“Eros: memberimu 400.000 koin.”
“Eros: memberimu 400.000 koin.” “Eros: memberimu 400.000 koin.” “Eros: memberikan 400.000 koin.” Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara di bawah meja, kakinya sudah bergerak gelisah. Eros telah memberikan empat ratus ribu koin sebanyak empat kali, yang jika dirupiahkan akan mencapai angka dua ratus juta. Itu artinya dia benar-benar akan kehilangan keperawanannya. “Ini nomorku. Mari kita berbincang setelah kamu mengakhiri live malam ini. Eros! ” Zoe menelan ludahnya susah payah. Hidupnya benar-benar akan hancur detik ini juga. “Sayang sekali, malam ini aku terpaksa harus mengakhiri live. Aku harus membahas sesuatu yang menarik dengan orang yang telah memberikan dua ratus juta kepadaku,” kata Zoe kepada para penontonnya. “Untuk kalian semua, jangan bersedih ya. Besok aku akan kembali lagi. Tunggu aku dan nanti kita lakukan sesuatu yang menarik,” imbuh Zoe mengedipkan mata sambil melambaikan tangannya, berusaha menenangkan para penontonnya yang protes karena live harus berakhir dengan cepat. Zoe menghempaskan tubuhnya di atas kasur setelah mengakhiri livenya. Matanya fokus menatap nama yang sudah ia simpan dengan nama Eros—si penonton setia yang tak pernah lupa memberikan koin dalam jumlah besar dalam setiap livenya. “Sekaya apa kamu Eros?” *** Entah sudah berapa kali Zoe menghela napasnya. Dia sedang menyusun buku di rak paling atas perpustakaan saat ini. Selama ini dia melakukan banyak pekerjaan freelance untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, termasuk bekerja di perpustakaan sebagai penjaga perpustakaan. Pikirannya masih terpusat pada percakapannya dengan Eros tadi malam. Setelah donasi masuk, dia langsung menghubungi nomor yang diberikan oleh Eros. Alih-alih membalasnya dengan pesan, pria itu justru langsung menelponnya. Alasannya, ingin mendengar secara langsung bagaimana suara aslinya. Selama ini dia memang menggunakan efek suara saat melakukan live streaming. Menurutnya menggunakan topeng saja tidak akan bisa menutupi identitasnya dengan baik. “Apa yang harus aku lakukan saat nanti kami benar-benar bertemu?” Zoe membentur-benturkan kepalanya di rak buku. Gelisah dengan nasibnya ke depan. Semalam dia dan Eros, mengobrol lama sekali. Dan yang mengejutkan adalah pria itu benar-benar ingin menghabiskan malam panas dengannya. Eros bahkan mengatakan, dia tidak sabar menunggu hari itu. Beruntungnya Eros membebaskan kapan hal itu bisa dilakukan. Namun, pria itu tetap menggarisbawahi kelonggaran yang diberikannya. Tidak lebih dari seminggu! “Tidak bisakah waktu diputar mundur?!” Zoe merengek entah kepada siapa. Semua sudah terlanjur, uang dua ratus juta sudah masuk ke kantongnya. Tidak ada jalan lagi untuk mundur. Apalagi si Eros ini terlihat begitu yakin ingin melakukannya. Pria itu tak gentar bahkan ketika ia mengatakan bahwa dirinya jelek. Tak hanya itu, Eros bahkan menolak saat ia menawarkan kembali uang yang telah ditransfernya. Eros bilang, dia sudah lama ingin bertemu dan menyentuhnya. Jika melihat lebih jauh lagi, si Eros ini sepertinya seorang pria yang memiliki ketampanan di atas rata-rata. Suara pria itu terdengar berat dan menggoda. Tapi—rasanya dia tidak asing dengan suara Eros. Entah dimana dia pernah mendengar suara itu. “Gila, gila, aku bisa gila!” “Kalau dia benar-benar tampan, setidaknya aku tidak akan rugi-rugi amat, tapi bagaimana kalau dia jelek?” Zoe mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar seperti orang gila yang terus berbicara sendiri. “Tapi dia kaya raya. Uang dua ratus juta seperti tidak ada artinya sama sekali bagi pria itu. Dia mengeluarkan uang dua ratus juta sudah seperti mengeluarkan uang dua ribu rupiah saja,” cuit Zoe tak habis-habisnya. “Tuhan…bagaimana ini. Apa yang harus aku lakukan?!” Zoe menghela napas berat. Ia bangun dari duduknya, bermaksud untuk turun. Namun, kakinya terpeleset dan membuat tubuhnya terhuyung jatuh ke bawah. Beruntung seseorang menangkapnya di saat yang tepat. “Terima kasih,” ucap Zoe. “Pa—Pak Xavier…?” Zoe mengerjapkan matanya. Dia dengan cepat menarik tubuhnya saat tahu orang yang telah menolongnya. Sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dia mengatakan ucapan terima kasih kembali pada Xavier. Namun, tidak dengan Xavier. Pria itu diam dan menatap Zoe dengan tatapan tak bisa diartikan. Matanya masih tertuju pada pinggang Zoe yang kini sudah tertutup kembali. Beberapa saat yang lalu dia sempat melihat tato bulan sabit dengan bunga lily di sana. “Sa—saya permisi dulu.” Pamit Zoe. