Bianca meninggalkan kerumunan di belakang punggungnya dengan wajah dingin.
“Apa kita nggak apa-apa begini?” tanya Sandra dengan kening sedikit berkerut cemas. Terlebih saat melihat Fuadi pingsan karena syok saat melihat foto-foto putrinya sendiri.
“Kenapa kamu jadi kasihan sama mereka?! Ini harga yang pantas buat membayar pengkhianatan mereka! Bahkan mungkin kurang!” Seperti biasa, Tini menimpali menggebu-gebu. Ia bahkan sengaja meletakan tumpukan foto lainnya di meja penerima tamu, membuat tamu-tamu yang duduk di luar tenda mendapatkan akses yang lebih mudah untuk melihat foto-foto itu.
Mike, sudah berdiri di samping Pandu yang kedua tangannya terikat cable ties. Bianca menatap wajah Pandu sekilas. Dulu, mereka pernah berpapasan beberapa kali, walau bagaimana pun ia adalah salah satu anak buah kepercayaan suaminya. Mereka pernah berhubungan baik, sebaik hubungannya dengan Dandy dulu.
Bianca mel
“Bu Bianca! Bu Bianca! Bangun!”Bianca mengerjap sekali. Kelopak matanya begitu berat dan basah. Bau bensin dan darah bercampur jadi satu. Bianca mencoba membuka mata, tapi sengatan nyeri di kepalanya langsung membuat wanita itu mengerang.“Bu Bianca? Ibu bisa dengar saya?”Perlahan sekali, Bianca mulai membuka mata, meski masih dengan sengatan nyeri yang sama. Bayangan Pandu masih terlihat kabur di hadapannya.“Syukurlah,” ujar pria dengan luka di bahu dan kepalanya itu. “Kita harus keluar sekarang,” katanya, mencoba membuka pintu Bianca yang tertutup dahan kayu.Mobil mereka terbalik setelah berguling beberapa kali menuruni jurang. Kini Bianca tergantung terbalik di kursinya. Ia melirik Mike yang terbaring telungkup di luar mobil, lalu menoleh ke belakang, tempat Tini dan Sandra yang menumpuk dengan posisi aneh karena tidak menggunakan sabuk pengaman. Hanya Pandu yang tad
Beberapa hari sebelumnya. “Apa ini bantuan yang dulu kamu minta?” Sheila berdiri di ambang pintu ruang perawatan Kakaknya dengan pandangan nanar. “Supaya aku diam dan nggak menuntut waktu kamu mengambil semuanya?” tanya Sheila getir. Bianca diam. Keheningan yang canggung memenuhi udara di sekitar mereka. “Ya.” Jawaban singkat Bianca membuat Sheila kembali menertawai dirinya sendiri. “Sini, Shei, masuk dulu.” Tini mencoba mendekati gadis itu. “Kayaknya nggak perlu.” Sheila berkata dingin. “Aku datang buat melihat Kakakku yang sekarat, mungkin aku harus kasih beberapa kata terakhir, tapi ternyata sekarang persiapan kata-kataku nggak diperlukan. Jadi, lebih baik aku pergi.” “Shei, kami juga kaget, tapi ini memang rencana yang terbaik sekarang. Kalau ada yang tau Bianca masih sehat, mereka pasti nggak akan tinggal diam,” bujuk Tini. “Rencana,” gumam Sheila pelan. Ia menghela napas panjang, lalu mengang
Indra berdiri di samping jurang. Di antara rimbun pepohonan di hadapannya, ada satu sisi yang kini sudah koyak, tergilas oleh dorongan mobil yang melaju cepat dengan kecepatan penuh. Di aspal, tersisa noda hitam jejak ban mobil yang terbanting ke kiri, lalu menerjunkan diri ke dalam jurang. Ia bisa membayangkan kepanikan semua orang di dalam mobil itu. Hingga akhirnya mobil itu terbanting keluar jalur penurunan karena menabrak batu yang cukup besar, lalu berguling beberapa kali hingga berakhir terbalik di ujung jurang. Dari tempatnya berdiri, Indra bisa melihat bangkai mobil itu di balik rimbun dedaunan. Butuh beberapa waktu hingga pertolongan datang dari warga sekitar karena sepinya orang yang melewati jalan itu. Dan, Indra sama sekali tidak terkejut saat mengetahui orang-orang Damian yang datang terlebih dahulu dari pada warga sekitar. Polisi mengatakan 3 orang korban tewas di tempat, dan 1 orang kritis. Namun, tentu saja itu
