Akhirnya, Casey pun mengikuti bos mafia itu dengan mobilnya, duduk di sebelahnya dengan hati berdebar-debar. Setiap detik terasa seperti berlarian di atas garis tajam. Mobil itu bergerak dengan tenang, namun ada getaran yang merayap di tubuh Casey, membuatnya merasa tidak nyaman. Aura mencekam yang terpancar dari pria di sampingnya begitu dekat, dan dia terpaksa menelan ludahnya untuk menjaga ketenangan.
Di sampingnya, bos mafia itu duduk dengan sikap tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, namun juga sesekali menatap jendela mobil yang gelap. Casey merasa seperti berada di ruang hampa, terperangkap dalam ketegangan yang semakin tebal di udara. Suasana mobil itu agak kelam, cahaya lampu dalam mobil hanya memberikan kilau redup, seperti menggambarkan betapa dalamnya kegelapan yang menyelubungi momen itu. Kesunyian yang mengisi ruang di antara mereka terasa begitu berat. Setiap detik berlalu begitu lambat, dan Casey merasa sulit untuk bernapas dengan benar, seolah-olah udara di sekitarnya semakin menipis. Dalam keheningan itu, dia hanya bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. sementara pria di sampingnya tetap diam, seolah-olah tak ada apa-apa yang bisa mengganggu ketenangannya. Saat mobil itu berhenti pertanda sudah sampai, Casey langsung turun dari mobil itu. ia tepat berada di depan bangunan besar yang menyerupai mansion, Casey tertegun. Gedung itu begitu megah, lebarnya seperti pusat perbelanjaan terbesar di ibukota, dengan halaman luas yang terawat rapi, serta taman-taman hijau yang mengelilinginya. Meskipun pemandangan tersebut terlihat sangat mewah dan menakjubkan, perasaan Casey justru jauh dari kekaguman. Rasa cemas dan takut yang menguasai dirinya lebih kuat daripada apapun yang bisa dia rasakan terhadap keindahan bangunan itu. Ia hanya bisa membayangkan apakah ini adalah tempat siksaan yang akan menanti dirinya, dan hanya memikirkannya saja sudah membuat tubuhnya merinding. Angin malam yang dingin berhembus pelan menyentuh kulitnya, membuatnya bergetar ketakutan. Tanpa sadar, ia melirik ke arah bos mafia itu, dan saat mata mereka bertemu, pria itu membalas tatapan Casey dengan senyuman yang semakin membuat suasana menjadi mencekam. Casey segera menoleh ke arah lain, merasa tubuhnya kaku oleh ketegangan yang semakin meluap. Bangunan itu kini tampak seperti sebuah tempat yang sangat asing dan penuh misteri, yang entah akan membawa dia pada nasib apa. Ketenangan malam hanya menambah kesan suram pada tempat tersebut, dan semakin menambah ketakutannya terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan langkah santai, pria bos mafia itu melangkah masuk ke dalam mansion yang megah, diikuti oleh bawahannya, Ronson. Sementara itu, dengan perasaan takut dan cemas, Casey pun terpaksa mengikutinya. Setiap langkahnya dipenuhi ketegangan, membayangkan bahwa jika ia tidak mengikuti mereka, maka dia mungkin akan berakhir sebagai santapan buaya peliharaan pria itu. Begitu memasuki mansion, Casey tertegun sejenak, tak bisa menyembunyikan kekaguman, meskipun ketakutannya lebih dominan. Interior bangunan ini sungguh luar biasa mewah, tidak kalah dari penampilannya di luar. Langit-langitnya tinggi dan luas, dengan lampu gantung kristal yang elegan menggantung dengan gemerlap, memancarkan cahaya lembut yang memantul dari lantai marmer yang berkilau. Lantai tersebut berwarna abu-abu gelap dengan pola yang rumit, dan setiap langkah Casey menginjakkan kakinya di atasnya membuatnya merasa seolah melangkah di