"Maaf, Nye!" kata Mas Nata yang mungkin menyadari ada yang salah saat memuji tadi. Dia berdiri dari ranjang dan melangkah keluar.Terlambat, Mas. Aku sudah terlanjur baper. Dan kau tahu, ini yang aku rindukan sedari dulu darimu.Seperginya Mas Nata dari kamar, aku segera berdiri dan berkaca di cermin besar yang ada di samping ranjang.Kutatap pantulan wajah di cermin. Dulu sebelum menikah, aku memang berhijab dan aku lepas setelah menikah dengan Mas Nata.Tujuanku melepas jilbab sebab ingin mempercantik diri untuk Mas Nata. "Suami kamu itu bukan pria biasa, Nye. Selain tajir, dia tampan dan dermawan. Tak akan lepas dari lirikan jelalatan para wanita yang jauh lebih cantik dari kamu. Makanya, jika suamimu tak ingin direbut pelakor, jerat dia, puasin dan manjakan matanya dengan kecantikan kamu hingga ia tak punya gairah untuk melirik apalagi tertarik dengan pesona wanita lain."Itulah nasehat Ibu kala itu agar aku mempercantik diri, memanjakan diri agar tampil menarik di mata Mas Nat
Selama dalam perjalanan pulang, aku terus kepikiran dengan alasan Mas Nata yang diberikan ke Mama. Kenapa Mas Nata harus berbohong mengatakan kalau aku tidak mencintainya, tapi aku mencintai orang lain. Dan selama ini Mas Nata hanya punya ragaku tidak dengan hatiku.Aku lebih suka Mas Nata mengatakan alasan yang sebenarnya daripada bilang ke Mama aku mencintai pria lain. Padahal tak ada satupun pria di hati ini selain dirinya.Kuambil ponsel dalam tas, beberapa kali mengetik pesan untuk Mas Nata, namun beberapa kali juga aku menghapusnya.Tadinya ingin mengirim pesan, menanyakan alasannya kenapa ia harus berbohong pada Mama. Kenapa tidak menjawab sejujurnya saja.Dialah yang sebenarnya tak mencintaiku, dia pula yang mencinta wanita lain. Selama ini aku hanya punya raganya, tidak dengan hatinya. Lalu kenapa ia membalikkan fakta? Apa mungkin ada hal lain yang tak kuketahui?Ah, begitu banyak hal yang harus dan terus membuatku untuk berpikir.Biarlah … apapun alasan yang Mas Nata beri
"Kak, ini apa maksudnya?" tanyaku tak mengerti. Kak Bian berdiri mensejajariku."Kamu menelpon dan memaksaku untuk datang ke sini hanya untuk—""Melamarmu." Dia memotong kata-kataku. Tatapannya begitu lekat."Ini tidak lucu!" Aku segera membalikkan badan hendak pergi."Nye, tunggu dulu!" Kak Bian menahan lenganku namun segera aku tepis. "Kenapa, sih, Nye?" tanyanya dengan mimik wajah yang sudah berubah."Apa?""Seharusnya aku yang bertanya apa? Apa yang menghalangimu untuk menerima perasaanku. Apa? Kau sekarang sudah bukan milik siapapun. Kau dan Nata sudah berpisah.""Justru itu, Kak!" sahutku cepat. Kak Bian mengernyitkan keningnya."Lihat statusku. Aku sudah bukan bandingmu lagi. Carilah wanita lain, yang belum pernah menikah.""Apa bedanya wanita yang belum menikah dengan yang sudah menikah?""Ibarat barang aku sudah bekas," Kataku cepat. Sejenak Kak Bian tercengang, namun selanjutnya malah tertawa kecil."Kamu pikir dengan aku menikahi wanita yang belum menikah sudah pasti bukan
Aku masih tercengang sambil menatap Mas Nata. Aku selingkuh? Apa tadi aku tidak salah dengar?"Apa maksud Mas Nata bilang aku selingkuh?" tanyaku akhirnya yang tak tahan menahan rasa penasaran campur kebingungan.Belum sempat aku menerima jawaban, tiba-tiba ponsel yang kupegang berbunyi. Nama Kak Abian terpampang jelas di layar ponsel dan Mas Nata juga bisa melihatnya.Mas Nata langsung berpaling, sedangkan panggilan dari Kak Bian tak aku hiraukan hingga terhenti dengan sendirinya."Mas, jawab!" Bersamaan dengan rampungnya kata-kataku, ponselku kembali berbunyi. Panggilan dari Kak Bian lagi."Pergilah! Dia menantimu." Setelah berucap, Mas Nata melangkahkan kakinya menjauh dari brankar menuju jendela.Aku kembali mengabaikan panggilan Kak Bian. Bahkan kali ini aku mematikan ponsel.Aku yang tak tenang dengan ucapan Mas Nata yang seolah menuduhku selingkuh, ikut melangkah menyusulnya berdiri di samping jendela.Mas Nata memejamkan matanya dengan sebelah tangan berpegangan ke bingkai je
