Mobil melaju cukup kencang, membelah jalanan kota yang sudah mulai basah oleh gerimis. Di dalam kabin mobil yang hening itu, Gian sesekali melirik ke arah Afie..
Tatapan perempuan itu kosong, seolah pikirannya sedang melayang entah ke mana. Gian tahu, ada yang tidak beres. “Kau mengenal Kaisan?” tanyanya lagi, untuk yang kesekian kali. Afie menghela napas pelan. “Sudah kubilang, tidak ada.” “Tapi reaksimu tadi bukan reaksi orang yang nggak kenal..” “Bisa jadi karena aku juga kaget melihat tuan sekaku itu dengan klien.” Afie mencoba tersenyum, meski matanya masih gelap. Gian meliriknya sekilas. “Pandai berkelit, ya.” Afie memilih diam. Dalam hatinya, dia menyesali pertemuan hari ini. Kaisan. Nama itu sudah lama ia kubur, ia bakar, ia buang jauh-jauh. Tapi hari ini, Tuhan malah mengembalikannya dalam bentuk yang paling rumit. Sebagai tunangan mantan kekasih tuannya. Sungguh, dunia ini kecil sekali. kenapa harus bertemu lagi. dulu Kaisan adalah orang yang datang dengan senyum, dengan janji-janji. Lalu pergi begitu saja, bahkan sebelum pesta pertunangan itu dimulai. Ibunya bahkan sampai sekarang masih terbaring sakit karena merasa Kaisan dan keluarganya telah mempermalukan keluarganya, terutama ayahnya meninggal karena stoke dan MALU. Afie mengepalkan tangannya di pangkuan. Tidak. Ia tidak ingin mengingat-ingat lagi. Tidak penting siapa dia sekarang. Yang penting adalah siapa Afie saat ini, perempuan mandiri yang bekerja, berdiri dengan kakinya sendiri, dan tidak membutuhkan pengakuan siapa pun. “Afie,” panggil Gian, memecah lamunannya. “Hmm?” “Dia menyakitimu, ya?” Tanya Gian, kali ini nadanya berbeda. Lebih lembut. Lebih dalam. Afie terdiam cukup lama. Lalu menjawab, “Sudah kubilang tuan, itu tidak penting.” “Bagi saya penting.” Afie menoleh. “Kenapa?” “Karena saya tidak suka kalau orang di sekitar saya menyimpan luka tanpa saya tahu,” kata Gian, masih menatap jalanan. “Lalu mau apa kalau aku cerita? Mau balas dendam? Mau pasang strategi? Tuan bukan penyelamat hidup siapa-siapa.” Gian tersenyum miring. “Tapi saya bisa menjadi pelindung.” Afie terkesiap. Kalimat itu... terlalu serius untuk dibalas dengan candaan. Dan terlalu dalam untuk dianggap main-main. Ia buru-buru menoleh ke luar jendela. Di luar, rintik hujan makin deras. Tapi justru dalam dadanya, badai sudah reda. Ia tak ingin larut dalam drama. Kaisan bukan siapa-siapa lagi. Ia tak mau jadi perempuan yang menyimpan dendam masa lalu. Sudah cukup. Malam itu, di rumah besar tempat mereka tinggal, Gian masih terlihat gelisah. Ia berkali-kali membuka file, lalu menutupnya lagi. saat makan malam pun, ia terus saja kefikiran pada Afie. “Kamu dan Kaisan, dulu kenal di mana?” Afie mendengus. “Tuan…” “Kenal sudah lama?” Afie mengangkat sendoknya, mengisyaratkan ia ingin fokus makan. “Kalian pernah dekat?” desak Gian lagi. Afie menatapnya tajam. “Kalau aku jawab iya, lalu Tuan mau apa? Marah? Cemburu?” Gian nyaris tersedak. “Cemburu? Hei, jangan GR!” Afie tertawa kecil. “Kalau begitu, jangan kepo.” Gian terdiam. Tapi dalam hati, ia kesal karena tidak mendapatkan jawaban. Dan karena reaksi Afie terlalu... defensif. Seolah menyembunyikan sesuatu yang sangat pribadi. Setelah makan, Gian berjalan ke balkon, menyalakan rokok yang sebenarnya sudah ia tinggalkan beberapa tahun lalu. Tapi malam ini, otaknya terlalu penuh. Data bocor. Kaisan muncul. Nadia kembali. Dan Afie… ternyata punya cerita yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Kenapa kamu nggak mau cerita Fie?” gumamnya pelan. Sementara itu, di tempat lain, Kaisan sedang duduk di dalam ruang kerjanya, membuka kembali folder-folder digital yang berkaitan dengan proyek barunya. Tapi fokusnya terpecah. Tatapan matanya kosong. Kembali teringat pada perempuan yang tadi ia lihat duduk di luar restoran. Afie. “Afie…” bisiknya pelan. Nama itu masih sama. Wajah itu… juga masih sama. Bahkan caranya duduk, caranya menunduk, semuanya terasa begitu familiar. Dulu, Kaisan pernah berpikir Afie adalah orang yang tepat. Lembut, cerdas, tidak banyak bicara, dan berwawasan