Zoe merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lima belas menit lagi dia harus memulai livenya, tapi entah kenapa rasanya dia malas melakukan apa yang sudah menjadi kebiasaannya itu. Andai penghasilan yang didapatkannya selama ini tidak terus habis, pasti dia akan selalu bersemangat setiap kali memulai livenya.
“Eros…?” Tubuh Zoe meremang. Panggilan suara dari Eros, membuatnya kelimpungan. Laki-laki itu tahu dia akan memulai livenya sebentar lagi, tapi dia justru menghubunginya. Selain itu, dia juga belum siap jika Eros menagih janjinya–menghabiskan malam bersama. “Sedang bersiap-siap?” Sapaan suara berat dari Eros, membuat Zoe menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar kencang bahkan sebelum Eros mengatakan maksudnya melakukan panggilan telepon. “Heem…,” jawab Zoe. “Boleh jika malam ini kamu tidak melakukannya?” Pinta Eros. Zoe yang awalnya berbaring di kasur, seketika duduk bersila. Permintaan Eros itu terdengar seperti permintaan seorang kekasih yang tidak mau melihat kekasihnya pergi menghibur orang lain. “Tapi aku sudah terbiasa melakukannya. Para penggemar ku pasti akan kecewa jika aku tidak live,” kata Zoe beralasan. Dia tidak bisa jika harus kehilangan sehari saja pendapat tetapnya ini. “Takut penggemarmu kecewa atau pendapatanmu hilang?” komentar Eros. Suasana hening sesaat. Zoe tidak menjawab pertanyaan Eros. Sebenarnya dia lebih ke takut pendapatnya hilang. Uang yang didapatkannya setiap malam selalu habis. Bahkan uang dua ratus juta yang telah diberikan oleh Eros kemarin, akan jatuh ke tangan orang lain esok pagi. “Aku akan membayarmu untuk ini jika kamu takut pendapatmu hilang,” ujar Eros. “Tidak perlu!” sahut Zoe dengan nada setengah terkejut. “Bagaimana kalau kita mengobrol sebentar sebelum jam live ku dimulai. Dan kita bisa mengobrol lagi setelah live, jika kamu kamu?” tawar Zoe, mengambil jalan tengah. Dia tidak ingin menerima uang cuma-cuma dari Eros, semalam pria itu telah memberinya dua ratus juta. Lalu sekarang pria itu akan memberikan uang lagi untuknya. Entah seberapa kaya pria itu. Uang seolah tidak memiliki harga diri di depannya. Berbeda sekali dengannya. Ia selalu harus menghitung setiap pengeluarannya. Bahkan untuk makan, ia juga harus berhemat. “Kenapa? Bukankah wanita sangat menyukai uang? Kamu juga menyukai uang kan, karena itu kamu tidak ingin meninggalkan live mu.” Zoe tersenyum kecut. Dia bukan menyukai uang, lebih tepatnya membutuhkan uang. Jika bisa dia lebih memilih bekerja dengan gaji cukup, asal hidupnya tenang. Sayang lagi-lagi semua itu hanya ada dalam mimpinya saja. Selama hutang-hutang ayahnya masih menumpuk, hidupnya tidak akan pernah tenang. Akan selalu saja ada orang yang menagih hutang kepadanya. “Apa kata-kataku menyinggungmu?” tanya Eros saat Zoe diam. “Tidak,” jawab Zoe sembari menghembuskan napas panjang. Hening. Tidak ada yang berbicara. Keadaan tiba-tiba menjadi kikuk usai percakapan yang sebenarnya tidak terlalu sensitif itu. Zoe menatap jarum jam yang terus berputar tak kenal lelah. “Apa kamu tidak penasaran dengan wajahku?” tanya Eros setelah keheningan menyapa mereka. “Huh…?” “Aku sangat penasaran denganmu. Kamu pasti sangat cantik,” ucap Eros memuji. Zoe tersipu malu. “Aku sama sekali tidak cantik. Aku hanya wanita yang memiliki wajah biasa-biasa saja,” balas Zoe. “Benarkah?” sahut Eros setengah tak percaya. “Tapi suaramu terdengar merdu,” lanjutnya. “Kalau begitu kamu juga pasti sangat tampan,” celetuk Zoe. “Tampan? Wajahku bahkan jauh dari kata itu,” balas Eros. “Benarkah? Tapi suaramu seperti suara-suara CEO kaya raya atau sugar daddy!” “Memangnya kamu sudah pernah melihat CEO kaya raya, hingga bisa menyimpulkan seperti itu?” tanya Eros. “Tidak! Bagaimana