Ikuti terus kisah Vania, wanita kuat, ini ya temas. Jangan lupa klik berlangganan. Terima kasih, semoga kita sehat selalu dan selamat menjalani hari yang indah~
"Ini pasti karena kamu enggak bisa mendidik anak!" hardik Mas Hanif.Jemariku mengepal, "Tahu apa kamu soal mendidik anak? Bukankah yang kamu tahu hanya kebahagiaan Kikan?""Kikan juga anakku, wajar aku ingin membahagiakan dia!" ketus Mas Hanif.Cih, lihat saja nanti Mas. Kamu akan menelan pil pahit, tentang siapa sebenarnya Lia dan anaknya itu?! Aku menatap punggung Mas Hanif yang menjauh, ia pergi ke belakang sepertinya menenangkan diri di teras belakang.Syukur-syukur jika ia menyadari kesalahannya sendiri.Sekilas aku mendengar perdebatan Lia dengan orang yang sedang ia telpon. Entah apa yang sedang dibahas wanita itu, aku yakin sesuatu yang sangat penting.Aku mengendikkan bahu, seraya melangkah ke kamar Ibu mengantarkan makanan untuk beliau. Sengaja malam ini aku tak masak malam ini, biar saja suamiku beserta gundiknya itu kelaparan.__"Lusa aniversarry kamu sama Hanif, 'kan Van?" tanya Ibu saat aku tengah menemani beliau makan di kamar.Aku menatap kalender, benar saja, lusa
“Btw, selamat ulang tahun pernikahan, ya, semoga djauhkan dari ular berbisa,” ucap Raisa yang membuatku mengerutan kening.“Maksudnya?” tanyaku.“Ah, adalah. Ntar gue cerita,” ucapnya lagi sambil menatap tajam Mas Hanif yang tengah berdiri di sampingku. Aku hanya mengangguk saja. Apakah Raisa tahu soal Lia? Mengingat dia adalah teman masa kecil Mas Hanif. Yah, bisa saja, kan? “Vania, sini!” panggil Ibu.Aku dan Mas Hanif berpamitan pada Raisa dan pacarnya, lalu menghampiri Ibu. Terlihat saudara Mas Hanif tengah berkumpul sembari menikmati kue dan minuman.“Selamat ya, Vania. Kamu makin hari, makin cantik saja. Beruntung Hanif punya istri seperti kamu. Kalau dia macam-macam, berarti dia bodoh!” ucap Tante Ria, adik almarhum ayah mertua. “Iya, bener. Mbak Yani ini, sering banget membanggakan kamu di hadapan kami. Bikin cemburu aja. Nemu di mana sih, Nif, istri kaya gini? mau lah, buat adikmu,” ucap Tante Sari, adik bungsu Ibu. Kami semua terkekeh. Tanpa aku bersusah payah, keluarga
Dua pengkhianat itu terdiam mendengar ucapan Wiyani -ibu Hanif-. Terlebih Hanif, ia tak mungkin membantah ucapan sang ibu, meskipun dirinya yakin bahwa Kikan adalah putri kandungnya bersama Lia. "Sudah, enggak usah kebanyakan mikir! Cepat antar Anna ke sekolah, ingat Hanif prioritas utamamu itu Vania dan anak-anak, bukan Lia dan anaknya!" ketus Wiyani seraya menatap sinis gundik putranya. Wiyani tak pernah menyangka, jika perempuan yang sangat ia benci itu kembali hadir dalam kehidupan putranya. Dan, parahnya Hanif tergoda dengan rayuan jalang itu. Lia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan ruang keluarga. Tentu saja, janda beranak satu itu kecewa karena Hanif tak mengeluarkan pembelaan sepatah katapun. Hanif menyentak napas kasar, lalu akhirnya menuruti permintaan Anna untuk mengantar gadis itu ke sekolah. Ketiga wanita beda generasi itu tersenyum penuh kemenangan, berhasil membuat Hanif dan Lia tak berkutik. Setelah mengantar suami dan putrinya sampai depan pintu, Vania
POV 3 (Untuk ke depannya pakai POV 3 sampai tamat)Dua pengkhianat itu terdiam mendengar ucapan Wiyani -ibu Hanif-, terlebih Hanif ia tak mungkin membantah ucapan sang ibu, meskipun ia yakin bahwa Kikan adalah putri kandungnya bersama Lia. "Sudah, enggak usah kebanyakan mikir! Cepat antar Anna ke sekolah, ingat Hanif prioritas utamamu itu Vania dan anak-anak, bukan Lia dan anaknya!" ketus Wiyani seraya menatap sinis gundik putranya. Wiyani tak pernah menyangka, jika perempuan yang sangat ia benci itu kembali hadir dalam kehidupan putranya. Dan, parahnya Hanif tergoda dengan rayuan jalang itu. Lia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan ruang keluarga. Tentu saja, janda beranak satu itu kecewa karena Hanif tak mengeluarkan pembelaan sepatah katapun. Hanif menyentak napas kasar, lalu akhirnya menuruti permintaan Anna untuk mengantar gadis itu ke sekolah. Ketiga wanita beda generasi itu tersenyum penuh kemenangan, berhasil membuat Hanif dan Lia tak berkutik. Setelah menganta
