Setelah menerima telpon dari Devisi Keuangan perusahaannya, Suasana hati Gian langsung berubah. Sorot matanya bukan lagi sorot bos yang cool, melainkan seseorang yang sedang menyimpan beban berat.
Afie sebenarnya penasaran, tapi dia cukup tahu diri. Jadi, dia cuma mengamati dari jauh. Setelah selesai makan siang, Gian menghilang ke ruang kerjanya. Pintu ditutup rapat. Suara apapun nggak keluar. Yang Afie dengar cuma denting gelas yang dia bereskan, dan detak jantungnya sendiri yang mulai aneh entah kenapa. Sekitar pukul 3 sore, Gian keluar dari ruang kerja dengan wajah datar. Tapi langkahnya cepat dan tegas. Afie yang lagi nyapu ruang tengah langsung berdiri tegak. "Tinggalkan pekerjaan kamu, ikut saya?? “Mau ke mana, Tuan?” tanyanya cepat. Gian sempat melirik, tapi nggak menjawab. Dia hanya memberi kode untuk segera mengikutinya. Satu kalimat saja yang dia ucapkan sebelum pergi," Kamu ikuti saja perintah saya.” Afie cuma bisa mengangguk, walaupun bingung harus mendefinisikan “ikuti perintah saya” itu seperti apa. Di dalam mobil, Gian menelepon seseorang. Suaranya dingin, tegas, tapi pelan. “Aku kasih waktu dua hari. Hubungi bagian IT, temukan siapa yang mengambil data itu. Entah dia orang dalam atau bukan, saya nggak peduli. Yang penting, namanya muncul di meja kerja saya segera.” Penuh tekanan dan intimidasi dari suaranya, tapi cukup jelas membuat lawan bicaranya gemetar. Setelah tiba, Gian meminta Afie duduk agak jauh dari tempat ia melakukan janji temu dan langsung menuju restoran tempat dia janjian dengan salah satu mitra bisnis. Tempatnya nggak terlalu mewah, tapi cukup tenang dan privat. Sesuai gayanya yang nggak suka keramaian. Dia datang lebih awal, duduk di pojok, memesan kopi, dan membuka laptop. Matanya masih sibuk menelusuri file, sistem keamanan, daftar akses, siapa saja yang terakhir menyentuh database sebelum bocor. Beberapa menit kemudian, rekan bisnisnya datang. Mereka mulai ngobrol soal proyek, angka-angka, target pasar, dan strategi distribusi. Semuanya terasa normal, sampai seorang pelayan datang dan berkata pelan, “Pak Gian, ada tamu lain yang ingin menyapa. Mereka duduk di sisi lain ruangan.” Rekan bisnis Gian permisi karena merasa urusannya telah selesai, lalu Gian merespon ucapan pelayan tadi dengan mendongak malas. saat matanya melihat ke arah yang dimaksud, tubuhnya menegang. Nadia. Di sebelah Nadia, duduk seorang pria berkemeja putih dengan jas abu-abu, senyum tipis di wajahnya, dan sorot mata yang sangat… familiar. Kaisan. Gian butuh dua detik buat memastikan dia nggak salah lihat. Nadia berdiri lebih dulu, lalu berjalan ke arah Gian dengan langkah ringan. Tanpa permisi, tanpa canggung, seperti nggak pernah ada masalah. “Hai, Gian,” katanya sambil tersenyum kecil. “kita ketemu lagi.” Gian meletakkan cangkir kopinya dengan pelan. “Tidak usah berbasa basi” Kaisan ikut berdiri, menyusul di belakang. “Gian. Aku nggak nyangka kita bakal ketemu di sini.” Gian nggak menjawab. Pandangannya hanya pindah dari Nadia ke Kaisan, lalu kembali ke Nadia. Suasana mejanya yang tadi tenang, sekarang seperti medan perang yang baru dimulai. Nadia menarik kursi di seberang meja, duduk tanpa diminta. Kaisan ikut duduk, seolah semuanya baik-baik saja. Seolah mereka bukan dua orang yang sempat meninggalkan luka cukup dalam dalam hidup Gian. “Aku tahu ini nggak ideal,” kata Nadia. “Tapi kita memang sedang ada urusan kerja. Proposal bisnis. Kaisan yang memimpin timnya.” Gian mengangkat alis. “Tim apa?” Kaisan menjawab cepat, “Kami sedang membangun platform analisis data. Aku yakin kamu sudah dengar soal itu. Tujuannya untuk jadi jembatan informasi lintas sektor mulai dari ekonomi sampai keamanan. Dan kami butuh mitra besar yang punya sumber daya. Kamu salah satu kandidat yang kita harapkan bisa diajak kerja sama.” Gian nyaris tertawa. Tapi tidak keluar dari mulutnya. Dia hanya menatap Kaisan seperti sedang menilai sesuatu. “Kalian ingin kerja sama denganku… padahal beberapa tahun lalu kalian pergi tanpa sepatah kata pun.” Nadia sedikit mengubah posisi