mungkin rakyat biasa seperti aku bisa berkenalan dengan CEO.” Zoe yang tadinya duduk kembali merebahkan tubuhnya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat, malam ini dia benar-benar tidak melakukan live dan hanya menemani Eros mengobrol melalui sambungan telepon. “Jika bisa aku juga ingin bertemu dengan seorang CEO tampan kaya raya. Pasti hidupku seperti di dongeng-dongeng. Bertemu CEO kaya raya, lalu diberi cek dengan nilai ratusan miliar oleh orang tuanya yang menentang hubungan kami.” Zoe menarik napas panjang. Mulai membayangkan hal yang tidak-tidak. “Ah… jadi kamu menyukai tipe CEO kaya raya dan tampan,” komentar Eros. “Berarti kamu tidak akan senang jika bertemu denganku nanti,” lanjut Eros. Zoe mengernyitkan kening. “Kenapa aku bisa tidak senang? Apa milikmu tidak berfungsi, hingga kamu bisa mengatakan kalau aku tidak senang saat bertemu mu nanti?” timpal Zoe sedikit bercanda. “Cih… apa kamu meragukan kemampuanku. Bukankah setiap malam kamu memanjakannya dengan caramu.” Blus…. Pipi Zoe memerah. Kata-kata yang keluar dari mulut Eros sukses membuatnya malu. Dia cukup tahu jika selama ini dia telah membangkitkan pikiran liar para penontonnya hanya dengan gerakan yang dilakukannya. Tapi dia sama sekali tidak sampai berpikir bahwa mereka sampai melakukan permainan solo untuk mendapatkan kenikmatan. “Mau membuktikannya sekarang?” celetuk Eros. “Huh…? Membuktikannya sekarang? Maksudmu bertemu?” sahut Zoe gelagapan. “Iya, ayo kita bertemu.”Zoe merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lima belas menit lagi dia harus memulai livenya, tapi entah kenapa rasanya dia malas melakukan apa yang sudah menjadi kebiasaannya itu. Andai penghasilan yang didapatkannya selama ini tidak terus habis, pasti dia akan selalu bersemangat setiap kali memulai livenya. “Eros…?” Tubuh Zoe meremang. Panggilan suara dari Eros, membuatnya kelimpungan. Laki-laki itu tahu dia akan memulai livenya sebentar lagi, tapi dia justru menghubunginya. Selain itu, dia juga belum siap jika Eros menagih janjinya–menghabiskan malam bersama. “Sedang bersiap-siap?” Sapaan suara berat dari Eros, membuat Zoe menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar kencang bahkan sebelum Eros mengatakan maksudnya melakukan panggilan telepon. “Heem…,” jawab Zoe. “Boleh jika malam ini kamu tidak melakukannya?” Pinta Eros. Zoe yang awalnya berbaring di kasur, seketika duduk bersila. Permintaan Eros itu terdengar seperti permintaan seorang kekasih yang tidak mau melihat kekasihnya
“Ha ha ha… Pax Xavier.” Zoe mengusap belakang kepalanya. Kali ini dia benar-benar mencari masalah. “Kok Bapak, ada di luar. Bukankah seharusnya Bapak menunggu di dalam? ” Xavier menatap lurus Zoe. Tidak ada ekspresi yang dapat dibaca dari wajah tampannya. Matanya yang tajam serta alisnya yang mengkerut, cukup membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi. “Memangnya kenapa kalau saya di luar? Bukankah ini kampus tempatku mengajar. Dimanapun aku berada, itu bukan urusanmu!” sahut Xavier menusuk. “Atau jangan-jangan kamu tidak ingin saya keluar dari ruangan saya, agar saya tidak bisa mendengar umpatan-umpatan yang kamu tunjukkan untuk saya?!” lanjut Xavier terlihat kesal. “Pria tua? Lalu apa lagi?” “Ha ha ha… Bapak terlalu sensitif. Saya sama sekali tidak mengumpat pada Bapak tadi,” sahut Zoe. “Benarkah? Apa kamu yakin?” Zoe mengangguk dengan cepat menjawab pertanyaan Xavier. Meski kenyataannya benar, tentu dia tidak boleh berkata jujur. Hidupnya akan benar-benar berakhir
