Home / Romansa / Pelan-Pelan, Pak Dosen! / Bab 4. Dosen Menyebalkan

Share

Bab 4. Dosen Menyebalkan

Author: Anggun_sari
last update Last Updated: 2025-09-29 16:06:03

“Eros: memberimu 400.000 koin.”

“Eros: memberimu 400.000 koin.”

“Eros: memberimu 400.000 koin.”

“Eros: memberikan 400.000 koin.”

Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara di bawah meja, kakinya sudah bergerak gelisah. Eros telah memberikan empat ratus ribu koin sebanyak empat kali, yang jika dirupiahkan akan mencapai angka dua ratus juta. Itu artinya dia benar-benar akan kehilangan keperawanannya.

“Ini nomorku. Mari kita berbincang setelah kamu mengakhiri live malam ini. Eros! ”

Zoe menelan ludahnya susah payah. Hidupnya benar-benar akan hancur detik ini juga.

“Sayang sekali, malam ini aku terpaksa harus mengakhiri live. Aku harus membahas sesuatu yang menarik dengan orang yang telah memberikan dua ratus juta kepadaku,” kata Zoe kepada para penontonnya.

“Untuk kalian semua, jangan bersedih ya. Besok aku akan kembali lagi. Tunggu aku dan nanti kita lakukan sesuatu yang menarik,” imbuh Zoe mengedipkan mata sambil melambaikan tangannya, berusaha menenangkan para penontonnya yang protes karena live harus berakhir dengan cepat.

Zoe menghempaskan tubuhnya di atas kasur setelah mengakhiri livenya. Matanya fokus menatap nama yang sudah ia simpan dengan nama Eros—si penonton setia yang tak pernah lupa memberikan koin dalam jumlah besar dalam setiap livenya.

“Sekaya apa kamu Eros?”

***

Entah sudah berapa kali Zoe menghela napasnya. Dia sedang menyusun buku di rak paling atas perpustakaan saat ini. Selama ini dia melakukan banyak pekerjaan freelance untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, termasuk bekerja di perpustakaan sebagai penjaga perpustakaan.

Pikirannya masih terpusat pada percakapannya dengan Eros tadi malam. Setelah donasi masuk, dia langsung menghubungi nomor yang diberikan oleh Eros. Alih-alih membalasnya dengan pesan, pria itu justru langsung menelponnya. Alasannya, ingin mendengar secara langsung bagaimana suara aslinya.

Selama ini dia memang menggunakan efek suara saat melakukan live streaming. Menurutnya menggunakan topeng saja tidak akan bisa menutupi identitasnya dengan baik. 

“Apa yang harus aku lakukan saat nanti kami benar-benar bertemu?” Zoe membentur-benturkan kepalanya di rak buku. Gelisah dengan nasibnya ke depan.

Semalam dia dan Eros, mengobrol lama sekali. Dan yang mengejutkan adalah pria itu benar-benar ingin menghabiskan malam panas dengannya. Eros bahkan mengatakan, dia tidak sabar menunggu hari itu. Beruntungnya Eros membebaskan kapan hal itu bisa dilakukan. Namun, pria itu tetap menggarisbawahi kelonggaran yang diberikannya. Tidak lebih dari seminggu!

“Tidak bisakah waktu diputar mundur?!” 

Zoe merengek entah kepada siapa. Semua sudah terlanjur, uang dua ratus juta sudah masuk ke kantongnya. Tidak ada jalan lagi untuk mundur. Apalagi si Eros ini terlihat begitu yakin ingin melakukannya. Pria itu tak gentar bahkan ketika ia mengatakan bahwa dirinya jelek. Tak hanya itu, Eros bahkan menolak saat ia menawarkan kembali uang yang telah ditransfernya. Eros bilang, dia sudah lama ingin bertemu dan menyentuhnya.

