Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi.
Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."
Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total.
"Rumah kamu di mana, Via?"
"Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"
Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca.
"Kamu tinggal sendiri sekarang?"
"Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.
Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar.
Vianca kaku, ingin sekali bersandar dengan nyaman, tapi segan.
"Via, duduknya senyaman kamu aja. Gak usah kaku kaya gitu. Aku yakin kamu pegal dengan posisi seperti itu."
Vianca tersenyum, lantas membenarkan posisi duduknya lebih nyaman. "Em, makasih."
Edrick gemas atas reaksi sederhana dari Vianca. Ingin sekali saja, membelai rambut Vianca sambil menanyakan kondisinya lebih baik atau tidak. Akan tetapi, dia ragu karena kemungkinan besar Vianca akan menepis tangannya kembali.
Beberapa menit berlalu, Edrick berhenti tepat di mana Vianca memberikan petunjuk kontrakannya. Cat hijau muda dekat sebuah counter pulsa.
"Ini tempatnya?"
"Iya benar. Makasih Pak karena sudah antar saya sampai rumah!"
"Tunggu! Biar aku buka pintu untukmu."
Edrick membukakan pintu, lalu memapah Vianca sampai ke dalam rumah. Dia memastikan Vianca berada di dalam rumah dengan aman.
"Kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi aku. Walaupun tengah malam aku akan angkat telepon jika itu dari kamu."
Vianca menggeleng. "Gak usah repot-repot. Sudah diantar sampai sini saja sudah cukup."
"Gak repot, kok. Karena hal kecil seperti ini tidak bisa menebus kesalahanku padamu."
Vianca membulatkan mata, sadar yang dikatakan Edrick ada kaitannya dengan masa lalu mereka. "Di negeri ini, begitu banyak anak pria nakal dan suka bully siswa lain, bukan cuma Pak Edrick seorang. Jadi, tidak usah selalu minta maaf karena memang mentalku saja yang terlalu lemah saat itu."
Edric mengerutkan dahi, dia tahu Vianca berkata seperti itu supaya dirinya tidak lagi mendatangi Vianca. Karena, kejahilannya sudah melewati batas wajar saat itu.
"Pokoknya kalau ada apa-apa hubungi aku. Aku butuh tahu kabarmu biar aku pun bisa tenang."
"Ya, sudah, Baiklah! Aku akan hubungi Pak Edrick jika ada hal mendesak."
"Ayolah, Via! Kita ini teman sekelas saat SMA dulu. Kalau sedang ada di luar kantor jangan panggil Bapak."
Vianca mengangguk.
"Kalau begitu aku pulang dulu! Jaga dirimu baik-baik."
Vianca masuk ke dalam rumah, berbaring di kasur setelah sebelumnya meminum obat yang diberikan dokter. Baru saja dia merebahkan badan, ada suara ketukan pintu.
Vianca mengabaikannya, palingan juga Melvin mendatanginya. Namun, bagaimana jika yang datang adalah Edrick? Vianca mengecek barangnya, siapa tahu ada yang tertinggal di mobil milik Edrick, tapi sepertinya lengkap semua.
Vianca akhirnya membukakan pintu, dan terbelalak saat melihat pria yang ada di hadapannya sungguh diluar dugaan.
"Pak Zeva mau ngapain?"
Zeva terdiam sejenak, meneliti setiap garis wajah Vianca yang pucat. Wanita ini belum sepenuhnya sembuh. Hingga akhirnya dia berkata dengan lirih. "Aku ingin melihat keadaanmu, kenapa gak dirawat di Rumah Sakit aja, kalau masih lemah seperti ini?"
Situasi yang aneh bagi Vianca, saat menyadari Zeva berbicara dengan formal padahal sedang ada di luar kantor, biasanya pakai bahasa yang lebih bebas. Bahkan, nada suaranya halus dan nampak khawatir.
"Karena saya masih bisa istirahat di rumah. Tadi bisa pingsan karena terlambat penanganan aja, sama perut saya lagi kosong."
Zeva memejamkan mata sejenak, mengingat sikapnya yang ketus pada Vianca tadi pagi. Namun kelihatannya, Vianca tidak dendam. Hal itu membuat dirinya semakin merasa bersalah.
"Aku menyesal, tadi pagi kasar sama kamu. Aku tahu kamu sakit, tapi tidak menyuruhmu istirahat."
"Gak masalah, itu salah saya tidak bisa jaga kesehatan. Padahal, baru lima hari kerja."
"Lain kali jangan maksain, Vi."
"Saya takut gak dikasih kesempatan lagi untuk kerja, karena masih karyawati baru."
