Hanif begitu panik, hingga malam anak istrinya tak kunjung pulang. Bahkan saat ini nomor istrinya berada di luar jangkauan. "Kamu kenapa sih, Mas?" ketus Lia saat melihat Hanif gelisah dan sibuk dengan ponselnya. "Vania dan anak-anak enggak bisa dihubungi, Sayang. Mas khawatir terjadi sesuatu sama mereka," ucapnya. Lia mendengkus, ia tak suka jika Hanif terlalu peduli dan khawatir pada anak istrinya. Sejak tadi ia merasa gembira, karena Vania dan anak-anaknya tak ada di rumah, semakin dekat langkahnya untuk mendapatkan Hanif. Sementara sejak sore, Wiyani lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. "Nanti juga pulang, Mas. Mereka bukan anak kecil yang harus kamu khawatirkan lagi!" sungut Lia. Hanif tak menggubris ucapan gundiknya, ia memutuskan ke teras berharap mobil yang dikendarai Vania sebentar lagi akan datang."Apa Vania mulai berontak ya? Tak terima aku menikah lagi." Pikiran Hanif mulai kalut, terlebih mengingat perjanjian yang dulu ia dan ibunya tanda tangani. Jika
Vania memainkan ponselnya, sudah beberapa hari ini ia tinggal di rumah hasil usahanya sendiri. Hanif tak pernah tahu, jika ia memiliki usaha yang sekarang bisa dibilang maju. Sebenarnya ia bisa saja menghempaskan suaminya begitu saja, tapi ia tak ingin hak anak-anaknya jatuh ke tangan yang salah. Selama bersembunyi dari Hanif, kedua anaknya memutuskan untuk izin tak masuk sekolah beberapa hari. Mereka hanya mengerjakan tugas yang dikirimkan oleh para guru yang dikirim lewat grup whatsapp. "Jadi Mas Hanif pergi ke rumah Ayah?" tanya Vania, pada ibu mertuanya diseberang telepon. Terdengar tawa ibu mertuanya, "iya dia kelimpungan cari kamu." Vania tersenyum tipis. Ia tahu suaminya mencarinya bukan karena peduli apalagi mencintainya, tapi karena takut hak waris jatuh pada anak-anak jika mereka sampai berpisah. "Terus, gundiknya itu bagaimana?" tanyanya lagi. Wiyani mendengkus."Semakin tak tahu diri, kamu segera pulang kalau urusanmu sudah selesai. Ibu tak sanggup jika menghadapi ul
Bab 13Diam-diam, Lia tersenyum. Senang bukan main yang ia rasakan saat calon suaminya itu bertambah marah pada istri sahnya. Ini adalah yang ia inginkan, perlahan menghancurkan rumah tangga Hanif, dan menjadi nyonya rumah ini. 'Masalahnya, bagaimana rencanaku akan berhasil kalau nenek peyot itu masih ada di sini?' bathin Lia saat melihat Wiyani melintas menuju dapur dan keluar membawa kantong plastik. "Mas, Ibumu mau sampai kapan tinggal di sini?" tanya Lia pada Hanif, namun lelaki itu diam saja. Tak ada minat untuk sekedar menanggapi ucapan selingkuhannya itu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya menemukan Vania dan anak-anak? Jangan sampai, Vania akhirnya menyerah dan membuatnya dalam keadaan bahaya. "Mas!" sentak Lia. "Apa sih? Aku lagi makan, bisa nggak, jangan ganggu?" sewot Hanif. Ia pun cepat menghabiskan makannya dan membuang sampah. Lia mendengkus. Kesal sekali yang ia rasakan. Wanit itu takut, jika Hanif akan berubah haluan dan berakhir mencampak
"Maaf, siapa ya?" tanya Anna. Bukannya menjawab, Kikan malah melengos begitu saja. Ia berpikir, kalau tiga orang yang baru saja datang itu hanya lah tamu keluarga papanya. Namun, matanya hampir saja melompat dri tempatnya saat melihat orang yang barusan menyapanya itu, malah mendorong pintu. "Kamu, anaknya Lia?" tanya Vania, setelah kedua anaknya masuk. "Iya, aku anaknya Papa Hanif. Ibu siapa, ya?" Mendengar ada yang memanggil papa ke Hanif selain anak-anaknya, membuat Vania sakit hati. Rasanya tak terima, ada anak lain selain anak darinya. "Saya istri sah-nya Pak Hanif. Tolong, beritahu ibumu, supaya segera ke luar dari rumah ini. Jangan keenakan numpang di rumah orang. Dan kamu, juga sebaiknya pergi, karena aku tak menerima orang lain tinggal di rumah ini," ucap Vania, setelah itu ia masuk ke dalam rumah. Sementara Kikan terdiam, ia tak menyangka jika orang yang dianggap ibu tirinya itu begitu tegas. Padahal kata Lia, Vania adalah orang yang lemah. "Anakmu datang, tuh! Mana b
