 Masuk
MasukMatahari pagi menembus lembut kabut tipis di atas laut Bali.
Sinar keemasan itu menyapa ombak yang berkejaran dengan ritme tenang, menghamparkan kilauan cahaya di permukaan air seperti serpihan kaca yang mengapung di antara birunya samudra.
Burung-burung camar berputar di udara, sementara angin laut membawa aroma asin yang khas, aroma yang bagi Gian, selalu identik dengan kenangan yang tak pernah pudar.
Ia berjalan perlahan di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir halus menyentuh telapak kakinya.
Setiap langkah terasa berat, seolah membawa beban masa lalu yang tak pernah selesai.
Setiap butir pasir yang menempel di kulitnya mengingatkan pada momen-momen yang dulu ia lewati bersama Afie, tawa, air mata, dan kata-kata yang kini tinggal gema.
Bali, bagi banyak orang, adalah tempat untuk berlibur, melepaskan penat, mencari ketenangan.
Bagi Gian, pulau ini adalah rumah dari segala kenangan. Tempat di mana cintanya kepada Afie pernah tum

Udara pagi terasa lembap ketika Afie tiba lebih awal di sebuah kafe kecil di sudut kota. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan suara lembut musik jazz dari pengeras suara.Tempat itu jauh dari hiruk-pikuk, tersembunyi di antara rimbun pepohonan, dan mungkin hanya sedikit orang yang tahu keberadaannya. Tempat itu dipilih sendiri oleh Om Alex, katanya agar tidak menimbulkan kecurigaan.Di dada Afie, ada rasa yang sulit dijelaskan antara waspada, canggung, dan penasaran.Ia menunggu dengan secangkir teh hangat di depannya. Asapnya mengepul pelan, seolah ikut menemaninya memutar ulang segala peristiwa yang telah terjadi.Kebusukan yang terungkap, pengkhianatan dalam keluarga, dan nama besar yang kini berada di ujung tanduk.Benarkah Om Alex benar-benar ingin bekerja sama? Ataukah ini hanya taktik baru kubu Risman untuk menjebaknya?Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit. L
Hari itu akhirnya tiba.Sejak fajar menyingsing, rumah keluarga besar Afie dipenuhi kesibukan luar biasa.Ryan bolak-balik dari kamar ke ruang tamu, memastikan semua berkas lengkap dan tersusun rapi. Map biru berisi bukti ia genggam seolah itu nyawa terakhir yang harus dijaga.Om Bayu dan Om Radit berdiskusi serius di meja makan, memeriksa ulang salinan dokumen dan kronologi kasus, sementara Afie duduk di sofa dengan wajah tenang, setidaknya di luar.Di dalam dadanya, jantung berdegup kencang, berirama tak menentu.Hari pertama persidangan. Hari yang bisa menjadi titik balik, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk nama baik almarhum ayahnya yang telah lama ternoda oleh fitnah.“Afie, sudah siap?” suara Ryan terdengar serak, sarat dengan kekhawatiran sekaligus semangat.Afie mengangkat wajahnya dan tersenyum lembut.“Siap atau tidak, Kak… ini harus dijalani. Ini bukan lagi tentang aku saja, tapi te
Ruang sidang itu masih menyisakan hawa tegang bahkan setelah hakim mengetukkan palu dan menutup persidangan hari pertama.Suara kursi yang bergeser, bisik-bisik para wartawan, dan langkah kaki yang tergesa menjadi latar dari keheningan penuh tekanan.Afie duduk tegak di kursinya. Jantungnya berdetak cepat, tetapi wajahnya tetap menampilkan ketegaran luar biasa.Tangannya yang dingin digenggam hangat oleh Gian, yang duduk di sampingnya. Genggaman itu seolah berkata tanpa suara“Kau tidak sendiri.”Di sisi lain, Ryan berdiri dengan rahang mengeras, mencoba menutupi kecemasan yang jelas tergambar di matanya.Ia menatap adiknya dengan bangga sekaligus khawatir ,bangga karena keberanian Afie, khawatir karena tahu pertarungan ini belum berakhir.Sementara itu, di barisan kursi tamu, Risman bangkit dengan langkah berat.Wajahnya pucat, menahan amarah yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tipis yang tampak d
Sejak kabar pemanggilan Risman oleh pengadilan beredar, suasana kantor utama perusahaan berubah drastis.Ruang yang biasanya dipenuhi tawa dan percakapan ringan kini terasa dingin dan berhati-hati. Semua orang seolah menahan napas, menunggu perkembangan berikutnya.Afie menjadi pusat perhatian. Setiap langkahnya diperhatikan, setiap kata-katanya ditimbang. Para karyawan yang dulu hanya menyapanya sekadar basa-basi, kini menatapnya dengan rasa hormat bercampur kagum.Mereka tahu, badai besar sedang melanda perusahaan dan Afie berdiri di tengahnya, menjadi jangkar yang menahan semuanya agar tidak tenggelam.Namun di balik semua kekacauan itu, satu sosok selalu hadir di sisinya yaitu Kaisan.Ia bukan hanya konsultan keuangan yang datang untuk membantu mengurai benang kusut laporan perusahaan, tetapi juga teman yang tenang. seseorang yang selalu muncul di saat Afie hampir kehilangan pijakan.Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai t
Rumah besar peninggalan kakek dari pihak ayah Afie sore itu terasa berbeda.Biasanya rumah itu hanya ramai pada acara-acara tertentu seperti lebaran, ulang tahun, atau arisan keluarga. Namun kali ini, suasananya dipenuhi keseriusan yang kental.Dari ruang tamu hingga halaman belakang, kursi-kursi tambahan disusun rapi untuk menampung seluruh anggota keluarga yang hadir.Afie berdiri di ambang pintu, menatap sekeliling dengan perasaan bercampur aduk. Ia sempat ragu ketika menerima undangan dari Om Bayu dan Om Radit untuk hadir dalam pertemuan mendadak ini.Sejujurnya, ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Selama ini, ia merasa berjuang sendirian dalam menghadapi tekanan Risman.Kini, setiap tatapan tertuju padanya. Ada rasa gugup, haru, sekaligus lega yang sulit dijelaskan.“Afie, duduklah di sini. Ryan mana?” panggil Tante Agnes, kakak perempuan ayahnya, sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Afie tersenyum kecil dan
Pagi itu, udara Jakarta terasa berat, seolah masih menyimpan sisa hujan semalam. Jalanan yang biasanya riuh kini tampak lebih muram, dengan kabut tipis yang menggantung rendah, menutupi pandangan dari kejauhan.Bukan hanya langit yang mendung, badai yang lebih besar sedang bergemuruh di dunia bisnis dan media.Afie duduk di ruang kerjanya yang tenang, hanya suara lembut hujan yang menetes dari talang air menemani. Ia menatap layar laptop di depannya dengan sorot mata serius.Beberapa portal berita bisnis menampilkan headline besar yang membuat jantung siapa pun bisa berdegup kencang.“Dugaan Penyalahgunaan Dana: Nama Risman Mulai Disebut.”“Kebocoran Data Keuangan Perusahaan: Apa Peran Direksi Senior?”Setiap huruf terasa berat. Afie membaca perlahan, satu per satu, memastikan tak ada detail yang terlewat.Wajahnya tetap tenang, tapi di balik ketenangan itu ada debar yang keras bukan karena takut, melainkan kar








