Pelakor Itu Tanteku"Fadil, ayo ikut Mama kerja, Nak!" ajakku dengan rasa sakit atas perlakuan papanya padaku.Aku memesan taksi online untuk berangkat ke toko, sedangkan Mas Pram balik lagi ke kamar.Tidak berapa lama taksi online yang kupesan akhirnya datang. Aku segera mengajak Fadil masuk ke dalam taksi tanpa berpamitan lebih dulu pada Mas Pram. Takutnya dia akan merasa terganggu dan marah-marah lagi.Aku menarik napas dalam dan menghembuskan pelan. Tanpa disadari air mata pun mengalir dengan sendirinya. Hatiku terlalu sakit atas sikap Mas Pram yang begitu kasar.Kenapa cobaan rumah tanggaku dengan Mas Pram begitu berat?Getaran ponsel yang ada di genggamanku mengalihkan pikiran. Dengan semangat segera melihat siapa yang menelepon, berharap Mas Pram yang menghubungiku untuk meminta maaf.Ternyata, Panji?"Assalamu'alaikum, hallo, Nji," jawabku sembari menyeka air mata."Kita jadi ketemuan di toko atau dimana, Fa? Sorry, aku telepon kamu. Soalnya dari tadi Pram aku hubungi tidak di
Pelakor Itu Tanteku"Aku pulang, ya, Fa. Kamu harus kuat. Apa yang dilakukan tantemu pada Pram tidak akan bertahan lama. Percayalah.""Makasih, ya, Nji," jawabku berusaha tetap tersenyum meski terasa berat.Rasanya aku tidak ingin Panji cepat-cepat pulang. Aku butuh seseorang yang bisa memberi semangat dalam situasi seperti ini. Tapi, tidak mungkin juga aku melarang Panji pulang.Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar dan beranjak dari tempatku berdiri setelah Panji pergi."Ayo, Fadil, kita masuk."Tiba-tiba bocah polos yang aku gandeng melepaskan tangannya dan lari begitu cepat. Pandanganku terus tertuju ke mana Fadil berlari. Aku khawatir dia akan terjatuh. Tiba-tiba Fadil menuju ruang di mana papanya sedang duduk di sana.Aku terus mengikutinya. Langkah yang tadinya cepat seketika kupelankan. Aku melihat Fadil mendekati papanya dan meminta pangku dengan manja. Tetapi Mas Pram tidak menanggapi sama sekali. Dia membiarkan Fadil yang masih terus berusaha manja padanya. Hatiku sanga
Pelakor Itu TantekuBraaakDorongan kuat membuatku terhempas ke pintu gerbang."Pram." Terdengar teriakan dari luar pintu gerbang.Dengan bahu yang sedikit nyeri karen terkena pojokan besi, kuarahkan pandangan keluar.Panji?Aku hanya diam tanpa bisa berkata apa-apa. Semua perasaan terluka berkecamuk di dalam dada. "Fa, tolong buka gerbangnya!" seru Panji.Aku menggelengkan kepala memberi jawaban atas permintaan Panji. Kalau aku membuka pintu gerbang, pasti Mas Pram akan langsung nyelonong pergi.Mas Pram menatapku bak singa ingin menerkam mangsa. Sejujurnya aku takut kalau dia akan berbuat lebih kasar lagi."Mana kuncinya, jangan sampai batas kesabaranku habis," ucapnya. Aku berusaha menepis rasa takut atas perlakuan kasar Mas Pram. Kaki'ku melangkah mendekatinya. PLAAKKKTamparan keras akhirnya kulayangkan di pipi Mas Pram. "Aku tahu saat ini kamu sedang tidak sadar melakukan semua ini, Mas. Tapi sikap kasarmu tidak akan kubiarkan."Kedua tangan Mas Pram sudah mengepal. Mungkin
Pelakor Itu Tanteku"Kalau diizinkan, sementara waktu Mas Pram biar tinggal di sini dulu. Saya akan membersihkan pengaruh negatif yang sudah dikirim seseorang pada dirinya saat ini," terang pamannya Panji."Ini maksudnya apa? Pengaruh negatif apa?" tanya Mas Pram dengan nada tinggi.Kami semua hanya saling memandang mendengar pertanyaan dari Mas Pram. "Berapa lama Ustadz, Mas Pram harus tinggal di sini?" tanyaku memastikan."Kurang lebih dua Minggu, Mbak. Biar hati dan pikiran Mas Pram juga tenang."Ayah dan Ibu menatapku, sepertinya mereka setuju dengan usulan Ustadz."Baiklah, Ustadz, kalau itu memang yang terbaik untuk Mas Pram.""Apa maksud kamu, Sifa? Kenapa aku harus tinggal di sini?" Raut wajah Mas Pram tersirat kegelisahan.Kenapa rasanya begitu berat meninggalkan Mas Pram di sini? Hatiku begitu tidak tenang. Harusnya aku mendukung akan hal ini.Mas Pram terus menatapku, terlihat jelas kalau dia tidak menginginkan hal ini. Maafkan aku, Mas. Semua demi kebaikanmu juga."Mau d
