Home / Romansa / Pelayan Cantik Tuan Arogan / Bab 7 - Benarkah Dia ???

Share

Bab 7 - Benarkah Dia ???

last update Last Updated: 2025-08-24 07:20:55

Setelah menerima telpon dari Devisi Keuangan perusahaannya, Suasana hati Gian langsung berubah. Sorot matanya bukan lagi sorot bos yang cool, melainkan seseorang yang sedang menyimpan beban berat.

Afie sebenarnya penasaran, tapi dia cukup tahu diri. Jadi, dia cuma mengamati dari jauh. Setelah selesai makan siang, Gian menghilang ke ruang kerjanya.

Pintu ditutup rapat. Suara apapun nggak keluar. Yang Afie dengar cuma denting gelas yang dia bereskan, dan detak jantungnya sendiri yang mulai aneh entah kenapa.

Sekitar pukul 3 sore, Gian keluar dari ruang kerja dengan wajah datar. Tapi langkahnya cepat dan tegas. Afie yang lagi nyapu ruang tengah langsung berdiri tegak.

"Tinggalkan pekerjaan kamu, ikut saya??

“Mau ke mana, Tuan?” tanyanya cepat.

Gian sempat melirik, tapi nggak menjawab. Dia hanya memberi kode untuk segera mengikutinya.

Satu kalimat saja yang dia ucapkan sebelum pergi," Kamu ikuti saja perintah saya.”

Afie cuma bisa mengangguk, walaupun bingung harus mendefinisikan “ikuti perintah saya” itu seperti apa.

Di dalam mobil, Gian menelepon seseorang. Suaranya dingin, tegas, tapi pelan.

“Aku kasih waktu dua hari. Hubungi bagian IT, temukan siapa yang mengambil data itu. Entah dia orang dalam atau bukan, saya nggak peduli. Yang penting, namanya muncul di meja kerja saya segera.”

Penuh tekanan dan intimidasi dari suaranya, tapi cukup jelas membuat lawan bicaranya gemetar.

Setelah tiba, Gian meminta Afie duduk agak jauh dari tempat ia melakukan janji temu dan langsung menuju restoran tempat dia janjian dengan salah satu mitra bisnis.

Tempatnya nggak terlalu mewah, tapi cukup tenang dan privat. Sesuai gayanya yang nggak suka keramaian.

Dia datang lebih awal, duduk di pojok, memesan kopi, dan membuka laptop. Matanya masih sibuk menelusuri file, sistem keamanan, daftar akses, siapa saja yang terakhir menyentuh database sebelum bocor.

Beberapa menit kemudian, rekan bisnisnya datang. Mereka mulai ngobrol soal proyek, angka-angka, target pasar, dan strategi distribusi.

Semuanya terasa normal, sampai seorang pelayan datang dan berkata pelan, “Pak Gian, ada tamu lain yang ingin menyapa. Mereka duduk di sisi lain ruangan.”

Rekan bisnis Gian permisi karena merasa urusannya telah selesai, lalu Gian merespon ucapan pelayan tadi dengan mendongak malas. saat matanya melihat ke arah yang dimaksud, tubuhnya menegang.

Nadia.

Di sebelah Nadia, duduk seorang pria berkemeja putih dengan jas abu-abu, senyum tipis di wajahnya, dan sorot mata yang sangat… familiar.

Kaisan.

Gian butuh dua detik buat memastikan dia nggak salah lihat.

Nadia berdiri lebih dulu, lalu berjalan ke arah Gian dengan langkah ringan. Tanpa permisi, tanpa canggung, seperti nggak pernah ada masalah.

“Hai, Gian,” katanya sambil tersenyum kecil. “kita ketemu lagi.”

Gian meletakkan cangkir kopinya dengan pelan. “Tidak usah berbasa basi”

Kaisan ikut berdiri, menyusul di belakang. “Gian. Aku nggak nyangka kita bakal ketemu di sini.”

Gian nggak menjawab. Pandangannya hanya pindah dari Nadia ke Kaisan, lalu kembali ke Nadia. Suasana mejanya yang tadi tenang, sekarang seperti medan perang yang baru dimulai.

Nadia menarik kursi di seberang meja, duduk tanpa diminta. Kaisan ikut duduk, seolah semuanya baik-baik saja. Seolah mereka bukan dua orang yang sempat meninggalkan luka cukup dalam dalam hidup Gian.

“Aku tahu ini nggak ideal,” kata Nadia. “Tapi kita memang sedang ada urusan kerja. Proposal bisnis. Kaisan yang memimpin timnya.”

Gian mengangkat alis. “Tim apa?”

Kaisan menjawab cepat, “Kami sedang membangun platform analisis data. Aku yakin kamu sudah dengar soal itu. Tujuannya untuk jadi jembatan informasi lintas sektor mulai dari ekonomi sampai keamanan. Dan kami butuh mitra besar yang punya sumber daya. Kamu salah satu kandidat yang kita harapkan bisa diajak kerja sama.”

