Home / Romansa / Pelakor Pilihan Mertua / BAB 7: FOTO DI LAYAR KUNCI

Share

BAB 7: FOTO DI LAYAR KUNCI

Author: Murufu
last update Last Updated: 2025-10-12 08:15:58

Waktu seakan membeku.

Pelukan Bram yang tadinya hangat kini terasa seperti kurungan es. Aku masih bisa merasakan detak jantungnya di dadaku, tapi detak itu kini terdengar asing, milik seorang penipu. Mataku terpaku pada layar ponselnya yang menyala di atas meja, cahayanya memantulkan kengerian yang tak terucapkan di mataku.

Foto itu.

Senyum kemenangan Renata yang begitu kontras dengan latar belakang suamiku yang tertidur pulas tanpa busana di atas ranjang yang kusut. Sebuah trofi. Sebuah deklarasi. Sebuah tamparan yang lebih keras dari seribu kata.

Bram merasakan tubuhku menegang. "Kenapa, Sayang?" bisiknya, suaranya masih penuh dengan sandiwara kelembutan.

Aku tidak menjawab. Perlahan, dengan gerakan yang terasa butuh seluruh sisa tenagaku, aku melepaskan diri dari pelukannya. Lengannya terasa berat, enggan melepaskan, tapi aku mendorongnya dengan kekuatan dingin yang baru kutemukan.

"Arini?" tanyanya, bingung.

Ia mengikuti arah pandanganku. Dan ia melihatnya.

Aku menyaksikan perubahan itu terjadi dalam sepersekian detik. Wajahnya yang tadinya penuh kasih sayang palsu berubah menjadi topeng kepanikan murni. Matanya melebar ngeri, warna menghilang dari wajahnya. Ia bergerak lebih cepat dari kilat, menyambar ponsel itu dari atas meja dan membaliknya dengan kasar.

Terlambat. Aku sudah melihat semuanya.

"Rin, itu... itu nggak seperti yang kamu pikirkan," gagapnya, suaranya bergetar. Tangannya yang memegang ponsel gemetar hebat.

Aku menatapnya. Bukan dengan amarah yang meledak-ledak. Bukan dengan air mata. Aku menatapnya dengan kehampaan yang begitu dalam, seolah aku sedang melihat orang asing yang baru saja mencoba merampokku.

"Oh, ya?" suaraku keluar, terdengar serak dan datar, bahkan di telingaku sendiri. "Lalu seperti apa yang seharusnya kupikirkan, Mas?"

"Itu... itu foto lama! Sumpah! Itu editan! Ada yang mau menjebakku, mau menghancurkan rumah tangga kita!" serunya, serentetan kebohongan keluar dari mulutnya begitu cepat, tumpang tindih satu sama lain. Ia melangkah maju, mencoba meraih tanganku.

"Jangan sentuh aku," desisku. Suaraku pelan, tapi mengandung ketajaman yang membuatnya berhenti melangkah.

Ini adalah momen kebenaranku. Saat di mana semua ilusi terbakar habis. Pria di hadapanku ini bukan hanya seorang pengkhianat. Ia seorang pengecut. Ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk mengakui dosanya saat bukti sudah terpampang di depan mata. Ia lebih memilih untuk menghinaku dengan kebohongan-kebohongan yang konyol.

"Foto lama?" ulangku, sebuah tawa kering dan pahit lolos dari bibirku. "Jam tangan yang kupakai di foto itu model terbaru, baru keluar bulan lalu. Dan rambut Renata... dia baru memotong poninya minggu lalu, persis seperti di foto itu."

Aku adalah seorang arsitek. Aku hidup dari detail. Dan detail-detail kecil inilah yang kini menjadi paku di peti mati pernikahan kami.

Wajah Bram pucat pasi. Ia kehabisan kata-kata. Ia menatapku dengan tatapan memohon, tatapan seekor binatang yang terpojok.

"Arini, tolong... dengarkan aku..."

"Tidak," potongku tegas. "Aku sudah terlalu banyak mendengarkan. Sekarang giliranku yang bicara." Aku menatap lurus ke matanya, memastikan ia melihat setiap keping hatiku yang telah ia hancurkan berubah menjadi baja. "Selama ini aku bertahan. Aku menelan setiap hinaan ibumu. Aku memaklumi setiap malammu yang kau habiskan untuk 'kerja'. Aku memaafkan setiap janji yang kau ingkari. Karena aku pikir, di bawah semua itu, masih ada cinta. Masih ada kita."

Aku berhenti sejenak, mengambil napas yang terasa berat. "Tapi malam ini, aku sadar. Tidak pernah ada 'kita'. Hanya ada kamu, ibumu, dan ambisimu. Dan aku? Aku hanyalah furnitur di rumah megahmu. Hiasan yang bisa diganti kapan saja jika sudah usang."

Air mata akhirnya mengancam akan jatuh, tapi aku menahannya. Aku tidak akan memberinya kepuasan melihatku menangis lagi.

