MasukHari itu, gedung pengadilan dipenuhi sorotan.
Barisan kamera media berjajar di depan pintu masuk, lensa mereka mengarah ke setiap mobil yang berhenti di halaman.
Wartawan saling berteriak memanggil nama Risman! Afie! sambil berebut posisi terbaik untuk mendapatkan potongan gambar dan pernyataan singkat.
Suasana terasa seperti tontonan besar.
Semua orang menanti akhir dari drama keluarga yang selama berminggu-minggu memenuhi pemberitaan dan menyeret nama besar perusahaan keluarga itu ke dalam pusaran skandal.
Afie melangkah masuk bersama Ryan di sisinya.
Langkahnya mantap, meski jantungnya berdegup kencang.
Ia mengenakan setelan hitam sederhana. rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa banyak riasan. Sorot matanya tajam namun tenang menyembunyikan badai yang berkecamuk di dadanya.
Di belakang mereka, Om Bayu dan Om Radit ikut berjalan dengan wajah tegas.
Kehadiran keduanya menjadi tanda dukungan nyata bahwa
Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa berjalan begitu lambat bagi Gian.Setiap menit yang berlalu seolah menuntut kesabaran yang tak pernah ia miliki.Ia sudah berjanji pada Afie untuk menunggu, tapi ternyata menunggu jauh lebih melelahkan daripada apa pun yang pernah ia alami.Setiap pagi, begitu membuka mata, bayangan Afie langsung hadir dalam benaknya.Wanita itu bukan hanya seseorang yang ia cintai, Afie sudah menjadi bagian dari napas, dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.Setiap kali Gian mencoba mendekat, jarak itu seperti dinding tak kasat mata, ada, namun tak bisa ditembus.Ketika datang ke kantor atau sekadar mengintip dari jauh, pemandangan yang ia lihat selalu sama.Afie duduk di balik meja kerja dengan ekspresi serius, tenggelam dalam tumpukan dokumen.Kadang ia berdiskusi dengan Ryan, kakaknya, kadang berbicara dengan para paman tentang strategi perusahaan.Afie terlihat begitu fokus, begi
Langkah-langkah Afie bergaung lembut di sepanjang koridor perusahaan yang kini terasa jauh lebih lapang dari sebelumnya.Setiap derap sepatu haknya menimbulkan gema halus di lantai marmer, seperti dentingan waktu yang mengingatkan pada perjalanan panjang yang baru saja ia lalui.Setelah semua keributan dengan Risman, persidangan yang menyita waktu dan energi begitu besar, serta tekanan dari media dan investor, kantor itu akhirnya bisa bernapas kembali.Tak ada lagi wajah tegang di antara para karyawan, tak ada bisik-bisik penuh ketakutan. Ruang-ruang kerja terasa lebih hidup, udara lebih ringan, dan setiap orang seperti mendapat kesempatan untuk memulai dari awal.Ryan kini tampak lebih dewasa. Ia mulai mengambil peran besar dalam rapat-rapat, menyimak arahan dengan sungguh-sungguh, dan berani mengemukakan pendapatnya.Melihat hal itu, Afie sering merasa lega, setidaknya, janji pada almarhum ayah mereka untuk menjaga perusahaan keluarga tidak sia-s
Hari itu, suasana kantor terasa berbeda.Matahari bersinar terang di luar jendela kaca besar, menembus hingga ke meja kerja Afie, menciptakan pantulan hangat di permukaan kayu.Di balik cahaya itu, hatinya justru terasa berat, seperti diselimuti bayangan yang tak bisa ia abaikan.Sejak pagi, ia memperhatikan gerak-gerik Kaisan. Lelaki itu tampak lebih tenang dari biasanya, terlalu tenang bahkan.Tidak ada gurauan kecil seperti biasa, tidak ada tawa renyah saat bercakap dengan staf. Setiap langkahnya tampak terukur, setiap pandangannya mengandung kesadaran mendalam.Afie tahu, cepat atau lambat, sesuatu akan terjadi.Nalurinya mengatakan, hari itu adalah hari di mana sesuatu akan berubah.Sore menjelang.Rapat internal baru saja selesai. Beberapa staf beranjak dari kursi, membawa berkas masing-masing sambil saling bertukar candaan ringan.Di tengah hiruk-pikuk kecil itu, suara Kaisan terdengar berbeda, tenang tapi berat.
Sidang yang berakhir dengan dilengserkannya Risman menjadi berita besar di mana-mana.Koran-koran pagi memuatnya dengan huruf tebal di halaman depan:“Risman Lengser, Generasi Baru Siap Pimpin Perusahaan Keluarga.”“Afie dan Ryan, Penerus yang Tumbuh di Tengah Badai.”Media online pun tak kalah ramai. Ada yang memuji ketegasan Afie dalam memulihkan perusahaan, ada pula yang menyoroti Ryan, yang kini dipandang sebagai sosok muda berpotensi besar di jajaran pimpinan.Bagi dua bersaudara itu, semua sorotan hanyalah permulaan.Beban sesungguhnya baru saja dimulai.Sejak hari itu, Ryan hampir setiap hari datang ke kantor. Jika dulu ia lebih banyak berada di balik layar, kini ia harus berani tampil dan mengambil keputusan.Ia belajar dari bawah, memeriksa laporan keuangan, meninjau strategi pemasaran, hingga mengikuti rapat kecil bersama staf.Suatu siang, Ryan menghampiri Afie yang tengah memeriksa berka
Hari itu, gedung pengadilan dipenuhi sorotan.Barisan kamera media berjajar di depan pintu masuk, lensa mereka mengarah ke setiap mobil yang berhenti di halaman.Wartawan saling berteriak memanggil nama Risman! Afie! sambil berebut posisi terbaik untuk mendapatkan potongan gambar dan pernyataan singkat.Suasana terasa seperti tontonan besar.Semua orang menanti akhir dari drama keluarga yang selama berminggu-minggu memenuhi pemberitaan dan menyeret nama besar perusahaan keluarga itu ke dalam pusaran skandal.Afie melangkah masuk bersama Ryan di sisinya.Langkahnya mantap, meski jantungnya berdegup kencang.Ia mengenakan setelan hitam sederhana. rambutnya diikat rapi, wajahnya tanpa banyak riasan. Sorot matanya tajam namun tenang menyembunyikan badai yang berkecamuk di dadanya.Di belakang mereka, Om Bayu dan Om Radit ikut berjalan dengan wajah tegas.Kehadiran keduanya menjadi tanda dukungan nyata bahwa
Udara pagi terasa lembap ketika Afie tiba lebih awal di sebuah kafe kecil di sudut kota. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan suara lembut musik jazz dari pengeras suara.Tempat itu jauh dari hiruk-pikuk, tersembunyi di antara rimbun pepohonan, dan mungkin hanya sedikit orang yang tahu keberadaannya. Tempat itu dipilih sendiri oleh Om Alex, katanya agar tidak menimbulkan kecurigaan.Di dada Afie, ada rasa yang sulit dijelaskan antara waspada, canggung, dan penasaran.Ia menunggu dengan secangkir teh hangat di depannya. Asapnya mengepul pelan, seolah ikut menemaninya memutar ulang segala peristiwa yang telah terjadi.Kebusukan yang terungkap, pengkhianatan dalam keluarga, dan nama besar yang kini berada di ujung tanduk.Benarkah Om Alex benar-benar ingin bekerja sama? Ataukah ini hanya taktik baru kubu Risman untuk menjebaknya?Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit. L







