“Siapa kamu?!”
Bentak suara bariton itu menggelegar. Afie hampir menjatuhkan cangkir kopi. Rasanya jantungnya ikut tumpah bersama cairan hitam itu. Tangannya gemetar, menahan diri untuk menjawab. Ia berusaha menahan diri untuk tidak terpeleset menjawab. " Sial. " Baru beberapa jam di rumah ini, Afie sudah ingin kabur. Kalau cangkirnya beneran mendarat ke muka gantengnya itu, dia juga yang pasti kena imbasnya. Afie merasa menjadi gadis malang yang hidupnya jungkir balik gara-gara satu kesepakatan untuk menjadi pelayan pribadi pria menyebalkan bernama Gian Reza Rahardian. Semua demi ibunya karena biaya rumah sakit ditanggung oleh Mamanya Gian, dengan syarat Afie “mengabdi” di rumah ini. “Halo pak! Aku Amanda Nawalfie, panggil saja, Afie. Singkatnya sih, aku disuruh ibu Clara buat melayani bapak. Dan ta..da ....., aku mendarat di rumah megah ini.” katanya tersenyum cerah “Pak, ini panas. sempet tumpah sih tapi dikit. Aku nggak bisa lari-lari sambil bawa kopi. ” protesnya. “Satu lagi, Jangan kagetin aku besok-besok ya pak.” Matanya menyipit. “Kamu ..???” Afie tahu seharusnya diam. Tapi lidahnya sudah lebih dulu bergerak. “Aku bukan membantah, Pak. hanya mengingatkan. Ini kopinya aku taruh disini ya.” Laki-laki itu bergumam rendah, entah menggerutu atau menahan emosi, sebelum menelpon seseorang. Tatapan dinginnya kembali mengunci Afie. "Sret." Membuat bulu kuduknya berdiri, tapi ia menegakkan dagu. Kalau kalah mental sekarang, tamatlah sudah. “Afie.” Suara Gian berat dan dalam. Ia menyandarkan tubuh di sofa hitam, sorot matanya menelusuri tampilan Afie dari atas ke bawah. “Kamu bukan tamu di sini. Kamu pelayan. harusnya pelayan tidak banyak bicara.” Afie mendengus kecil, lebih ke kesal dengan ucapan tuan barunya yang super duper Arogan.. “Baik, Pak. Tapi pelayan juga manusia. Bisa capek, bisa pegel. Jangan disamain sama robot, nanti aku bisa mogok lo.” Alis Gian terangkat. "Oh, bagus sekali. Berani kamu ya ??? Sepertinya Afie baru saja berhasil membuat seorang CEO muda ingin melemparnya keluar hingga ke Merkurius Gian menggebrak meja. “Kalau kamu di sini hanya untuk cari masalah, keluar sekarang juga!” Afie tercekat. Kalau keluar sekarang, ia benar-benar tidak punya tempat tujuan. Ingatan wajah ibunya di ranjang rumah sakit membuatnya menelan ludah. "Tidak, Afie. Jangan menyerah sekarang." Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk sedikit sekadar formalitas. “Maaf, Pak. Aku cuma … kebiasaan. Mulutku kadang nggak bisa diem.” Senyumnya kecut, tak dibalas. Gian bangkit, berdiri tegap dengan lengan bersedekap. “Kamu tahu apa yang saya benci?” suaranya rendah, penuh tekanan. “Perempuan yang tidak tahu tempat. Dan kamu, Amanda Nawalfie , adalah contoh terbaiknya.” Deg. Kata-kata itu menusuk. Tapi daripada menangis, Afie justru tersenyum tipis. “Syukur deh, Pak. Minimal ada sesuatu yang bisa Bapak ingat dari aku” Keheningan menekan. Detak jantung Afie berdentam di telinganya sendiri. Gian menatapnya terlalu lama, sampai ia merasa benar-benar di telanjangi oleh sorot mata itu. Lalu, pria itu melangkah mendekat. Sendal kulitnya menghentak marmer, membuat Afie spontan mundur hingga punggungnya sudah menabrak dinding. “Dengar baik-baik.” Gian menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Afie. Nafas panasnya terasa di kulit. “Di rumah ini, kamu main api sedikit saja, kamu yang terbakar.” Jantung Afie meloncat liar. Tapi anehnya, bukannya diam ketakutan, bibirnya justru gatal membalas. “Ya asal jangan api asmara, kan Pak. Kalau itu sih… bahaya buat Bapak sendiri nantinya.” Mulutnya sukses lagi-lagi mencari mati. Tapi jelas, kilatan singkat melintas di mata