Beranda / Romansa / Pelan-Pelan, Pak Dosen! / Bab 5. Permintaan aneh si dosen menyebalkan

Share

Bab 5. Permintaan aneh si dosen menyebalkan

Penulis: Anggun_sari
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-29 16:07:05

“Ha ha ha… Pax Xavier.” Zoe mengusap belakang kepalanya. Kali ini dia benar-benar mencari masalah.

“Kok Bapak, ada di luar. Bukankah seharusnya Bapak menunggu di dalam? ”

Xavier menatap lurus Zoe. Tidak ada ekspresi yang dapat dibaca dari wajah tampannya. Matanya yang tajam serta alisnya yang mengkerut, cukup membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi.

“Memangnya kenapa kalau saya di luar? Bukankah ini kampus tempatku mengajar. Dimanapun aku berada, itu bukan urusanmu!” sahut Xavier menusuk.

“Atau jangan-jangan kamu tidak ingin saya keluar dari ruangan saya, agar saya tidak bisa mendengar umpatan-umpatan yang kamu tunjukkan untuk saya?!” lanjut Xavier terlihat kesal.

“Pria tua? Lalu apa lagi?”

“Ha ha ha… Bapak terlalu sensitif. Saya sama sekali tidak mengumpat pada Bapak tadi,” sahut Zoe.

“Benarkah? Apa kamu yakin?”

Zoe mengangguk dengan cepat menjawab pertanyaan Xavier. Meski kenyataannya benar, tentu dia tidak boleh berkata jujur. Hidupnya akan benar-benar berakhir jika pria itu tahu.

“Tapi kenapa saya merasa kalau kata-kata itu memang kamu tunjukkan untuk saya. ”

Zoe melambaikan tangannya. “Tidak! Saya benar-benar tidak mengumpat Bapak.”

“Bagaimana kalau kita beralih ke topik lain. Kenapa Bapak memanggil saya?” tanya Zoe akhirnya.

Xavier berdehem. Lalu berkata, “Masuk!”

Xavier membuka pintu ruangannya, berjalan menuju kursi kebesarannya meninggalkan Zoe di belakang. Matanya menatap lurus Zoe, mengamati gadis itu saat dia berdiri depan meja kerjanya. Dia sedang memikirkan cara untuk bisa melihat tato di pinggang Zoe.

“Tolong bantu saya,” ucap Xavier.

“Ba–bantu? Bantu apa, Pak?” tanya Zoe sedikit tergagap. Dia tentu terkejut dengan permintaan tolong Xavier.

“Apa dengan bantuan yang saya berikan, Bapak akan memberikan sedikit nilai pada mata kuliah saya kemarin yang Bapak, tidak beri nilai? ” cerocos Zoe bersemangat.

“Akan saya pikirkan, nanti!” dehem Xavier.

“Sekarang tolong ambilkan buku di rak tengah itu!” perintah Xavier dengan wajah dingin dan datarnya.

“Huh…?” Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali. Rak buku itu ada tepat di belakang Xavier, dan yang terpenting Xavier memiliki tubuh yang jauh lebih tinggi ketimbang dirinya. Menyuruhnya untuk mengambilkan buku di rak buku tersebut, bukankah itu sangat keterlaluan.

“Mengambil buku?” ulang Zoe memastikan.

Xavier menganggukkan kepala sementara tangannya bergerak membuka tumpukan kertas yang ada di depannya.

“Ba–baiklah!” jawab Zoe akhirnya.

Zoe berjalan ke arah rak buku. Kepalanya menoleh menatap Xavier yang masih membolak-balikkan kertas.

“Dasar aneh!” batin Zoe. “Bapak mau diambilin buku yang mana?” tanya Zoe kemudian.

Xavier menutup keras yang sejak tadi hanya dibolak-balik olehnya. Matanya menatap Zoe yang sudah berdiri di depan rak buku.

