Share

Semakin Ganjil

 Part 3

Semakin Ganjil

Saat ini aku tak sedikit pun ingin membalas pesan dari Ririn itu. Pikiranku justru langsung melayang pada Mas Herman. Apa iya suamiku itu menghianati janji suci pernikahan kami? Tetapi rasanya hal itu tak mungkin sekali, aku selalu menuruti semua yang dia mau. Jadi, rasanya tak ada alasan untuk dia bermain api di belakangku.

Kurasa saat ini aku harus menelepon Mas Herman, aku harus berbicara sedikit padanya. Sekedar untuk membuat hatiku tenang dan menghilangkan pikiran jelek ini. Tiga kali percobaan panggilanku, baru diterima oleh suamiku itu.

"Assalamualaikum. Kamu sedang berada dimana Mas? Kok sulit banget sih ditelepon," ucapku lembut seperti biasanya ketika memulai perbincangan melalui sambungan telepon ini.

"Lagi ngojek lah, Dek. Mau dimana lagi? Tadi saat kamu telepon aku lagi nganterin orang. Ini sekarang sudah balik ke pangkalan." Seperti biasa Mas Herman juga  selalu berkata lembut padaku.

"Oh begitu ... Gimana Mas, kerjaannya lancar bukan?"

Jujur saat ini aku bingung harus berkata apa pada Mas Herman. Karena ketika mendengar suaranya yang lembut, rasanya tak mungkin dia akan berubah yang macam-macam selama aku bekerja disinj.

"Ya lancar nggak lancar sih, Dek. Namanya juga jadi ojek online, nggak menentu gitu. Tetapi bukankah kata kamu kita harus selalu bersyukur?" 

"Benar sekali itu Mas. Dengan bersyukur pasti Allah akan menambahi rizki kita." Aku pun berkata dengan sopan dan lembut seperti biasanya.

"Amiiin. Oh iya, bagaimana kondisi nenek yang kamu rawat itu? Masih sehat bukan? Sekarang dia ada dimana?" Setiap aku menelepon memang Mas Herman selalu menanyakan hal ini.

"Alhamdulillah sehat, Mas. Saat ini beliau sedang istirahat siang. Makanya aku pun bisa istirahat saat ini. Kamu sudah makan?" 

Ingin rasanya aku saat ini menanyakan tentang Ririn, tetapi tak bisa. Tak mungkin juga bukan tak ada angin tak ada hujan aku menanyakan hal itu? Meski memang dulu ketika kami menikah, aku memperkenalkan dia pada Ririn.

"Sudah dong. Semoga saja nenek itu terus sehat ya, Dek, karena itu adalah pohon yang kamu. Oh iya, Dek. Seminggu lagi kamu kan gajian, jangan lupa kirimkan yang banyak ya. Kalau bisa sih kirimkan saja semuanya. Toh semua keperluan kamu kan sudah dipenuhi oleh majikan kamu bukan? Biar tabungan kita cepat terkumpul banyak gitu." Hal yang sama yang selalu dikatakan oleh Mas Herman ketika aku menelepon.

"Iya Mas. Aku pun ingin cepat memiliki banyak tabungan, sehingga bisa berkumpul dan segera program anak gitu Mas. Temanku saja sudah banyak yang memiliki anak loh. Kamu ingat si Ririn bukan? Yang dulu pernah aku kenalkan itu loh! Dia sudah melahirkan dan anaknya sangat menggemaskan sekali." Aku pun mulai memiliki cara untuk menyinggung masalah Ririn.

"Ririn? Siapa sih, Dek. Aku kok lupa ya? Dengan hal yang tak begitu penting seperti itu aku memang pelupa. Anak itu bisa belakangan, Dek. Yang terpenting itu kita punya segalanya dulu. Nanti jika kita sudah punya mobil dan juga bisa punya rumah sendiri, baru memikirkan soal anak. Karena punya anak itu kan membutuhkan banyak sekali biaya."

Selalu hal ini juga yang dikatakan oleh Mas Herman, setiap kali aku menyinggung soal anak. Meski sebenarnya hal ini sangat tak sesuai dengan hati nuraniku, tetapi nyatanya aku tetap ikut saja. Karena aku memang sangat mencintainya, jadi aku selalu meminimalkan pertengkaran. Apa lagi saat ini kami kan menjalani hubungan jarak jauh.

"Kenapa kamu diam saja Dek? Apa kamu tak setuju dengan apa yang baru saja aku katakan itu? Ah maafkan aku ya, Dek. Karena memang aku ini seorang suami yang tak baik untuk kamu. Kamu tahukan jika ibuku itu tak mau aku bekerja jauh? Jadi aku ya hanya bisa bekerja di sekitar sini saja." 

Mas Herman kembali berucap, dan hal ini juga salah satu senjata pamungkas dia memang, yang selalu saja sukses membuat hatiku luluh. Mertuaku seorang janda, yang sama dengan ibuku yang juga seorang janda. Bedanya aku memiliki dua orang adik, sedangkan Mas Herman adalah anak tunggal.

Suamiku itu sangat dekat pada ibunya, hingga terkesan seperti anak mami. Ibunya memang tak pernah ingin jauh dari Mas Herman. Tetapi itu adalah sebuah resiko bagiku, ketika kita mencintai seseorang, bukankah kita harus bisa mencintai keluarganya dan juga menerima segala kekurangan dia?

"Aku setuju kok, Mas. Tadi hanya berpikir tentang anak saja kok. Aku sebenarnya sangat ingin---"

Perkataanku itu terhenti, ketika terdengar lirih suara wanita yang memanggil dengan manja. Sungguh aku bisa mendegar suara itu meski pelan sekali.

"Yank ... ayo!" Seperti itu lah yang kudengar.

"Suara siapa itu Mas?!" Langsung saja kutanyakan hal ini pada Mas Herman, yang beberapa saat tadi terdiam.

"Su-suara? Suara apa sih Dek?" Jika tak ada yang tak benar, kenapa Mas Herman terdengar gugup seperti ini?

"Suara wanita yang memanggil kamu dengan sebutan Yank, itu!" ucapku dengan cepat, menghalau pikiran yang langsung saja buruk ini.

"O ... Oh itu tadi suara teman sesama ojek online. Biasalah mereka kan senang sekali bercanda dan mengganggu. Mereka kan tahu jika saat ini kita sedang LDR, jadi mereka suka usil saja gitu. Hehehe."

Beberapa saat aku terdiam, memikirkan apa yang baru saja diucapkan oleh Mas Herman itu. Memang kadang hal itu benar juga, mungkin aku memang yang terlalu berpikiran buruk.

"Tolong jangan berpikiran buruk pada aku ya, Dek. Aku ini selalu menjaga janji suci kita kok. Kamu disana kerja yang tenang ya , jangan berpikir yang aneh-aneh. Kita sama-sama kerja agar segera menjadi kaya.  Bukankah itu adalah tujuan kita berdua? Kamu percaya kan sama aku?" Seakan bisa mengerti apa yang saat ini aku rasakan, Mas Herman pun berkata seperti ini.

"Maaf ya Mas, jika tadi aku memang sempat berpikir yang buruk pada kamu. Hehehe. Namanya juga sebuah hubungan jarak jauh, kadang sedikit saja hal bisa memantik masalah. Aku percaya kok jika kamu tak mungkin menghianati janji suci kita." Saat ini tak ada salahnya kurasa kembali berpikir positif.

Oek Oek Oek

Keinginanku untuk berpikiran positif seketika berubah, ketika mendengar suara tangisan bayi itu. Apa lagi kini Mas Herman malah langsung mengakhiri panggilan ini tanpa salam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status