Gian antara marah, geli, atau tertantang. Dirinya menarik napas lega begitu ia menjauh. Tapi di dalam hati, dia sadar bahwa hidupnya resmi masuk neraka. " Dosen killer? Senior galak? Semua nggak ada apa-apanya dibanding Gian Reza Rahardian. Tapi kalau dia pikir aku akan menyerah semudah itu… dia salah besar." ** Keesokan harinya, Afie menatap jam dinding besar yang berdetak seolah mengejeknya. Baru pukul 06.02 pagi dan dia sudah ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya yang bahkan belum genap 24 jam. “Afie, kamu hebat. Bisa bertahan semalam di rumah vila rasa penjara ini. Tanpa jeruji, tapi penuh tekanan batin,” gumamnya sambil menyeret sandal hotel yang terlalu besar. Ia menyusuri koridor rumah Gian yang lebih mirip museum, sepi, luas, dingin, dan penuh barang mahal yang bikin keringat dingin. Salah sentuh bisa bikin utang keluarga naik tujuh turunan. Tujuan misi pagi ini, Afie akan membuat sarapan. Ibu Gian, yang, entah kenapa, memintanya jadi pelayan pribadi untuk anak laki laki semata wayangnya sudah mewanti-wanti, “Gian suka telur setengah matang, kopi tanpa gula, dan jangan ganggu dia pagi-pagi.” “Baik, Bu. Tapi aku bukan ahli dalam membuat telur.” “Belajar.” Afie berusaha mengingat intruksi Ibu Clara, dan melangkah menuju dapur sambil mengamati kompor canggih itu. "Oke, telur setengah matang. Gampang lah. tapi masalahnya, kompor rumah ini lebih canggih dari mesin uji coba NASA. " Dengan sikapnya yang awam tentang peralatan tempur dapur membuatnya makin bingung. "Ada tiga belas tombol, yang mana harus ku pencet ini" ujarnya masih mondar mandir dan melihat lihat siapa tau ada intruksi cara pemakaian kompor. "Tiga belas! Bahkan tombol pesawat tempur kayaknya nggak sebanyak ini." dengan kebingungan yang begitu nyata. Dan Afie? Dia nekat saja hingga salah pencet tombol. Maksud hati hanya mau menggoreng telur, malah menyalakan alarm kebakaran. Tiiiit ....Tiiit ....Tiiit !!! Afie menjerit panik sambil menari-nari memegang spatula. Asap dari telur gosong mulai menguasai dapur. Dia membuka semua jendela dan mengibas-ngibas udara dengan serbet. “Padam, padam, pliiiss padam ....” BRAK! Sosok tinggi menjulang muncul di ambang pintu dapur dengan mata masih setengah merem. Gian Reza Rahardian. Dengan kaus oblong tipis dan celana panjang tidur, rambut acak-acakan, tapi aura CEO-nya tetap tidak bisa ditutupin. Dan matanya sekarang… merah. Entah karena alarm, atau karena dia melihat Afie yang akan membakar rumahnya. “APA YANG—?!” ***Afie menunduk sopan sambil menggenggam pegangan kopernya. “Aku permisi dulu Pak. Sepertinya bapak ada tamu penting.” Gian mengangguk pelan tanpa memandangnya. Matanya masih tertuju pada siluet di depan pintu. “Silakan.” Afie menarik napas pendek, lalu mendorong kopernya ke arah tangga. Suara roda yang bergesekan dengan lantai terdengar pelan tapi tetap terasa mengganggu di tengah keheningan yang mendadak tegang. Di bawah, Gian menatap tamunya dalam diam. Wajah itu masih sama. Perempuan yang pernah ada di masa lalu. Dan kini, entah mengapa, berdiri lagi di depannya, seolah waktu lima tahun tak pernah terjadi. Nadia tersenyum kecil. “Hai, Gian.” Gian tidak langsung menjawab. Matanya tajam, rahangnya mengeras. “Kenapa kamu ke sini Nad?” “Aku pulang Gi,” jawab Nadia singkat. “Dan... aku butuh bicara denganmu.” “Bicara soa