“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberikan 400.000 koin.”Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara di bawah meja, kakinya sudah bergerak gelisah. Eros telah memberikan empat ratus ribu koin sebanyak empat kali, yang jika dirupiahkan akan mencapai angka dua ratus juta. Itu artinya dia benar-benar akan kehilangan keperawanannya.“Ini nomorku. Mari kita berbincang setelah kamu mengakhiri live malam ini. Eros! ”Zoe menelan ludahnya susah payah. Hidupnya benar-benar akan hancur detik ini juga.“Sayang sekali, malam ini aku terpaksa harus mengakhiri live. Aku harus membahas sesuatu yang menarik dengan orang yang telah memberikan dua ratus juta kepadaku,” kata Zoe kepada para penontonnya.“Untuk kalian semua, jangan bersedih ya. Besok aku akan kembali lagi. Tunggu aku dan nanti kita lakukan sesuatu yang menarik,” imbuh Zoe mengedipkan mata sambil melambaikan tanga
Zoe berjalan mondar-mandir di depan meja laptopnya lengkap dengan kostum penggoda iman yang akan disukai para penontonnya. Beberapa menit lagi dia akan melakukan live, tapi otaknya masih penuh dengan bagaimana mendapatkan uang untuk membayar hutang ayahnya tiga hari lagi dan uang dua ratus juta untuk ganti rugi atas kasus tabrakan yang dilakukan oleh ayahnya. “Apa aku harus menjual tubuhku?” gumam Zoe. ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Otaknya sudah buntu, tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dipikirkannya. Meski setiap live Zoe mendapatkan uang, uang-uang itu seakan tidak akan pernah cukup untuk membayar hutang-hutang ayahnya. Zoe menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. “Aku tidak akan memiliki apa-apa lagi jika benar-benar menjual tubuhku!” “Aku hanya memiliki keperawananku yang bisa aku banggakan.” Hati Zoe bergejolak, meski selama ini dia sering melakukan live streaming dengan konten 21+, dia tetap menjaga keperawanannya. Merasa dir
“Sial!” Zoe menendang kaleng di depannya ke sembarang arah. Dalam perjalanan pulangnya pun, dia masih mengingat kata-kata Xavier. Ancaman Xavier bukan hanya isapan jempol. Laki-laki berwajah tampan tapi berhati iblis itu sama sekali tidak memberikan toleransinya sedikit saja. Nilai mata kuliahnya dibiarkan kosong, meski dia sudah memohon untuk mengerjakan tugas. “Tidak bisakah dia lebih baik sedikit!” gerutu Zoe dengan bibir mencebik. Zoe menghela napas panjang. Kepalanya menengadah menatap langit yang terlihat begitu cerah. Andai saja kehidupannya sama seperti langit hari ini, tentu dia akan sangat bahagia. Sayangnya semua itu hanya ada dalam mimpinya. Jangankan hidup enak, pulang pergi ke kampus saja dia harus bersusah payah. Seperti saat ini, dia harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke kontrakannya. “Akkhh… bisakah sehari saja hidupku berjalan lancar?!” gerutu Zoe kembali. “Bagaimana caranya biar aku bisa mendapatkan nilai plus di mata kuliah si raja iblis itu? Aku m
Suara gedoran pintu yang terdengar begitu nyaring, membuat Zoe berlari ke arah pintu. Zoe mendengus kesal. Matanya menyipit, jengah melihat keadaan yang sama. Baskoro–ayahnya datang dalam keadaan mabuk! “Berikan Ayah, uang!”Zoe tersenyum miring. Uang? Apakah ayahnya kira dia ini bank yang bisa dimintai uang setiap saat. Untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus berhemat, tapi ayahnya justru datang dengan keadaan memuakkan–mabuk dan kalah judi. “Aku tidak punya uang. Kemarin aku harus membayar hutang ayah! Seorang rentenir datang menagih hutang kemari!” jawab Zoe, muak.“Akhh….” Zoe meringis kesakitan. Ayahnya tanpa rasa kasihan menarik rambutnya kuat-kuat.“Itu sudah menjadi tugasmu! Kamu adalah anakku, jadi tidak salah kalau aku mengandalkanmu!” balas Baskoro.Tangan Zoe terkepal. Matanya memerah menahan rasa kesal bercampur benci. Ucapan macam apa itu. Bagaimana bisa seorang orang tua bisa mengatakan kata-kata menyakitkan dan tidak berperasaan seperti itu.“Cepat berikan Ayah ua