luas. Tapi waktu itu, ambisinya lebih besar dari keberaniannya untuk mempertahankan sesuatu yang belum pasti. Ia memilih pergi. Ia memilih proyek ke luar negeri. Ia memilih kebebasan daripada pernikahan yang sudah diatur. Malam ini, ia baru sadar… pilihan itu mungkin adalah kesalahan terbesarnya. Yang membuat hatinya tidak tenang bukan cuma soal masa lalu, tapi siapa pria di samping Afie tadi. “Gian...” gumamnya pelan. Sosok lelaki yang selalu satu langkah di depannya. Dingin. Tegas. Ambisius. Dan tampaknya, punya sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional dengan Afie. Apakah mereka pacaran? Atau hanya sekedar dekat? “Tidak mungkin,” gumam Kaisan, tapi pikirannya justru memutar ulang semua momen yang ia lihat di restoran tadi. Cara Gian buru-buru mengajak Afie pergi. Cara Afie menunduk. Cara Gian melindunginya. Terlalu banyak tanda tanya. semakin Kaisan memikirkannya, semakin dalam rasa penasaran itu tumbuh. Pagi berikutnya, Afie kembali ke aktivitas seperti biasa. Ia membersihkan rumah bahkan menyiapkan sarapan lebih awal. Ia ingin menyingkirkan semua perasaan aneh sejak kemarin. Semua luka, malu, dan getir yang sempat naik ke permukaan, ia tekan habis-habisan. Tapi Gian rupanya belum puas. Ketika mereka sarapan, ia kembali bertanya. “Afie, kamu serius nggak mau cerita?” Afie mendesah panjang. “Tuan, kalau aku cerita… itu tidak akan mengubah apapun. Kaisan sudah punya tunangan, dan aku sudah hidup tenang. aku tidak ingin menggali luka lama hanya untuk memuaskan rasa penasaran seseorang.” “Seseorang itu saya?” Afie menatapnya tajam. “Ya. Anda.” Gian membalas tatapan itu. “Kalau saya bilang saya bukan cuma penasaran, tapi peduli?” Afie tertawa sinis. “Peduli, atau terganggu?” Gian terdiam. Ia ingin berkata banyak, tapi lidahnya kelu. Ia sendiri belum bisa menjelaskan kenapa urusan pribadi Afie begitu mengusik pikirannya. Apakah karena Kaisan adalah orang yang juga menyakitinya? Ataukah… karena Afie sudah lebih dari sekadar pelayan di matanya? Gian memalingkan wajah, pura-pura sibuk dengan makan. Tapi dalam hatinya, pertanyaan itu belum selesai. Sementara itu, di kantor pusat proyek teknologi milik Kaisan, lelaki itu berdiri di depan jendela kaca besar, menatap keluar. Ia baru saja mengakhiri rapat dengan Nadia, tapi pikirannya masih pada satu sosok. Afie. Nama itu kini bukan hanya bayang-bayang masa lalu. Tapi jadi misteri yang ingin ia ungkap lebih dalam. Dengan pelan, ia membuka ponsel, mencari-cari nama Afie. Lalu sebuah ide muncul. Ia menghubungi asistennya. “Cari tahu semua yang bisa kamu dapat tentang gadis yang dekat dengan Gian Reza Rahardian, namanya Afie.” “Apakah dia asisten pribadinya Pak?” “Saya tidak tau. cepat cari info” ***Setelah pertengkarannya di ruang rapat, siang itu di kantor Venus Enterprise terasa makin panas meski AC menyala. Cahaya matahari menyembul di sela-sela korden, membuat debu terlihat menari di udara. Suara ketukan keyboard, dan bunyi printer mengeluarkan bunyi kecil seakan menghancurkan ketenangan hati Afie, tapi ia tetap duduk di kursinya, menunduk, menahan semua yang ingin keluar. Di balik ketegangan dan kemarahan yang ada selama ini, sesungguh hatinya sangat merindukan Gian. Bukan hanya sebagai bos, tapi sebagai pria yang dulu membuatnya merasa aman. Dia rindu ketika Gian tersenyum, menatap nya dengan penuh cinta, mencium tangannya ketika mereka pulang lembur bersama. semua itu seakan hancur oleh sikap Gian yang makin hari makin kasar.Sikap cemburunya makin diluar nalar, . padahal kalau di fikir fikir dia sendiri yang telah memulai segalanya. Sikap egois yang merasa dirinya tidak bersalah dengan manta
