Share

2. Melabrak pelakor

Lana mendorong pintu rumahnya menggunakan high heelsnya yang berharga belasan juta. Di dalam, ia melihat Sarah yang sedang duduk santai di sofa sambil mengelus perutnya yang masih rata.

Melihatnya, Lana semakin murka dan nafasnya semakin tidak beraturan. Ingin rasanya Lana melempar high heelsnya ke kepala wanita itu.

“Kau apakan anakku, sialan!” bentak Lana, seraya membanting kunci mobilnya di meja kacanya. Hingga membuat Sarah tersentak kaget.

“Aku tidak memukul anakmu. Aku hanya menegurnya,” balas Sarah.

“Lagipula siapa yang menyuruhmu ke sini? Bukankah aku sudah bilang? Jangan menginjak rumahku lagi, bitch!”

“Mas Arthur yang menyuruhku ke sini. Jadi kau tidak berhak marah- marah. Karena ini rumahnya, bukan rumahmu!”

Sedetik kemudian, suara tawa Lana langsung menggelegar memenuhi ruangan. Saking kerasnya ia tertawa, Sarah sampai takut mendengarnya.

Kemudian setelah itu, Lana mendekati Sarah dan mengelus pipi Sarah dengan lembut sambil tersenyum menyeringai. Hal itu tentu saja membuat Sarah mulai ketakutan.

“Sarah ... Sarah. Kenapa kau bodoh sekali? Seharusnya kau bisa membaca situasi. Bagaimana mungkin, lelaki pengangguran seperti Arthur bisa membeli rumah semewah ini? Bahkan untuk membiayaimu saja, dia masih meminta uang kepadaku.”

“Berhenti merendahkan Arthur! Dia memiliki banyak saham di perusahaan, asal kau tau!” geram Sarah, membuat Lana kembali menyemburkan tawanya.

“Terserah kau saja. Aku malas berdebat dengan orang ber-IQ rendah,” cibir Lana, seraya berjalan meninggalkan Sarah yang masih menggerutu kesal.

Lana berjalan menaiki tangga, menghampiri kedua anaknya yang berada di kamar sekaligus ingin membaringkan tubuhnya yang terasa sangat pegal.

“Lea! Leo! Mommy pulang,” ujar Lana, seraya mengetuk pintu kamar Leo.

Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Lea. Kemudian Lana langsung menghampiri anak bungsunya yang masih menangis dengan posisi tengkurap.

Lana mengangkat tubuh Leo, kemudian ia baringkan di atas pangkuannya.

“Apa yang dilakukan Mak lampir sampai membuatmu menangis, boy?” tanya Lana, seraya mengusap pipi Leo yang basah karena air mata.

“Leo dibentak karena bermain air,” sahut Lea.

Lana menghembuskan nafasnya kasar. Leo memang sangat sensitif. Jangankan dibentak oleh orang lain, ditegur oleh Mommynya sendiri saja Leo langsung menangis. Maka dari itu, butuh kesabaran lebih untuk menghadapi anak seperti Leo.

“Daddymu sudah pulang?” tanya Lana, yang hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Lea.

“Terus, siapa yang membawa Mak lampir itu ke sini?” tanya Lana lagi.

“Dia datang sendiri,” jawab Lea.

“Siapa yang membukakan pintu?”

“Bi Ika mungkin.”

Lana berdecak kesal. Padahal ia sudah berkali- kali mengingatkan pembantunya untuk tidak mempersilahkan pelakor masuk ke dalam rumahnya. Sepertinya, Lana harus memberikan pelajaran juga kepada pembantunya.  

“Mom ...” panggil Lea.

“Hmm?”

“Kapan kau bercerai dengan Daddy? Aku sudah lelah.”

Lana menatap Lea dengan tatapan sendunya. Hatinya terasa diremas- remas mendengar keluhan sang Putri. Mungkinkah sang Putri ini ikut menanggung beban? Sampai menginginkan kedua orang tuanya untuk segera bercerai? Ataukah kesehatan mental putrinya ini sudah mulai terganggu? Ya Tuhan, Lana benar- benar merasa bersalah.

“Sini, peluk Mommy.”

Lea mendekat, kemudian ia langsung memeluk Mommynya yang sudah menangis terisak.

“Maafkan Mommy ya sayang,” lirih Lana ditengah- tengah isakannya.

“Mommy tidak salah. Lea tau, Mommy bertahan demi Lea dan Leo. Sekarang, Mommy jangan memikirkan kita lagi. Kita tidak masalah, kalau harus hidup dengan Nenek di kampung.”

Lana tersenyum haru. Diusapnya pipi sang Putri dengan lembut. Kemudian ia kecup keningnya lumayan lama, sampai membuat sang Putra merengek iri.

