"Apakah bapak sakit?" Pertanyaan Benji menyentak lamunannya. Langit menoleh dan menatap Benji yang sudah berdiri di sampingnya. Ia membenarkan duduknya seraya menggeleng kepalanya. "Tidak. Aku tidak apa-apa." "Saya lihat, sejak tadi bapak diam saja. Apakah ada yang bapak pikirkan." Benji, asisten pribadi merangkap sepupu Langit yang sudah bekerja padanya sepuluh tahun terakhir, tentu pria itu tau jika bosnya sedang galau. Langit mengusap wajahnya kasar. "Entah kenapa aku masih kepikiran wanita tadi," jawabnya tidak bisa berbohong. "Wanita di hotel tadi siang?" Langit mengangguk. Benji diam sejenak. "Kata security, mereka sempat membuat keributan dan mengganggu pengunjung lainnya." Langit menatap Benji penasaran. "Lalu bagaimana dengan wanita tadi? Apakah ia baik-baik saja?" Benji tersenyum tipis melihat raut kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Langit. "Wanita itu pergi dengan saudara laki-lakinya, meninggalkan suaminya bersama selingkuhannya."
Seketika Senja merasa terbakar hatinya saat tangan Sherly bergelayut manja di lengan suaminya. "Lepaskan tangan terkutukmu itu dari lengan suamiku, Sherly," tegas Senja penuh penekanan di setiap kalimatnya. Bukannya takut, Sherly semakin mengeratkan pelukannya seraya tersenyum jumawah memprovokasi Senja. Ini kesempatan baginya untuk membuat Han langsung menceraikan Senja saat ini juga. "Kenapa, Nja? Kamu tidak suka?" Sherly tersenyum meremehkan. "Kamu tau 'kan kita sudah bertukar keringat bersama di atas ranjang, jadi apa salahnya jika aku hanya merangkul lengan suamimu." "Tutup mulutmu, Jalang!!" sentaknya penuh emosi. Bahkan ia sudah tidak perduli jika Han mencap-nya sebagai istri yang kasar. "SENJA, JAGA MULUTMU!!!! SHERLY BUKAN JALANG!!" bentak Han penuh emosi. Senja tersenyum penuh ironi. Hanya karena Sherly, Han berani membentak setelah apa yang ia lakukan untuk pria itu. "Kamu membela jalang ini, Mas?" Senja bertanya dengan nada l
Semalaman Senja hanya menangis dalam doanya. Ia menggelar sajadah dan menumpahkan segalanya di dalam sujudnya. Meminta pertolongan dan keikhlasan dalam menjalani takdirnya. Setelah sholat subuh, Senja melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dapur, sudah ada mbok Asih yang tengah menyiapkan sayuran. "Bu Senja," mbok Asih menunduk sungkan saat melihat mata sang majikan yang bengkak dan memerah. Bukan ia tidak tau. Bahkan dia melihat sendiri jika majikan pria yang selama ini ia kenal baik dan lembut, berubah menjadi pria kasar dan pemain wanita. "Selamat pagi, Mbok," sapa Senja ramah dengan senyuman manisnya. Saat ia akan mengupas wortel, dengan cepat mbok Asih melarangnya. "Biar mbok saja yang mengerjakan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar." "Kenapa, Mbok? Aku hanya ingin membantu." "Jangan, Bu. Lebih baik ibu istirahat saja di kamar. Kasihan semalam ibu tidak tidur." Senja baru tersadar dengan kalimat mbok Asih. "Mbok Asih melihatny
"Ini laporan yang bapak inginkan kemarin." Benji menyerahkan berkas itu di atas meja Langit, yang langsung diraih pria itu. Langit menghela nafas. Matanya sekilas melirik Benji yang berada di sampingnya. Perlahan ia membaca dengan seksama. Keningnya berkerut, tak lama kemudian air mukanya berubah seperti hendak marah dengan gigi yang menggertak geram. "Wanita baik-baik memang tidak pantas bersama pria brengsek seperti dia." Benji mengangguk, mengerti apa yang dimaksud oleh Langit. "Seharusnya pria seperti itu berakhir di tempat sampah. Sama seperti yang pria itu lakukan dengan wanita selingkuhannya. Sampah memang harusnya bersama sampah juga." "Lalu apa yang harus kita lakukan, Pak? Bukankah bapak sudah tidak sabar ingin meminangnya menjadi istri bapak?" goda Benji dengan senyum tertahan. Benji ikut bahagia saat rasa ketertarikan Langit pada wanita akhirnya muncul kembali setelah lama hilang. Langit menoleh sebentar. Kemudian menatap ke depan dengan senyum tip