“Tolong ambilkan buku bersampul biru di rak ke dua!” perintah Xavier. Melihat Zoe yang tidak memiliki tinggi tubuh yang tidak terlalu tinggi, tentu hal itu bisa membuat baju yang dipakainya terangkat dan memperlihatkan tato di pinggangnya.

“Ini…?” tanya Zoe.

Xavier menatap lurus pada pinggang Zoe, tanpa berkedip seolah pinggang Zoe adalah santap yang terlihat nikmat.

“Sama tolong ambilkan buku di rak bagian atas. Buku bersampul hijau itu, saya juga membutuhkannya.”

“Huh…?” Zoe menolehkan kepalanya. Bibirnya mengerucut menatap Xavier. Bagaimana bisa di mengambi di rak atas.

“Bapak serius? Masalahnya saya—”

“Tidak mau?” potong Xavier.

“Ha ha ha… tidak kok, Pak. Saya mau, beneran deh!” balas Zoe menahan kesalnya.

Xavier tersenyum samar melihat Zoe yang bersusah payah mengambil buku di rak atas. Tangan dan juga tinggi tubuh Zoe yang tak lebih dari seratus enam puluh tujuh sentimeter itu membuat, baju Zoe tersingkap ke atas. Memperlihatkan tato bulan sabit dengan bunga lily yang ada di pinggangnya.

“Ini!” kata Zoe menyerahkan dua buku yang diinginkan Xavier.

“Terima kasih,” balas Xavier dengan senyum anehnya.

“Kamu bisa keluar!” kata Xavier selanjutnya.

Zoe mengangga, dia hampir tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Xavier. Laki-laki itu hanya memintanya untuk mengambil buku yang pasti bisa diambil, lalu menyuruhnya pergi. Apa saat ini Xavier sedang mengerjainya?

“Pergi, Pak?” tanya Zoe memastikan.

Xavier menarik napas panjang. Jari telunjuknya, mencoba membenarkan posisi kacamata baca yang dipakainya. “Kenapa? Tidak mau pergi?”

Zoe melambai-lambaikan tangannya. “Tidak, bukan seperti itu. Kalau begitu saya permisi, Pak!” ucap Zoe segera pergi dari ruang Xavier.

Mata Zoe menyipit menatap pintu ruang kerja Xavier yang tertutup. Bibirnya terus bergumam mengeluarkan sumpah serapahnya. Dosen killer sekaligus menyebalkan itu seperti tengah mengerjainya saja. Dia harus berlari dan meninggalkan pekerjaannya untuk menemui Xavier, tapi yang ada pria itu mengerjainya. Sekali lagi mengerjainya!

“Dasar pria tua menyebalkan!” omel Zoe.

“Jika saja kamu bukan dosen ku, sudah aku pastikan kalau wajahmu tidak akan terlihat tampan lagi!” lanjutnya masih tidak terima.

Zoe menggoyang-goyangkan telapak tangannya. Mengambil buku di rak paling atas membuat tangannya sedikit sakit. Dia harus berjinjit dan mengerahkan kekuatan pada tangganya untuk bisa mengambil buku yang diminta oleh Xavier.

“Menyebalkan! Dasar dosen gila!” omel Zoe masih berdiri di depan ruang kerja Xavier.

“Apa dengan sifatnya yang seperti itu dia bisa mendapatkan pendamping hidup. Hanya mengandalkan ketampanannya, tidak akan membuat wanita tergila-gila padanya!”

“Hanya wanita bodoh yang mau berpacaran dengan pria menyebalkan seperti dia!”

“Pria menyebalkan?”

“Pa–Pak Xavier…?”

Zoe merutuki kebodohannya, untuk kedua kalinya dia ketahuan sedang mengumpat dan menyumpahi Xavier.

“Kok, Bapak….”

“Kenapa? Takut karena ketahuan telah menghinaku lagi?” potong Xavier matanya yang tajam, menyipit menatap Zoe.

