Share

12. Pria Itu Memaksa Menginap

Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi. 

Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."

Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total.

"Rumah kamu di mana, Via?"

"Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"

Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca.

"Kamu tinggal sendiri sekarang?"

"Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.

Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar. 

Vianca kaku, ingin sekali bersandar dengan nyaman, tapi segan. 

"Via, duduknya senyaman kamu aja. Gak usah kaku kaya gitu. Aku yakin kamu pegal dengan posisi seperti itu."

Vianca tersenyum, lantas membenarkan posisi duduknya lebih nyaman. "Em, makasih."

Edrick gemas atas reaksi sederhana dari Vianca. Ingin sekali saja, membelai rambut Vianca sambil menanyakan kondisinya lebih baik atau tidak. Akan tetapi, dia ragu karena kemungkinan besar Vianca akan menepis tangannya kembali.

Beberapa menit berlalu, Edrick berhenti tepat di mana Vianca memberikan petunjuk kontrakannya. Cat hijau muda dekat sebuah counter pulsa. 

"Ini tempatnya?"

"Iya benar. Makasih Pak karena sudah antar saya sampai rumah!"

"Tunggu! Biar aku buka pintu untukmu."

Edrick membukakan pintu, lalu memapah Vianca sampai ke dalam rumah. Dia memastikan Vianca berada di dalam rumah dengan aman.

"Kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi aku. Walaupun tengah malam aku akan angkat telepon jika itu dari kamu."

Vianca menggeleng. "Gak usah repot-repot. Sudah diantar sampai sini saja sudah cukup."

"Gak repot, kok. Karena hal kecil seperti ini tidak bisa menebus kesalahanku padamu."

Vianca membulatkan mata, sadar yang dikatakan Edrick ada kaitannya dengan masa lalu mereka. "Di negeri ini, begitu banyak anak pria nakal dan suka bully siswa lain, bukan cuma Pak Edrick seorang. Jadi, tidak usah selalu minta maaf karena memang mentalku saja yang terlalu lemah saat itu."

Edric mengerutkan dahi, dia tahu Vianca berkata seperti itu supaya dirinya tidak lagi mendatangi Vianca. Karena, kejahilannya sudah melewati batas wajar saat itu.

"Pokoknya kalau ada apa-apa hubungi aku. Aku butuh tahu kabarmu biar aku pun bisa tenang."

"Ya, sudah, Baiklah! Aku akan hubungi Pak Edrick jika ada hal mendesak."

"Ayolah, Via! Kita ini teman sekelas saat SMA dulu. Kalau sedang ada di luar kantor jangan panggil Bapak."

Vianca mengangguk.

"Kalau begitu aku pulang dulu! Jaga dirimu baik-baik."

Vianca masuk ke dalam rumah, berbaring di kasur setelah sebelumnya meminum obat yang diberikan dokter. Baru saja dia merebahkan badan, ada suara ketukan pintu.

Vianca mengabaikannya, palingan juga Melvin mendatanginya. Namun, bagaimana jika yang datang adalah Edrick? Vianca mengecek barangnya, siapa tahu ada yang tertinggal di mobil milik Edrick, tapi sepertinya lengkap semua.

Vianca akhirnya membukakan pintu, dan terbelalak saat melihat pria yang ada di hadapannya sungguh diluar dugaan. 

"Pak Zeva mau ngapain?"

Zeva terdiam sejenak, meneliti setiap garis wajah Vianca yang pucat. Wanita ini belum sepenuhnya sembuh. Hingga akhirnya dia berkata dengan lirih. "Aku ingin melihat keadaanmu, kenapa gak dirawat di Rumah Sakit aja, kalau masih lemah seperti ini?"

Situasi yang aneh bagi Vianca, saat menyadari Zeva berbicara dengan formal padahal sedang ada di luar kantor, biasanya pakai bahasa yang lebih bebas. Bahkan, nada suaranya halus dan nampak khawatir. 

"Karena saya masih bisa istirahat di rumah. Tadi bisa pingsan karena terlambat penanganan aja, sama perut saya lagi kosong."

Zeva memejamkan mata sejenak, mengingat sikapnya yang ketus pada Vianca tadi pagi. Namun kelihatannya, Vianca tidak dendam. Hal itu membuat dirinya semakin merasa bersalah.

"Aku menyesal, tadi pagi kasar sama kamu. Aku tahu kamu sakit, tapi tidak menyuruhmu istirahat."

"Gak masalah, itu salah saya tidak bisa jaga kesehatan. Padahal, baru lima hari kerja."

