"Juna, jangan bilang dia ini istrimu. Ck! Seleramu rendah sekali!"
Sontak aku mendongak kaget mendengar suara nyaring itu. Seorang wanita cantik dengan pakaian kurang bahan melangkah mendekat. Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya tajam ke arahku. Mas Juna, suamiku, hanya tertawa kecil. "Hanum, jangan bercanda. Wulan ini istriku." "Ah, aku kira kamu masih sendiri." Aku hanya tersenyum meski hati terasa berdesir. Wanita ini siapa? Kenapa memandangku seperti musuh? "Wulan, kenalkan ini sahabat Mas, namanya Hanum," ucap Mas Juna memperkenalkan diriku padanya. Apakah pakaian yang ia kenakan tidak terlalu terbuka untuk sekedar acara reuni sekolah seperti ini? Bagian da danya dibiarkan terekspos, juga lengan mulus hingga keti aknya terlihat jelas. Apa dia tidak masuk angin nantinya memakai pakaian seperti itu? Apalagi malam ini cuacanya cukup dingin. "Hai, Mbak. Namaku Wulan." Aku menyapa terlebih dahulu seraya mengajaknya bersalaman. "Hai," sahutnya sangat singkat. Tangan mulusnya menyambut uluran tanganku sekilas. Ya, hanya sekilas saja. "Ya sudah kalian ngobrol dulu, ya. Aku mau ke toilet sebentar," ucap Mas Juna lalu ia berbalik hendak melangkah meninggal aku dan perempuan yang dia bilang sahabatnya ini. "Hei, tunggu dulu." Tiba-tiba Hanum menggapai telapak Mas Juna dan menggenggamnya. "Mau ditemenin gak?" sambungnya bernada manja. Apa katanya? Temenin? Seorang wanita menawarkan diri menemani seorang laki-laki ke toilet. Apa tidak salah? Aneh sekali. "Eits, sekarang udah enggak lagi. Udah berani dong," sahut Mas Juna yang mempertegas bahwa Hanum memang pernah menemaninya ke toilet. Dan yang membuatku semakin heran, Mas Juna diam saja saat tangannya digenggam. Bahkan yang aku lihat, dia justru balik menggenggam tangan perempuan itu. "Ehm! Sepertinya aku juga ingin ke toilet, Mas. Aku ikut ya. Nanti kamu antar aku ke toilet wanita terlebih dahulu." Tidak hanya menggenggam, aku bahkan mengapit lengan Mas Juna, mempertegas bahwa aku lebih berhak atasnya. Berhasil, akhirnya genggaman itu terlepas. Tangan yang semula wanita itu kuasai, kini berpindah mengelus pucuk kepalaku yang tertutup hijab. "Iya, boleh. Yuk," ucapnya. Kulirik Hanum mencebik kemudian tersenyum miring. Aku tak peduli. Aku mengayunkan langkah mengikuti Mas Juna dengan tangan yang masih mengapit lengannya. *** "Gimana rasanya nikah sama Arjuna?" Saat aku sedang membetulkan hijab di depan cermin, Hanum tiba-tiba muncul entah dari mana arahnya. Yang pasti, tiba-tiba saja dia sudah berada di belakangku. "Alhamdulillah bahagia. Mas Juna orang yang romantis dan penyayang," sahutku seraya melirik padanya. Hanum berdiri tepat di sampingku. Melihatku dari balik kaca dengan tatapan sedikit tajam lalu tersenyum miring. "Romantis? Tentu saja. Aku pernah merasakannya." "Merasakannya?" Aku mengulang kata terakhir yang dia ucapkan sebagai tanya. Meskipun agak aneh sebab dia cuma sahabat Mas Juna. Atau mungkin dia mempunyai rasa yang lebih? Atau jangan-jangan ... "Iya. Aku satu-satunya sahabat perempuan yang dia miliki. Dia sangat perhatian dan sayang sama aku. Hampir tiap hari dia menjemputku ke sekolah dengan sepeda motornya. Kalau malam Minggu kita juga jalan bareng," terangnya sambil tersenyum bangga. "Oh, ya? Waw, ternyata aku menikahi pria yang tepat, ya? Kamu saja sampai baper. Padahal kamu cuma temen loh, apalagi sama aku yang notabenenya adalah orang yang dicintainya." Skakmat. Aku ingin menyadarkan dia bahwa akulah orang yang berhak mendapatkan kasih sayang Mas Juna sekarang dan selamanya. "Hem." Dia terkekeh kecil. "Yakin dia tulus padamu? Pernikahan kalian baru menghitung bulan loh." Benar. Aku dan Mas Juna memang baru dua bulan menikah. Itu pun jalan ta'aruf. Tak ada perkenalan khusus sebelum akhirnya kita memutuskan untuk menikah. Aku hanya yakin dengan kekuatan do'a yang ku panjatkan setiap malam untuk diberikan jodoh yang sholeh, dan pasti Allah kabulkan. Dengan jalan mempertemukan aku dan Mas Juna hingga kami akhirnya menikah, aku