"Padahal, kamu bisa bilang padaku dulu. Nanti aku bisa jelaskan semua pada Pak Adam."
Vianca terperanjat. Menatap lekat pada lawan bicara. "Kita sudah sepakat gak saling kenal. Saya mana berani, kalau Mas Zeva udah bilang kaya gitu."
Zeva mematung, ingin minta maaf akan hal itu tapi malah bungkam. Sepertinya, mulutnya dikutuk untuk tidak bisa minta maaf. Zeva terperanjat, tersadar dari tadi masih berada di depan pintu. Wanita ini keterlaluan, dia tidak mempersilahkan atasannya untuk masuk.
"Kamu gak nyuruh aku masuk? Apa aku terlihat seperti penjaga pintu, Vi?"
"Bukannya gitu, Mas Zev. Ini terlalu malam untuk bertamu."
"Kamu sendirian dan sedang sakit. Gak ada salahnya jika aku berjaga sampai pagi buat kamu. Lagipula besok libur."
Vianca menggeleng. "Jangan! Itu gak baik. Saya lebih baik sendiri di rumah. Kali ini saya sudah bertekad tidak akan melayani pria mana pun. Mas Zev bisa pulang sekarang."
"No, Vianca No! Aku masih waras mana mungkin berbuat mesum pada orang sakit. Aku hanya ingin____ menjagamu."
Vianca menggeleng. "Saya sudah tahu dari Edrick kalau Mas udah punya tunangan."
Zeva terperanjat, dia bergumam, "Dasar si kutu kupret Edrick, banyak bacot. Ngapain dia cerita sama Vianca."
Vianca melihat bibir Zeva bergerak-gerak seperti sedang mengumpat. Namun tak bisa mengerti Zeva berkata apa. Vianca langsung tertunduk saat Zeva menatap ke arahnya, karena pria itu sadar Vianca memperhatikan bibirnya.
"Lagian, Edrick bilang! Kalau saya boleh hubungi dia kapan aja jika penyakit saya kambuh. Jadi, Mas Zeva gak usah repot-repot urusi urusan saya lagi."
"Apa?" Zeva mengepalkan tangan.
Dia memang pernah menyuruh Edrick mengambil Vianca darinya. Namun, saat Edrick benar-benar melakukannya. Ternyata hati Zeva tidak bisa terima. Dan kalau bisa, dia ingin memiliki Savana dan Vianca secara bersamaan. Lagipula dia belum ada rencana menikah dalam waktu dekat.
"Mas Zev lebih baik sekarang pulang dulu, ya! Maaf! Saya mau istirahat." Vianca memohon sambil memegang perutnya.
"Mana yang sakit? Itu perut kamu masih kerasa sakit?"
Vianca tidak menjawab. Namun wajahnya meringis, memberi isyarat pada Zeva untuk segera pulang.
Bukannya menuruti keinginan Vianca. Zeva malah mengangkat tubuh Vianca. "Aku antar kamu ke kamar buat istirahat."
"Gak perlu!" Vianca melingkarkan tangan pada leher Zeva. Bukan karena setuju untuk diantar. Namun, dia takut jatuh karena tidak ada energi jika harus menolak.
"Kamu sudah makan malam belum? Jangan bilang, sampai detik ini kamu belum makan!" Zeva bertanya sambil mengangkat tubuh ramping Vianca.
"Sudah, kok. Tadi diajak makan dulu sama Edrick."
Zeva mendengkus. "Jangan sebut nama Edrick lagi di hadapanku. Kalau masih sebut aku akan lemparkan kamu ke jendela."
Bukannya takut, Vianca malah tersenyum. Karena tidak mungkin dirinya dilempar ke jendela seperti kucing. Buktinya, saat di depan kasur Zeva dengan hati-hati menaruh Vianca. Boro-boro untuk melemparkan ke jendela.
Vianca kebingungan. Karena Zeva tidak pulang. Pria itu duduk di sampingnya dengan santai.
"Tidur, Vi. Aku di sini jagain kamu."
"Gak mau! Saya sudah gak menerima tamu pria malam-malam. Mas mohon mengerti keputusan saya ini."
Zeva mana mau mendengar Vianca. Ucapan Vianca dianggapnya angin lalu. Dia masih tetap berada di sana. Menunggu Vianca tertidur.
