"Sudah-sudah, enggak usah ribut! Aku bisa masak sendiri, Anna sekarang masuk kamar saja." Vania akhirnya buka suara, ia malas mendengar perdebatan. Tentu saja yang akan menang adalah Lia, terlebih kini ibu mertuanya kini berpihak pada jalang itu. "Maa!" protes Anna. Ibu dua anak itu mengerlingkan mata, memberi kode pada putrinya untuk diam saja. Anna tak habis pikir dengan ibunya yang luar biasa sabar menghadapi pengkhianatan di depan mata. Anna meninggalkan ruang makan, senyum penuh kemenangan tercetak jelas di wajah Lia. Ia berhasil membuat takluk Wiyani dan Hanif, sebentar lagi rumah ini akan dikuasai olehnya. Satu langkah lagi, pikirnya. Vania kembali melanjutkan masaknya, berusaha tak mempedulikan ketiga orang di ruang makan yang asik bercengkrama. __Anna dan Aldi memilih menghabiskan makan malam di kamar, mereka begitu muak melihat wajah Lia dan Kikan. Terlebih anak dari gundik ayahnya itu berhasil merebut semua perhatian Hanif."Lihat saja nanti, aku pasti bisa nyingkiri
"Menikah?" tanya Wiyani. "Iya, Bu. Memangnya apalagi yang ditunggu? Ibu sudah merestui kami, kan? Sepertinya Ibu juga sudah terbuka matanya, jadi bisa membedakan mana yang bagus dan mana yang jelek. Pokoknya Ibu nggak usah ngerasa khawatir, Lia akan mengurus Mas Hanif dengan lebih baik dari Vania pokoknya," ucap Lia. Ia masih terus berusaha mendekati Wiyani, karena jauh dalam hatinya, ia merasa aneh dengan perubahan sikap Wiyani padanya. Dari yang suka menginjak, kini sudH teras seperti bestie."Itu, kita bahas nanti. Oh iya, Hanif itu suka sekali sama perempuan yang bau tubuhnya pake minyak gosok, loh," ucap Wiyani. "Ah, masa, Bu? Laki-laki di mana pun pasti sukanya perempuan yang wangi. Masa iya, minyak gosok?" tanya Lia ragu."Lah? Kamu emang gak nyadar, kalau Vani sering bau minyak gosok? Kata Hanif, baunya itu bikin candu. Kamu percaya aja deh pokoknya, biar Hanif klepek-klepek sama kamu," ucap Wiyani. Mendengar kata-kata terakhir dari calon mertuanya tersebut, membuat Lia s
Revisi BAB 19[Ikuti saja permainanku, Van.]Kening Vania mengkerut membaca pesan dari ibu mertuanya. Jadi, dua hari ini Wiyani sedang berpura-pura baik pada Lia. Entah apa yang sedang direncanakan ibu mertuany itu. Vania melanjutkan kembali pekerjaannya. Meskipun ia kini tahu sikap ibu mertuanya hanyalah sandiwara, tetap saja hatinya terluka karena bentakan beliau."Kamu sudah pulang, Nak? Sudah makan?" tanya Vania, saat melihat Anna masuk ke dalam rumah. Ada yang berbeda dari raut wajah Anna, mata sembab dan hidung merah pertanda gadis itu baru saja menangis. Vania menyusul putrinya ke kamar, ia yakin gadisnya itu sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, kamu kenapa?" tanyanya. Anna menenggelamkan wajahnya di bantal, membuat suara tangis gadis itu teredam. Vania mengusap punggung putrinya, entah apa yang membuat Anna pulang dengan keadaan sedih seperti ini. Tak berselang lama, Hanif datang dengan tergopoh-gopoh disusul dengan Kikan. "A-anna!" ucap Hanif terbata, lelaki itu terdi
Vania memeluk anaknya yang menangis sesenggukan, ia biarkan putrinya menumpahkan air matanya. Sekarang ia tak bisa tinggal diam, suaminya sudah benar-benar keterlaluan. "Anna malu, Ma." Tangis Anna membuat hati sang ibunda semakin terluka."Maafkan Papamu, Nak. Doakan semoga beliau segera sadar dari segala khilaf yang membutakan mata dan hati Papa," gumam Vania seraya mengusap rambut putrinya. Hari sudah semakin siang, Anna terlelap dalam pelukannya karena terlalu lama menangis. Setelah memastikan putrinya tertidur dengan nyenyak, Vania keluar kamar. Sejak tadi suasana rumah begitu sepi. Vania membersihkan rumah yang kotor, hampir tiga kali dalam sehari ia mengepel lantai sejak kedatangan Lia. Wanita itu begitu jorok, seringkali bekas makanan atau minuman berceceran di lantai. Ia membuka pintu kamar Lia yang tak terkunci, bau apek menyeruak menusuk indera penciuman. Banyak baju kotor bertumpuk di sudut ruangan, bekas makanan dan barang-barang yang berceceran. Jorok. Ya, gundik