percaya ini memang yang terbaik untukku. "Kamu pasti ragu 'kan? Berapa lama kamu kenal dengannya?" Hanum kembali melontarkan tanya karena aku hanya diam. Aku segera menyadarkan diri dan menanggapi wanita bergaun merah yang terekspos dada dan punggungnya ini. "Oh, tidak. Aku tidak ragu sama sekali. Mas Juna adalah jawaban atas do'a yang aku minta, dan aku tidak pernah meragukan kuasa Allah. Jika dia bukan jodoh terbaikku, Allah tak mungkin menyatukan kami." Aku mengucapkannya sambil tersenyum manis. Senyum manis melebihi gula. "Percaya diri sekali kamu. Memangnya semua yang Tuhan berikan pada manusia itu adalah sebuah jawaban do'a? Bisa saja 'kan justru itu sebuah ujian? Siapa tahu suatu saat kalian bercerai." "Kamu benar, Mbak, tapi aku juga percaya bahwa setiap ujian yang Allah berikan sudah sepaket dengan jalan keluarnya. Jadi, aku rasa terlalu pendek jika kamu langsung mengarah ke perceraian. Setiap manusia hidup apalagi sebuah pernikahan memang selalu ada aja ujiannya, Mbak." Aku semakin tersenyum manis, sementara dia mulai berekspresi tak suka. Hanum menghidupkan keran di depannya lalu mencuci tangan, kemudian setelah selesai dia menghadapku. Aku ikut menghadapnya. Kini kami saling berhadapan. "Kita lihat saja sampai mana kamu akan bertahan dengan ujian itu. Aku dan Juna sudah saling mengenal lebih dari enam tahun, dan hanya aku yang paling mengerti bagaimana dia. Dan aku pastikan, hanya aku yang bisa membahagiakan dia, bukan kamu!" Ciprat! Dengan tidak sopan dia mencipratkan sisa air yang menempel di tangannya pada wajahku hingga mataku reflek terpejam, lalu dia melenggang pergi begitu saja tanpa rasa bersalah. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Begini kah sahabat suamiku yang sering ia ceritakan padaku akhir-akhir ini? Hem ... Baiklah, sepertinya aku juga akan senang bermain dengannya. . ."Seharusnya aku memukul kepalamu itu dengan batu biar sadar diri! Sebagai seorang wanita, apakah harga dirimu sudah hilang, Hanum?" ucap Wulan. Pembawaannya tetap tenang, tetapi menohok."Apa yang kamu lakukan, perempuan sialan? Kamu nampar aku?!" Hanum bersiap balas menampar Wulan. Tangannya sudah terangkat, tetapi segera aku tahan."Tidak ada yang boleh menyakitinya!" ucapku penuh penekanan.Hanum seolah tak percaya. "Juna, kamu bela dia di depanku?""Kenapa? Mas Juna suamiku, sudah seharusnya dia membelaku. Dan, ya ...." Wulan menjeda ucapan. "Kamu jangan pernah mimpi menjadi yang kedua atau selingkuhn suamiku, karena itu tidak akan terjadi."Hanum tersenyum miring. "Oh, ya? Kita lihat saja nanti.""Lihat apa? Lihat berapa lama kamu akan berada di balik jeruji besi, begitu? Atau, lihat siapa laki-laki yang mau sama narapidana? Hmmm, yakin ... Masih percaya diri? Kalau aku jadi kamu sih aku bakalan malu banget ya. Minimal tobat 'lah, siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memberikan
"Bukan," jawabku tenang. "Mas hanya ingin kita memulai dari awal, tanpa ada rahasia lagi di antara kita." Sebelum aku membawanya ke suatu tempat, aku sengaja mengajak dia terlebih dahulu untuk menemui Hanum. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.Meski ekspresi Wulan masih dipenuhi tanda tanya, aku tak memberinya penjelasan lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, kugandeng tangannya dan mengajaknya turun dari mobil, masuk ke dalam gedung.Setelah mendapat izin dari petugas, aku dan Wulan duduk berdampingan di bangku panjang ruang tunggu, menanti giliran untuk bertemu dengan wanita itu.Tak lama kemudian, giliran kami tiba."Juna, kamu datang?" Hanum menyambutku dengan senyum merekah. "Aku tahu kamu pasti mau bebasin aku, kan?" lanjutnya seraya duduk di depanku dan Wulan.Aku mencoba tersenyum simpul. Menarik napas sebelum mulai berbicara. Sementara Wulan, dia terlihat begitu tenang di sampingku."Maafkan aku, Hanum. Hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur. Aku ke sini untuk --""P
