Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia."
"Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev."
Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!"
Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok."
Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan tak terima untuk kalimat yang terakhir. Namun, saat ini dia meyakini bahwa Savana lah yang terbaik untuknya.
"Edrick! Bukannya kata lo cuma ingin minta maaf aja? Dan lo gak suka sama dia 'kan?"
"Awalnya emang gua cuma mau minta maaf aja, tapi saat udah lihat dia sekarang, dia udah banyak berubah. Dia terlihat sangat cantik di mata gua."
"Itu terserah lo, cuma resikonya bokap gak akan pernah menerima wanita yang tidak jelas asal-usulnya sebagai menantu. Kecuali, niat lo cuma main-main aja kaya gua sama dia dulu. Sumpah, walaupun dia lumayan cantik, ogah banget gua sama dia."
"Gua gak pernah main-main. Gua beda sama lo Bang Zev."
***
Vianca bangun dengan keadaan perut sakit dan dada sesak, asam lambungnya naik. Jika sudah seperti ini, harusnya dia istirahat yang cukup lalu ijin tidak masuk kerja. Namun, dirinya masih dalam masa training. Syarat dari karyawan training adalah, jangan sampai bolong kerja selama satu bulan. Sementara, dirinya baru lima hari kerja. Vianca tak ingin usahanya sia-sia, dia memaksakan diri untuk melangkah untuk mandi. Setelah itu, merapikan perlengkapan kerjanya.
Sepanjang perjalanan, dirinya meringis menahan sakit. Obat yang dia minum belum ada reaksi. Terlebih, dirinya hanya punya stock obat warung biasa.
Sesampainya di tempat kerja, tidak ada yang berubah. Perutnya tetap sakit, dan dia enggan untuk sarapan. Sungguh hari yang konyol, dia bahkan membenci dirinya sendiri kenapa memiliki penyakit merepotkan ini. Kenapa harus kambuh di saat dirinya masih dalam masa pengawasan.
Vianca mengacak rambutnya, menyalahkan diri sendiri di dalam hati. Dia tak sadar, ada seorang pria yang datang lebih awal, melihat kelakuannya.
"Selamat pagi Vianca!" sapa Zeva.
"Pagi Pak Zeva!" Vianca buru-buru merapikan rambutnya kembali.
Zeva berdiri, meneliti tubuh Vianca dari atas sampai bawah. Dia muak saat melihat tampilan Vianca yang seperti itu. Lalu dia menunjuk rambut Vianca dengan jarinya. "Vi, kamu acak-acakan dan kumal. Pergi ke kamar mandi sana! Nanti di sana, lihat wajahmu di cermin! Benar-benar Seperti orang bodoh. Cuci mukamu sekarang!"
Vianca melihat tangan Zeva mengibas-ngibas seperti tukang parkir. Tentu saja Zeva bukan sedang bantu parkir mobil, dia melakukan itu untuk mengusir Vianca dari hadapannya, supaya segera masuk kamar mandi.
Vianca mengangguk, sambil perlahan mulai melangkah ke kamar mandi. Dia masih menahan segala sakit saat berjalan. Dan dia harus bisa menahannya sampai pulang kerja nanti.
Zeva mematung, sambil menatap punggung Vianca yang ringkih, wanita itu melangkah dengan susah payah. Zeva mengikuti langkah Vianca dengan ragu-ragu. Namun niatnya batal, karena akhirnya tersadar merasa tak perlu sampai khawatir seperti ini.
***Vianca berhasil bertahan menyembunyikan rasa sakit sampai sore, saat pulang kerja. Walaupun resikonya, tubuhnya semakin melemah. Dia menaiki kendaraan umum ke arah klinik terdekat. Sebenarnya, bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi kakinya sudah lemah untuk melangkah.
Vianca berdiri di depan pintu klinik. Tersenyum, karena rupanya dia bisa mengatasi masalahnya sendiri. Vianca melangkah dengan lemah, terhenti sejenak karena pandangannya mulai kabur. Detik kemudian, dia sudah benar-benar tumbang, dan terjatuh.
Seorang pria bodoh yang dari tadi mengikuti Vianca, terlambat untuk sekadar menopang badan Vianca. Dia malah baru meraih tubuh Vianca setelah wanita itu tergeletak di lantai.