Di dalam ruang kaca Venus Enterprise , hati dua insan di saput mendung, bahkan siap meledak. Afie sedang duduk di mejanya, menggenggam mug kopi yang mulai dingin. Laporan klien dari Bali terbengkalai karena revisinya sudah tiga kali ditolak. "Apa maunya dia, atau dia sengaja menyiksaku. Revisi beulang ulang, aku dibuatnya seperi orang bodoh" Tangan kiri Afie mengetik, sementara pikirannya terus melayang ke beberapa hari terakhir. kata-kata yang dilontarkan Gian, tatapannya yang menusuk, kata “tidak becus” yang menggema hingga ke dalam tulang sakitnya. Karena kesal, Afie lalu menutup laptopnya. Ia berusaha meredam amarahnya dengan meneguk kopi, mencoba mengumpulkan ketenangan. Tak lama, ia melihat Gian berjalan cepat melewati lorong. Langkahnya berat, dan sepertinya ia sedang menahan emosi. "Apalagi yang membuatnya kesal. Apa sebentar lagi akan terjadi ledakan" Setelah m
Sore tiba dengan langit berawan. Lampu-lampu di kantor mulai menyala satu per satu. Udara lembap, suara AC berdengung halus, mewarnai berbagai aktivitas padat di meja kerja karyawan. Afie masih duduk sembari menyelonjorkan kaki yang mulai terasa lelah. tak sengaja indra penglihatannya tertuju pada layar laptop. pesan masuk, presentasi untuk klien luar negeri sudah harus dikirim besok pagi. "Untungnya materi presentasi telah rampung ku buat. terkadang Klienpun membuat orang jadi jungkir balik, sesuka sukanya mereka. ." Afie hampir selesai merampungkan laporan bulanan, tinggal merapikan grafik dan memastikan data final. Kantor sudah sepi kecuali beberapa staff yang lembur. Di ruang rapat , Gian berdiri lalu mengatur dokumen-dokumen proyek, memikirkan ulang rencana kerja selanjutnya. Afie hari ini absen tidak mengikuti rapat internal. Setelah karyawannya keluar, Gian menyand
Venus Enterprise pagi ini nampak sangat ramai, tapi tidak untuk Gian dan Afie, ada beban tak terlihat yang memenuhi fikiran masing masing. Afie masuk dengan berjuta pikiran yang berkecamuk, rapat eksternal, revisi proposal, timeline yang terus melebar. semua menunggu, dan harus di selesaikan dengan sempurna dan maksimal.. Gian sudah menunggu di ruang rapat, dokumen sudah di tangan, ekspresinya nampak sangat serius. Gian mengangkat kepala ketika Afie masuk. “Afie, duduk di sini,” katanya sambil menunjuk kursi di samping mejanya. Afie ragu, namun tak urung sebagai sekretaris, ia tahu harus menjalankan tugas. Dengan langkah pasti, ia duduk di kursinya dalam diam. Gian membuka laptopnya dan menunjuk ke slide presentasi yang belum selesai. “Kita punya proyek baru untuk klien Borneo, mendesak, nanti aku mau kamu masuk ke tim inti,” katanya na
Pagi itu udara di Venus Enterprise terasa makin berat bagi Afie. Cahaya lampu ruang kerja dan tumpukan kertas yang menggunung tak cukup mengusir rasa sesak di dadanya. Seolah setiap bunyi keyboard adalah ketukan yang mengingatkan pada bayangan Gian. Afie berjalan menuju mejanya dengan setelan rapi, kopi di tangan kiri, tas kerja di sisi kanan. Wajahnya diam tapi hati berdengung. Di ruangannya Gian duduk menatap layar monitor, rapat sudah menunggu, tapi semua data yang tampak di layar hanya bayangan karena pikirannya tertuju hanya pada Afie. Afie keluar dari ruang sekretariat dengan map terbaru di tangannya. Laporan revisi sudah selesai. Ia hendak menuju ruang rapat untuk menyerahkannya. Tiba‑tiba dari sisi koridor, Kaisan muncul, membawa secarik catatan kecil dari tim klien. “Kau sepertinya betul betul sibuk hari ini Fie” sapanya menyodorkan catatan itu.
Pagi di kantor Venus Enterprise terasa berat. Suara ketukan keyboard, gelas kopi beradu, tawa ringan di sudut ruangan, semua terdengar biasa. Tapi tidak bagi Gian, setiap suara adalah pengingat bahwa Afie ada di sana, bekerja, bergerak, tapi tak pernah memberi ruang yang dulu pernah ia miliki. Gian melirik jam di dinding. Lima menit menuju jam istirahat. Ia sudah menyiapkan strategi. hari ini, ia akan mencoba lagi beinteraksi. bukan dengan sapa manis, melainkan dengan sedikit tekanan. Afie sedang mengimput data dalam file Excel, dahinya berkerut karena laporan klien memperlihatkan selisih kecil antara proyeksi dan realisasi. Suara pintu diketuk. Gian berdiri di depan mejanya, membawa tumpukan map. “Afie, ini data tambahan dari klien kita. Aku butuh kamu validasi semua angka dan kirim kembali ke mereka hari ini juga plus revisi grafik pendukung.” Nada Gian terdengar biasa, tapi matanya penuh arti. Ia tahu Afie tidak akan menolak dan akan menyelesaikan tugas darinya.