atas permata. Di sepanjang dinding, lukisan-lukisan besar dan pahatan ukiran klasik bergaya Eropa menghiasi ruangan. Namun, apa yang paling mencolok adalah sentuhan futuristik yang mengimbangi kemewahan klasik tersebut. Di sisi-sisi dinding, terdapat panel-panel kaca berwarna gelap yang memperlihatkan pemandangan luar, sementara perangkat elektronik canggih seperti sistem suara terpasang dengan rapi di setiap sudut. Ruang utama dipenuhi dengan furnitur berdesain minimalis, namun tetap terlihat megah. Sofa kulit berwarna hitam legam mengelilingi meja kopi besar yang terbuat dari kayu hitam mengilap. Di sudut ruang terdapat rak buku tinggi yang penuh dengan koleksi buku-buku antik, dengan beberapa patung modern yang dipajang di atasnya, menciptakan kontras yang unik. Taman dalam rumah yang tampak terlihat dari jendela besar, dihiasi dengan tanaman hijau yang asri, air mancur elegan, dan patung-patung marmer yang artistik. Semua itu memberikan kesan bahwa rumah ini adalah tempat yang tidak hanya indah, tetapi juga penuh kekuatan dan prestise. Setiap detail di dalam mansion ini menunjukkan betapa luar biasa kekayaan dan pengaruh pemiliknya. Bagi Casey, meskipun kecantikan dan kemewahan bangunan ini luar biasa, ia tak bisa menutupi rasa cemas yang semakin menguat. Ia membayangkan apa yang terjadi dengannya, apa yang pria ini lakukan padanya. Langkah bos mafia itu terhenti di depan sebuah pintu yang menjulang tinggi, tampak kokoh dan mewah dengan ukiran-ukiran elegan yang menggambarkan kemegahan pemiliknya. Ronson, bawahannya, berlalu begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun, meninggalkan Casey berdua dengan pria itu. Casey hanya bisa menatap punggung lebar pria tersebut dengan penuh kecemasan. Ketika pria itu membuka pintu, dia menoleh ke arah Casey dengan wajah ramah, menampilkan senyuman yang membuat bulu kuduknya berdiri. “Mari masuk,” ucapnya dengan suara lembut, namun begitu dalam dan berwibawa. Casey hanya bisa merinding mendengar nada suaranya, hatinya terus bertanya-tanya, Apakah ini ruangan untuk menyiksaku? Pria itu melangkah masuk, dan Casey dengan langkah yang bergetar akhirnya mengikutinya. Di dalam ruangan tersebut, Casey mendapati sebuah ruangan yang tampaknya adalah ruang kerja bos mafia ini. Interiornya tidak kalah mewah dibanding bagian rumah lainnya. Sebuah sofa besar berlapis kulit terletak di tengah ruangan, sementara di depannya terdapat meja kerja yang besar, terbuat dari kayu mahoni dengan ukiran detail yang menunjukkan kekuatan dan keanggunan. Pria itu berjalan menuju sofa, duduk dengan santai, lalu mengisyaratkan Casey untuk duduk di hadapannya. Dengan ragu dan takut, Casey pun duduk, berusaha menenangkan dirinya meskipun tangannya terasa dingin. Saat ia duduk, pria itu meraih selembar kertas dan pena dari meja kerja, mulai menulis sesuatu dengan serius. “Nama Casey Dina Wijaya, umur 19 tahun,” ucapnya sambil menulis di atas kertas, suaranya tenang namun membuat Casey merasa seperti sedang diinterogasi. Casey tetap terdiam, memperhatikan setiap gerakan pria itu dengan cemas. Rasanya, situasi ini seperti wawancara kerja, tetapi dengan ketegangan yang luar biasa. Pria itu menghentikan tulisannya dan mengangkat wajah, menatap Casey dengan tatapan penuh makna. “Apa kamu ada pengalaman kerja?” tanyanya. Casey menggelengkan kepala dengan pelan. Mana mungkin dia memiliki pengalaman kerja, apalagi yang berhubungan dengan menjual harga dirinya. Pria itu hanya terdiam sejenak, merenung, sebelum melanjutkan