"Vi ... Vianca! Sadar, Vi!" Zeva mengangkat tubuh Vianca ke dalam klinik, security yang berjaga saat itu, membantu membukakan pintu dengan sigap.
Bukan hanya Zeva, Edrick pun rupanya mengikuti Vianca. Namun, dirinya sedikit terlambat karena belum dapat tempat parkir mobilnya. Edrick berjalan tergesa-gesa saat melihat kakaknya mengangkat tubuh Vianca. Dia masuk ke dalam, dan sudah melihat Vianca berbaring, ditangani oleh Dokter yang ada di Klinik itu.
Edrick menghampiri Zeva. "Bang Zev, lo ngikutin Vianca?"
Zeva terbelalak saat sadar Edrick sudah ada di belakang. "Bukan urusan lo! Lo juga ngikutin Vianca 'kan?"
"Bang Zev, sorry gua cuma ngingetin. Hari ini lo ada janji sama Mbak Savana 'kan? Melanjutkan obrolan rencana pertunangan kalian. Saran gua, lo temui dia aja sekarang."
Zeva mengerutkan dahi, dia nampak berpikir dengan keras. Apakah memilih menemui calon tunangannya. Atau, menemani hingga mengantarkan pulang Vianca, wanita yang sering membuat dia khawatir meskipun tak terucapkan oleh Zeva.
"Vianca, biar gua aja yang temani. Gua akan pastikan dia pulang dengan selamat setelah berobat dari sini."
Zeva melirik. "Gak! Biar gua aja!"
"Ah, tidak, Bang. Lo harus temui Mbak Savana! Karena bisa saja, lo kehilangan kesempatan untuk tunangan dengan wanita itu, kalau sampai lo batalin janji kalian. Tahu sendiri 'kan dia orangnya ngambekan."
Zeva mendengkus. "Ya, udah. Nanti anterin Vianca balik! Jangan diapa-apain."
Edric terkekeh dengan pernyataan Zeva. "Makannya, pulangnya harus sama gua biar aman. Karena kalau dia pulang sama lo, malah jadi bahaya."
Zeva melangkah ke luar dengan muram. Dia paham sindiran adiknya, karena bisa saja Zeva meminta hal macam-macam walaupun Vianca sedang sakit. Tentu saja, itu pendapat yang berlebihan. Zeva masih waras untuk tidak meminta hal yang macam-macam pada wanita yang sedang sakit.
Vianca membuka mata, dia kaget saat pertama kali membuka mata dan orang yang pertama kali dia lihat adalah Edrick. Vianca masih lemas, tak bergairah bertanya mengapa Edrick bisa ada di sini. Namun, dirinya terus-menerus menatap ke arah Edrick, berharap pria itu menjelaskan semuanya tanpa harus ditanya.
Edrick tersenyum melihat Vianca sudah sadar. Dia sedikit mengusap puncak kepala Vianca. Namun, dengan sisa tenaga yang dimiliki Vianca, wanita itu menepis tangan Edrick. Hal itu membuat Edrick menarik tangannya kembali. Paham, bahwa Vianca merasa risi atas tindakannya.
"Maaf Via!"
***Zeva berjalan tergesa-gesa, sesudah dirinya memarkirkan mobil. Saat di depan restoran dia mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang dia pesan bersama Savana. Tersenyum, karena gadisnya masih ada di sana walau sudah menunggu cukup lama. Zeva pun menghampiri Savana.
"Vana! Sorry banget, aku telat. Kamu udah dari tadi di sini?"
Savana merapikan rambut saat sadar Zeva sudah tiba. "Lumayan lama juga aku nungguin kamu, Zev. Kemana aja 'sih? Nyebelin!"
"Maaf sayang! Aku ada urusan mendadak, tadi." Zeva sedikit mengelus pipi Savana sebelum dirinya duduk.
Savana tidak menyambut Zeva dengan senyuman. Meskipun begitu, Zeva tetap bahagia.
"Udah pesan makanan duluan 'kan?"
"Udah lah, aku udah lapar dari tadi. Punya kamu juga udah aku pesenin, kok."
