan.

"Waalaikum salam. Kenapa cari Herman? Suami kamu itu ya tentu saja sedang kerja lah. Apa kamu pikir selama kamu bekerja di Jakarta, lalu suami kamu itu akan malas-malasan gitu?!" 

Aku hanya tersenyum mendengar deretan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh ibu mertuaku ini. Dua tahun sudah aku menjadi istri Mas Herman, rasanya aku sudah sedikit kebal dengan hal semacam ini. Kuanggap saja jika hal ini adlaha bentuk kasih sayang beliau padaku. Meski memang mungkin sangat berbeda dengan yang lainnya.

"Bukan begitu, Bu. Tadi saya itu sempat ngobrol sama Mas Herman. Hanya saja kemudian panggilan itu berakhir dan nomernya tak lagi aktif. Saya kan jadi khawatir begitu, Bu." Masih dengan sangat lembut aku mengatakan hal ini.

"Ya namanya juga kerja di jalanan, siapa tahu saat ini dia tengah mengantar penumpang dan baterai dia habis. Jangan terus berpikiran buruk pada suami kamu itu! Kerja saja yang benar, biar gaji kamu itu cepat naik! Jadi bisa kirim uang makin banyak tiap bulan!"

Selalu itu juga yang dikatakan oleh ibu mertuaku, tak jauh beda dengan apa yang dikatakan oleh Mas Herman tadi bukan? Kadang aku merasa jika mereka berdua hanya ingin menjadikan aku sapi perah saja. Tetapi kembali lagi karena aku memang cinta, maka aku melakukan semua ini dengan ikhlas.

"Kamu keberatan kerja disana?!" Karena menang aku sejak tadi masih diam, maka ibu mertuaku kembali bertanya dengan ketusnya.

"Insyaallah nggak kok, Bu. Hanya saja memang saya tadi sedikit khawatir. Jangan sampai terjadi apa pun di sana ketika saya sedang jauh seperti ini. Oh iya, kabar ibu sehat bukan?"

Rasanya aku tak bisa lagi mengorek sesuatu dari ibu mertuaku ini. Yang ada maĺah beliau akan menjadi semakin meradang saja. Maka saat ini aku pun memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan saja. Meski terus saja ketus tetapi aku tetap wajib menghormati ibu dari suamiku ini.

"Sehat dong. Tetapi akan lebih sehat lagi jika kamu itu kirim uang lebih banyak! Hey, Ira. Kamu itu sekarang sudah menjadi istrinya Herman, seharusnya kamu itu menyerahkan semua gaji kamu tiap bulan pada kami. Tak usah memberi uang lagi pada ibu kamu! Uang kamu ya uang kami, jadi kami berhak mengatur semuanya!" Dengan ketus ibu mertuaku itu kembali menjawab.

'Astaghfirullah aladzim!' gumamku dalam hati.

Sejak pertama menikah dengan Mas Herman aku memang sudah bekerja, dan mulai saat itu semua gajiku selalu wajib diberikan pada ibu mertua dan suamiku itu. Padahal sesungguhnya ibuku yang janda pun sangat membutuhkannya, jadi tanpa sepengetahuan mereka aku pun masih memberikan uang pada ibu, meski hanya dua atau tiga ratus ribu saja tiap bulan.

"Kenapa kamu diam lagi? Ingat wanita yang sudah menikah itu bukan lagi milik keluarganya, tetapi milik suami. Jika kamu tak mau menuruti apa yang kami bilang, maka kamu disebut istri durhaka!" timpal ibu mertua lagi.

Sakit sekali jika ibu mertuaku mengatakan jika aku adalah istri durhaka. Mas Herman selalu lembut padaku dalam berucap, tetapi sesungguhnya sikapnya tak jauh berbeda dengan ibunya ini. Aku hanya berharap jika suatu saat ibu dan anak itu bisa berubah. Ketika aku akan kembali menjawab perkataan ibu mertuaku itu, ternyata ada panggilan masuk lain dan itu adlaha dari Dita, adik bungsuku.

"Mohon maaf, Bu. Panggilan ini saya akhiri dulu ya. Karena Ama sudah bangun. Assalamualaikum."

Tanpa menunggu jawaban dari ibu mertuaku itu, aku pun langsung mematikan panggilan. Biarlah aku sedikit berbohong, karena aku takut jika saat ini terjadi apa-apa pada ibuku di desa. Aku pun segera menerima panggilan dari Dita itu.

"Assalamualaikum. Ada apa, Dit? Apa ibu  baik-baik saja?" ucapku memulai obrolan.

"Waaalaikum salam Mbak. Ibu baik-baik saja kok. Tetapi ada suatu hal yang penting Mbak. Ini tentang Mas Herman." Adikku yang saat ini masih kelas dua SMA itu berkata dengan nada cemas.

"Mas Herman? Ada apa dengan Mas Herman?" tanyaku dengan cepat.

"Aku sering melihat Mas Herman ke desa sebelah Mbak. Beberapa kali aku melihat tetapi memang aku tak pernah bilang sama kamu Mbak. Takut kamu mikir  nanti. Tetapi hari ini aku melihat dia berboncengan mesra dengan teman kamu itu loh. Kalau nggak salah namanya Mbak Ririn."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status