pertanyaannya. “Apa kau punya saudara?” tanyanya lagi. “Saya punya dua adik,” jawab Casey, suaranya terdengar lemas. “Adik pertama laki-laki, usianya 15 tahun. Lalu adik ketiga yang perempuanpaling kecil, usianya 4 tahun.” Pria itu mengangkat alis, tampak tertarik. “Jauh sekali perbedaan usia adik keduamu dengan adik ketigamu?” tanyanya lagi. “Dulu mendiang ibu saya keguguran pada kehamilan ketiganya,” jawab Casey dengan suara lirih. Ia merasa heran, mengapa bos mafia ini begitu tertarik menanyakan soal saudaranya. Pria itu terdiam sejenak, menatap Casey seakan ingin membaca pikirannya. Ketegangan semakin terasa, membuat Casey bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud pria ini? Pria itu terus mengamati Casey dengan tatapan intens. Setelah beberapa detik, ia kembali berbicara. “Jadi kamu anak sulung?” tanyanya. “I...iya,” jawab Casey dengan suara pelan, suaranya bergetar. Pria itu tersenyum tipis, senyuman yang entah kenapa membuat Casey semakin gelisah. “Aku juga anak sulung dan punya seorang adik. Namanya Aidan Cassius Raymond, usianya 16 tahun, tiga tahun di bawahmu.” Mata Casey terbuka lebar mendengar nama itu. Raymond? pikirnya dalam hati. Nama keluarga itu bukanlah nama sembarangan. Raymond adalah salah satu keluarga elit dan terkemuka yang dikenal memiliki kekayaan melimpah dan segudang aset yang bernilai tinggi. Bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa kekayaan mereka begitu besar, tak akan habis hingga beberapa generasi. Sekarang Casey terkejut mengetahui pria yang duduk di hadapannya ini adalah putra sulung keluarga Raymond. Lebih dari itu, ia adalah penerus keluarga Raymond. Namun, pertanyaan besar berputar di benaknya. Kenapa penerus keluarga Raymond adalah pemimpin mafia yang terkenal paling kejam? Pikirnya dalam kebingungan. Apakah kekayaan keluarga Raymond sudah berkurang sehingga pria ini harus terlibat dalam dunia kejahatan untuk mempertahankan kekayaan mereka? Ataukah ada alasan lain yang lebih dalam dan kelam? Casey tidak bisa menahan rasa penasaran, tetapi rasa takut membuatnya diam dan hanya menatap pria itu dengan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalanya. “Oh ya, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Harrison Edmund Raymond, penerus keluarga Raymond,” ucap pria itu dengan nada tenang, namun tetap memancarkan wibawa yang kuat. Casey hanya mengangguk pelan, tak berani menatap langsung ke arah pria yang kini ia ketahui sebagai seseorang yang sangat berpengaruh dan berbahaya. “Saya membawamu ke sini untuk memperkerjakanmu sebagai pelayan. Atau, lebih tepatnya… budak,” lanjut Harrison dengan nada yang terdengar lebih dingin. Kata "budak" jelas terasa lebih menghina daripada "pelayan." Meski hatinya ingin protes, Casey tetap memilih diam. Ia tahu lebih baik menjaga mulutnya daripada menghadapi kemungkinan yang lebih buruk. “Tugasmu di sini cukup sederhana,” ucap Harrison sambil memandang Casey. “Membersihkan ruangan ini, mencabut rumput di taman, mencuci pakaian yah..pekerjaan biasa yang dilakukan pelayan. Selain itu, kamu harus mengurus adik saya, Aidan. Dan satu hal lagi, kamu harus menjalankan semua perintah saya, apapun itu. Jika suatu saat saya memintamu untuk mati, maka kau harus melakukannya tanpa keberatan.” Ucapan terakhirnya penuh tekanan, membuat Casey gemetar. Namun, pria itu segera menambahkan, “Tapi tenang saja. Untuk saat ini, yang perlu kamu lakukan hanyalah membersihkan ruangan ini dan mengurus Aidan.” Casey merasa sedikit lega, tapi