duduknya. “Gian… ini bukan tentang masa lalu. Ini soal proyek besar. Profesional.” “Dan kamu pikir aku bisa percaya?” tanya Gian tenang, tapi nadanya tajam. “Justru karena kamu orangnya teliti dan hati-hati, makanya kami datang langsung. Nggak mengirim proposal lewat email,” jawab Kaisan tenang. Gian bersandar, lalu melirik ke jam tangannya. “Aku kasih waktu tiga hari. Kalau dalam waktu itu aku temukan satu aja celah dari sistem kalian, atau… keterlibatan dalam masalah dataku yang hilang kemarin, kerja sama selesai. Dan kalian nggak usah muncul lagi di hadapanku.” Nadia menatapnya, wajahnya sulit ditebak. “Gian, kamu tahu aku nggak akan ....” “Terserah apa maumu Nad,” potong Gian cepat. “Aku nggak peduli.” Kaisan menarik napas dalam, tapi tetap tenang. “Fikirkan lagi Gi tawaran bisnis dariku” Gian berdiri, mengisyaratkan obrolan selesai. Di luar restoran, Afie sedang duduk sambil menggenggam ponsel. Ia diminta Gian untuk menunggu di sana dan siap kalau dibutuhkan. Tak sengaja sudut matanya menangkap sosok wajah yang ingin sekali ia lupakan. Afie menajamkan pandangannya sekali lagi. Jantungnya berdebar. Orang yang sedang berbicara dengan Gian tadi memang benar adalah pria dari masa lalunya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Kaisan menoleh perlahan ke arah luar. matanya… langsung menatap tajam ke arah Afie duduk. "Apakah itu Afie??? Gian bergegas pergi dari hadapan dua orang yang sangat ingin ia hindari, lalu menghampiri Afie, mengajaknya segera pergi dari tempat itu. Di dalam mobil, Afie ingin bertanya pada Gian, ia ingin menanyakan sesuatu, tapi ia terlihat ragu ragu. "Kamu kenapa, kalau mau tanya, tanya saja tidak perlu sungkan" "Oohhh ....itu, ....anu tuan" "Bicara yang jelas" "Nggak jadi" "Ais, kau ini ada apa, mau tanya saja mikir terlalu berat, tadi itu Nadia, mantan saya dan tunangannya" Afie penasaran, lalu menoleh ke arah Gian. "Jadi Nona Nadia sudah bertunangan tuan" "Hmmm, Tunangannya itu Kaisan, Sahabat yang menusuk saya dari belakang" Deg ... Afie tidak salah lihat, pria itu benar benar Kaisan, pria yang telah membatalkan perjodohan dengannya. "Ternyata ia membatalkan perjodohan denganku karena telah memiliki kekasih, pantas saja." Gian melihat perubahan sikap Afie, dan menaruh curiga pada sosok cantik itu, ia berusaha mencerna apa yang ada dalam fikiran Afie. "Kau itu kenapa, aneh. Ditanya nggak di jawab, giliran nggak nanya, penasaran" "Tidak apa apa tuan, cuma pengen diam saja" ucap Afie asal. "Dasar Pembohong!!! Afie tidak ingin berdebat, ia memilih tidak menanggapi ucapan tuannya. Makin Afie tidak menjawab, membuat Gian bertanya tanya dan mulai kepo tingkat dewa. "Kamu mengenal Kaisan???" ***Setelah pertengkarannya di ruang rapat, siang itu di kantor Venus Enterprise terasa makin panas meski AC menyala. Cahaya matahari menyembul di sela-sela korden, membuat debu terlihat menari di udara. Suara ketukan keyboard, dan bunyi printer mengeluarkan bunyi kecil seakan menghancurkan ketenangan hati Afie, tapi ia tetap duduk di kursinya, menunduk, menahan semua yang ingin keluar. Di balik ketegangan dan kemarahan yang ada selama ini, sesungguh hatinya sangat merindukan Gian. Bukan hanya sebagai bos, tapi sebagai pria yang dulu membuatnya merasa aman. Dia rindu ketika Gian tersenyum, menatap nya dengan penuh cinta, mencium tangannya ketika mereka pulang lembur bersama. semua itu seakan hancur oleh sikap Gian yang makin hari makin kasar.Sikap cemburunya makin diluar nalar, . padahal kalau di fikir fikir dia sendiri yang telah memulai segalanya. Sikap egois yang merasa dirinya tidak bersalah dengan manta