Vianca perlahan memejamkan mata, efek obat dari dokter yang barusan dia minum, membuat dirinya cepat mengantuk.Zeva masih ada di situ, menatap lekat pada Vianca. Dia mengabaikan dering telepon yang berbunyi berkali-kali dari Savana. Karena dia khawatir, Savana bertanya keberadaan dirinya saat ini. Namun akhirnya, tak terdengar lagi dering telepon itu, mungkin Savana sudah menyerah untuk menghubungi Zeva.Zeva terperanjat, saat mendengar suara rintihan dari Vianca. Ketika dilihat mata Vianca masih terpejam. "Vi, kamu mengigau? Bikin orang kaget saja."Zeva yang sebelumnya menyangka suara tadi adalah suara rintihan dari kuntilanak, akhirnya mendekat pada Vianca. Dia melihat wanita itu keringat dingin, mungkin saja sedang bermimpi buruk. Zeva meraih tisu di nakas, lantas mengusap peluh di dahi Vianca.Zeva tersenyum, mengamati bentuk wajah Vianca yang indah. Dia mengecup dahi Vianca dengan lembut.Wanita itu nampak lebih baik hanya dengan
Vianca mendengar suara mesin mobil dari dalam kamar. Dia terperanjat, saat sadar bahwa Zeva sudah pulang tanpa pamit terlebih dulu padanya. Dia menghampiri Melvin yang masih berada di ruang tengah. Wanita itu terkejut, lantaran Melvin sedang asik menghitung uang ratusan ribu yang cukup banyak."Kak, Mas Zeva udah pulang?""Iya! Kakak suruh pria itu pulang.""Kakak minta uang sama dia? Kakak meras Mas Zeva?""Iya." Melvin menjawab sambil mengipasi dirinya dengan uang pemberian Zeva.Vianca geram, dia menyiram wajah Melvin dengan satu gelas air yang berada di atas meja."Hey, sialan! Uang gua jadi basah gara-gara lo.""Malu-maluin, tahu, gak! Cepat balikin! Ada berapa semua?""Cuma dua juta, kok. Tenang aja!Katanya ini buat sarapan kita berdua."Melvin tidak cerita bahwa Zeva sudah mentransfer juga ke rekeningnya dengan jumlah yang lebih banyak. Adiknya terlalu rese untuk diajak kerja sama."Sini uangnya! Vianca aka
Zeva berjalan di tengah ramainya orang hilir mudik di pusat perbelanjaan, dengan penuh kebimbangan. Dia takut keputusannya ini salah. Zeva menghentikan langkah di toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan, dia ingin memilih sendiri tanpa campur tangan orang lain, karena pernikahannya hanyalah sebuah rahasia.Bahkan, saat memilih salah satu dari cincin berlian, pikirannya tak fokus. Dirinya tak mengerti mengapa ingin melindungi Vianca dari gangguan Melvin. Apakah pernikahannya nanti akan berjalan lancar jika hanya berlandaskan rasa kasihan?Dia merasa bukan dirinya, yang biasa selalu masa bodoh dan tak pernah memikirkan hal-hal rumit, semua berjalan apa adanya tapi saat ini tidak demikian.Zeva pulang, dia membawa paper bag yang di dalamnya ada kotak perhiasan termasuk cincin pernikahan. Semuanya, nampak terburu-buru baginya. Tak ada persiapan sepesial karena pernikahan siri yang dia jalani tanpa resepsi. Tapi dia bisa menjamin hidup Vianca lebih
Mata Zeva dan Vianca beradu. Keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya, Zeva mendaratkan satu kecupan di dahi Vianca. Membuat Vianca merasa lebih tenang dan damai.Namun, Vianca akhirnya menghindar. Membuat Zeva kesal atas penolakan wanita itu.Zeva menahan kesal yang bersarang di dalam dada." Kamu kenapa?""Kamu sudah punya tunangan, Mas. Mbak Savana.""Bukan! Kami hanya berencana tunangan. Tidak ada perjanjian yang mengikat antara aku dan dia.""Tapi tetap saja dia kekasihmu. Apa kamu berencana membuat aku jadi gundikmu?"Zeva terdiam, dia bahkan belum memikirkan akan seperti apa dirinya dengan Savana, karena sudah terlanjur janji. "Aku akan bicara padanya pelan-pelan. Aku akan meninggalkannya! Percayalah! Sebenarnya, kami banyak sekali ketidak cocokan."Vianca masih mematung sambil memasang wajah resah. Semua alasan yang dikemukakan Zeva, tidak membuat suasana hatinya membaik.Zeva mendekapnya. "Semuanya a