“Ha ha ha… tidak, bukan seperti itu,” sahut Zoe salah tingkah.

“Eum… Pak, Bapak tidak akan memberikan nilai minus pada saya kan?” tanya Zoe harap-harap cemas.

Xavier adalah orang yang terkenal tidak mudah diajak berkompromi. Laki-laki itu sangat tegas dan teguh dalam memegang keyakinannya.

Xavier tersenyum miring. “Itu semua tergantung pada performa mu.”

“Huh…?”

Zoe mengerjapkan matanya, melihat punggung Xavier yang sudah menjauh dari hadapannya. Kata-kata yang diucapkan oleh Xavier sungguh terasa ambigu.

Performa? Performa apa?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 6. Sleep Call

    Zoe merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lima belas menit lagi dia harus memulai livenya, tapi entah kenapa rasanya dia malas melakukan apa yang sudah menjadi kebiasaannya itu. Andai penghasilan yang didapatkannya selama ini tidak terus habis, pasti dia akan selalu bersemangat setiap kali memulai livenya. “Eros…?” Tubuh Zoe meremang. Panggilan suara dari Eros, membuatnya kelimpungan. Laki-laki itu tahu dia akan memulai livenya sebentar lagi, tapi dia justru menghubunginya. Selain itu, dia juga belum siap jika Eros menagih janjinya–menghabiskan malam bersama. “Sedang bersiap-siap?” Sapaan suara berat dari Eros, membuat Zoe menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar kencang bahkan sebelum Eros mengatakan maksudnya melakukan panggilan telepon. “Heem…,” jawab Zoe. “Boleh jika malam ini kamu tidak melakukannya?” Pinta Eros. Zoe yang awalnya berbaring di kasur, seketika duduk bersila. Permintaan Eros itu terdengar seperti permintaan seorang kekasih yang tidak mau melihat kekasihnya

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 5. Permintaan aneh si dosen menyebalkan

    “Ha ha ha… Pax Xavier.” Zoe mengusap belakang kepalanya. Kali ini dia benar-benar mencari masalah. “Kok Bapak, ada di luar. Bukankah seharusnya Bapak menunggu di dalam? ” Xavier menatap lurus Zoe. Tidak ada ekspresi yang dapat dibaca dari wajah tampannya. Matanya yang tajam serta alisnya yang mengkerut, cukup membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi. “Memangnya kenapa kalau saya di luar? Bukankah ini kampus tempatku mengajar. Dimanapun aku berada, itu bukan urusanmu!” sahut Xavier menusuk. “Atau jangan-jangan kamu tidak ingin saya keluar dari ruangan saya, agar saya tidak bisa mendengar umpatan-umpatan yang kamu tunjukkan untuk saya?!” lanjut Xavier terlihat kesal. “Pria tua? Lalu apa lagi?” “Ha ha ha… Bapak terlalu sensitif. Saya sama sekali tidak mengumpat pada Bapak tadi,” sahut Zoe. “Benarkah? Apa kamu yakin?” Zoe mengangguk dengan cepat menjawab pertanyaan Xavier. Meski kenyataannya benar, tentu dia tidak boleh berkata jujur. Hidupnya akan benar-benar berakhir

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 4. Dosen Menyebalkan

    “Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberikan 400.000 koin.”Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara di bawah meja, kakinya sudah bergerak gelisah. Eros telah memberikan empat ratus ribu koin sebanyak empat kali, yang jika dirupiahkan akan mencapai angka dua ratus juta. Itu artinya dia benar-benar akan kehilangan keperawanannya.“Ini nomorku. Mari kita berbincang setelah kamu mengakhiri live malam ini. Eros! ”Zoe menelan ludahnya susah payah. Hidupnya benar-benar akan hancur detik ini juga.“Sayang sekali, malam ini aku terpaksa harus mengakhiri live. Aku harus membahas sesuatu yang menarik dengan orang yang telah memberikan dua ratus juta kepadaku,” kata Zoe kepada para penontonnya.“Untuk kalian semua, jangan bersedih ya. Besok aku akan kembali lagi. Tunggu aku dan nanti kita lakukan sesuatu yang menarik,” imbuh Zoe mengedipkan mata sambil melambaikan tanga