"Lain kali jangan maksain, Vi."

"Saya takut gak dikasih kesempatan lagi untuk kerja, karena masih karyawati baru."

"Padahal, kamu bisa bilang padaku dulu. Nanti aku bisa jelaskan semua pada Pak Adam."

Vianca terperanjat. Menatap lekat pada lawan bicara. "Kita sudah sepakat gak saling kenal. Saya mana berani, kalau Mas Zeva udah bilang kaya gitu."

Zeva mematung, ingin minta maaf akan hal itu tapi malah bungkam. Sepertinya, mulutnya dikutuk untuk tidak bisa minta maaf. Zeva terperanjat, tersadar dari tadi masih berada di depan pintu. Wanita ini keterlaluan, dia tidak mempersilahkan atasannya untuk masuk.

"Kamu gak nyuruh aku masuk? Apa aku terlihat seperti penjaga pintu, Vi?"

"Bukannya gitu, Mas Zev. Ini terlalu malam untuk bertamu."

"Kamu sendirian dan sedang sakit. Gak ada salahnya jika aku berjaga sampai pagi buat kamu. Lagipula besok libur."

Vianca menggeleng. "Jangan! Itu gak baik. Saya lebih baik sendiri di rumah. Kali ini saya sudah bertekad tidak akan melayani pria mana pun. Mas Zev bisa pulang sekarang."

"No, Vianca No! Aku masih waras mana mungkin berbuat mesum pada orang sakit. Aku hanya ingin____  menjagamu."

Vianca menggeleng. "Saya sudah tahu dari Edrick kalau Mas udah punya tunangan."

Zeva terperanjat, dia bergumam, "Dasar si kutu kupret Edrick, banyak bacot. Ngapain dia cerita sama Vianca."

Vianca melihat bibir Zeva bergerak-gerak seperti sedang mengumpat. Namun tak bisa mengerti Zeva berkata apa. Vianca langsung tertunduk saat Zeva menatap ke arahnya, karena pria itu sadar Vianca memperhatikan bibirnya.

"Lagian, Edrick bilang! Kalau saya boleh hubungi dia kapan aja jika penyakit saya kambuh. Jadi, Mas Zeva gak usah repot-repot urusi urusan saya lagi."

"Apa?" Zeva mengepalkan tangan.

Dia memang pernah menyuruh Edrick mengambil Vianca darinya. Namun, saat Edrick benar-benar melakukannya. Ternyata hati Zeva tidak bisa terima. Dan kalau bisa, dia ingin memiliki Savana dan Vianca secara bersamaan. Lagipula dia belum ada rencana menikah dalam waktu dekat.

"Mas Zev lebih baik sekarang pulang dulu, ya! Maaf! Saya mau istirahat." Vianca memohon sambil memegang perutnya.

"Mana yang sakit? Itu perut kamu masih kerasa sakit?"

Vianca tidak menjawab. Namun wajahnya meringis, memberi isyarat pada Zeva untuk segera pulang.

Bukannya menuruti keinginan Vianca. Zeva malah mengangkat tubuh Vianca. "Aku antar kamu ke kamar buat istirahat."

"Gak perlu!" Vianca melingkarkan tangan pada leher Zeva. Bukan karena setuju untuk diantar. Namun, dia takut jatuh karena tidak ada energi jika harus menolak.

"Kamu sudah makan malam belum? Jangan bilang, sampai detik ini kamu belum makan!" Zeva bertanya sambil mengangkat tubuh ramping Vianca.

"Sudah, kok. Tadi diajak makan dulu sama Edrick."

Zeva mendengkus. "Jangan sebut nama Edrick lagi di hadapanku. Kalau masih sebut aku akan lemparkan kamu ke jendela."

Bukannya takut, Vianca malah tersenyum. Karena tidak mungkin dirinya dilempar ke jendela seperti kucing. Buktinya, saat di depan kasur Zeva dengan hati-hati menaruh Vianca. Boro-boro untuk melemparkan ke jendela.

Vianca kebingungan. Karena Zeva tidak pulang. Pria itu duduk di sampingnya dengan santai.

"Tidur, Vi. Aku di sini jagain kamu."

"Gak mau! Saya sudah gak menerima tamu pria malam-malam. Mas mohon mengerti keputusan saya ini."

Zeva mana mau mendengar Vianca. Ucapan Vianca dianggapnya angin lalu. Dia masih tetap berada di sana. Menunggu Vianca tertidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status