Pandanganku jatuh pada kotak kue di atas meja gambarku. *Tiramisu*. Simbol dari semua kenangan manis yang kini terasa seperti racun.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berjalan ke meja itu. Tanganku tidak gemetar lagi. Dengan gerakan yang tenang dan disengaja, aku mengambil kotak kue itu. Bram menatapku, tidak mengerti apa yang akan kulakukan.

Aku berjalan melewati Bram, menuju tempat sampah kecil di sudut ruang kerjaku. Aku membuka tutupnya, dan tanpa ragu sedikit pun, aku membuang kue itu ke dalamnya. Kotaknya, garpu peraknya, semua kebohongan manisnya.

*Buk.*

Suara kotak kue yang jatuh ke dasar tempat sampah terdengar lebih keras dari ledakan di tengah keheningan ruangan itu.

Aku berbalik menghadapnya. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan luka, seolah tindakanku baru saja menyadarkannya bahwa ini semua nyata.

"Permainanmu selesai, Bram," kataku, suaraku dingin dan mantap. "Sekarang, kita main dengan caraku."

Aku berjalan keluar dari ruang kerjaku, melewatinya seolah ia tidak ada di sana, meninggalkan dia yang mematung sendirian di tengah ruangan, bersama ponsel di tangannya dan kebohongan yang telah hancur berantakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 23: EPILOG — ARSITEK TAKDIRNYA SENDIRI

    enam Bulan Kemudian.Aroma kopi yang baru digiling dan suara dengung percakapan yang hidup memenuhi udara di Kafe Skena. Tempat ini bukan lagi sekadar ruko tua yang direnovasi; ini telah menjadi jantung baru bagi komunitas kreatif Jakarta Selatan. Dan di sudut favoritku, di bawah skylight yang terbuka, aku duduk menyesap latte pagiku.Bukan sebagai Nyonya Haryadi yang menunggu suami pulang. Tapi sebagai Arini Widjaja, Pemilik dan Arsitek Utama dari AW Studio.Di layar televisi yang menggantung di dinding kafe, berita pagi sedang menayangkan liputan langsung dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Headline-nya mencolok dengan warna merah: VONIS DIJATUHKAN: LIDYA HARYADI DIVONIS 8 TAHUN PENJARA.Aku melihat wajah Lidya di layar itu. Rambutnya yang dulu disanggul sempurna kini tampak kusam, uban mulai terlihat di pelipisnya. Wajahnya yang angkuh telah runtuh, digantikan oleh kerutan kelelahan dan kekalahan. Ia berjalan menunduk menghindari kamera, dikawal ketat oleh polisi. Tidak ada lag

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 22: RUNTUHNYA SEBUAH DINASTI

    Grand Ballroom Hotel Mulia berkilauan di bawah cahaya ribuan kristal chandelier. Ini adalah panggung yang dirancang Lidya Haryadi dengan sempurna: karpet merah tebal, rangkaian bunga lili putih yang megah, dan barisan kursi yang diduduki oleh para pemegang saham, direksi, keluarga Sastranegara, serta puluhan awak media.Di podium, Lidya berdiri tegak dalam balutan gaun sutra emas, tampak seperti ratu yang tak tersentuh. Di sampingnya, Bramantyo duduk dengan senyum kaku, sementara Renata duduk di barisan depan, tersenyum bangga sebagai calon nyonya besar.Dari balik pintu ganda di belakang ballroom, aku mengamati mereka melalui celah kecil. Jantungku berdetak tenang, setenang detak jam yang menghitung mundur kehancuran mereka."Siap?" tanya Dian di sampingku. Di belakang kami berdiri Pak Herman yang merapikan jas barunya dengan gugup, dan Pak Handoko—pria paruh baya dengan rahang tegas yang mirip sekali dengan almarhum ayah mertuaku."Ayo kita akhiri ini," jawabku.Di dalam, suara Lidy

  • Pelakor Pilihan Mertua   Bab 21 keheningan

    satu bulan berlalu. Strategi "Keheningan" kami bekerja lebih efektif daripada yang kami bayangkan.Sementara pengacara Lidya sibuk menunda-nunda sidang perceraian dengan berbagai alasan prosedural—berharap aku kehabisan uang dan mental—aku justru sibuk di tempat lain. Aku tidak muncul di TV untuk menangis. Aku tidak membalas komentar nyinyir di media sosial. Aku menghilang dari radar gosip dan muncul kembali di radar yang sama sekali berbeda: radar arsitektur.Malam ini adalah soft opening Kafe Skena.Bangunan ruko tua yang dulu kumuh di Senopati itu kini telah bertransformasi. Fasad bata eksposnya dipertahankan, dipadukan dengan kaca frameless setinggi dua lantai yang memamerkan interior industrial yang hangat. Atap skylight yang bisa dibuka kini terbuka lebar, membiarkan udara malam Jakarta masuk, menyatu dengan aroma kopi arabika yang baru digiling.Dan di tengah ruangan, mezzanine baja ringan yang kurancang benar-benar tampak melayang, dipenuhi pengunjung yang terkagum-kagum."Jen

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 20: DURI DI BALIK BERITA

    Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 19: PROYEK KOPI SKENA

    Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 18: REAKSI SANG RATU DAN PIONNYA

    Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status