Vianca mencium punggung tangan ibunya, Sania. Kemudian memberi salam. Melihat mata Sania yang berbinar saat beradu tatap, membuat Vianca tak tega. Ibunya tak pernah tahu hubungan macam apa yang dijalani antara dirinya dengan Zeva. Yang dia tahu, menantunya ini sungguh tampan.Vianca sempat membuat ibunya menangis saat ketahuan menjadi simpanan pria kaya dua tahun lalu. Apa jadinya, jika ibunya ini tahu Zeva adalah mantan pelanggannya. Mungkin, ibunya akan terluka kembali karena anaknya lagi-lagi terjerumus dalam dunia malam belum lama ini.Zeva menempelkan keningnya pada wanita paruh baya itu, bergantian dengan Vianca. Zeva mendapat pelukan dari ibu mertuanya. Pelukan paling hangat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya."Terimakasih, karena kamu sudah menjaga anakku! Vianca tak pernah cerita dia memiliki pacar setampan dan sebaik dirimu. Tahu-tahu malah menikah."Vianca menginjak kaki Zeva, sebagai isyarat bahwa Zeva dilarang buka suara bahwa mereka ta
Zeva menatap Vianca yang sedang tertegun. Seolah, istrinya itu memiliki setumpuk beban yang dia pendam sendiri. Zeva hanya akan dapat satu jawaban dari wanita itu ketika bertanya masalah Vianca. Vianca hanya akan tersenyum dan berkata tidak ada masalah apa-apa. Zeva tak percaya sepenuhnya atas jawaban itu."Gimana sakit asam lambung kamu, apa hari ini kambuh lagi?" tanya Zeva, tangannya masih mengelus dahi menuju puncak kepala Vianca."Enggak kambuh, kok. Semenjak minum ramuan rempah yang Mas Zeva buatkan, aku udah mendingan.""Mau dibikinin lagi? Bahannya hanya rempah, gak ada efek samping apa pun walau diminum tiap hari.""Kasih aja aku resepnya, biar nanti aku yang buat sendiri." Vianca tersenyum pada Zeva.Senyum Vianca sudah membuat hati Zeva kacau. Wanita ini sudah merobohkan sebagian dinding keangkuhan Zeva. Zeva bahkan hampir lupa, bahwa dirinya anti menikahi wanita kalangan rakyat jelata. Dan pada kenyataanya dia termakan ucapannya sendiri
Zeva merebahkan badan seorang diri di sofa rumah barunya. Vianca membuatnya terlihat sangat bodoh, karena membiarkan Zeva cuti nikahan hanya sendirian. Bahakan bisa jadi, nanti Zeva pergi berbulan madu sendiri juga tanpa istrinya itu. Celingukan seperti orang linglung dan kesasar. Membayangkan hal itu terjadi, Zeva mengacak rambutnya.Zeva merasa dirinya harus memberi pelajaran pada wanita keras kepala itu. Pelajaran yang membuat rasa kesal Zeva hilang. Nanti malam, dia tidak akan membiarkan Vianca menolak keinginannya.Zeva meraih ponsel, melakukan panggilan pada Leon hanya untuk minta tolong dibelikan lingerie dan G-string yang sesuai imajinasinya. Sebelum melakukan panggilan, Zeva mengirim foto referensi baju tersebut."Hallo Leon.""Hallo, Bang Zev. Lo kenapa kirim foto cewek pakai baju sexy, Bang? Kumat lagi, ya?""Itu buat Vianca, tolong Carikan yang model seperti itu.""Em, pakai aplikasi belanja apa beli langsung, Bang?"
Vianca membersihkan bekas makan malam dia dan suaminya. Tidak ada asisten rumah tangga yang berjaga sampai malam di rumah mereka, dan Vianca juga tak pernah menunda mencuci piring ke waktu pagi. Kalau sudah seperti ini, Zeva akan mengikutinya sampai dapur. Bukan untuk membantu, tapi hanya mengajak ngobrol atau bahkan mencipratkan air dari kran ke wajah Vianca sehingga wanita itu terganggu."Diam, Mas!" Vianca mendengkus, saat terciprat air dari tangan Zeva. lagi-lagi Zeva mengganggunya."Via, weekend kali ini aku harus berhasil mengajakmu bulan madu, jangan sampai menolak.""Aku disuruh lembur, maaf." Vianca menyembunyikan wajahnya yang menahan tawa. Dia tidak serius dengan ucapannya."Nanti aku dianggap gila kalau bulan madu sendiri. Orang-orang pasti bertanya, mana pasangannya. Dan tidak mungkin juga aku jawab, pasanganku adalah bayanganku sendiri."Vianca tertawa, dia sudah mulai berani menjahili Zeva. Salah sendiri, Zeva sering menjahili