Bab 15Anna membanting pintu begitu tiba di rumah. Bagaimana tidak? Rencananya untuk mengajak keluarganya makan di luar hancur total karena Kikan ikut serta. Seharusnya, itu menjadi momen yang pas untuknya supaya bisa membujuk Hanif. "Papa jahat. Kenapa sekarang seperti menjauh banget? Apalagi si Kikan, sok cari perhatian Papa," ucap Anna sambil memeluk gulingnya. Betapa hancur hatinya saat melihat Hanif menyuapi Kikan tadi. Seorang lelaki yang ia tahu, hanya miliknya dan keluarga, nyatanya sudah berhasil di rebut orang lain. Sayangnya, tadi Wiyani tak ikut karena mendapat kabar kalau Fajri sakit dan akan menjemputnya. "Mas, kamu jangan kaya gitu lagi di hadapan Anna," ucap Vania saat ia menyusul sang suami ke kamar. "Emang aku ngapain sih, Van?" tanya Hanif, tanpa rasa bersalah. "Kamu nanya ngapain? Mas, kamu nyuapi Kikan di depan Anna, loh. Hatinya itu masih belum nerima, kok kamu tega, sih, sama yang udah jelas-jelas anak kandungmu sendiri?" tanya Vania, setelahnya ia masuk ke
Hanif pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Ia berjalan menuju dapur dan menenggak habis es jeruk yang ada di atas meja. Di kantor tadi, ia mendapat peringatan dari atasan karena sudah beberapa hari tak masuk kerja. "Kenapa lesu gitu?" tanya Vania, sambil mengambil jeruk yang ada di kulkas, lanjut membuat es jeruk kembali. "Dapat peringatan, Van. Aku terlalu sering nggak masuk kerja, katanya," ucap Hanif. "Ya, kan? Ini yang aku khawatirkan, Mas. Bagaimana kalau kamu dipecat? Sudah lah, menyerah saja. Sampai kapanpun, aku tak mau dimadu," ucap Vania. "Kok jadi ke masalah itu, sih?" "Lah, nyambung, Mas. Kamu pikir saja, kalau misal kamu dipecat. Mana punya istri dua, mau dikasih makan apa kami?" tanya Vania ketus. "Kalau kamu takut, ya lebih baik kamu aja yang mengalah, Mbak Vania. Aku siap menemani Mas Hanif. Senang ataupun susah," ucap Lia, yang datang tiba-tiba sambil duduk di sebelah Hanif. Vania segera melengos dan mengambil es batu. Udara siang ini memang panas, sehingga
"Sudah-sudah, enggak usah ribut! Aku bisa masak sendiri, Anna sekarang masuk kamar saja." Vania akhirnya buka suara, ia malas mendengar perdebatan. Tentu saja yang akan menang adalah Lia, terlebih kini ibu mertuanya kini berpihak pada jalang itu. "Maa!" protes Anna. Ibu dua anak itu mengerlingkan mata, memberi kode pada putrinya untuk diam saja. Anna tak habis pikir dengan ibunya yang luar biasa sabar menghadapi pengkhianatan di depan mata. Anna meninggalkan ruang makan, senyum penuh kemenangan tercetak jelas di wajah Lia. Ia berhasil membuat takluk Wiyani dan Hanif, sebentar lagi rumah ini akan dikuasai olehnya. Satu langkah lagi, pikirnya. Vania kembali melanjutkan masaknya, berusaha tak mempedulikan ketiga orang di ruang makan yang asik bercengkrama. __Anna dan Aldi memilih menghabiskan makan malam di kamar, mereka begitu muak melihat wajah Lia dan Kikan. Terlebih anak dari gundik ayahnya itu berhasil merebut semua perhatian Hanif."Lihat saja nanti, aku pasti bisa nyingkiri
"Menikah?" tanya Wiyani. "Iya, Bu. Memangnya apalagi yang ditunggu? Ibu sudah merestui kami, kan? Sepertinya Ibu juga sudah terbuka matanya, jadi bisa membedakan mana yang bagus dan mana yang jelek. Pokoknya Ibu nggak usah ngerasa khawatir, Lia akan mengurus Mas Hanif dengan lebih baik dari Vania pokoknya," ucap Lia. Ia masih terus berusaha mendekati Wiyani, karena jauh dalam hatinya, ia merasa aneh dengan perubahan sikap Wiyani padanya. Dari yang suka menginjak, kini sudH teras seperti bestie."Itu, kita bahas nanti. Oh iya, Hanif itu suka sekali sama perempuan yang bau tubuhnya pake minyak gosok, loh," ucap Wiyani. "Ah, masa, Bu? Laki-laki di mana pun pasti sukanya perempuan yang wangi. Masa iya, minyak gosok?" tanya Lia ragu."Lah? Kamu emang gak nyadar, kalau Vani sering bau minyak gosok? Kata Hanif, baunya itu bikin candu. Kamu percaya aja deh pokoknya, biar Hanif klepek-klepek sama kamu," ucap Wiyani. Mendengar kata-kata terakhir dari calon mertuanya tersebut, membuat Lia s