kegelisahannya belum sepenuhnya hilang. “Aidan itu cukup temperamental,” lanjut Harrison sambil bersandar di sofa, seolah memikirkan sesuatu. “Dia tidak pandai menahan emosinya. Beberapa pelayan kami sebelumnya bahkan kabur karena tidak tahan menghadapi sikapnya. Jadi, saya harap kamu bisa mengatasinya.” Harrison tersenyum, namun senyum itu justru membuat Casey semakin tegang. Meski ingin protes, ia hanya bisa mengangguk setuju. Bagaimanapun, menjadi pelayan bahkan “budak” masih lebih baik daripada kehilangan nyawanya. “Oh, satu hal lagi,” ucap Harrison tiba-tiba, nadanya berubah serius. “Rumahmu sekarang menjadi milik keluarga Raymond untuk menutupi sebagian kerugian yang disebabkan oleh ayahmu. Meskipun, jujur saja, itu tidak cukup untuk menutupi semuanya.” Casey terkejut mendengarnya. “Tapi... adik saya bagaimana? Mereka akan tinggal di mana kalau rumah itu diambil?” tanyanya dengan suara khawatir. “Tenang saja,” jawab Harrison dengan nada lebih lembut. “Adikmu akan saya tempatkan di panti asuhan yang dikelola oleh keluarga Raymond. Mereka akan dirawat dengan baik di sana.” Casey menghela napas lega mendengar penjelasan itu. Meskipun sering mengancam, Harrison ternyata memiliki sisi belas kasih yang tidak ia duga. Pria itu tidak seperti rumor yang beredar, yang menyebutnya kejam tanpa ampun. Walaupun kerugian yang disebabkan ayahnya mencapai 5 miliar, Harrison masih memberi Casey dan adiknya kesempatan untuk hidup. Ia bahkan memperkerjakannya sebagai pelayan, bukan membunuhnya seperti yang Casey bayangkan sebelumnya. Meski merasa terpaksa, Casey tidak bisa menolak fakta bahwa ini mungkin jalan terbaik untuk saat ini. Casey yang sebelumnya hanya diam akhirnya memberanikan diri untuk mengangguk, sebagai tanda bahwa ia menyetujui keadaan ini meskipun hatinya penuh rasa cemas. Harrison memperhatikan reaksinya sebentar, lalu kembali bersandar dengan santai di sofa. “Mulai besok, kamu sudah mulai bekerja,” ucap Harrison sambil menyesuaikan posisi duduknya. “Malam ini, kamu akan menginap di sini. Saya akan meminta salah satu pelayan untuk mengantarkanmu ke kamar.” Harrison kemudian mengangkat sebuah perangkat kecil di tangannya, sebuah tombol dengan desain elegan, lalu menekannya dengan ringan. Bunyi klik terdengar diikuti dengan suara lembut dari bel elektronik yang bergema di ruangan. Casey terkejut sejenak, matanya beralih dari Harrison ke pintu ruangan, bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, dan seorang pelayan masuk dengan langkah tenang. Pelayan itu membungkuk hormat kepada Harrison, menunjukkan sikap patuh tanpa sepatah kata pun. “Antarkan gadis ini ke kamarnya,” perintah Harrison dengan suara rendah namun penuh kewibawaan. Pelayan tersebut mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya kepada Casey. Dengan tatapan yang tenang namun mengisyaratkan, Ikuti aku, ia berbalik menuju pintu tanpa berkata apa-apa. Casey, yang masih merasa gugup, berdiri dengan cepat dari tempat duduknya. Ia melirik Harrison sekilas, yang kini kembali menyandarkan tubuhnya di sofa dengan ekspresi tenang, satu sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang sulit diartikan. Dengan langkah ragu, Casey mulai mengikuti pelayan itu keluar dari ruangan besar yang penuh atmosfer mencekam tersebut. Casey terus mengikuti pelayan itu, langkahnya ragu-ragu namun tetap berusaha menjaga jarak agar tidak kehilangan jejak. Sepanjang perjalanan, pandangannya terpaku pada dinding-dinding yang memamerkan desain yang begitu megah. Setiap