Gian melipat tangan di dada, rahangnya mengeras dan menatap wajah gadis cantik di depannya dengan perasaan tidak terima.“Saya belum tua,” ulangnya dengan nada lebih rendah, tapi sarat ancaman. "Saya... dewasa. Matang dan Berkelas.”Afie mendengus, lalu tertawa pelan. “Berkelas ... Tapi kok nyebelin ya? Dan, sorry banget, Pak Gian yang dewasa, matang, dan berkelas, tapi sampai umur segini masih jomblo. Heran juga sih... wanita mana yang tahan?”Gian menyipitkan mata. “Bukan karena nggak laku. Saya pilih-pilih.”“Ah, iya. Aku lupa. Itu juga kata kebanyakan jomblo senior,” Afie menimpali sambil mengangkat kedua alisnya, menyeringai. “Selalu bilang belum ketemu yang cocok’. Padahal kenyataannya... mereka yang nggak cocok buat siapa-siapa.”Gian mengerjap pelan. Tersentak. “Kamu bilang saya nggak cocok buat siapa pun?”Afie mengangguk santai. “Yes. Tuan arogan, keras kepala, suka ngatur, dan... overconfident. Ngomong aja seakan semua wanita di dunia ini ngantri buat nikah sama bapak.”Gi
Suara pintu pantry dibanting keras menggema di seluruh rumah. "KRAK-DHUM!" Gian terdiam membeku di tempat. Tangannya masih memegang map berisi jadwal kerja yang belum sempat ia serahkan. Napasnya sedikit tercekat, bukan karena suara bantingan pintu itu, tapi karena...tatapan terakhir Afie sebelum pergi. Tatapan itu... bukan hanya marah. Tapi juga kecewa, terluka dan menyerah. Tatapan seseorang yang lelah berjuang di medan yang tak memberinya tempat. Gian menatap pintu pantry yang kini tertutup rapat. Ada sesuatu dalam dadanya yang sesak, meski ia belum mau mengakuinya. Ponselnya tiba-tiba berdering di saku celana. Layar menunjukkan satu nama: “MAMA.” Dengan berat hati, Gian mengangkat. “Halo, Ma…” Suara di ujung telepon langsung meledak seperti badai. 'GIAN REZA RAHARDIAN" Gian terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga. “Mama, bisa tenang dulu—” "APA YANG KAMU LAKUKAN KE AFIE?!” Suara Ibu Clara terdengar marah dan penuh kekecewaan. “Anak itu menelepon ibunya sambil menangis
"CING!!" Bunyi panci jatuh. Afie melambaikan tangan sambil batuk-batuk. “Selamat pagi, Pak. Sarapannya hampir jadi. Telurnya agak… gosong aja. tapi enak kok !” Gian memandang wajan teplon yang jatuh setelah menggoreng telur hangus dengan mata tajam. Afie menunjuk panci. “Itu black egg. Jepang banget, Pak. Antikanker" Gian menatap Afie seolah ingin melemparnya saat itu juga. “Matikan alarmnya,” desisnya, menekan pelipis. Afie panik. “Aku nggak tahu tombolnya yang mana! Semua tombol ini aku nggak faham apa fungsinya!” Gian mendekat, menekan satu tombol, dan voilá ....sunyi. Suara alarm mati, tapi kemarahan Gian jelas masih berkobar. “Afie, kamu pelayan atau pemadam kebakaran?” Afie mengangkat tangan, ekspresi serius. “Multitalenta, Pak. Hari ini aku pelayan, pemadam kebakaran, besok besok bisa saja kan aku jadi astronot. Siapa tahu.” Gian memejamkan mata sejenak, lalu membuka lemari dan mengambil kopi sendiri. “Keluar dari dapur. Sekarang.” Afie mengangguk.
“Siapa kamu?!” Bentak suara bariton itu menggelegar. Afie hampir menjatuhkan cangkir kopi. Rasanya jantungnya ikut tumpah bersama cairan hitam itu. Tangannya gemetar, menahan diri untuk menjawab. Ia berusaha menahan diri untuk tidak terpeleset menjawab. " Sial. " Baru beberapa jam di rumah ini, Afie sudah ingin kabur. Kalau cangkirnya beneran mendarat ke muka gantengnya itu, dia juga yang pasti kena imbasnya. Afie merasa menjadi gadis malang yang hidupnya jungkir balik gara-gara satu kesepakatan untuk menjadi pelayan pribadi pria menyebalkan bernama Gian Reza Rahardian. Semua demi ibunya karena biaya rumah sakit ditanggung oleh Mamanya Gian, dengan syarat Afie “mengabdi” di rumah ini. “Halo pak! Aku Amanda Nawalfie, panggil saja, Afie. Singkatnya sih, aku disuruh ibu Clara buat melayani bapak. Dan ta..da ....., aku mendarat di rumah megah ini.” katanya tersenyum cerah “Pak, ini panas. sempet tumpah sih tapi dikit. Aku nggak bisa lari-lari sambil bawa kopi. ” prot