Jika melihat lebih jauh lagi, si Eros ini sepertinya seorang pria yang memiliki ketampanan di atas rata-rata. Suara pria itu terdengar berat dan menggoda. Tapi—rasanya dia tidak asing dengan suara Eros. Entah dimana dia pernah mendengar suara itu. 

“Gila, gila, aku bisa gila!” 

“Kalau dia benar-benar tampan, setidaknya aku tidak akan rugi-rugi amat, tapi bagaimana kalau dia jelek?” Zoe mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar seperti orang gila yang terus berbicara sendiri.

“Tapi dia kaya raya. Uang dua ratus juta seperti tidak ada artinya sama sekali bagi pria itu. Dia mengeluarkan uang dua ratus juta sudah seperti mengeluarkan uang dua ribu rupiah saja,” cuit Zoe tak habis-habisnya.

“Tuhan…bagaimana ini. Apa yang harus aku lakukan?!” 

Zoe menghela napas berat. Ia bangun dari duduknya, bermaksud untuk turun. Namun, kakinya terpeleset dan membuat tubuhnya terhuyung jatuh ke bawah. Beruntung seseorang menangkapnya di saat yang tepat.

“Terima kasih,” ucap Zoe.

“Pa—Pak Xavier…?”

Zoe mengerjapkan matanya. Dia dengan cepat menarik tubuhnya saat tahu orang yang telah menolongnya. Sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dia mengatakan ucapan terima kasih kembali pada Xavier.

Namun, tidak dengan Xavier. Pria itu diam dan menatap Zoe dengan tatapan tak bisa diartikan. Matanya masih tertuju pada pinggang Zoe yang kini sudah tertutup kembali. Beberapa saat yang lalu dia sempat melihat tato bulan sabit dengan bunga lily di sana.

“Sa—saya permisi dulu.” Pamit Zoe. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya hendak pergi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulut Xavier, membuatnya tak jadi pergi.

“Tunggu!”

“I–iya?” Zoe menelan ludahnya susah payah. Tubuhnya meremang bahkan sebelum pria itu mengutarakan maksudnya. Tatapan tajam dan mengintimidasi Xavier, mampu membuat lawan bicaranya tak bisa berkutik.

“Kamu—”

Tubuh Zoe semakin mengkerut, tatapan sinis Xavier tanpa berkedip itu sekan tengah menghakiminya atas sesuatu yang tidak diketahuinya.

“I—iya, Pak?” gagap Zoe.

“Datanglah ke ruanganku sekarang juga!”

“Huh…?” 

Xavier menatap keadaan sekitar Zoe, ada beberapa buku yang berantakan akibat kaki wanita itu tergelincir tadi.

“Sepuluh menit!” kata Xavier dingin.

“Huh…?”

“Aku beri waktu sepuluh menit. Lebih dari itu, siap-siap terima hukumanmu!”

Untuk beberapa menit Zoe tertegun melihat punggung Xavier yang menjauh. Namun, saat kata-kata hukuman tiba-tiba terlintas di pikirannya, Zoe dengan cepat membereskan buku-buku yang tercecer di bawah lalu menatanya di rak buku.

Terus melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Zoe merapalkan doa agar pekerjaannya cepat selesai. Masih ada satu rak tersisa, tapi waktunya tinggal tiga menit lagi.

“Hist…dasar dosen menyebalkan!” umpat Zoe.

Tidak lagi memperdulikan pekerjaannya, Zoe memiliki meninggalkan perpustakaan. Dia berlari dengan kecepatan penuh menuju ke ruang kerja Xavier sambil sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Dia sudah mendapat masalah karena tidak mengumpulkan tugasnya, kali ini dia tidak ingin lagi menambah masalahnya. Berurusan dengan dosen killer dan tak kenal ampun seperti Xavier, hanya akan mempersingkat hidupnya di kampus.

“Aku doakan kamu jadi perjaka tua karena suka sekali menyusahkan orang!” umpat Zoe kembali. Dia sudah berdiri di depan ruang kerja Xavier, mengatur napasnya sebentar setelah tadi berlari secepat kilat.