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya hendak pergi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulut Xavier, membuatnya tak jadi pergi. “Tunggu!” “I–iya?” Zoe menelan ludahnya susah payah. Tubuhnya meremang bahkan sebelum pria itu mengutarakan maksudnya. Tatapan tajam dan mengintimidasi Xavier, mampu membuat lawan bicaranya tak bisa berkutik. “Kamu—” Tubuh Zoe semakin mengkerut, tatapan sinis Xavier tanpa berkedip itu sekan tengah menghakiminya atas sesuatu yang tidak diketahuinya. “I—iya, Pak?” gagap Zoe. “Datanglah ke ruanganku sekarang juga!” “Huh…?” Xavier menatap keadaan sekitar Zoe, ada beberapa buku yang berantakan akibat kaki wanita itu tergelincir tadi. “Sepuluh menit!” kata Xavier dingin. “Huh…?” “Aku beri waktu sepuluh menit. Lebih dari itu, siap-siap terima hukumanmu!” Untuk beberapa menit Zoe tertegun melihat punggung Xavier yang menjauh. Namun, saat kata-kata hukuman tiba-tiba terlintas di pikirannya, Zoe dengan cepat membereskan buku-buku yang tercecer di bawah lalu menatanya di rak buku. Terus melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Zoe merapalkan doa agar pekerjaannya cepat selesai. Masih ada satu rak tersisa, tapi waktunya tinggal tiga menit lagi. “Hist…dasar dosen menyebalkan!” umpat Zoe. Tidak lagi memperdulikan pekerjaannya, Zoe memiliki meninggalkan perpustakaan. Dia berlari dengan kecepatan penuh menuju ke ruang kerja Xavier sambil sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia sudah mendapat masalah karena tidak mengumpulkan tugasnya, kali ini dia tidak ingin lagi menambah masalahnya. Berurusan dengan dosen killer dan tak kenal ampun seperti Xavier, hanya akan mempersingkat hidupnya di kampus. “Aku doakan kamu jadi perjaka tua karena suka sekali menyusahkan orang!” umpat Zoe kembali. Dia sudah berdiri di depan ruang kerja Xavier, mengatur napasnya sebentar setelah tadi berlari secepat kilat. “Perjaka tua?” Mata Zoe mebulat sempurna. Kepalanya menoleh ke belakang secara slow motion. “Pa–Pak Xavier….”Zoe merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lima belas menit lagi dia harus memulai livenya, tapi entah kenapa rasanya dia malas melakukan apa yang sudah menjadi kebiasaannya itu. Andai penghasilan yang didapatkannya selama ini tidak terus habis, pasti dia akan selalu bersemangat setiap kali memulai livenya. “Eros…?” Tubuh Zoe meremang. Panggilan suara dari Eros, membuatnya kelimpungan. Laki-laki itu tahu dia akan memulai livenya sebentar lagi, tapi dia justru menghubunginya. Selain itu, dia juga belum siap jika Eros menagih janjinya–menghabiskan malam bersama. “Sedang bersiap-siap?” Sapaan suara berat dari Eros, membuat Zoe menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar kencang bahkan sebelum Eros mengatakan maksudnya melakukan panggilan telepon. “Heem…,” jawab Zoe. “Boleh jika malam ini kamu tidak melakukannya?” Pinta Eros. Zoe yang awalnya berbaring di kasur, seketika duduk bersila. Permintaan Eros itu terdengar seperti permintaan seorang kekasih yang tidak mau melihat kekasihnya
“Ha ha ha… Pax Xavier.” Zoe mengusap belakang kepalanya. Kali ini dia benar-benar mencari masalah. “Kok Bapak, ada di luar. Bukankah seharusnya Bapak menunggu di dalam? ” Xavier menatap lurus Zoe. Tidak ada ekspresi yang dapat dibaca dari wajah tampannya. Matanya yang tajam serta alisnya yang mengkerut, cukup membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi. “Memangnya kenapa kalau saya di luar? Bukankah ini kampus tempatku mengajar. Dimanapun aku berada, itu bukan urusanmu!” sahut Xavier menusuk. “Atau jangan-jangan kamu tidak ingin saya keluar dari ruangan saya, agar saya tidak bisa mendengar umpatan-umpatan yang kamu tunjukkan untuk saya?!” lanjut Xavier terlihat kesal. “Pria tua? Lalu apa lagi?” “Ha ha ha… Bapak terlalu sensitif. Saya sama sekali tidak mengumpat pada Bapak tadi,” sahut Zoe. “Benarkah? Apa kamu yakin?” Zoe mengangguk dengan cepat menjawab pertanyaan Xavier. Meski kenyataannya benar, tentu dia tidak boleh berkata jujur. Hidupnya akan benar-benar berakhir