"Ada apa ini ribut-ribut?!" Wajah Kikan berubah sumringah saat melihat Hanif datang. "Tante Vania pelit, Pa. Masa aku dikatain maling karena ngambil jajanan yang dia beli, kan, jajanan ini dibeli pakai uang Papa." Vania mencebik, melihat tingkah manja Kikan. Sementara Aldi pergi begitu saja, ia muak melihat kedekatan Hanif dan Kikan. "Van, kamu jangan kayak gitu dong!" tegur Hanif. "Terserahmu, lah, Mas. O iya, itu Anna lagi sakit, jangan ngurusin Kikan mulu!" ucap Vania seraya beranjak ke kamar. Hanif melepaskan tangan Kikan yang bergelayut di lengannya. "Papa mau datangin Anna dulu," "Papa aku, kan, masih kangen!" rengeknya. Jurus andalan Kikan ketika Hanif tak menuruti permintaannya adalah memasang wajah sedih. "Papa tega sama aku, dari kecil Anna kan sudah puas disayang Papa!" isaknya seraya menutup wajah dengan bantal sofa, membuat Hanif tak tega. Kikan tersenyum penuh kemenangan dibalik bantal."Sudah jangan menangis, Papa temani kamu di sini." Wiyani yang melihat it
"Apa kamu menyerah, Van?" tanya Wiyani. "Ya gimana, Bu? Mas Hanif benar-benar sudah buta. Vania tak tega melihat anak-anak yang semakin sakit melihat tingkah papanya dan Kikan. Bahkan, sekarang teman sekolahnya sudah tahu kalau ada Kikan." Wiyani menoleh ke arah menantunya. Apa maksudnya? Apa gosip itu sudah menyebar? "Mereka mengira kalau Kikan adalah wanita simpan Mas Hanif, Bu." "Apa? Kok bisa?" Lalu, Vania menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu, saat Anna pulang sambil menangis dan tentang isi pesan di grup kelas anaknya. "Benar-benar si Kikan. Anak dan Ibu nggak ada bedanya. Kamu nggak usah khawatir, Van, biar Ibu nanti gembleng si Hanif," ucap Wiyani. "Nggak usah, Bu. Nanti yang ada, malah Mas Hanif marah sama Vania. Lagi pula, Vania udah capek, Bu. Mental anak-anak sudah kena, begitupun dengan Vania. Kayak berjuang untuk hal yang tak pasti. Padahal di sini, Vania-lah istri sah Mas Hanif. Tapi seakan nggak punya kuasa untuk mengusir perempuan itu. Wanita licik itu,
"Bu?""Ini yang kamu mau kan, Vania?" tanya Wiyani pada Vania.Vania sedikit terkejut melihat perubahan mertuanya. Namun, secepat kilat ia bisa menata hati dan posisinya."Ibu bilangin lah, sama Lia, kalau mau jadi ibu sambungnya Anna, minimal harus bener pakaianny. Jangan kayak lacur gitu. Anaknya juga tuh, sama aja."Setelahnya Vania pergi ke kamarnya. Meski akting, rasanya sakit aja melihat mertuanya itu membela Lia.Lia tersenyum jumawa, lalu membenahi duduknya. Namun tidak dengan Kikan, gadis itu masih setia dengan mengangkat kakinya. Setelah dipukul oleh Lia, baru ia menurunkan."Lia dan Kikan ke kamar dulu, Bu."Wiyani mengangguk, setelahnya Lia menyeret Kikan menuju kamar."Ma, sakit, ih!""Selangkah lagi, Mama bisa menguasai papamu dan juga rumah ini. Tolong kerja samanya, Kan! Kamu mau, semuanya hancur si
Vania menoleh ke arah Lia. Dengan percaya dirinya, ia menghampiri Vania dan membuka ponselnya. Di dalam pikiran Vania begitu banyak praduga, seharian ini ia berada di rumah pribadinya, ia hampir tak pernah bertemu dengan lelaki di luar rumah jika tak bersama Hanif."Lihat ini. Baju kalian sama, dan ini diambil tadi siang. Bahkan, Anna juga ikut. Mas, Mas. Kasihan banget kamu, sudah nggak dianggap sama keluarga sendiri."Vania terkejut bukan main melihat bahwa ada fotonya dan Anna, serta seorang pria. Dari rambut, baju, dan juga tas, semuanya mirip. Tapi, kenapa bisa? Padahal sedari siang, mereka tak ke mana-mana. Hanya di rumah pribadi."Sekarang, apa kamu bisa mengelak, Van?" tanya Mas Hanif."Mas, ini bukan aku. Kamu lihat baik-baik. Ini editan. Pasti ini rencana kamu, kan?" tudingnya pada Lia.Wanita itu menjerit saat Vania menarik rambutnya. Kikan berusaha melerai, sementara Hanif malah berteriak tidak