Pelayan mengantarkan makanan, Zeva tak harus menunggu lama, karena Savana sudah memesan dari awal. Dia langsung menyantap steak di depannya. Namun sialnya, dia kehilangan selera makan karena bayangan Vianca melintas di benaknya. Zeva butuh informasi keadaan terbaru Vianca.
"Kamu kenapa? Ada masalah, Zev?"
"Gak ada."
"Gak suka sama makanannya, kok gak kaya biasanya?"
"Em ... suka, kok. Enak!."
Diam-diam, Zeva mengeluarkan ponsel. Mencari kontak Edrick dan mengirimkan pesan WA. "Vianca udah sadar? Harus dirawat atau boleh pulang sekarang?"
"Zeva! Lagi makan kenapa main hape? Nge-chat siapa, sih? Serius amat! Bahkan, kita belum ngobrol sama sekali, tapi pikiran kamu ada di tempat lain. Aku gak suka, ya!"
Zeva meletakan ponsel. "Oke, sorry, Vana."
"Kalau kamu gak prioritaskan aku saat kita lagi bersama. Jangan harap pertunangan kita akan berlanjut. Jangan bikin aku bete, paham? Udah telat, malah main hape lagi. Nyebelin!"
Zeva mengangguk, menyesap lemon tea sambil menatap lekat ke arah Savana. Pacar pertamanya ini, kini sudah jauh berbeda dari yang dulu dia kenal. Sebelum Zeva masuk penjara, Savana tidak sebawel ini, selalu menghargai Zeva sebagai seorang pria.
Seolah bagi Savana, satu kesalahan Zeva di masa lalu yang pernah masuk tahanan, membuat Zeva sudah tak berarti lagi di matanya. Sementara, Zeva tak suka saat wanita tidak menghargainya.
Hingga akhirnya, Zeva mendadak ingat Vianca kembali. Wanita itu malah yang bisa menemaninya saat keadaanya terpuruk sekali pun. Zeva ingin menemui Vianca malam ini walau sebentar. Sekadar menuntaskan rasa penasaran atas kondisi Vianca yang tak berdaya saat bekerja.
Savana baru pulang dari luar negeri. Dia kembali ke rumah orang tuanya dengan hati bahagia. Bahagia saat melihat di internet orang-orang ramai-ramai menghujat Vianca. Pasti saat ini Vianca stres berat, suruh siapa merebut Zeva dari dirinya. Sungguh sangat beruntung, dia adalah seorang selebgram berwajah cantik yang disayangi para netizen. Selama penampilan good looking, jika berkeluh kesah di sosial media akan cepat mendapatkan simpati orang lain.High heels Savana berbunyi saat melangkahkan kaki menuju rumah. Dia saat ini menggunakan mini dress warna maroon sebagai lambang keberanian. Selain itu, kakinya sudah sembuh total membuat dia bebas bergerak. Mungkin, nanti malam dia harus mengadakan pesta, pesta atas penderitaan Vianca.Langkah Savana terhenti. Rupanya, di depan orang tuanya yang megah bernuansa art Deco itu ada seorang pria tinggi bertubuh atletis sedang berdiri menantinya.Mata tajam Zeva tersebut terus menatap ke arah wanita yang pernah singga
Sudah sekian lama Zeva tidak menginjakan kaki di rumah ibunya ini. Sejak memilih hidup bersama Vianca, sejak saat itu pula Zeva tidak pernah ke rumah orang tuanya. Namun, semuanya tidak berubah orang tua Zeva tidak pernah bisa sedikit saja mengerti dirinya.Semilir angin malam bertiup halus di depan wajah Zeva. Dia berjalan dari area parkir, menuju ke dalam rumah dengan langkah yang hampa. Dia mengingat video itu kembali, alasan istrinya memilih pergi jauh dari hidupnya."Bi, di mana mamah?" tanya Zeva pada asisten rumah tangga."Beliau sedang ada di kamar."Zeva tak berkata apa-apa lagi, dia menuju kamar ibunya yang berada di lantai dua dengan langkah yang terburu-buru. Sementara itu, dia juga tahu saat ini ayahnya sedang berada di luar kota.Zeva mengetuk pintu. "Mah, ini Zeva!"Lama Zeva menunggu, hingga akhirnya ibunya yang berada di dalam kamar menyahut panggilannya. "Zeva, masuk saja."Zeva membuka pintu, dia melihat sang ibu se
