Waktu makan siang pun tiba, Ema dan Casey segera menuju ke dapur yang dituntun oleh Ema. Saat mereka ke dapur, beberapa pelayan sudah mengantri dengan wajah lelah, menunggu giliran untuk makan siang mereka. Begitu Ema dan Casey masuk menghadiri ruangan tersebut, suasana yang semula tenang langsung berubah. Beberapa pelayan menatap Casey dengan pandangan sinis bahkan tidak ramah, seolah-olah keberadaannya di sana adalah sesuatu yang tidak diinginkan dan menganggu.
Casey merasakan tatapan tajam itu seolah dadanya ditusuk oleh pisau. Ia merasa sangat tidak nyaman, seperti berada di tengah kawanan serigala yang siap memangsa. Tanpa sadar, ia mundur sedikit dan menutup tubuhnya dengan tubuh Ema, berharap bisa melindungi dirinya dari tatapan penuh kebencian itu.
"Apa-apaan tatapan itu? Kalian pikir aku mau kerja di tempat berbahaya ini?" gerutunya dengan kesal, meski suaranya pelan dan hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Namun, meski dalam hati penuh dengan kebencian dan kesal, ia tahu bahwa bersikap terbuka di depan mereka bukanlah pilihan yang bagus. Toh dia disini juga terpaksa dan diseret oleh tuan psikopat itu.
Sementara Ema hanya bersikap tenang, seolah tidak terpengaruh oleh suasana yang tiba-tiba tegang. Sebagai pelayan yang sudah lama bekerja, Ema tampaknya tahu bagaimana menjaga ketenangannya di tengah kondisi seperti ini, sementara Casey hanya bisa berharap bahwa hari ini segera berakhir.
Untungnya, tatapan beberapa pelayan itu tidak berlangsung lama, karena perhatian mereka segera beralih pada hidangan yang telah lama mereka tunggu. Wagyu steak hidangan mewah yang jarang sekali disajikan bahkan hidangan ini keluar hanya enam bulan atapun setahun dalam satu hidangan, Karena kualitas Wagyu Steak ini sangat berkualitas makanan ini hanya berlaku untuk orang berada bagi orang biasa hanya menlihat aja uda cukup. Namun, beberapa pelayan kebanyakan orang biasa dan mereka belum pernah mencicipi ataupun menyentuh hidangan mewah ini. Maka dari itulah mereka tidak boleh melewatkan kesempatan ini.
Tatapan sinis mereka pada Casey berubah menjadi penuh antusiasme. Mereka tampak begitu tidak sabar untuk menikmati hidangan lezat ini, wajah mereka bersinar karena kebahagiaan yang langka.
Meskipun beberapa pelayan menikmati hidangan mewah ini dengan penuh kegembiraan, lain halnya dengan Casey yang hanya bisa bergidik ngeri melihat daging itu berada dihadapannya.
Casey teringat saat ia mengerjakan tugas yang diberikan Harrison dimana ia membereskan potongan- potongan ‘sampah’ lalu dengan kuat hati ia pun melemparnya ke kandang buaya. Ingatan itu kembali muncul saat potongan itu tarik menarik diantara mulut buaya yang berebutan daging itu. Tanpa sadar Casey pun langsung mual namun segera ia tutupi agar tidak menjadi pusat perhatian.
"Ada apa denganmu?" tanya Ema yang berada di hadapan Casey, ia memperhatikan gerak – gerik Casey, tidak lupa dengan wajah datarnya tanpa ekspresi dan tanpa menunjukkan rasa ingin tahu yang berlebihan.
Casey hanya bisa menggelengkan kepalanya dia tidak ingin menceritakan apa yang terjadi. Meskipun ia bercerita secara detil pada Ema, Ema hanya tidak mempedulikannya apalagi Ema merupakan pekerja lama yang bekerja di sini.
"Kalau begitu cepat makan,"ujarnya dengan dingin.