Andai saja, hubungannya dengan Arthur tidak serumit ini. Mungkin Lana sudah menceraikan lelaki itu sedari dulu. Namun sayangnya, ada suatu hal yang membuatnya tidak bisa terlepas dari lelaki itu.

“Terima kasih sudah hadir di hidup Mommy. Mommy benar- benar beruntung memiliki anak seperti kalian,” ujar Lana setelah memberi kecupan di kening Leo.

“I love you Mommy,” balas Lea, seraya memeluk Lana dengan erat.

Lana mengusap lengan Lea sambil tertawa kecil. Diumurnya yang baru menginjak sembilan tahun, Lea sudah memiliki pemikiran yang sangat dewasa. Ia mengerti apa yang sedang terjadi dalam keluarganya, dan ia bisa memaklumi itu.

“Love you to.”

Lana kembali mengecup kening Lea dan juga Leo. Mereka berdua adalah anugerah terbesar dalam hidup Lana. Lana berjanji akan mengabdikan hidupnya untuk merawat dan juga membahagiakan mereka berdua.

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mengintip momen haru mereka dari jauh.  

***

“Sayang. Pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi, dan kau belum memberitahu orang tuamu? Kau ini keterlaluan sekali,” kesal Sarah.

Sementara itu, Arthur hanya terdiam tak mempedulikan Sarah. Sejak kembali dari lantai atas, lelaki itu hanya terdiam merenung sambil menggenggam tangannya.

“Sayang!” geram Sarah.

Arthur berdecak kesal. Kemudian ia lantas menghempaskan tangan Sarah yang sedang memegang tangannya.

“Berapa kali aku harus bilang? Pernikahan kita ini terjadi karena kesalahan. Jadi, kau tidak usah berharap lebih.”

“Kau benar- benar ingin menyembunyikan pernikahan ini?” tanya Sarah dengan mata yang berkaca- kaca.

Arthur mengangguk. “Sampai aku dan Lana resmi bercerai,” ucapnya.

“Kapan kau akan bercerai dengan wanita itu?” tanya Sarah lagi. Namun kali ini tidak dijawab oleh Arthur.

Tak lama kemudian, terdengar suara Lea dan Leo yang baru saja turun dari tangga. Sontak saja, Arthur langsung berdiri dan menghampiri mereka dengan senyuman manisnya.

“Kalian mau ke mana? Kok sudah rapi? Mau Daddy antar tidak?” tanya Arthur sok akrab. Namun hanya dilirik dengan sinis oleh Lea. Sementara itu, Leo masih sibuk dengan game di ponselnya.

“Lea! Pakai sepatu Dior saja! Sepatu Adidasnya belum kering!” teriak Lana dari lantai atas.

“Iya, Mom!”

Kemudian setelah itu, Lea langsung menggandeng Adiknya dan mengajaknya untuk keluar dari rumah.

Melihat itu, Arthur hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar. Tidak ada hal yang menyakitkan selain diabaikan oleh anaknya sendiri. Meskipun Arthur gagal menjadi suami yang baik, namun ia selalu berusaha menjadi Ayah yang baik untuk Lea dan Leo.

“Kamar Leo masih berantakan. Tolong dibereskan,” ujar Lana, yang hanya diangguki oleh Arthur.

“Sebelum aku pulang, sampah- sampah di rumah harus sudah bersih semua. Termasuk wanita itu,” ujar Lana lagi, sembari menunjuk Sarah yang masih terduduk di sofa.

Hal itu ternyata dapat memicu emosi Sarah. Wanita itu lantas berdiri dari duduknya dan membanting tasnya ke lantai.

“Kau tidak akan pulang, Lana! Kau akan mati bersama anak- anakmu di jalan!” hardik Sarah sembari menunjuk wajah Lana. Yang sukses membuat Arthur ikut terpancing emosi.

“DIAM!” teriak Arthur penuh emosi.

Lelaki itu lantas menghampiri Sarah, dan menampar pipi wanita itu dengan keras. Hingga membuat wanita itu hampir terjatuh ke samping.

Plak.

Arthur menampar pipi wanita itu lagi. Dan kali ini, wanita itu langsung menangis tersedu- sedu.

Nafas Arthur terengah- engah. Sepertinya lelaki itu benar- benar emosi.

Bye ... selamat bertengkar. Aku tidak ikut- ikut,” ujar Lana seraya tersenyum meledek. Membuat Sarah semakin kesal dibuatnya.

Di luar dugaan. Tiba- tiba Lea masuk ke dalam rumah, lalu melemparkan sepatunya ke arah Sarah, dan tepat mengenai kepala wanita itu.

“BERHENTI MEMBUAT RUSUH DI RUMAHKU!” teriak Lea dengan berlinang air mata.

Hal itu tentu saja membuat Sarah dan kedua orang tuanya kaget bukan main. Baru kali ini, mereka melihat Lea semarah itu. Biasanya, Lea selalu bersikap acuh dan tak peduli.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status