“Indra kenalin, ini Bianca dan Sheila.”Pagi itu, tidak seperti biasa, kakeknya menyuruh Indra menggunakan kemeja dan celana terbaiknya. Ia bahkan membelikan Indra sebuah sepatu baru.Sejak kecil, Indra memang terkenal sebagai anak yang pintar dan rapi, tapi hari itu terasa sangat spesial.Kakeknya sendiri yang membantu Indra memilihkan kemeja, ia meminta pelayan menyetrika celananya dua kali demi menghapus kerut yang ada di ujung celananya. Indra pikir, mereka akan bertemu dengan presiden atau pejabat setempat melihat bagaimana ia dan Kakeknya berpakaian.Namun, ternyata mereka hanya memasuki sebuah rumah dengan selusin pelayan.Rumah itu megah bak istana, dengan air mancur yang lebih indah dari pada air mancur yang ia lihat di taman kota. Rumpun mawar berbagai warna memenuhi sudut-sudut taman yang berhias patung-patung malaikat kecil berwarna putih.Mungkin di dalam sana ada ratu dan raja, pikir Indr
“Selamat pagi, saya Nindi yang kemarin sudah membuat janji.” “Oh, iya Kak Nindi, silakan ruang VIPnya sebelah sini.” “VIP lohh?? Keren banget, Nin!” desis Risti tak tahan. “Silakan tunggu sebentar, Bu Anyelirnya sedang bersama tamu sebentar.” Nindi mengangguk sopan, menirukan gerakan-gerakan yang biasa Bianca lakukan. Anggukannya, cara bicaranya, senyumannya, meski wanita itu adalah musuh besar Nindi, tapi ia ingin meniru segala sesuatu tentang Bianca. “Ehhhh kita dilayanin langsung sama Bu Anyelir? Sumpah keren banget!” pekik Risti girang. Risti berkeliling dengan mata berbinar dan mulut ternganga, tidak menyangka bisa melihat gaun-gaun indah itu secara langsung. “Lebay banget deh,” gumam Jessica, menghempaskan tubuhnya ke sofa yang ada di ruangan itu. Seorang petugas lain datang membawakan minuman untuk mereka berempat. “Bagus nggak, Ris?” tanya Nindi, mengambil salah satu gaun yang tergantung l
“Kamu yakin?” Jeremy menatap cemas wajah cantik di hadapannya. “Ini seperti sebuah pertandingan dengan kemenangan semu. Mungkin kamu bisa memenangkan semuanya, dan berdiri dengan mahkota di kepalamu. Tapi, itu hanya akan menjadi sebuah kemenangan semu. Sekilas, kamu memang menang, tapi kamu akan kehilangan hal berharga lainnya, Bi. Karena tidak ada yang gratis di dunia ini.” Saat itu, Bianca masih dipenuhi rasa percaya diri yang membuatnya yakin ia bahkan bisa menggenggam dunia jika ia ingin, ia hanya tertawa mendengar kecemasan dari pria tua di hadapannya.“Terkadang berdiri di tempat yang tinggi akan membuatmu dikelilingi begitu banyak orang, tapi kamu tetap kesepian. Karena salah satu syarat utamanya adalah, kamu harus hidup tanpa kelemahan dan emosi apa pun.”Kini, setelah semua yang Bianca alami, ia mulai mengerti maksud kata-kata Jeremy. Dan akhirnya Bianca tau apa
Risti terbelalak kaget saat melihat ballroom hotel yang menjadi venue acara ulang tahun PT. Peruka cosmetics malam itu. Ia datang bersama Vira dan Jessica dengan undangan yang diberikan Nindi tiga hari sebelumnya.“Eh, si artis itu kan???” bisik Risti saat melihat seorang artis cantik dengan gaun berwarna hitam dengan belahan dada yang rendah melenggang di hadapan mereka.“Iya, dia kan brand ambasadornya.” Vira yang menjawab sambil mengedarkan mata ke sekeliling ballroom, mencari meja dengan nama mereka.Seorang pelayan berseragam menghampiri, Vira memberikan undangannya agar pelayan itu bisa menemukan meja dengan nama mereka.“Hai! Akhirnya kalian datang!” sapa Nindi“Wow.” Risti berdesis kikuk saat Nindi sudah berdiri di depan meja mereka. Bustier dress berwarna merah muda menyala milik Nindi jelas mengundang banyak mata untuk mendelik. Gaun off shoulder i
“Anggap ini kebaikan terakhir darinya.” Suara itu terdengar begitu dingin. “Pergi sejauh mungkin, jangan pernah kembali, dan anggap kakakmu sudah mati.”Dinda menelan ludah susah payah.“APA-APAAN ITU?! KENAPA IBU HARUS ANGGAP DANDY MATI?! DIA MASIH HIDUP DAN SEKARANG SEDANG MERAUP KESUKSESANNYA!” Laksmi berteriak kesal saat mendengar suara di ponsel putrinya. Siapa juga yang berani memintanya untuk pergi meninggalkan gunungan emas yang ada di pelupuk mata?“Bu!” Dinda membentak Ibunya yang sudah menggunakan gaun pesta yang begitu indah, siap menghadiri acara ulang tahun perusahaan putranya. Sejak mendapatkan undangan dari Dandy, Laksmi selalu memamerkannya kepada semua orang. Ia sudah tidak sabar untuk menghadiri acara itu sebagai salah satu tamu kehormatan sebagai ibu dari pembisnis yang handal.Akhirnya, semua kepayahan setelah mengurus dua anak yang tidak benar-benar ia harapkan kini me