"Aku tidak ingin kau pingsan selama bekerja." Tanpa menunggu lebih lama, Ema kembali melanjutkan makanannya dengan tenang, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Casey, dengan perlahan, mengambil sendok dan garpu, mencoba menyentuh potongan daging yang ada di depannya. Ia mengangkatnya, memasukkan secuil daging ke dalam mulut, berharap rasa mual itu bisa hilang. Namun, setiap gigitan semakin mengingatkannya pada pemandangan mengerikan yang pernah ia saksikan, membuat rasa cemasnya semakin meluas. Setiap kunyahan semakin membuat dadanya terasa sesak, dan perutnya tidak bisa menelannya.
Berusaha ingin mencoba menelan potongan daging sapi itu, rasa mual yang semakin menggulung di tenggorokan Casey akhirnya tidak bisa ia tahan lagi. Ia berusaha menenangkan diri, dan menepis bayangan itu namun bayangan itu semakin menguat lagi sehingga ia dengan cepat berlari keluar ke dapur mencari kamar mandi dan segera mengeluarkan isi di perutnya.
Meskipun Casey keluar dengan langkah tergesa – gesa beberapa pelayan tidak mengetahuinya karena mereka hanya menikmati hidangan Wagyu tersebut, hanya Ema lah mengetahuinya namun dia tidak menampilkan rasa kekhwatirannya dan tetap melanjutkan makannya.
"Hoek!" Semua makanan masuk yang ia telan kini ia keluarkan, perutnya terasa mual saat potongan daging itu masih melesat di tenggorokkannya. Tubuhnya terasa lemas saat ia memuntahkan semuanya wajahnya tampak pucat kakinya tidak tahan menampung ia berdiri. Ia pun duduk terkulai mengatur napasnya yang masih tersengal. Bayangan itu masih terlintas dipikirannya. Entah kenapa rasa ketakutan itu seketika muncul tidak sadar ia menitikkan air matanya.
“Mama…” lirihnya, sepertinya ia rindu dengan mendiang ibunya, sudah lama dia tidak merasakan pelukan hangat ibunya dimana saat itu Casey saat ia sedang kesulitan pelukan mamanya yang menenangkan dia. Namun mamanya sudah tiada dan Casey yang harus berjuang untuk adiknya meskipun sulit ia harus bertahan untuk menghadapi semua.
Tidak butuh waktu lama, Casey segera bangkit dan mengusap air matanya yang menetes di pipinya. Menatap wajahnya di cermin menguatkan hati dan jiwanya menghela napasnya dengan perlahan. Sorot matanya begitu bersemangat dan ia pun meyakinkan dirinya harus kuat dan tidak boleh nyerah meskipun tidak ada ibu di sampingnya ia pun juga menenangkan dirinya saat ia berada kesulitan.
Casey pun segera keluar ke kamar mandi dan balik ke dapur karena waktu istirahat masih tersisa ia pun tidak menyia – nyiakan waktu emasnya ini sebelum ia berperang. Saat ke dapur beberapa pelayan tidak menatapnya seperti ia pertama kali ke dapur karena mereka sedang asyik dengan dunia mereka sendiri ada juga mereka asyik mengibrol atau ada yang masih belum menghabiskan makan siangnya, dengan begitu Casey merasa lega ia sangat tidak nyaman jika menjadi pusat perhatian apalagi tatapan mereka sangat sinis seolah kehadiran Casey seperti benalu.
Saat Casey sudah berada di meja makannya, Ema menyadari kehadiran Casey hanya menatap Casey meskipun wajahnya masih terlihat tenang dan datar.
“Ada apa?” tanyanya,
Membuat Casey spontan terkejut karena seseorang menyadari kehadirannya termasuk bertanya dengan keadaannya.
“Gak ada” jawab Casey berbohong meskipun ada suatu kelegaan ada seseorang yang begitu memperhatikan namun dia tidak ingin berlarut dalam apalagi eksprersi Ema yang tidak menunjukkan keakraban padanya.