Di dalam ruang kaca Venus Enterprise , hati dua insan di saput mendung, bahkan siap meledak. Afie sedang duduk di mejanya, menggenggam mug kopi yang mulai dingin. Laporan klien dari Bali terbengkalai karena revisinya sudah tiga kali ditolak. "Apa maunya dia, atau dia sengaja menyiksaku. Revisi beulang ulang, aku dibuatnya seperi orang bodoh" Tangan kiri Afie mengetik, sementara pikirannya terus melayang ke beberapa hari terakhir. kata-kata yang dilontarkan Gian, tatapannya yang menusuk, kata “tidak becus” yang menggema hingga ke dalam tulang sakitnya. Karena kesal, Afie lalu menutup laptopnya. Ia berusaha meredam amarahnya dengan meneguk kopi, mencoba mengumpulkan ketenangan. Tak lama, ia melihat Gian berjalan cepat melewati lorong. Langkahnya berat, dan sepertinya ia sedang menahan emosi. "Apalagi yang membuatnya kesal. Apa sebentar lagi akan terjadi ledakan" Setelah m
Sore tiba dengan langit berawan. Lampu-lampu di kantor mulai menyala satu per satu. Udara lembap, suara AC berdengung halus, mewarnai berbagai aktivitas padat di meja kerja karyawan. Afie masih duduk sembari menyelonjorkan kaki yang mulai terasa lelah. tak sengaja indra penglihatannya tertuju pada layar laptop. pesan masuk, presentasi untuk klien luar negeri sudah harus dikirim besok pagi. "Untungnya materi presentasi telah rampung ku buat. terkadang Klienpun membuat orang jadi jungkir balik, sesuka sukanya mereka. ." Afie hampir selesai merampungkan laporan bulanan, tinggal merapikan grafik dan memastikan data final. Kantor sudah sepi kecuali beberapa staff yang lembur. Di ruang rapat , Gian berdiri lalu mengatur dokumen-dokumen proyek, memikirkan ulang rencana kerja selanjutnya. Afie hari ini absen tidak mengikuti rapat internal. Setelah karyawannya keluar, Gian menyand
Venus Enterprise pagi ini nampak sangat ramai, tapi tidak untuk Gian dan Afie, ada beban tak terlihat yang memenuhi fikiran masing masing. Afie masuk dengan berjuta pikiran yang berkecamuk, rapat eksternal, revisi proposal, timeline yang terus melebar. semua menunggu, dan harus di selesaikan dengan sempurna dan maksimal.. Gian sudah menunggu di ruang rapat, dokumen sudah di tangan, ekspresinya nampak sangat serius. Gian mengangkat kepala ketika Afie masuk. “Afie, duduk di sini,” katanya sambil menunjuk kursi di samping mejanya. Afie ragu, namun tak urung sebagai sekretaris, ia tahu harus menjalankan tugas. Dengan langkah pasti, ia duduk di kursinya dalam diam. Gian membuka laptopnya dan menunjuk ke slide presentasi yang belum selesai. “Kita punya proyek baru untuk klien Borneo, mendesak, nanti aku mau kamu masuk ke tim inti,” katanya na
Pagi itu udara di Venus Enterprise terasa makin berat bagi Afie. Cahaya lampu ruang kerja dan tumpukan kertas yang menggunung tak cukup mengusir rasa sesak di dadanya. Seolah setiap bunyi keyboard adalah ketukan yang mengingatkan pada bayangan Gian. Afie berjalan menuju mejanya dengan setelan rapi, kopi di tangan kiri, tas kerja di sisi kanan. Wajahnya diam tapi hati berdengung. Di ruangannya Gian duduk menatap layar monitor, rapat sudah menunggu, tapi semua data yang tampak di layar hanya bayangan karena pikirannya tertuju hanya pada Afie. Afie keluar dari ruang sekretariat dengan map terbaru di tangannya. Laporan revisi sudah selesai. Ia hendak menuju ruang rapat untuk menyerahkannya. Tiba‑tiba dari sisi koridor, Kaisan muncul, membawa secarik catatan kecil dari tim klien. “Kau sepertinya betul betul sibuk hari ini Fie” sapanya menyodorkan catatan itu.
Pagi di kantor Venus Enterprise terasa berat. Suara ketukan keyboard, gelas kopi beradu, tawa ringan di sudut ruangan, semua terdengar biasa. Tapi tidak bagi Gian, setiap suara adalah pengingat bahwa Afie ada di sana, bekerja, bergerak, tapi tak pernah memberi ruang yang dulu pernah ia miliki. Gian melirik jam di dinding. Lima menit menuju jam istirahat. Ia sudah menyiapkan strategi. hari ini, ia akan mencoba lagi beinteraksi. bukan dengan sapa manis, melainkan dengan sedikit tekanan. Afie sedang mengimput data dalam file Excel, dahinya berkerut karena laporan klien memperlihatkan selisih kecil antara proyeksi dan realisasi. Suara pintu diketuk. Gian berdiri di depan mejanya, membawa tumpukan map. “Afie, ini data tambahan dari klien kita. Aku butuh kamu validasi semua angka dan kirim kembali ke mereka hari ini juga plus revisi grafik pendukung.” Nada Gian terdengar biasa, tapi matanya penuh arti. Ia tahu Afie tidak akan menolak dan akan menyelesaikan tugas darinya.