Hanif begitu panik, hingga malam anak istrinya tak kunjung pulang. Bahkan saat ini nomor istrinya berada di luar jangkauan. "Kamu kenapa sih, Mas?" ketus Lia saat melihat Hanif gelisah dan sibuk dengan ponselnya. "Vania dan anak-anak enggak bisa dihubungi, Sayang. Mas khawatir terjadi sesuatu sama mereka," ucapnya. Lia mendengkus, ia tak suka jika Hanif terlalu peduli dan khawatir pada anak istrinya. Sejak tadi ia merasa gembira, karena Vania dan anak-anaknya tak ada di rumah, semakin dekat langkahnya untuk mendapatkan Hanif. Sementara sejak sore, Wiyani lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. "Nanti juga pulang, Mas. Mereka bukan anak kecil yang harus kamu khawatirkan lagi!" sungut Lia. Hanif tak menggubris ucapan gundiknya, ia memutuskan ke teras berharap mobil yang dikendarai Vania sebentar lagi akan datang."Apa Vania mulai berontak ya? Tak terima aku menikah lagi." Pikiran Hanif mulai kalut, terlebih mengingat perjanjian yang dulu ia dan ibunya tanda tangani. Jika
Vania memainkan ponselnya, sudah beberapa hari ini ia tinggal di rumah hasil usahanya sendiri. Hanif tak pernah tahu, jika ia memiliki usaha yang sekarang bisa dibilang maju. Sebenarnya ia bisa saja menghempaskan suaminya begitu saja, tapi ia tak ingin hak anak-anaknya jatuh ke tangan yang salah. Selama bersembunyi dari Hanif, kedua anaknya memutuskan untuk izin tak masuk sekolah beberapa hari. Mereka hanya mengerjakan tugas yang dikirimkan oleh para guru yang dikirim lewat grup whatsapp. "Jadi Mas Hanif pergi ke rumah Ayah?" tanya Vania, pada ibu mertuanya diseberang telepon. Terdengar tawa ibu mertuanya, "iya dia kelimpungan cari kamu." Vania tersenyum tipis. Ia tahu suaminya mencarinya bukan karena peduli apalagi mencintainya, tapi karena takut hak waris jatuh pada anak-anak jika mereka sampai berpisah. "Terus, gundiknya itu bagaimana?" tanyanya lagi. Wiyani mendengkus."Semakin tak tahu diri, kamu segera pulang kalau urusanmu sudah selesai. Ibu tak sanggup jika menghadapi ul
Bab 13Diam-diam, Lia tersenyum. Senang bukan main yang ia rasakan saat calon suaminya itu bertambah marah pada istri sahnya. Ini adalah yang ia inginkan, perlahan menghancurkan rumah tangga Hanif, dan menjadi nyonya rumah ini. 'Masalahnya, bagaimana rencanaku akan berhasil kalau nenek peyot itu masih ada di sini?' bathin Lia saat melihat Wiyani melintas menuju dapur dan keluar membawa kantong plastik. "Mas, Ibumu mau sampai kapan tinggal di sini?" tanya Lia pada Hanif, namun lelaki itu diam saja. Tak ada minat untuk sekedar menanggapi ucapan selingkuhannya itu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya menemukan Vania dan anak-anak? Jangan sampai, Vania akhirnya menyerah dan membuatnya dalam keadaan bahaya. "Mas!" sentak Lia. "Apa sih? Aku lagi makan, bisa nggak, jangan ganggu?" sewot Hanif. Ia pun cepat menghabiskan makannya dan membuang sampah. Lia mendengkus. Kesal sekali yang ia rasakan. Wanit itu takut, jika Hanif akan berubah haluan dan berakhir mencampak
"Maaf, siapa ya?" tanya Anna. Bukannya menjawab, Kikan malah melengos begitu saja. Ia berpikir, kalau tiga orang yang baru saja datang itu hanya lah tamu keluarga papanya. Namun, matanya hampir saja melompat dri tempatnya saat melihat orang yang barusan menyapanya itu, malah mendorong pintu. "Kamu, anaknya Lia?" tanya Vania, setelah kedua anaknya masuk. "Iya, aku anaknya Papa Hanif. Ibu siapa, ya?" Mendengar ada yang memanggil papa ke Hanif selain anak-anaknya, membuat Vania sakit hati. Rasanya tak terima, ada anak lain selain anak darinya. "Saya istri sah-nya Pak Hanif. Tolong, beritahu ibumu, supaya segera ke luar dari rumah ini. Jangan keenakan numpang di rumah orang. Dan kamu, juga sebaiknya pergi, karena aku tak menerima orang lain tinggal di rumah ini," ucap Vania, setelah itu ia masuk ke dalam rumah. Sementara Kikan terdiam, ia tak menyangka jika orang yang dianggap ibu tirinya itu begitu tegas. Padahal kata Lia, Vania adalah orang yang lemah. "Anakmu datang, tuh! Mana b