“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberikan 400.000 koin.”Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara di bawah meja, kakinya sudah bergerak gelisah. Eros telah memberikan empat ratus ribu koin sebanyak empat kali, yang jika dirupiahkan akan mencapai angka dua ratus juta. Itu artinya dia benar-benar akan kehilangan keperawanannya.“Ini nomorku. Mari kita berbincang setelah kamu mengakhiri live malam ini. Eros! ”Zoe menelan ludahnya susah payah. Hidupnya benar-benar akan hancur detik ini juga.“Sayang sekali, malam ini aku terpaksa harus mengakhiri live. Aku harus membahas sesuatu yang menarik dengan orang yang telah memberikan dua ratus juta kepadaku,” kata Zoe kepada para penontonnya.“Untuk kalian semua, jangan bersedih ya. Besok aku akan kembali lagi. Tunggu aku dan nanti kita lakukan sesuatu yang menarik,” imbuh Zoe mengedipkan mata sambil melambaikan tanga
Zoe berjalan mondar-mandir di depan meja laptopnya lengkap dengan kostum penggoda iman yang akan disukai para penontonnya. Beberapa menit lagi dia akan melakukan live, tapi otaknya masih penuh dengan bagaimana mendapatkan uang untuk membayar hutang ayahnya tiga hari lagi dan uang dua ratus juta untuk ganti rugi atas kasus tabrakan yang dilakukan oleh ayahnya. “Apa aku harus menjual tubuhku?” gumam Zoe. ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Otaknya sudah buntu, tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dipikirkannya. Meski setiap live Zoe mendapatkan uang, uang-uang itu seakan tidak akan pernah cukup untuk membayar hutang-hutang ayahnya. Zoe menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. “Aku tidak akan memiliki apa-apa lagi jika benar-benar menjual tubuhku!” “Aku hanya memiliki keperawananku yang bisa aku banggakan.” Hati Zoe bergejolak, meski selama ini dia sering melakukan live streaming dengan konten 21+, dia tetap menjaga keperawanannya. Merasa dir
“Sial!” Zoe menendang kaleng di depannya ke sembarang arah. Dalam perjalanan pulangnya pun, dia masih mengingat kata-kata Xavier. Ancaman Xavier bukan hanya isapan jempol. Laki-laki berwajah tampan tapi berhati iblis itu sama sekali tidak memberikan toleransinya sedikit saja. Nilai mata kuliahnya dibiarkan kosong, meski dia sudah memohon untuk mengerjakan tugas. “Tidak bisakah dia lebih baik sedikit!” gerutu Zoe dengan bibir mencebik. Zoe menghela napas panjang. Kepalanya menengadah menatap langit yang terlihat begitu cerah. Andai saja kehidupannya sama seperti langit hari ini, tentu dia akan sangat bahagia. Sayangnya semua itu hanya ada dalam mimpinya. Jangankan hidup enak, pulang pergi ke kampus saja dia harus bersusah payah. Seperti saat ini, dia harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke kontrakannya. “Akkhh… bisakah sehari saja hidupku berjalan lancar?!” gerutu Zoe kembali. “Bagaimana caranya biar aku bisa mendapatkan nilai plus di mata kuliah si raja iblis itu? Aku m
Suara gedoran pintu yang terdengar begitu nyaring, membuat Zoe berlari ke arah pintu. Zoe mendengus kesal. Matanya menyipit, jengah melihat keadaan yang sama. Baskoro–ayahnya datang dalam keadaan mabuk! “Berikan Ayah, uang!”Zoe tersenyum miring. Uang? Apakah ayahnya kira dia ini bank yang bisa dimintai uang setiap saat. Untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus berhemat, tapi ayahnya justru datang dengan keadaan memuakkan–mabuk dan kalah judi. “Aku tidak punya uang. Kemarin aku harus membayar hutang ayah! Seorang rentenir datang menagih hutang kemari!” jawab Zoe, muak.“Akhh….” Zoe meringis kesakitan. Ayahnya tanpa rasa kasihan menarik rambutnya kuat-kuat.“Itu sudah menjadi tugasmu! Kamu adalah anakku, jadi tidak salah kalau aku mengandalkanmu!” balas Baskoro.Tangan Zoe terkepal. Matanya memerah menahan rasa kesal bercampur benci. Ucapan macam apa itu. Bagaimana bisa seorang orang tua bisa mengatakan kata-kata menyakitkan dan tidak berperasaan seperti itu.“Cepat berikan Ayah ua