detailnya memancarkan kemewahan, pilar-pilar dengan ukiran rumit, lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit, dan karpet merah yang terasa empuk di bawah kakinya. Namun yang paling menarik perhatian Casey adalah deretan lukisan besar yang menghiasi dinding. Salah satunya, sebuah foto keluarga besar yang dipajang di tengah ruangan, berhasil menghentikan pandangannya sesaat. Dalam foto itu, seorang pria yang tampak sangat berwibawa duduk di tengah, mengenakan setelan jas hitam sempurna, dengan wanita anggun di sampingnya. Di sisi pria itu berdiri seorang remaja lelaki yang Casey kenali sebagai Harrison muda, ekspresi wajahnya dingin namun sudah menunjukkan ciri khas karisma yang kuat. Di sisi wanita itu, ada seorang anak kecil yang sedang digendong dengan penuh kasih. Wajah anak itu tampak ceria, berbeda jauh dari nuansa serius yang terpancar dari keluarga lainnya. Casey hanya bisa menebak bahwa anak kecil itu adalah Aidan, adik Harrison. Foto itu menampilkan harmoni dan elegansi, seolah-olah keluarga Raymond adalah puncak sempurna dari kekayaan dan kekuasaan. Namun, Casey tak bisa menahan pikirannya dan bertanya-tanya Jika keluarga ini terlihat begitu sempurna, apa yang membawa Harrison menjadi bos mafia yang terkenal kejam? Apakah ada cerita di balik senyum di foto itu? Lamunannya terhenti ketika ia hampir tersandung sebuah tanda kecil di lantai, mungkin penutup kabel atau tonjolan lain yang tak terlalu terlihat. Ia terhuyung sedikit, tapi pelayan di depannya sama sekali tidak memperhatikan. Pelayan itu terus berjalan dengan langkah tenang, tidak menoleh, tidak bicara, seolah Casey hanyalah bayangan yang mengikutinya. Casey mendengus pelan, mencoba menenangkan dirinya sambil terus mengikuti langkah pelayan yang seolah tanpa peduli. Hawa dingin dari koridor panjang itu semakin membuatnya merasa canggung. “Diam-diam amat,” gumamnya pelan, meski cukup keras untuk didengar dirinya sendiri, mencoba meredakan ketegangan yang terus menggelayuti pikirannya. Casey mengikuti pelayan itu dengan ragu, langkahnya semakin melambat saat mereka menuju ke lantai bawah. Lorong yang dilalui semakin suram, diterangi hanya oleh cahaya redup lampu dinding yang sudah usang. Pelayan itu akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu tua yang tampak seperti tidak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Pintu itu berderit samar ketika disentuh, catnya mengelupas, dan terlihat beberapa bekas retakan pada permukaannya. “Mulai sekarang ini kamarmu,” ucap pelayan itu singkat dengan nada ketus, tanpa memberi kesempatan Casey untuk bertanya apa pun. Pelayan itu segera berbalik, meninggalkannya begitu saja. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi dengan wajah serius. “Besok kamu harus bangun jam 4 pagi, dan jangan terlambat,” perintahnya tegas, sebelum akhirnya melangkah menjauh. Casey hanya mengangguk patuh, meskipun di dalam hati ia merasa getir. Saat pelayan itu benar-benar menghilang dari pandangannya, Casey menatap pintu kayu tua di depannya dengan rasa enggan. Dengan hati-hati, ia membuka pintu itu. Ruangan di dalamnya benar-benar jauh dari bayangannya. Dinding-dindingnya kusam, berwarna kelabu dengan noda-noda hitam di beberapa sudut. Debu tebal melapisi hampir semua permukaan, termasuk meja kecil yang sudah miring karena salah satu kakinya patah. Sudut ruangan menunjukkan adanya lubang-lubang kecil yang mungkin menjadi sarang tikus atau serangga. Tempat tidur di tengah ruangan terbuat dari kayu tua yang terlihat