Padahal Casey ingin sesekali curhat sesama pekerja. Namun ia harus mengetahuinya tempat dimana ia bekerja. Tempat ini tidak seperti bekerja di perusahaan normal lainnya melainkan dia bekerja di sarang mafia dimana jika buat kesalahan otomatis nyawa berada di ujung tanduk. Apalagi para pelayan ini menatap Casey tidak suka dan bahkan tidak peduli meskipun sesekali Ema memperhatikan tapi ia hanya bicara yang penting saja.
“Makananmu masih banyak segera habiskan waktu tersisa 10 menit lagi” ucap Ema sambil mengingatkan. Casey hanya bisa menatap hidangannya yang masih utuh banyak, meski terhat enak tapi bagi Casey itu hanyalah sampah karena jika ia memakana itu lagi bayangan yang mengerikan itu muncul di kepalanya.
“Apa ini bisa disimpan aja? karena saya uda kenyang” ujar Casey berbohong, membuat Ema menaikkan satu alis matanya, ia tidak percaya dengan ucapan Casey karena melihat wajah Casey yang tampak begitu pucat.
“ Taruh saja di kulkas di pojok sana” sahut Ema meskipun begitu ia tidak mempedulikannya.
“Tapi jangan sampai kau pingsan saat bekerja” Ema mengingatkan lagi
Casey menganggukkan kepalanya.
“Hei, kau. Bangun,” terdengar suara pria itu memanggil. Casey membuka matanya perlahan, masih dalam keadaan setengah sadar, ia mengangkat kepalanya dan mengucek kedua matanya.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, ia terkejut mendapati pria yang semalam terbaring pingsan kini sudah siuman. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tajam, membuat jantung Casey berdetak lebih cepat.Dengan gugup, Casey segera membetulkan posisi duduknya dan menghindari kontak mata. Ia menyadari dirinya terlambat untuk bersiap jika pria itu berniat menyerang. Perlahan, matanya melirik ke sekitar pria itu. Tidak ada benda tajam ataupun pistol di sekitarnya, ia pun bernapas lega.Meskipun begitu, Casey tidak boleh lengah. Jika pria itu menyerang tiba-tiba, satu-satunya pilihannya adalah langsung ke titik vitalnya lalu melarikan diri.Namun pria itu tetap bergeming, sorot matanya tajam dan menusuk, tak lepas dari wajah Casey. Tatapan itu membuat detak jantung Casey berdebar tak karuan, tubuhnya membeku dan gemetar
Waktu sudah menuju larut malam. Para pelayan sudah kembali ke kamar mereka masing-masing. Suara burung hantu menggema di seluruh penjuru mansion, menciptakan suasana yang mencekam. Casey melangkah cepat, bahkan nyaris berlari menuju kamarnya. Kamarnya terletak hampir di lantai bawah, di ujung lorong yang minim cahaya, diterangi oleh beberapa lampu tua yang nyalanya redup.Suara burung hantu itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan menggelegar, membuat jantung Casey berdegup kencang. Mansion ini memang tampak mewah dan megah di siang hari, namun saat malam tiba, tempat ini berubah menjadi sangat menyeramkan. Casey yakin di dalam kemewahan dan kemegahan mansion ini tidak luput ada hantu di dalamnya, Casey yang sangat takut pada hantu segera berlari cepat untuk memasuki kamarnya.Namun, di tengah perjalanan, Casey mencium bau anyir yang menyengat aroma besi yang menusuk hidung dan membuat perutnya mual. Jantungnya berdetak makin tak karuan. Apakah bos mafia itu sedang menyiksa ses
