LOGINWaktu seakan membeku.
Pelukan Bram yang tadinya hangat kini terasa seperti kurungan es. Aku masih bisa merasakan detak jantungnya di dadaku, tapi detak itu kini terdengar asing, milik seorang penipu. Mataku terpaku pada layar ponselnya yang menyala di atas meja, cahayanya memantulkan kengerian yang tak terucapkan di mataku. Foto itu. Senyum kemenangan Renata yang begitu kontras dengan latar belakang suamiku yang tertidur pulas tanpa busana di atas ranjang yang kusut. Sebuah trofi. Sebuah deklarasi. Sebuah tamparan yang lebih keras dari seribu kata. Bram merasakan tubuhku menegang. "Kenapa, Sayang?" bisiknya, suaranya masih penuh dengan sandiwara kelembutan. Aku tidak menjawab. Perlahan, dengan gerakan yang terasa butuh seluruh sisa tenagaku, aku melepaskan diri dari pelukannya. Lengannya terasa berat, enggan melepaskan, tapi aku mendorongnya dengan kekuatan dingin yang baru kutemukan. "Arini?" tanyanya, bingung. Ia mengikuti arah pandanganku. Dan ia melihatnya. Aku menyaksikan perubahan itu terjadi dalam sepersekian detik. Wajahnya yang tadinya penuh kasih sayang palsu berubah menjadi topeng kepanikan murni. Matanya melebar ngeri, warna menghilang dari wajahnya. Ia bergerak lebih cepat dari kilat, menyambar ponsel itu dari atas meja dan membaliknya dengan kasar. Terlambat. Aku sudah melihat semuanya. "Rin, itu... itu nggak seperti yang kamu pikirkan," gagapnya, suaranya bergetar. Tangannya yang memegang ponsel gemetar hebat. Aku menatapnya. Bukan dengan amarah yang meledak-ledak. Bukan dengan air mata. Aku menatapnya dengan kehampaan yang begitu dalam, seolah aku sedang melihat orang asing yang baru saja mencoba merampokku. "Oh, ya?" suaraku keluar, terdengar serak dan datar, bahkan di telingaku sendiri. "Lalu seperti apa yang seharusnya kupikirkan, Mas?" "Itu... itu foto lama! Sumpah! Itu editan! Ada yang mau menjebakku, mau menghancurkan rumah tangga kita!" serunya, serentetan kebohongan keluar dari mulutnya begitu cepat, tumpang tindih satu sama lain. Ia melangkah maju, mencoba meraih tanganku. "Jangan sentuh aku," desisku. Suaraku pelan, tapi mengandung ketajaman yang membuatnya berhenti melangkah. Ini adalah momen kebenaranku. Saat di mana semua ilusi terbakar habis. Pria di hadapanku ini bukan hanya seorang pengkhianat. Ia seorang pengecut. Ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk mengakui dosanya saat bukti sudah terpampang di depan mata. Ia lebih memilih untuk menghinaku dengan kebohongan-kebohongan yang konyol. "Foto lama?" ulangku, sebuah tawa kering dan pahit lolos dari bibirku. "Jam tangan yang kupakai di foto itu model terbaru, baru keluar bulan lalu. Dan rambut Renata... dia baru memotong poninya minggu lalu, persis seperti di foto itu." Aku adalah seorang arsitek. Aku hidup dari detail. Dan detail-detail kecil inilah yang kini menjadi paku di peti mati pernikahan kami. Wajah Bram pucat pasi. Ia kehabisan kata-kata. Ia menatapku dengan tatapan memohon, tatapan seekor binatang yang terpojok. "Arini, tolong... dengarkan aku..." "Tidak," potongku tegas. "Aku sudah terlalu banyak mendengarkan. Sekarang giliranku yang bicara." Aku menatap lurus ke matanya, memastikan ia melihat setiap keping hatiku yang telah ia hancurkan berubah menjadi baja. "Selama ini aku bertahan. Aku menelan setiap hinaan ibumu. Aku memaklumi setiap malammu yang kau habiskan untuk 'kerja'. Aku memaafkan setiap janji yang kau ingkari. Karena aku pikir, di bawah semua itu, masih ada cinta. Masih ada kita." Aku berhenti sejenak, mengambil napas yang terasa berat. "Tapi malam ini, aku sadar. Tidak pernah ada 'kita'. Hanya ada kamu, ibumu, dan ambisimu. Dan aku? Aku hanyalah furnitur di rumah megahmu. Hiasan yang bisa diganti kapan saja jika sudah usang." Air mata akhirnya mengancam akan jatuh, tapi aku menahannya. Aku tidak akan memberinya kepuasan melihatku menangis lagi. Pandanganku jatuh pada kotak kue di atas meja gambarku. *Tiramisu*. Simbol dari semua kenangan manis yang kini terasa seperti racun. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berjalan ke meja itu. Tanganku tidak gemetar lagi. Dengan gerakan yang tenang dan disengaja, aku mengambil kotak kue itu. Bram menatapku, tidak mengerti apa yang akan kulakukan. Aku berjalan melewati Bram, menuju tempat sampah kecil di sudut ruang kerjaku. Aku membuka tutupnya, dan tanpa ragu sedikit pun, aku membuang kue itu ke dalamnya. Kotaknya, garpu peraknya, semua kebohongan manisnya. *Buk.* Suara kotak kue yang jatuh ke dasar tempat sampah terdengar lebih keras dari ledakan di tengah keheningan ruangan itu. Aku berbalik menghadapnya. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan luka, seolah tindakanku baru saja menyadarkannya bahwa ini semua nyata. "Permainanmu selesai, Bram," kataku, suaraku dingin dan mantap. "Sekarang, kita main dengan caraku." Aku berjalan keluar dari ruang kerjaku, melewatinya seolah ia tidak ada di sana, meninggalkan dia yang mematung sendirian di tengah ruangan, bersama ponsel di tangannya dan kebohongan yang telah hancur berantakan.Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh
Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah
Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m
Dua minggu berlalu dalam pusaran aktivitas yang hening dan terfokus. Rahasia yang kami simpan bersama Pak Herman terasa seperti inti reaktor yang dingin di dalam diriku, sebuah sumber kekuatan yang tersembunyi. Sesuai rencana Dian, kami tidak melakukan apa pun dengan bom itu.Sebaliknya, aku fokus pada perang yang terlihat: membangun kembali hidupku.Apartemen Dian terasa sesak dengan dua wanita profesional yang bekerja dari rumah. Kami memutuskan untuk mengambil langkah berisiko: kami menyewa sebuah ruang kantor kecil di gedung *co-working space* yang trendi. "Firma Hukum & Desain Dian-Arini," begitu canda kami, meskipun untuk saat ini, papan nama kami hanya berupa stiker kecil di pintu kaca buram.Aku menghabiskan hari-hariku dengan menyusun ulang portofolioku, menghubungi kontak-kontak lama dari universitas, dan memberi tahu dunia bahwa aku "tersedia untuk proyek *freelance*". Responnya dingin. Nama "Haryadi" yang dulu kubenci, kini ketiadaannya terbukti menjadi sebuah hambatan. Ta
Perjalanan pulang dari rumah Pak Herman terasa sangat berbeda dari perjalanan pergi. Keheningan di dalam mobil terasa berat, sarat dengan apa yang baru saja kami dengar. Alat perekam kecil itu kusimpan di dalam tas, terasa lebih berat dari sebongkah emas. Dian menyetir dengan fokus yang tajam, rahangnya mengeras."Kecelakaan mobil... kantor notaris terbakar," gumamku pelan, memecah keheningan. "Di, wanita itu bukan sekadar licik. Dia berbahaya. Sangat berbahaya."Dian mengangguk, matanya tak lepas dari jalanan malam yang basah oleh gerimis. "Ya. Ini bukan lagi drama rumah tangga atau sengketa perceraian, Rin. Ini sudah masuk level *crime story*. Lidya tidak akan segan-segan melakukan apa pun untuk melindungi rahasianya. Termasuk... menyingkirkan notaris itu."Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan AC mobil menjalar di kulitku. Apa yang tadinya kuanggap sebagai pembalasan dendam pribadi, kini telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan. Aku tidak
Keheningan yang mengikuti pengakuan Pak Herman terasa begitu pekat, seolah seluruh udara di ruangan kecil itu tersedot habis. Palsu. Kata itu menggema di benakku, membuka kotak pandora baru yang jauh lebih gelap dari sekadar perselingkuhan."Palsu?" ulang Dian, suaranya tajam sebagai seorang pengacara. "Seberapa yakin Anda, Pak?"Pak Herman tertawa getir, tawa yang terdengar seperti debu kering. "Seberapa yakin? Nyonya Dian, saya yang mendampingi almarhum Pak Haryadi ke notaris kepercayaannya di Bandung, enam bulan sebelum beliau wafat. Jauh sebelum beliau sakit-sakitan."Ia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua, membukanya dengan kunci kecil. "Pak Haryadi adalah pria yang baik, tapi beliau tidak naif. Beliau tahu persis seperti apa watak istrinya. Beliau tahu obsesi Nyonya Lidya pada kekuasaan dan status."Dari dalam lemari, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis yang sudah menguning."Wasiat yang asli," lanjutnya, meletakkan map itu di meja, "sangat adil. Beliau membagi s