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 3. Terjual

    Zoe berjalan mondar-mandir di depan meja laptopnya lengkap dengan kostum penggoda iman yang akan disukai para penontonnya. Beberapa menit lagi dia akan melakukan live, tapi otaknya masih penuh dengan bagaimana mendapatkan uang untuk membayar hutang ayahnya tiga hari lagi dan uang dua ratus juta untuk ganti rugi atas kasus tabrakan yang dilakukan oleh ayahnya. “Apa aku harus menjual tubuhku?” gumam Zoe. ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Otaknya sudah buntu, tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dipikirkannya. Meski setiap live Zoe mendapatkan uang, uang-uang itu seakan tidak akan pernah cukup untuk membayar hutang-hutang ayahnya. Zoe menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. “Aku tidak akan memiliki apa-apa lagi jika benar-benar menjual tubuhku!” “Aku hanya memiliki keperawananku yang bisa aku banggakan.” Hati Zoe bergejolak, meski selama ini dia sering melakukan live streaming dengan konten 21+, dia tetap menjaga keperawanannya. Merasa dir

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 2. Ditagih Rentenir

    “Sial!” Zoe menendang kaleng di depannya ke sembarang arah. Dalam perjalanan pulangnya pun, dia masih mengingat kata-kata Xavier. Ancaman Xavier bukan hanya isapan jempol. Laki-laki berwajah tampan tapi berhati iblis itu sama sekali tidak memberikan toleransinya sedikit saja. Nilai mata kuliahnya dibiarkan kosong, meski dia sudah memohon untuk mengerjakan tugas. “Tidak bisakah dia lebih baik sedikit!” gerutu Zoe dengan bibir mencebik. Zoe menghela napas panjang. Kepalanya menengadah menatap langit yang terlihat begitu cerah. Andai saja kehidupannya sama seperti langit hari ini, tentu dia akan sangat bahagia. Sayangnya semua itu hanya ada dalam mimpinya. Jangankan hidup enak, pulang pergi ke kampus saja dia harus bersusah payah. Seperti saat ini, dia harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke kontrakannya. “Akkhh… bisakah sehari saja hidupku berjalan lancar?!” gerutu Zoe kembali. “Bagaimana caranya biar aku bisa mendapatkan nilai plus di mata kuliah si raja iblis itu? Aku m

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 1. Sang Penghibur

    Suara gedoran pintu yang terdengar begitu nyaring, membuat Zoe berlari ke arah pintu. Zoe mendengus kesal. Matanya menyipit, jengah melihat keadaan yang sama. Baskoro–ayahnya datang dalam keadaan mabuk! “Berikan Ayah, uang!”Zoe tersenyum miring. Uang? Apakah ayahnya kira dia ini bank yang bisa dimintai uang setiap saat. Untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus berhemat, tapi ayahnya justru datang dengan keadaan memuakkan–mabuk dan kalah judi. “Aku tidak punya uang. Kemarin aku harus membayar hutang ayah! Seorang rentenir datang menagih hutang kemari!” jawab Zoe, muak.“Akhh….” Zoe meringis kesakitan. Ayahnya tanpa rasa kasihan menarik rambutnya kuat-kuat.“Itu sudah menjadi tugasmu! Kamu adalah anakku, jadi tidak salah kalau aku mengandalkanmu!” balas Baskoro.Tangan Zoe terkepal. Matanya memerah menahan rasa kesal bercampur benci. Ucapan macam apa itu. Bagaimana bisa seorang orang tua bisa mengatakan kata-kata menyakitkan dan tidak berperasaan seperti itu.“Cepat berikan Ayah ua

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status