Casey yang masih duduk di kasur Harrison, sesekali melirik pria itu yang sedang tenggelam dalam tumpukan kertas berjilid. Tangan Harrison bergerak cepat, membolak-balikkan halaman demi halaman, mengamati setiap tulisan dengan teliti. Suasana terasa sunyi, kecuali suara kertas yang berdesir halus. Casey merasa canggung, seakan ruang ini terlalu besar dan sunyi untuk mereka berdua. Ia ingin pergi dari sini, tetapi tubuhnya yang masih lemas setelah pingsan tadi menahannya untuk tetap tinggal.Pikirannya terus berputar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Harrison bisa tahu jika dia tidak makan siang? Apakah Ema? Namun Ema yang selalu terlihat acuh dan jarang berbicara, jelas tidak mungkin memberitahukan hal itu. Lalu, apakah Harrison hanya berasumsi karena melihat Casey pingsan? Namun, menurutnya, itu tidak masuk akal. Seharusnya Harrison berpikir secara nasional kalau dia pingsan karena kelelahan setelah membereskan ruangannya dalam waktu singkat siapa pun bisa pingsan
Setelah menyelesaikan tugas pertamanya Casey merogoh saku seragam dan meraih sesuatu di dalamnya, sebuah memo yang diberikan Ema sebelum Casey melakukan pekerjaannya. Casey menelusuri tulisan yang di memo tersebut.“Membersihkan kamar Aidan sudah, selanjutnya-“ gumam Casey pelan sedang bicara sendiri namun perkataannya terpotong oleh suara yang tidak asing bagi Casey."Sepertinya kau sudah melakukan pekerjaan dengan baik." Suara itu begitu tenang, namun mencekam, penuh tekanan halus yang seolah-olah mengikat udara di sekitarnya. Jantung Casey berdegup kencang. Suasana di sekelilingnya berubah menjadi dingin, tubuhnya seolah membeku seiring dengan semakin dekatnya sosok yang tak asing baginya.Casey perlahan membalikkan badannya, Harrison berada di belakangnya dan kini mereka berhadapan. Harrison berdiri dengan senyum ramah yang memikat, wajah tampannya semakin tampak sempurna dengan sorot mata yang lembut. Siapa pun yang pertama kali bertemu dengan pria ini pasti akan langsung jatuh
Waktu istirahat akhinya berakhir, beberapa pelayan yang bercengkrama di dapur langsung berlarian keluar semua. Mereka pun mengerjakan tugas mereka masing-masing. Casey yang termasuk pelayan baru dan tidak tau apa yang harus dikerjakan. Menyadari hal itu Ema pun memberikan memo yang tertuliskan job list yang harus dikerjakan oleh Casey sembari menjelaskan agar Casey paham.“Kamu cukup kerjakan apa yang memo saya tulis, ini hanya pekerjaan sepele karena kamu masih baru, jika kamu sudah mengerti dan bisa beradaptasi pada lingkungan ini kamu akan diberi tugas tambahan oleh tuan Harrison”ujar Ema memberi penjelasan pada CaseyBaru kali ini Ema bicara cukup panjang lebar, karena biasanya dia hanya mengucapkan seperempat kalimat saja. Setelah di beri penjelasan Ema pun melangkah dan meninggalkan Casey begitu saja.Casey yang masih berdiri dan menatap memo yang di berikan oleh Ema barusan. Membaca tulisan itu berulang ulang agar ia tidak melakukan kesalahan lagi, Dengan tubuh masih semangat i
Waktu makan siang pun tiba, Ema dan Casey segera menuju ke dapur yang dituntun oleh Ema. Saat mereka ke dapur, beberapa pelayan sudah mengantri dengan wajah lelah, menunggu giliran untuk makan siang mereka. Begitu Ema dan Casey masuk menghadiri ruangan tersebut, suasana yang semula tenang langsung berubah. Beberapa pelayan menatap Casey dengan pandangan sinis bahkan tidak ramah, seolah-olah keberadaannya di sana adalah sesuatu yang tidak diinginkan dan menganggu.Casey merasakan tatapan tajam itu seolah dadanya ditusuk oleh pisau. Ia merasa sangat tidak nyaman, seperti berada di tengah kawanan serigala yang siap memangsa. Tanpa sadar, ia mundur sedikit dan menutup tubuhnya dengan tubuh Ema, berharap bisa melindungi dirinya dari tatapan penuh kebencian itu."Apa-apaan tatapan itu? Kalian pikir aku mau kerja di tempat berbahaya ini?" gerutunya dengan kesal, meski suaranya pelan dan hanya terdengar oleh dirinya sendiri.Namun, meski dalam hati penuh dengan kebencian dan kesal, ia tahu ba