"Senja!! Senja!!" Han mencoba untuk menghentikan Senja yang hendak masuk ke mobil. Dia menyeret tangan Senja hingga Senja hampir saja jatuh tersungkur. "Apalagi sih, Mas? Kenapa kamu melarangku pergi?" hardik Senja. Habis sudah kesabaran Senja selama ini. Bahkan, ia sudah tidak peduli saat ada beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja membawa Bina. Dia juga anakku." Han hendak meraih tangan Bina, tapi dengan cepat Senja menepisnya. Ia membawa Bina ke belakang tubuhnya, melindungi dari papanya yang hendak meraihnya. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyerahkan Bina padamu, Mas. Aku tidak rela jika dia hidup bersama jalang itu. Aku tidak rela, Mas!!" Semakin banyak orang yang menatap ke arah mereka. Bahkan ada beberapa orang yang berani mendekat, seolah ingin melerai. Tapi lebih dominan rasa keingintahuan yang tinggi dengan masalah mereka. Mendengar itu, tentu saja Sherly tidak bisa menerimanya. Ia mengambil kesempatan emas ini untuk me
"Bercerai, Bu?" Fatimah mengangguk. "Iya, Nja. Buat apa mempertahankan pria yang dengan mudahnya menduakan istri yang sudah menemaninya dari Nol hanya untuk wanita yang baru ia kenal?" Fatimah menghela nafas berat. Nampak ia juga memikirkan nasib putrinya. "Jangan kira ibu tidak tau bagaimana kata-kata kasar yang diucapkan Han padamu, Nja. Ibu tau semuanya." "Mas Riki yang bilang sama ibu?" Fatimah hanya diam. Tapi Senja tau jawaban keterdiaman ibunya. Memang Han sangat keterlaluan saat mengatakan alasan ia selingkuh. Sebagai wanita dan seorang istri, tentu ia sangat sakit hati. Dan mungkin benar apa yang dikatakan ibunya, lebih baik ia berpisah. "Jangan ragu. Ibu akan mendukungmu. Masalah Bina, biar kita yang jaga. In Shaa Allah dia akan baik-baik saja walau tanpa papanya. Jika Bina tau papanya seperti itu, ia akan lebih tersakiti." Senja mengangguk mantap. Ia sudah tidak ragu lagi untuk berpisah dari Han karena restu ibunya bersamanya. Memang Ibu mana ya
"Mau ngapain kamu kesini, Mas? Apa belum puas kamu menyakiti aku?" Dada Senja bergemuruh saat melihat pria yang telah menyakitinya kembali hadir di depan matanya. Entah apa yang di inginkan Han darinya. "Aku hanya ingin kamu kembali ke rumah, Nja." "Rumah mana yang kamu maksud, Mas?" tanya Senja dengan nada mengejek. Bahkan, sampai Han bersujud di kakinya pun, ia tidak akan sudi menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. "Rumah kita, Nja." Senja pura-pura terkejut. "Oh, ya. Rumah kita, Mas? Bukankah rumah itu sudah milik Sherly sekarang? Lalu mau ngapain lagi ke sini, Mas? Sampai kapanpun, aku tidak akan ke rumah itu lagi." Saat Senja akan menutup pintunya, Han menahan pintu itu dengan kakinya. Hingga pintu itu tidak bisa tertutup sempurna. "Tolong izinkan aku meminta maaf, Nja. Aku ingin kita rujuk," pinta Han seraya menahan pintu itu. Senja diam saja dan berusaha untuk menutup pintu itu rapat. Tapi apa daya, tenaganya tak cukup besar melawan tenaga H
Langit menyambut pelukan itu disertai cium pipi kanan dan kiri. Tentu, Melissa risih melihatnya. Apalagi saat mereka berdua tadi, langit sama sekali tidak menunjukkan senyum lebarnya. Dan tak mengapa saat bertemu dengan pria gemulai itu langit terlihat sangat bahagia. "Apa jangan-jangan?" Melissa menebak sendiri dari cara interaksi keduanya. Karena dunia ini sudah semakin tua rumah banyak pria tampan yang juga menyukai sesama jenis. "Apa kalian sepasang_" "Iya," jawab mereka serentak. Membuat Melissa seketika merinding. "Ayo duduk sebentar. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya," ajak Langit pada pria itu. "Ah, terima kasih, Langit." Melissa mual saat melihat pria gemulai itu. Ia ingin pergi, tapi masih ia tahan. Ia berharap jika ini hanya mimpi, tidak nyata. "Bagaimana kabarmu, Say? Aku dengar kamu mau menikah ya?" Langit berdehem seraya melirik Melissa. Ia tersenyum tipis. "Iya. Sama dia." Melissa terlihat sumringah. "Ternyata itu hany