"Ini foto Kak Anyelir?" Aditya menatap foto-fotoku dan Kak Abian dengan kening mengkerut seolah tak percaya.Jangan Aditya, aku sendiri tak percaya dengan foto itu. Dengan tangan bergetar, kuambil beberapa foto untuk melihat dengan jelas.Di sana memang fotoku dengan Kak Bian. Asli tanpa editan. Kulihat dengan jelas fotoku dan Kak Bian saat berpelukan, itu kejadiannya di kafe saat menghadiri reuni."Apa kau juga ingin menyangkal kejadian di dalam foto itu?" Mas Nata tersenyum sinis. "Sedangkan aku melihat dengan jelas kejadian pada malam itu, ketika kau sedang tenang dalam pelukan pria lain."Aku menggelengkan kepala dengan air mata tak berhenti menetes. Mas Nata sudah salah paham, aku tidak berpelukan, apalagi merasa tenang saat itu. Kejadiannya terlalu tiba-tiba hingga tak bisa menolak saat Kak Bian menarikku ke dalam pelukannya.Kulihat foto yang lainnya, di sana aku tampak tertawa bersama. Itu terjadi saat aku menemui Kak Bian untuk membagi kisahku, menumpahkan kesedihanku sebab
Suasana jadi hening. Setelah jawaban Kak Bian yang mengatakan sebagai calon suamiku, semua jadi diam.Begitu juga dengan keluargaku, Ibu dan Amir yang mendukungku untuk menerima tawaran Kak Bian ikut bungkam. Begitu juga dengan Bapak yang tak tahu apa-apa."Jadi … Anye sudah mau nikah?"Deg. Pertanyaan Mama membuat detak jantungku berdegup lebih kencang.Aku bungkam seribu bahasa, tak tahu mau jawab apa. Fatalnya aku sudah terlanjur menerima tawaran Kak Abian untuk menikah dengannya.Tak ingin terjebak dengan suasana yang menegangkan seperti ini, tanpa menjawab pertanyaan Mama, aku segera menarik lengan Kak Abian untuk ikut pergi denganku."Kak, anakku sekarang lagi sakit," kataku saat sudah berada di tempat yang tak begitu ramai."Apa? Jadi anak kamu yang sakit?" Kak Bian tampak terkejut. "Aku pikir kamu, Nye," lanjutnya.Aku menggeleng lalu menceritakan semuanya, kalau Damar anakku kecelakaan jatuh dari tangga."Lalu bagaimana sekarang keadaannya?" tanyanya dengan raut khawatir."E
Aku terbangun saat merasak sentuhan di pipi. Ketika mata terbuka, orang yang pertama kali kulihat adalah Ibu."Syukurlah, Nye. Kau sudah sadar." Ibu tersenyum sambil meneteskan air matanya.Dahiku mengernyit. "Aku kenapa, Bu?" tanyaku tak mengerti apa yang sudah terjadi."Kamu pingsan, Mbak, di jalanan, untung ketemu aku. Kalau tidak mungkin Mbak masih tergeletak di sana." Amir yang baru masuk menimpali.Kupejamkan mata, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi, tak butuh waktu lama aku sudah kembali merekam ingatan apa yang sudah terjadi dan kenapa aku bisa pingsang di jalan.Air mata menetes. Aku harap ini semua hanya mimpi. Saat terbangun aku menemukan orang-orang yang kucintai. Damar, Wulan … dan Mas Nata. Tapi semua hanya harapan semu. Ini bukan mimpi … saat aku terbangun aku sudah kehilangan semuanya.Keluarga kecilku, kini sudah jauh pergi. Kadang berpikir, dosa apa yang pernah aku lakukan, hingga Tuhan menjauhkan aku dari semua orang-orang tercinta dan tersayang.Mulai dari
Saat perjalanan pulang, aku terus kepikiran dengan cerita Anita. Selama menikah aku terus dihantui rasa bersalah karena memisahkan dua orang saling mencinta dan curiga tak pernah mendapatkan cinta dari suamiku, tak tahunya diam-diam dia mencintaiku bahkan sejak dulu.Sekarang aku juga tahu alasan kenapa Mas Nata juga keluarganya begitu menyayangi bahkan menganggapku sebagai pembawa berkah, jadi itu alasannya.Aku datang di waktu yang tepat dengan menawarkan diri menjadi pengantin pengganti Mas Nata. Dianggap sebagai penyelamat keluarganya dari rasa malu sebab undangan sudah tersebar.Benar, aku bukan pelakor. Oleh karenya aku dikarunia kebahagiaan dan dilimpahi rejeki yang baik. Sebab selama ini aku tak pernah merampas milik orang lain.Aku sukses karena hakku sendiri, hanya saja kesuksesanku hancur sebab aku yang terus merasa bersalah hingga memilih tuk mengalah.Karena melamun, tanpa kusadari sudah sampai rumah. Saat turun dari mobil, aku terkejut melihat wanita berjilbab duduk di