rapuh, seolah bisa roboh hanya dengan sedikit tekanan. Kasurnya keras, lebih mirip tumpukan jerami yang dibungkus kain kasar. Casey menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kontras antara kemewahan ruangan kerja Harrison dan kondisi kamar ini sungguh mencolok. Sofa yang pernah ia duduki terasa jauh lebih nyaman dibandingkan kasur yang kini harus ia tempati. Namun, Casey tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Dengan pasrah, ia mulai membersihkan ruangan tersebut semampunya. Ia mengelap debu-debu yang menempel di meja, tempat tidur, dan lantai, meskipun hasilnya jauh dari sempurna. Setidaknya, ia merasa cukup nyaman untuk berbaring. Setelah semua selesai, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur keras itu. Rasa lelah akhirnya mengalahkan ketidaknyamanan. Dengan pikiran yang masih dipenuhi kekhawatiran tentang hari esok, Casey memejamkan matanya, berusaha mendapatkan sedikit istirahat sebelum harus bangun dini hari.“Hei, kau. Bangun,” terdengar suara pria itu memanggil. Casey membuka matanya perlahan, masih dalam keadaan setengah sadar, ia mengangkat kepalanya dan mengucek kedua matanya.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, ia terkejut mendapati pria yang semalam terbaring pingsan kini sudah siuman. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tajam, membuat jantung Casey berdetak lebih cepat.Dengan gugup, Casey segera membetulkan posisi duduknya dan menghindari kontak mata. Ia menyadari dirinya terlambat untuk bersiap jika pria itu berniat menyerang. Perlahan, matanya melirik ke sekitar pria itu. Tidak ada benda tajam ataupun pistol di sekitarnya, ia pun bernapas lega.Meskipun begitu, Casey tidak boleh lengah. Jika pria itu menyerang tiba-tiba, satu-satunya pilihannya adalah langsung ke titik vitalnya lalu melarikan diri.Namun pria itu tetap bergeming, sorot matanya tajam dan menusuk, tak lepas dari wajah Casey. Tatapan itu membuat detak jantung Casey berdebar tak karuan, tubuhnya membeku dan gemetar
Waktu sudah menuju larut malam. Para pelayan sudah kembali ke kamar mereka masing-masing. Suara burung hantu menggema di seluruh penjuru mansion, menciptakan suasana yang mencekam. Casey melangkah cepat, bahkan nyaris berlari menuju kamarnya. Kamarnya terletak hampir di lantai bawah, di ujung lorong yang minim cahaya, diterangi oleh beberapa lampu tua yang nyalanya redup.Suara burung hantu itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan menggelegar, membuat jantung Casey berdegup kencang. Mansion ini memang tampak mewah dan megah di siang hari, namun saat malam tiba, tempat ini berubah menjadi sangat menyeramkan. Casey yakin di dalam kemewahan dan kemegahan mansion ini tidak luput ada hantu di dalamnya, Casey yang sangat takut pada hantu segera berlari cepat untuk memasuki kamarnya.Namun, di tengah perjalanan, Casey mencium bau anyir yang menyengat aroma besi yang menusuk hidung dan membuat perutnya mual. Jantungnya berdetak makin tak karuan. Apakah bos mafia itu sedang menyiksa ses