Gian nyaris tertawa. Tapi tidak keluar dari mulutnya. Dia hanya menatap Kaisan seperti sedang menilai sesuatu. “Kalian ingin kerja sama denganku… padahal beberapa tahun lalu kalian pergi tanpa sepatah kata pun.”

Nadia sedikit mengubah posisi duduknya. “Gian… ini bukan tentang masa lalu. Ini soal proyek besar. Profesional.”

“Dan kamu pikir aku bisa percaya?” tanya Gian tenang, tapi nadanya tajam.

“Justru karena kamu orangnya teliti dan hati-hati, makanya kami datang langsung. Nggak mengirim proposal lewat email,” jawab Kaisan tenang.

Gian bersandar, lalu melirik ke jam tangannya. “Aku kasih waktu tiga hari. Kalau dalam waktu itu aku temukan satu aja celah dari sistem kalian, atau… keterlibatan dalam masalah dataku yang hilang kemarin, kerja sama selesai. Dan kalian nggak usah muncul lagi di hadapanku.”

Nadia menatapnya, wajahnya sulit ditebak. “Gian, kamu tahu aku nggak akan ....”

“Terserah apa maumu Nad,” potong Gian cepat. “Aku nggak peduli.”

Kaisan menarik napas dalam, tapi tetap tenang. “Fikirkan lagi Gi tawaran bisnis dariku”

Gian berdiri, mengisyaratkan obrolan selesai.

Di luar restoran, Afie sedang duduk sambil menggenggam ponsel. Ia diminta Gian untuk menunggu di sana dan siap kalau dibutuhkan.

Tak sengaja sudut matanya menangkap sosok wajah yang ingin sekali ia lupakan.

Afie menajamkan pandangannya sekali lagi. Jantungnya berdebar. Orang yang sedang berbicara dengan Gian tadi memang benar adalah pria dari masa lalunya.

Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Kaisan menoleh perlahan ke arah luar. matanya… langsung menatap tajam ke arah Afie duduk.

"Apakah itu Afie???

Gian bergegas pergi dari hadapan dua orang yang sangat ingin ia hindari, lalu menghampiri Afie, mengajaknya segera pergi dari tempat itu.

Di dalam mobil, Afie ingin bertanya pada Gian, ia ingin menanyakan sesuatu, tapi ia terlihat ragu ragu.

"Kamu kenapa, kalau mau tanya, tanya saja tidak perlu sungkan"

"Oohhh ....itu, ....anu tuan"

"Bicara yang jelas"

"Nggak jadi"

"Ais, kau ini ada apa, mau tanya saja mikir terlalu berat, tadi itu Nadia, mantan saya dan tunangannya"

Afie penasaran, lalu menoleh ke arah Gian.

"Jadi Nona Nadia sudah bertunangan tuan"

"Hmmm, Tunangannya itu Kaisan, Sahabat yang menusuk saya dari belakang"

Deg ...

Afie tidak salah lihat, pria itu benar benar Kaisan, pria yang telah membatalkan perjodohan dengannya.

"Ternyata ia membatalkan perjodohan denganku karena telah memiliki kekasih, pantas saja."

Gian melihat perubahan sikap Afie, dan menaruh curiga pada sosok cantik itu, ia berusaha mencerna apa yang ada dalam fikiran Afie.

"Kau itu kenapa, aneh. Ditanya nggak di jawab, giliran nggak nanya, penasaran"

"Tidak apa apa tuan, cuma pengen diam saja" ucap Afie asal.

"Dasar Pembohong!!!

Afie tidak ingin berdebat, ia memilih tidak menanggapi ucapan tuannya.

Makin Afie tidak menjawab, membuat Gian bertanya tanya dan mulai kepo tingkat dewa.

"Kamu mengenal Kaisan???"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Extra Part 3 – Happy Ending

    Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut melalui jendela rumah mereka. Suara tawa anak-anak memenuhi ruang tamu, berbaur dengan aroma bubur hangat dan roti panggang yang sedang disiapkan Gian. Afie duduk di sofa, perutnya yang sudah membesar akibat kehamilan pertama menonjol lembut. Ia menatap pemandangan itu, hatinya terasa hangat seperti musim semi yang lembut. “Mas Gian… kau benar-benar hebat,” bisik Afie, matanya menatap suaminya penuh cinta. Gian sedang sibuk menyiapkan sarapan, mengenakan celemek bergambar karakter kartun favorit anak-anak mereka, tampak serius tapi lucu. “Hebat? Ah, aku lebih dari hebat! Aku adalah kepala keamanan keluarga sekaligus koki profesional rumah tangga!” Gian menjawab dengan nada bangga sambil menuang jus jeruk ke gelas.