“Perjaka tua?”

Mata Zoe mebulat sempurna. Kepalanya menoleh ke belakang secara slow motion.

“Pa–Pak Xavier….”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 85. Aku adalah milikmu

    Zoe menggaruk kepalanya yang tak gatal beberapa kali. Suasana terasa canggung usai kepergian Nora beberapa menit yang lalu. Dia dan Xavier saat ini duduk di sofa dengan TV yang menyala, tapi pikirkan mereka melayang kemana-mana.“Mau pergi jalan-jalan?” tawar Xavier memecah kesunyian.“Huh…?” Zoe tercengang. Otaknya masih dipenuhi oleh kata-kata Xavier tadi. Pengakuan pria itu, cukup mengganggunya. Apalagi Xavier bersikap seolah tak pernah mengatakan apapun setelah kepergian Nora. Pria itu terlihat tenang dan tidak terbebani sama sekali.Xavier menarik napas panjang. “Ayo kita jalan-jalan!” ucapnya lagi.Zoe tersenyum canggung. Kepalanya mengangguk secara spontan. Sepertinya sebuah respon yang diberikan begitu saja akibat terlalu lama terkurung di dalam apartemen.“Eum…kalau begitu aku akan pergi mandi dulu,” ucap Zoe.Entah terlalu bersemangat atau apa, Zoe segera bangkit dari duduknya. Namun, belum juga melangkah tangannya sudah ditarik oleh Xavier. Kening Zoe mengkerut, matanya me

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 84. Dia adalah kekasihku

    “Hem…baiklah. Awasi saja dulu.”Zoe menghentikan langkahnya. Ia yang tadinya ingin ke dapur seketika menghentikan niatnya. Telinganya ia pasang baik-baik untuk mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Xavier. Beberapa hari ini pria itu bersikap aneh. Tidak hanya hari ini, ia sudah memergoki Xavier melakukan panggilan telepon yang terasa mencurigakan beberapa kali sejak keluar dari rumah sakit.Tepat seminggu ia keluar dari rumah sakit, dan selama seminggu itu pula ia belum kembali lagi ke kampus. Xavier melarangnya. Alasannya karena ia masih membutuhkan pemulihan.“Aku sudah memesankan makan, habiskan semuanya agar kamu cepat pulih.” Xavier segera mengakhiri panggilannya. Ia berjalan mendekati Zoe, menuntut wanita itu ke bar dapur. Dia sana sudah tersaji beberapa menu kesukaan Zoe. Mulai dari makanan pembuka hingga makanan penutup. Tak lupa ia membelikan beberapa cemilan untuk menemani hari-hari Zoe saat ditinggalnya bekerja.“Apa aku masih belum boleh masuk ke kampus? Aku bos

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 83. Aku tidak akan membunuhnya

    “Mungkin lain kali kita bisa bicara berdua.”Xavier menurunkan ucapan Zoe dengan seringai di wajahnya. Tatapan dalam dan menusuk.Zoe melangkah mundur, tenggorokannya mendadak susah menelan. Wajah dingin Xavier yang menatapnya seolah sebagai target, membuat jantungnya memompa lebih cepat. Hanya beberapa kalimat yang sama sekali tidak berarti baginya, tapi menjadi masalah bagi Xavier. Napas Zoe semakin memburu, debaran jantungnya bekerja lebih cepat dua kali lipat saat tangan Xavier kembali merengkuh pinggangnya.Hembusan napas Xavier yang menerpa kulit wajahnya, seolah seperti sebuah tanda bahwa Xavier akan menegaskan kepemilikannya sekali lagi.Xavier benar-benar tidak suka jika miliknya bersinggungan dengan orang lain.“E–Eros, apa yang ingin kamu lakukan?” gagap Zoe.Zoe tak lagi bisa melangkah mundur. Rengkuhan posesif Xavier membuatnya diam ditempat dengan tubuh kaku. Hatinya merapalkan beberapa doa, berharap tidak akan ada siapapun yang masuk. Meski belum melakukan apapun, bu

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 82. Pengakuan?