Keadaan rumah dikunci dari luar. Zeva membuka gerbang dengan kunci cadangan yang dia bawa. Rumahnya sepi, asisten rumah tangga sudah jelas sedang mudik. Namun, istrinya juga tidak ada di rumah. Zeva hanya berpikiran bahwa Vianca sedang pergi ke mini market membeli sesuatu.Namun, sang rumah menampakan kesunyian pula. Seolah dia pun merasakan sedih ditinggal sang nyonya rumah. Sementara itu, tuan rumah tak memiliki prasangka apapun karena merasa baik-baik saja dengan istrinya.Vianca baik, menerima semua kekurangan Zeva, tak mungkin Vianca pergi sembarangan. Kecuali wanita itu sudah berada di puncak kelelahan. Zeva membersihkan badan, mandi di bawah guyuran shower dan merasakan setiap rintik air yang menetes ke tubuhnya dalam kegalauan. Dia terbayang wajah Vianca.Vianca selalu ada di rumah ketika Zeva pulang. Zeva tak menuntut Vianca selalu menyambutnya. Namun, rasanya berbeda saat wanita itu sudah tak melakukan ritual sederhana. Yaitu, hanya sekadar senyum meny
Savana mendapat pesan 'WA dari ibunya. Dia merasa terharu ternyata ibu dan ibu mertuanya sangat sayang padanya. Hingga rela melabrak wanita yang sudah dia ketahui bernama Vianca itu.Awalnya, dia posting di sosial media untuk mencari perhatian orang lain. Setelah berhasil menjadi selebgram dengan kisah cinta yang rumit, rupanya dia mendapatkan kenyamanan. Hal itu dikarenakan, apapun yang dia posting selalu mendapat dukungan.Terbersit dalam hatinya untuk mengunggah video ini. Apalagi jika dia menambahkan soundtrack lagu yang menyayat hati. Pasti setiap orang yang melihat akan iba akan kisah cintanya.Savana tanpa ragu melakukan hal itu. Toh, apapun yang dia lakukan tidak akan membuat Zeva kembali padanya. Dia kini benar-benar menyerah, dan hanya ingin balas dendam pada Vianca. Jika dirinya tak bahagia, maka Vianca juga harus mendapatkan luka yang sama.Akhirnya, video itu berhasil terkirim ke publik dengan judul. "Penggerebegan pelakor mantan suamik
"Kamu wanita playing victim. Yang sebenarnya korban adalah anak saya, Savana." Ibunya Savana mulai berkata-kata lagi, tapi saat ini dengan intonasi yang pelan. Dia pun takut anaknya Vianca menangis lagi."Saya tahu, tapi Savana korban dari kelakuan Zeva. Saya tidak tahu menahu kisah Zeva dan Savana seperti apa. Yang saya tahu, Mas Zeva sudah putus dari Savana sebelum menikah dengan saya.""Berarti Zeva dan Savana putus gara-gara kamu, kamu biang kerok semua masalah.""Mas Zeva bilang, saat itu Savana dan Adam kakaknya Zeva ada hubungan, maka dari itu Zeva kesal.""Jangan so tahu kamu. Malah fitnah anak saya."Ibunya Vianca berkata kembali. "Kamu, wanita murahan! Jangan pernah sekali-kali mencoba memfitnah menantu kesayangan saya. Kamu mau melahirkan berapa belas anak pun dari Zeva, tetap saja kamu wanita murahan yang tidak akan mendapat tempat di kehidupan saya."Ibunya Zeva emosi saat melihat teman akrabnya sekaligus besannya sakit hati ole