Casey yang masih duduk di kasur Harrison, sesekali melirik pria itu yang sedang tenggelam dalam tumpukan kertas berjilid. Tangan Harrison bergerak cepat, membolak-balikkan halaman demi halaman, mengamati setiap tulisan dengan teliti. Suasana terasa sunyi, kecuali suara kertas yang berdesir halus. Casey merasa canggung, seakan ruang ini terlalu besar dan sunyi untuk mereka berdua. Ia ingin pergi dari sini, tetapi tubuhnya yang masih lemas setelah pingsan tadi menahannya untuk tetap tinggal.Pikirannya terus berputar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Harrison bisa tahu jika dia tidak makan siang? Apakah Ema? Namun Ema yang selalu terlihat acuh dan jarang berbicara, jelas tidak mungkin memberitahukan hal itu. Lalu, apakah Harrison hanya berasumsi karena melihat Casey pingsan? Namun, menurutnya, itu tidak masuk akal. Seharusnya Harrison berpikir secara nasional kalau dia pingsan karena kelelahan setelah membereskan ruangannya dalam waktu singkat siapa pun bisa pingsan
Setelah menyelesaikan tugas pertamanya Casey merogoh saku seragam dan meraih sesuatu di dalamnya, sebuah memo yang diberikan Ema sebelum Casey melakukan pekerjaannya. Casey menelusuri tulisan yang di memo tersebut.“Membersihkan kamar Aidan sudah, selanjutnya-“ gumam Casey pelan sedang bicara sendiri namun perkataannya terpotong oleh suara yang tidak asing bagi Casey."Sepertinya kau sudah melakukan pekerjaan dengan baik." Suara itu begitu tenang, namun mencekam, penuh tekanan halus yang seolah-olah mengikat udara di sekitarnya. Jantung Casey berdegup kencang. Suasana di sekelilingnya berubah menjadi dingin, tubuhnya seolah membeku seiring dengan semakin dekatnya sosok yang tak asing baginya.Casey perlahan membalikkan badannya, Harrison berada di belakangnya dan kini mereka berhadapan. Harrison berdiri dengan senyum ramah yang memikat, wajah tampannya semakin tampak sempurna dengan sorot mata yang lembut. Siapa pun yang pertama kali bertemu dengan pria ini pasti akan langsung jatuh
Waktu istirahat akhinya berakhir, beberapa pelayan yang bercengkrama di dapur langsung berlarian keluar semua. Mereka pun mengerjakan tugas mereka masing-masing. Casey yang termasuk pelayan baru dan tidak tau apa yang harus dikerjakan. Menyadari hal itu Ema pun memberikan memo yang tertuliskan job list yang harus dikerjakan oleh Casey sembari menjelaskan agar Casey paham.“Kamu cukup kerjakan apa yang memo saya tulis, ini hanya pekerjaan sepele karena kamu masih baru, jika kamu sudah mengerti dan bisa beradaptasi pada lingkungan ini kamu akan diberi tugas tambahan oleh tuan Harrison”ujar Ema memberi penjelasan pada CaseyBaru kali ini Ema bicara cukup panjang lebar, karena biasanya dia hanya mengucapkan seperempat kalimat saja. Setelah di beri penjelasan Ema pun melangkah dan meninggalkan Casey begitu saja.Casey yang masih berdiri dan menatap memo yang di berikan oleh Ema barusan. Membaca tulisan itu berulang ulang agar ia tidak melakukan kesalahan lagi, Dengan tubuh masih semangat i
Waktu makan siang pun tiba, Ema dan Casey segera menuju ke dapur yang dituntun oleh Ema. Saat mereka ke dapur, beberapa pelayan sudah mengantri dengan wajah lelah, menunggu giliran untuk makan siang mereka. Begitu Ema dan Casey masuk menghadiri ruangan tersebut, suasana yang semula tenang langsung berubah. Beberapa pelayan menatap Casey dengan pandangan sinis bahkan tidak ramah, seolah-olah keberadaannya di sana adalah sesuatu yang tidak diinginkan dan menganggu.Casey merasakan tatapan tajam itu seolah dadanya ditusuk oleh pisau. Ia merasa sangat tidak nyaman, seperti berada di tengah kawanan serigala yang siap memangsa. Tanpa sadar, ia mundur sedikit dan menutup tubuhnya dengan tubuh Ema, berharap bisa melindungi dirinya dari tatapan penuh kebencian itu."Apa-apaan tatapan itu? Kalian pikir aku mau kerja di tempat berbahaya ini?" gerutunya dengan kesal, meski suaranya pelan dan hanya terdengar oleh dirinya sendiri.Namun, meski dalam hati penuh dengan kebencian dan kesal, ia tahu ba