    “A–Adam….”Kening Xavier mengkerut. Tangannya menahan tangan Zoe yang ingin mendorong tubuhnya. Sementara tangan satunya merengkuh pinggang Zoe posesif, memutar tubuh mereka menatap Adam yang berdiri di depan pintu dengan wajah kebingungan dan penuh tanya.Tidak ada rasa gugup ataupun gelisah di wajah Xavier. Pria itu justru tersenyum tipis di balik wajah dinginnya.“Tersenyumlah sedikit. Kita tidak sedang beradegan kepergok selingkuh,” ucap Xavier dengan suara pelan tapi penuh perintah.“Kamu adalah milikku Zoe, ingat itu!” tambah Xavier.Zoe sedikit terperangah. Kali ini Xavier memanggil namanya, bukan Angel. Beberapa waktu yang lalu telinganya memang tidak lagi menangkap Xavier memanggilnya dengan panggilan Angel. Ia pikir pria itu memang sedang tidak ingin menyebut namanya yang lain. Namun, siapa yang menyangka bahwa ternyata dibalik diamnya Xavier, pria itu ternyata diam-diam mengabulkan keinginannya tanpa bertanya.Ia memang tidak ingin lagi mendengar nama Angel. Rasanya setiap

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 81. Aku merindukanmu

    Xavier menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Saat ini dia sudah berada di depan deretan roti yang diinginkan Zoe. Matanya terpejam beberapa kali sementara tangannya memijat pelipisnya yang sama sekali tidak sakit. Melihat deretan roti khusus wanita dengan berbagai merk dan model, kepalanya mendadak menjadi pusing.Tanpa pikir panjang, tangan Xavier mengambil satu persatu untuk setiap merek dan model roti yang diinginkan oleh Zoe lalu dibawanya keranjang belanja berisi tumpukan roti itu ke kasir. “Anda ingin membeli semua ini?” tanya petugas kasir meyakinkan Xavier. Masalahnya bukan hanya dua atau tiga roti jepang yang dibeli Xavier, tapi lebih dari lima belas roti jepang.Xavier berdehem. Wajahnya merah, menahan malu. Hanya Zoe satu-satunya orang yang bisa menjatuhkan harga dirinya seperti ini. “Hem, hitung semuanya dan masukkan ke tas belanja,” jawab Xavier dengan suara dingin.Si petugas kasir mengangguk. “Baiklah.”Usai melakukan pembayaran, Xavier bergegas kembali ke kamar ra

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 80. Minta tolong

    Bab 80. Minta tolong“Iya, aku sangat ingin berduaan dengan Adam. Jadi pergilah!” Tangan Xavier mengepal. Dahinya mengkerut, tatapannya tajam. Bibirnya terkatup rapat, otot wajahnya menegang serta rahangnya mengencang. Pengakuan yang diberikan oleh Zoe seolah membangkitkan kembali rasa cemburunya. Telinganya panas, dia tidak suka mendengar pengakuan itu. Hatinya menolak keras. Baginya Zoe hanya untuknya. Wanita itu tidak akan bisa lari, meski ingin.“Pergi!” Seolah tak puas mengatakan satu kali, Zoe kembali mengusir Xavier. Xavier menghela napas berat. “Apa kamu sedang mengujiku saat ini!” balas Xavier dingin.“Baiklah jika itu maumu, ayo kita tunggu penyelamatmu itu datang.” Bukan menuruti kemauan Zoe untuk pergi, Xavier justru kembali duduk dengan tenang, membuat Zoe yang tadinya memalingkan wajah enggan menatap Xavier terusik. “Kenapa?” seru Xavier saat Zoe menatapnya dengan tatapan protes. “Bukankah ini yang kamu inginkan,” imbuhnya.“Berhenti bermain-main, Eros! Sebaiknya sek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status