"Brengsek kalian semua. Awas saja, ini belum berakhir. Tunggu pembalasanku!" Hans berteriak marah saat polisi menyeretnya. Dia terus meronta, tak terima dengan semua ini. Sebelum melakukan segala sesuatu, bukankah kita dianjurkan untuk memikirkan sebab akibatnya? Seharusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan diterima atas kejahatannya ini. Bukan malah tak terima begitu. Aneh."Ibu di sini, Nak." Suara ibu tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seketika itu aku menoleh, begitu juga Wulan dan yang lainnya."Ibu." Aku berlari menghampiri. "Ibu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku seraya menelisik wajah dan anggota tubuh ibu."Alhamdulillah, mereka gak nyakitin ibu. Nak Bobi sangat baik kok sama ibu."Aku menoleh pada Bobi."Mana mungkin gue mau nyakitin orang tua yang dulu pernah memberiku makan dan tempat tidur?" ujar Bobi. Dia terkekeh kecil.Ternyata Bobi masih mengingatnya. Dulu dia memang sering di rumahku sampai ibu sangat dekat dengannya. Apapun dan di manapun, kebaikan pasti selalu me
POV Juna Hans baru saja menghubungiku. Laki-laki pengecut itu menyandera ibuku dan imbalannya adalah dokumen perusahaan Wulan. Sayangnya dia salah besar. Aku tidak mungkin akan menghancurkan istriku sendiri, tetapi aku juga tidak akan membahayakan ibuku. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan keduanya.Setelah menenangkan Wulan, aku menghubungi Pak Adnan untuk mengamankan Wulan dan menyelesaikan masalah ini.Chiiit!Kuinjak pedal rem begitu sampai di halaman gudang tua setelah menempuh perjalanan dua puluh menit dengan kecepatan tinggi. Gegas aku keluar mobil. Mengambil sebatang rokok dalam saku celana dan menyalakannya, lalu berjalan menuju gudang, tempat di mana Hans memintaku bertemu."Aku tidak salah duga, kamu pasti akan datang." Hans sudah menyambutku begitu aku masuk gedung. Dia duduk santai ditemani lima orang berbadan kekar yang berdiri di belakangnya.Aku menyesap rokok, lalu menghembuskan. "Tentu. Aku bukan pecundang sepertimu," balasku.Hans terkekeh. "Kau hanya b
"Apa sih, Dek? Yuk makan dulu." Dia malah bersikap santai seraya mencomot gorengan di depannya. "Selesai makan, Mas akan ceritakan semuanya."Mendengar itu aku pun tak bisa berbuat banyak. Bukankah laki-laki kalau sedang lapar memang tak bisa diganggu? Pikirannya pun akan sulit digunakan jika perutnya dalam keadaan kosong. Itu menurutku aja sih.Kami pun akhirnya makan terlebih dahulu, meski rasanya terasa begitu hambar bagiku.Beberapa menit kemudian piring Mas Juna sudah kosong. Dia sedang minum dan aku semakin tak sabar mendengarkan dia bercerita."Buru, Mas. Aku sudah gak sabar. Jangan berkelit lagi ya!" ucapku."Hmmm, baiklah." Dia mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatapku. "Apa yang ingin Adek ketahui, Hem?""Semua yang bersangkutan dengan Hanum!"Dia mengangguk. "Sedikit banyak pasti kamu sudah tahu tentang kedekatan kami. Dan semua hanya sebatas teman tidak lebih.""Bukan itu. Ish!" "Sabar dong, Dek." Kemudian dia melanjutkan ceritanya."Setelah mengetahui fakta tentang s
"Lin, mungkin gak sih Hanum sebenarnya sudah menyiapkan rencana lain untuk menghancurkanku? Firasatku kok gak enak ya?" ungkapku saat sudah berada di dalam perjalanan pulang.Lina yang sedang menyetir menoleh padaku sekilas. "Mungkin saja. Dari nada ancamannya, ada hal yang janggal yang seperti sudah terencana. Sebaiknya kamu harus lebih waspada. Ceritakan semuanya pada Paman Bamantara untuk antisipasi.""Ya, kamu benar. Semua masalah ini harus segera tuntas. Aku ingin menjalani rumah tangga dan membesarkan anak-anakku dengan tenang."Setelah itu aku mengambil handphone dalam tas, berniat menghubungi Paman.Dalam dering pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban."Assalamualaikum, ya, Wulan. Ada yang bisa paman bantu?" ucapnya."Waalaikumsalam. Ada, Paman. Ada yang mau Wulan sampaikan pada Paman..."Kemudian aku menceritakan tentang perkataan Hanum tadi. Aku juga mengungkapkan perasaanku yang mendadak cemas."Begitu, Paman. Wulan khawatir, Hanum sebenarnya punya rencana lain, dan