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Extra Part 2– Pelangi Baru

    Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui jendela kamar mereka. Afie bangun perlahan, tangan terletak di perutnya yang mulai membulat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ah… aku masih tidak percaya,” gumamnya sendiri. “Benar-benar… ada kehidupan kecil di sini.” Gian, yang sudah berada di dapur, menoleh begitu mendengar suara Afie. Matanya berbinar, senyum tak bisa disembunyikan. Segera ia melangkah cepat ke kamar, tangan mengambil piring sarapan yang baru selesai ia buat. “Kau bangun, sayang?” tanya Gian sambil meletakkan piring di meja samping tempat tidur. “Aku buatkan sarapan favoritmu, telur orak-arik, roti gandum, dan jus jeruk.” Afie terkekeh. “Gian… kau benar-benar protektif sejak aku bilang aku hamil, ya?” Gian mengangkat bahu dengan senyum polos, tapi tatapannya penuh arti. “Protektif? Tentu saja! K

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Extra Part 1 – Akhirnya Setelah Badai

    Pagi itu, udara di sekitar rumah keluarga Afie terasa hangat dan damai.Matahari memantul lembut di kaca jendela, menembus tirai tipis yang sedikit bergoyang karena angin pagi. Aroma bunga segar memenuhi ruang tamu, berpadu dengan wangi kue dan kopi yang baru diseduh. Semua terasa biasa, tapi bagi Afie, hari itu istimewa.Ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana dengan hiasan renda halus di lengan dan leher. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi sedikit bunga lily putih. Setiap kali ia menatap bayangannya sendiri, ada rasa hangat yang mengalir di dada campuran antara gugup, bahagia, dan lega.Badai panjang itu sudah berlalu, batinnya. Semua luka masa lalu, semua kesalahan yang membuatnya rapuh, semua ketidakpastian yang menahan hatinya selama ini, kini terasa jauh.Di ruangan lain, Gian juga bersiap dengan jas hitam rapi. Tangan kanannya menggenggam kaku buket bunga lily putih,

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Bab 154 - Siapa Yang Kau Tangisi Mas

    Bandara sore itu ramai luar biasa. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, koper berderak di lantai, dan pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara.Namun bagi Gian, semua itu terasa jauh, seolah-olah ia hidup di dunia yang berhenti berputar.Suara tawa, dering ponsel, bahkan aroma kopi dari kedai di sudut terminal tak mampu menembus dinding kehampaan yang menyelubungi hatinya.Dunia di sekelilingnya penuh warna, tetapi dalam dirinya hanya ada satu nama yang bergema tanpa henti Afie.Ia duduk di ruang tunggu, di kursi panjang yang menghadap ke landasan pacu. Sinar matahari sore memantul di kaca besar di depannya, menyorot wajah yang lelah dan mata yang sembab.Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena udara dingin dari pendingin ruangan, melainkan karena guncangan emosi yang menumpuk terlalu lama.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Setiap suara pengumuman keberangkatan yang menyebut kota tujuan membuat jantun

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Bab 153 - Melepas Di Bandara

    Beberapa hari terakhir, hati Afie tak pernah benar-benar tenang. Malam-malamnya selalu diisi dengan kecemasan yang tidak bisa dijelaskan.Kabar tentang Gian yang mulai lelah menunggu, bahkan sempat menangis, terus terngiang di telinganya seperti gema yang enggan menghilang.Ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang.Di tangannya, secangkir teh melati yang sejak setengah jam lalu tak disentuh. Uapnya sudah menipis, namun pikirannya justru semakin pekat.Afie menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk menjaga jarak adalah yang terbaik.Ia pikir, dengan menjauh, waktu akan mengajarkan Gian untuk memahami batasan, untuk melepaskan.Tapi ternyata, semakin jauh ia mencoba pergi, semakin kuat bayangan tatapan sendu Gian menghantui setiap langkahnya.Ada hal yang tak bisa ia pungkiri, setiap kali mendengar namanya disebut, dadanya terasa hangat sekaligus nyeri

  • Pelayan Cantik Tuan Arogan   Bab 152 - Gelisah

    Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa berjalan begitu lambat bagi Gian.Setiap menit yang berlalu seolah menuntut kesabaran yang tak pernah ia miliki.Ia sudah berjanji pada Afie untuk menunggu, tapi ternyata menunggu jauh lebih melelahkan daripada apa pun yang pernah ia alami.Setiap pagi, begitu membuka mata, bayangan Afie langsung hadir dalam benaknya.Wanita itu bukan hanya seseorang yang ia cintai, Afie sudah menjadi bagian dari napas, dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.Setiap kali Gian mencoba mendekat, jarak itu seperti dinding tak kasat mata, ada, namun tak bisa ditembus.Ketika datang ke kantor atau sekadar mengintip dari jauh, pemandangan yang ia lihat selalu sama.Afie duduk di balik meja kerja dengan ekspresi serius, tenggelam dalam tumpukan dokumen.Kadang ia berdiskusi dengan Ryan, kakaknya, kadang berbicara dengan para paman tentang strategi perusahaan.Afie terlihat begitu fokus, begi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status