Pelakor Itu TantekuPOV PanjiPerempuan itu memang tidak bisa kulupakan. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dan sekalinya bertemu lagi, ternyata dia sudah menikah dengan teman kuliahku, Pram.Dari awal tidak ada niat sedikitpun untuk merebut dia dari temanku sendiri. Namun sebuah kesempatan membuat diriku tidak ingin menyia-nyiakannya.Aku memang pernah suka dengannya, sebuah rasa yang tumbuh ketika kita masih ABG. Kalaupun cinta, bisa disebut hanya cinta monyet. Berkali-kali aku mengirim surat padanya, tapi tak ada satupun yang dibalas. Dia memang salah satu primadona di SMP kami. Tetapi perasaanku dulu padanya masih tetap ada.Sifa, perempuan yang bisa menarik hati setiap lelaki yang memandangnya. Dia memang perempuan yang sederhana, tidak neko-neko seperti perempuan kebanyakan. Dan dari dulu tidak berubah. Dengan kesederhanaannya saja, dia terlihat begitu menarik dan anggun. Pria manapun tidak mungkin bisa menolaknya.***"Eh ... ngapain, Mbak, mengendap-endap di depan rumah
Pelakor Itu TantekuPagi yang seharusnya menjadi pagi paling membahagiakan. Di mana semua keluarga berkumpul. Tetapi hal itu tidak kurasakan, karena Mas Pram tidak ada di tengah-tengah kami."Fa. Mendingan kamu berangkat ke toko saja, daripada banyak pikiran di rumah! Lagian Fadil banyak yang jagain. Kamu bisa fokus dengan kerjaan di toko," ucap Mbak Indah yang mendekatiku di ruang depan."Ngga tahu lah, Mbak. Pikiranku masih fokus dengan Mas Pram.""Pram 'kan sudah ditangani sama Ustadz, kamu tenang, Fa!"Harusnya aku memang tenang, tapi entah kenapa perasaanku masih saja cemas. Apa mungkin karena aku tidak terbiasa tanpa Mas Pram? Hmhh ....Ada baiknya kalau aku berangkat ke toko saja. Daripada kepikiran Mas Pram terus di rumah. "Mbak, Sifa siap-siap dulu, ya. Mau ke toko.""Nah, gitu, Fa. Semangat!"Aku pun berlalu meninggalkan Mbak Indah sendirian dan masuk ke kamar untuk ganti baju serta menyiapkan semua yang harus dibawa. "Semuanya, Sifa pamit ke toko dulu, ya. Sifa titip Fadi
Pelakor Itu TantekuSedikitpun tak kualihkan pandangan ini dari Panji. Aku merasa ada yang aneh dari sikapnya, apalagi setelah mendengar dia menyebut tanteku dengan sebutan 'Lili' seakan-akan begitu akrab. "Ngga enak banget lho, diliatin sampai segitunya," ucap Panji dengan memberi senyum tipis."Kamu sedang tidak menyembunyikan sesuatu dariku 'kan?" tanyaku tanpa basa-basi.Panji terdiam sejenak."Maksudmu aku berbohong?""Aku ngga bilang kamu berbohong. Memangnya kamu sedang berbohong?" Kuputar balik ucapan dari Panji.Suasana jadi terasa tegang dan kaku. "Ini sudah sampai pertigaan lho, Fa. Masa iya, kamu mau ngeliatin aku terus seperti itu?" terangnya dengan mengalihkan pertanyaan.Ekhem ... seketika pandangan kualihkan ke depan. "Kita berhenti di depan Coffee Shop."Hmhh ... sudahlah, lebih baik aku fokus soal Tante Lili dulu. Sudah terlalu banyak masalah yang aku hadapi saat ini."Makasih. Aku turun dulu, Nji."Aku langsung turun menuju Coffee Shop tempat ketemuan dengan Tant
Pelakor Itu Tanteku"Sudah pindah? Mak - maksud Bapak bagaimana, ya?" tanyaku pada seorang Bapak yang mengaku pemilik rumah yang di tempati pamannya Panji."Iya Mbak, mereka cuma nempatin rumah ini untuk satu bulan saja, tapi belum ada seminggu mereka sudah mengosongkan rumah ini. Kelihatannya mereka buru-buru."Tubuhku rasanya begitu lemas. Entah apa maksud dengan semua ini. Aku takut. Benar-benar takut."Ba - Bapak tahu dengan Ustadz yang menempati rumah ini?""Ustadz, Mbak? Saya malah tidak tahu kalau ada Ustadz. Saya permisi dulu, Mbak."Aku langsung berlari menuju mobil, di mana semua keluarga ada di dalam."Kenapa, Fa? Kenapa kamu terlihat bingung seperti itu?" tanya ayah dengan wajah penasaran."Sifa harus segera telepon Panji, Yah."Dadaku terasa bergemuruh dengan begitu banyak pertanyaan yang bergelayut dalam pikiran.Aku harus segera menelepon Panji. Apa maksud dari semua ini? Dengan cepat kutekan nama Panji dalam ponselku. "Panji, kamu di mana sekarang?" tanyaku tanpa mem