Di rumah baru ini, Vianca melewati berbagai hal. Terutama menyaksikan tumbuh kembang anaknya yang sudah mau satu tahun. Anak nya sudah bisa jalan, sering menggapai benda-benda bahaya disekitar. Vianca kewalahan dan kecapean akan hal itu, tapi itu adalah hal yang menyenangkan dalam hidupnya. Saat melihat canda tawa Rafael, Vianca merasa hidupnya sempurna.Rafael pun tak pernah kekurangan kasih sayang ayahnya. Zeva saat pulang bekerja selalu mengajak anak itu bermain baik di rumah maupun di taman dekat rumah. Mengajak Rafael mandi bola dan yang lainnya.Vianca selalu sibuk di sore hari menyiapkan hidangan kesukaan Zeva. Namun memang, hasil masakan Vianca tidak mengecewakan. Zeva selalu lahap bahkan sampai nambah dua kali sangking bersemangatnya menyantap hidangan dari istrinya itu.Yang kurang dari hidup mereka adalah. Tidak adanya restu dari orang tua mereka. Terlebih Savana pergi ke luar negeri dengan alasan berobat, dia
Savana meletakan ujung pena untuk menandatangani surat gugatan cerai dari Zeva. Tangannya bergetar, air matanya berderai. Dia tak pernah mengira nasibnya akan menjadi janda di usianya yang sangat muda. Apa kata orang nanti?Apalagi, saat ini dirinya masih di atas kursi roda. Ingin mendapat perhatian malah dapat celaka yang berkali lipat.Keluarga Savana begitu terpandang dan disegani. Hal itu semakin membebani batin Savana. Dia kembali terisak mengingat bagaimana nanti reaksi ibunya yang mengetahui kejadian ini.Savana tak sanggup menandatangani kertas itu. Surat tersebut malah dibanjiri air mata dan Savana segera meletakan kembali surat itu ke nakas.Dia menelepon Adam, pria yang pernah menenangkan jiwanya walaupun statusnya adalah suami orang.Adam mengangkat telepon. Dan sepertinya mendengar rintihan Savana. "Hallo, Savana! Kamu menangis?"
Vianca melihat istri Melvin membawa kado yang besar. Tadinya dia tidak fokus pada kado yang keluarga itu bawa. Vianca menjadi lega, sepertinya kedatangan Melvin bukan untuk hal yang jahat, tapi untuk berkunjung layaknya saudara."Vianca, ini untuk anak kamu!""Makasih banyak, kak!"Siapa namanya anakmu itu.""Namanya Rafael Nichole. Panggilannya Rafael atau Rafa, tapi kadang aku panggil aja Dek Fael."Lucu banget panggilannya."Cindy masuk ruangan tamu sambil membawa Rafael. "Wah, ada Kak Melvin di sini. Ya, ampun, kak Melvin kemana aja, gak pernah mudik. Ibu sama aku hampir lupa punya kakak cowok.""Iya, maafin Kaka Cindy. Sini bawa dedeknya, kakak mau lihat wajahnya mirip Vianca atau Zeva.""Wajahnya mirip tantenya, dong hahaha." Cindy mendekat ke arah Melvin.Melvin menatap Rafael dengan lekat. "Ganteng banget, mirip gua ternyata.""Huhuuuuu ...." Cindy bersorak meledek Melvin."Saat lahiran berapa kilo?
Vianca sudah menunggu Cindy di depan pintu. Saat Cindy tiba dengan menggunakan mobil Edrick, Vianca sangat heran karena wajah adiknya itu murung sambil buru-buru masuk kamar tanpa ucap salam."Edrick, katanya kamu mau pulang sore, tapi malah pulang semalam ini.""Sorry, Vi. Aku keterusan mainnya.""Lain kali jangan gitu, lalu kenapa Cindy kelihatan kesal? Apa yang kamu perbuat padanya.""Aku tidak melakukan apa-apa. Mungkin dia lelah.""Oh, gitu.""Ya." Edrick tertunduk, takut ketahuan bohong. "Ya, sudah, aku pulang dulu, Vi.""Hati-hati di jalan.""Oke."Vianca berjalan menuju kamar Cindy. Dia melihat Cindy berbaring di kasur dengan selimut menutupi perut."Udah mau tidur? Udah cuci kaki dan cuci muka belum? Atau kamu mau mandi air hangat?""Aku lagi bete, mau tidur aja.""Jangan gitu, dong jorok, tahu.""Bodo amat, lagi bete.""Emang kesal sama siapa, sama Edrick!""Ya sama sia